Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik tentang film impor yang dikenakan tambah bayar atas kekurangan pembayaran bea masuk dan pungutan impor lainnya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Tambah bayar dikenakan karena importir tidak memasukkan nilai royalti ke dalam nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Royalti adalah pembayaran yang berkaitan dengan paten, merek dagang, dan hak cipta. Jumlah tambah bayar yang demikian besar (lebih dari 30 milyar), belum termasuk denda yang bisa mencapai 300 milyar menjadikan kasus royalti film impor ini menjadi berita nasional dalam waktu yang relatif lama. Ramai-ramai royalti film impor ini berawal dari kedatangan Deddy Mizwar, Rudy Sanyoto, dan Ukus Kuswara yang tergabung dalam Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) pada tanggal 10 Februari 2010 ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Tempo Online, 2011). Deddy Mizwar dan kawan-kawan menyodorkan hasil kajian BP2N kepada BKF. Kajian itu menunjukkan pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi daripada film impor. Perbandingannya dapat mencapai lebih dari lima kali lipat. Timpangnya besaran pajak atas film nasional dengan film impor ini membawa dampak film nasional tidak mampu bersaing dengan film-film impor. Menurut Rudy, selama ini importir tak memasukkan nilai royalti yang disetorkan ke produsen film asing. Akibatnya, bea masuk maupun perpajakan dalam rangka impor lain sangat rendah. Jika perhitungan nilai royalti dihitung secara benar, kewajiban bea masuk film impor bisa sepuluh kali lipat dari yang selama ini dibayar importir. Empat bulan kemudian BKF menyurati Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar nilai pabean film impor ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. Selanjutnya pada bulan Juli tahun 2010, DJBC melakukan audit kepatuhan penerapan bea masuk impor film periode 2008-2010. Salah satu importir film impor yang diaudit adalah PT X yang juga menjadi 1
distributor film di bawah bendera Grup 21. Grup 21 adalah induk importir film sekaligus distributor film impor yang mendominasi bioskop di Indonesia. Pada akhir tahun 2010 audit kepabeanan selesai dilakukan. Dari pemeriksaan diketahui bahwa proses bisnis impor film bermula dari importir membeli hak edar dari produsen film di luar negeri. Selanjutnya studio meminta laboratorium mencetak filmnya untuk diimpor ke Indonesia dengan harga US$ 0,43 per meter, dimana ratarata satu rol film panjangnya 3.000 meter. Harga pembelian cetak film inilah yang diberitahukan importir sebagai nilai barang (nilai pabean) untuk penghitungan bea masuk. Besarnya tarif bea masuk atas film 10%, pajak pertambahan nilai (PPN) 10%, dan pajak penghasilan (PPh pasal 22) sebesar 2,5%. Selanjutnya dari audit kepabeanan diketahui bahwa importir membayar royalti kepada produsen film di luar negeri, dimana royalti ini tak pernah dilaporkan importir. Dalam dua tahun terakhir terdapat 1.759 judul film yang diimpor tanpa dihitung nilai royaltinya. Para importir film rupanya tidak menerima penetapan DJBC ini. Mereka beranggapan royalti tidak termasuk unsur nilai pabean sehingga keputusan nilai pabean yang memasukkan nilai royalti atas hak distribusi film impor di Indonesia tidak dapat diterima. Mereka berkeyakinan bahwa aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak memperhitungkan royalti atas pendistribusian film. Menurut mereka negara lain yang juga mengimpor film dari Hollywood tidak pernah menerapkan bea masuk atas royalti. Benarkah demikian? Bagaimana sesungguhnya ketentuan yang berlaku tentang royalti barang impor mengacu pada perundang-undangan di Indonesia serta yang berlaku di dunia internasional? Melalui tulisan singkat ini pernulis berupaya untuk memberikan gambaran secara ringkas dan jelas tentang royalti sebagai unsur nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Artikel VII GATT GATT (General Agreement on Tariff and Trade) adalah forum negara-negara di dunia yang mengatur tentang tarif dan perdagangan dalam rangka memberikan suasana kondusif pada perdagangan dunia. GATT dibentuk pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Salah satu hasil kesepakatan GATT adalah metode penetapan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk, yang dikenal dengan Artikel VII GATT. Pada tahun 1994 GATT bertransformasi menjadi World 2
Trade Organization (WTO). Salah satu kesepakatan penting dalam piagam pendirian WTO adalah digunakannya Artikel VII GATT sebagai metode penetapan nilai pabean. Sebagai salah satu negara anggota WTO (contracting party), Indonesia wajib melaksanakan berbagai kesepakatan dalam piagam pendirian WTO, termasuk penerapan Artikel VII GATT. Penerimaan berbagai agreement yang disepakati dalam piagam pendirian WTO ini penting agar Indonesia diakui dalam pergaulan dunia serta untuk melindungi kepentingan Indonesia dalam perdagangan dunia. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, Indonesia secara resmi telah menerima berbagai agreement yang disepakati dalam piagam pendirian WTO tahun 1994. Dengan diratifikasinya agreement ini maka nilai pabean yang berlaku di Indonesia harus mengacu ke Article VII GATT. Nilai pabean menggunakan prinsip Article VII GATT ini sering disebut dengan GATT Valuation Agreement (GVA) atau bisa juga disebut dengan WTO valuation. Secara ringkas terdapat enam metode penetapan nilai pabean yang diatur dalam artikel VII GATT, yaitu : Pertama, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi suatu barang yang diimpor (transaction value). Kedua, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi barang identik. Ketiga, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi barang serupa. Keempat, nilai pabean ditentukan dengan metode deduksi, yaitu penetapan nilai pabean dengan mengurangi harga jual barang impor di daerah pabean dengan sejumlah faktor pengurang. Kelima, nilai pabean ditentukan dengan metode komputasi, yaitu penetapan nilai pabean dengan menghitung berbagai biaya untuk pembuatan barang impor hingga dikirim ke daerah pabean. Keenam, nilai pabean ditentukan dengan metode penghitungan kembali data yang tersedia di daerah pabean (fall back). Penerapan nilai pabean sesuai Article VII GATT tersebut harus dilakukan secara berurutan (hierarchy). Pada prinsipnya sedapat mungkin nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk didasarkan pada nilai transaksi suatu barang yang diimpor (metode 3
pertama). Bilamana atas importasi suatu barang, nilai transaksinya tidak dapat digunakan sebagai nilai pabean untuk menghitung bea masuk karena tidak memenuhi persyaratan, maka yang digunakan sebagai nilai pabean untuk menghitung bea masuk adalah nilai transaksi barang identik. Bilamana nilai transaksi barang identik tidak ada atau tidak dapat digunakan, maka nilai pabean menggunakan nilai transaksi barang serupa. Dan begitu seterusnya secara berurutan hingga metode keenam yaitu nilai pabean dihitung dari data yang tersedia di daerah pabean dengan menggunakan prinsip-prinsip metode pertama hingga kelima (fall back). Dalam hal importir dan eksportir saling berhubungan yang dapat mempengaruhi harga barang, maka importir diberikan kesempatan untuk memilih penggunaan metode deduksi dan komputasi secara tidak berurutan. Ketentuan Royalti dalam Artikel VII GATT Di dalam pasal 8 Persetujuan Implementasi Article VII GATT dinyatakan bahwa untuk penetapan nilai pabean, dalam hal terdapat nilai-nilai tertentu yang dibayar pembeli (importir) yang belum tercantum pada harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar (the price actually paid or payable), maka nilai-nilai tersebut harus ditambahkan pada nilai transaksi (nilai pabean). Nilai-nilai yang mesti ditambahkan tersebut meliputi: 1. Biaya-biaya tambahan untuk importasi barang, meliputi komisi dan jasa selain komisi pembelian, biaya mengepak dan mengemas untuk pengiriman barang impor ke dalam daerah pabean, 2. Assist, yaitu nilai dari barang dan atau jasa yang dipasok pembeli dengan cuma-cuma atau dengan harga yang diturunkan, untuk kepentingan produksi atau pengiriman impor barang ke daerah pabean, 3. Royalti dan biaya lisensi, 4. Proceed, yaitu nilai dari pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang impor di daerah pabean, 5. Freight, yaitu biaya pengangkutan barang impor hingga tiba di pelabuhan pembongkaran, 6. Inland freight dan cargo handling di negara pemasok, yaitu biaya pengangkutan, pembongkaran, penimbunan dan biaya pemuatan barang impor hingga tiba di pelabuhan pemuatan. Biaya-biaya ini diluar biaya freight. 4
7. Biaya asuransi. Nah, dari uraian di atas terlihat bahwa dalam kondisi tertentu, nilai barang impor pada invoice belum cukup untuk menentukan berapa besarnya nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Terdapat banyak komponen biaya yang potensial ditambahkan untuk mendapatkan nilai pabean yang salah satunya adalah royalti. Bagi sebagian kalangan yang belum memahami ketentuan nilai pabean sesuai Artikel VII GATT, nilai pabean biasanya langsung ditentukan dari nilai yang tercantum dalam invoice (faktur) barang impor tanpa mempertimbangkan berbagai biaya yang masih harus ditambahkan. Boleh jadi timbul pertanyaan, apakah setiap royalti yang dibayar importir harus dimasukkan dalam komponen nilai transaksi? Mengacu pada pasal 8 ayat 1.c Artikel VII GATT, kondisi royalti yang harus ditambahkan pada nilai transaksi dijelaskan sebagai berikut : Royalti dan biaya lisensi yang berkaitan dengan barang impor yang sedang dinilai, yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung, sebagai persyaratan penjualan barang yang bersangkutan, sepanjang royalti dan biaya lisensi belum termasuk dalam harga yang sebenarnya yang dibayar atau terhutang untuk dibayar. Royalti dalam Undang-Undang Kepabeanan Seiring dengan diratifikasinya Article VII GATT, metode nilai pabean sebagaimana terinci di atas dimasukkan secara lengkap pada pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 690/KMK.05/1996 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk, maka nilai pabean yang menggunakan prinsip-prinsip Article VII GATT secara efektif diterapkan di Indonesia. Sebagaimana di Article VII GATT, royalti merupakan salah satu unsur pembentuk nilai pabean. Pada pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, dinyatakan bahwa nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. Di dalam penjelasan pasal 15 ayat (1) dirinci bahwa yang dimaksud dengan nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah dengan berbagai biaya yang dibayar importir yang salah satunya adalah royalti. Sesuai dengan Artikel VII GATT, Undang-Undang Kepabeanan mengatur bahwa royalti yang harus ditambahkan ke dalam nilai pabean adalah royalti dan biaya lisensi yang harus 5
dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. Royalti dalam Petunjuk Teknis Nilai Pabean Ketentuan lebih lanjut yang mengatur royalti sebagai komponen nilai pabean adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Di dalam PMK ini royalti harus ditambahkan ke dalam nilai transaksi (nilai pabean) bilamana memenuhi tiga syarat berikut : 1. Royalti dibayar oleh pembeli (importir). Pembayaran royalti oleh pembeli (importir) tidak mempertimbangkan dibayar secara langsung atau tidak langsung kepada pemilik HAKI di luar daerah pabean. 2. Merupakan persyaratan dalam penjualan barang impor. Yang dimaksud dengan persyaratan penjualan adalah adanya kewajiban hukum dalam suatu kontrak untuk membayar royalti dan apabila kewajiban tidak terpenuhi maka kontrak menjadi batal. Pembayaran royalti ini tidak mempermasalahkan apakah dibayar kepada penjual atau pihak lain sebagai pemegang hak royalti (royalty holder). 3. Berkaitan dengan barang impor. Bahwa pada suatu barang yang diimpor terdapat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), antara lain berupa hak merek, hak cipta, atau hak paten. Royalti yang dibayar kepada Royalty Holder diluar daerah pabean atas barang yang direproduksi di daerah pabean tidak termasuk unsur nilai pabean. Dalam kasus nilai pabean atas film impor, berdasarkan hasil audit kepabeanan dan pernyataan importir sendiri dapat kita ketahui bahwa tiga syarat royalti sebagai unsur nilai pabean telah terpenuhi, yaitu : Pertama, biaya royalti dibayar oleh pembeli (importir) film, Kedua, royalti yang dibayar merupakan persyaratan dalam pembelian film impor, Ketiga, royalti dikenakan atas barang (film) yang diimpor. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa syarat royalti harus dihitung dalam nilai pabean telah memenuhi ketentuan sehingga royalti harus ditambahkan dalam nilai transaksinya. Dengan demikian keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai menetapkan kembali nilai 6
pabean dengan memasukkan royalti pada nilai transaksi film impor telah sesuai ketentuan, baik ketentuan internasional (WTO) maupun nasional (Undang-Undang Kepabeanan). Namun demikian, meskipun dalam penetapan royalti ini dalam posisi yang tepat, DJBC hendaknya dapat mengambil pelajaran berharga untuk masa yang akan datang. Seyogyanya Pejabat Bea dan Cukai dalam menetapkan nilai pabean dapat lebih cermat dan teliti, khususnya pada barang yang berpotensi dikenakan royalti. Film adalah salah satu jenis barang yang mengandung hak atas kekayaan intelektual, sehingga harus diperdalam penelitian atas pemberitahuan nilai pabeannya. Sesuai pasal 17 (1) Undang-Undang Kepabeanan dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Dengan demikian DJBC dapat menagih kekurangan pembayaran bea masuk yang terhutang atas pemberitahuan impor untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir. Dalam kasus royalti film impor ini bila diteliti lebih lanjut seharusnya royalti dikenakan sejak tahun 1995 ketika Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan disahkan. Tentu bisa kita bayangkan berapa besar potensi penerimaan negara yang tidak dapat dihimpun oleh DJBC karena mulai tahun 1995 hingga tahun 2009 yang tidak bisa ditagih karena telah kadaluwarsa. Di sisi yang lain DJBC juga patut berterima kasih kepada masyarakat yang telah berpartisipasi aktif mendukung fungsi DJBC sebagai revenue collector. Sejujurnya kasus royati film impor ini berawal dari laporan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang memberikan informasi bahwa importir tak memasukkan nilai royalti yang disetorkan ke produsen film asing. Belajar dari kasus royalti barang impor berupa film dari Hollywood, hendaknya DJBC meneliti kembali dengan seksama berbagai barang yang dapat dikategorikan sebagai barang yang mengandung hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Bilamana melalui penelitian kembali atas barang-barang dimaksud importir membayar royalti yang memenuhi persyaratan sebagai biaya yang harus ditambahkan dalam nilai transaksi, maka nilai pabean harus disesuaikan melalui penetapan kembali Dirjen Bea dan Cukai sebagaimana yang dikenakan terhadap importir film. 7
Simpulan 1. Ketentuan nilai pabean berlaku secara internasional mengacu pada Artikel VII GATT. Pada prinsipnya nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi atas suatu barang yang diimpor. 2. Royalti harus dihitung sebagai unsur nilai transaksi (nilai pabean) bilamana memenuhi tiga kondisi yaitu dipersyaratkan dalam transaksi jual beli, dibayar oleh importir, dan atas barang impor bersangkutan. 3. Royalti atas barang impor berupa film dari Hollywood telah memenuhi tiga persyaratan royalti yang harus ditambahkan, sehingga penetapan Dirjen Bea dan Cukai telah sesuai dengan Undang-Udang Kepabeanan dan artikel VII GATT. 4. Penetapan kembali nilai pabean mengacu artikel VII GATT hendaknya dilaksanakan dalam rentang waktu yang telah diatur dalam Undang-Undang pabeanan (dalam waktu dua tahun), untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah tidak tertagihnya hak keuangan negara karena kadaluwarsa. Sumber : 1. Agreement on Implementation of Articlel VII of GATT 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 3. PMK-160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. 4. Tempo Online. Sengkarut Royalti Film Hollywood. 28 Februari 2011. Diakses tanggal 6 Juni 2011. 8