PEMBANGUNAN JALUR KERETA API DAN TREM DI CIREBON. Djoko Marihandono 1. Abstract

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB III PELAKSANAAN BATAS USIA PENSIUN PEGAWAI EKS DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DI PT.KAI. A. Profil Singkat PT. Kereta Api Indonesia (Persero)

GAMBARAN UMUM PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) organisasi, dan tugas dalam hal ini PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

TANGGAPAN ATAS LAPORAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karesidenan Semarang di sebelah Barat berbatasan dengan Karesidenan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 31. besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Deli.

DEPOK DAN JALUR KERETA API BUITENZORG-BATAVIA ( ) Tri Wahyuning M. Irsyam 1

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologinya (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. berada di pusat pemerintahan Afdeling Asahan. Letaknya sangat diuntungkan karena

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN. 1. NISM Sebagai Pelopor Pengusahaan Kereta Api

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Kajian Pustaka F. Historiografi yang Relevan...

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKONOMI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH ; Latar Belakang Pembangunan Jalan Kereta Api pada Lajur Banjar-Kalipucang-Parigi ( )

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam

KULI DAN ANEMER ; Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api Di Priangan ( ) *) Oleh : Dr. Agus Mulyana, M.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

6/23/2009 UNDANG-UNDANG NO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Sejarah Perusahaan

SEJARAH TRANSPORTASI KERETA API DI KARESIDENAN SEMARANG TAHUN SKRIPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POTRET SEKOLAH PRIBUMI DI BREBES TAHUN 1859 Oleh: Kris Hapsari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PRAKTEK PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU PT. KERETA API INDONESIA PERSERO. A. Tentang PT. Kereta Api Indonesia Persero

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

I. PENDAHULUAN. berdomisili di daerah pedesaan dan memiliki mata pencaharian disektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. sedemikian penting tersebut dicapai melalui proses perjalanan yang cukup. yang saat ini menjadi sangat populer didunia.

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

PERANAN TREM SERAJOEDAL STROOMTRAM MAATSCHAPPIJ DALAM PERKEMBANGAN PENGANGKUTAN DI BANYUMAS JURNAL SKRIPSI

STASIUN DAN BALAI YASA MANGGARAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

PERAN BENGKEL KERETA API PENGOK DALAM PERAWATAN LOKOMOTIF MILIK NEDERLANDSCH INDISCHE SPOORWEG MAATSCHAPPIJ JALUR SEMARANG-VORSTENLANDEN

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

PERKEMBANGAN SISTEM KEPEMILIKAN TANAH PADA PERKEBUNAN TEBU DI SINDANGLAUT, CIREBON ( )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH AIR BERSIH JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGARUH JALUR KERETA API BATAVIA-BUITENZORG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT BATAVIA TAHUN e-journal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS DAN INFRASTRUKTUR SELAT SUNDA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS DAN INFRASTRUKTUR SELAT SUNDA

BAB II. SEKILAS TENTANG PT. KERETA API (Persero) A. Sejarah Perkeretaapian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kapur barus dan rempah-rempah, jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Faktor kemajuan teknologi saat ini bisa dikatakan berkembang dengan sangat signifikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164 /PMK.06/2014 TENTANG

PP 9/1999, PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA

TERMINAL BUS TIPE A DI SURAKARTA

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS BUPATI MALANG,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

No Perbedaan Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara. perusahaan, pertanian, diperpanjang untuk. peternakan.

SISTEM TANAM PAKSA. Oleh: Taat Wulandari

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi adalah sarana untuk mempercepat waktu. dalam mencapai suatu tujuan. Di Indonesia, transportasi terbagi

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164/PMK.06/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses rangkaian kegiatan yang

Yukki Nugrahawan Hanafi Ketua Umum DPP ALFI/ILFA

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang terletak LS dan BT, dengan. sebelah selatan : Kabupaten Semarang

RAPERDA PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG

PENYELENGGARAAN KEWENANGAN PADA BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDIRIAN STASIUN WILLEM I DI KOTA AMBARAWA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 53 TAHUN 2000 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

BAB I PENDAHULUAN I-1

NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. di Cilacap untuk mempertahankan pengaruhnya di kota tersebut. Pembangunan

Transkripsi:

PEMBANGUNAN JALUR KERETA API DAN TREM DI CIREBON Djoko Marihandono 1 Abstract As the most important island in the East India Colony, Java Island produced the export commodities which well sold in the world market. Because of the traditional transport mode, the cost of the transportation is to bring out all the products from the government store to the port, its prices became uncontrollable. So the colonial government planned to change it with the new one: the train. Cirebon, is one of area in Java which was very rich of the commodity products. So, after the success of two lines which had built before (Batavia-Buitenzorg by Staatspoor and Semarang-Vorstenlanden by NISM), the government made a concession with Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) to build a new line from Cirebon to Semarang. This plan was based on the reality, in one hand that in this area, there were many sugar fabrications along the way from Cirebon to Semarang, and in the other hand at Cirebon area, the export commodity product was abundance. Unfortunately, there was a regulation that one enterprise had only one concession. BOS had had the concession before to operate the line from Batavia to other stations. To continue this line construction, the subsidiary company of BOS, named Java Spoorweg Maatschaapij continued this program. In November 1886, This new enterprise finished successfully, and the railways line Cirebon- Semarang was officially opened. After 5 years of the operation of this line, because of the miss management, it was closed. The Java Spoorweg Maatschappij sold it to other enterprise, named Semarang-Cheribonsche Stoomtraam Maatschappij. This new operator didn t want to work in the same domain. After making the deeply consideration and feasibility studies, the operating tramways was the new goals of the business. The SCS changed the railways not only for the busy line Cirebon-Semarang, but also the other line such as Balapulang-Tegal. The SCS also developed the other line connecting all tram railways with the port in Cirebon and Tegal. SCS also expanded the line through the outlying place as the line Kadipaten to Cirebon. Keyword: railways, tramways, export commodities, modern transportation,concession. A. Latar Belakang Pemerintah Hindia Belanda menganggap Pulau Jawa sebagai pulau terpenting dari kawasan wilayah koloninya di Asia. Hal ini terlihat dari aktivitas mereka sejak berdirinya VOC, pemerintahan kolonial pasca-voc, hingga saat akhir masuknya Jepang 1 Guru Besar di Program Studi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Kompetensi penulis adalah hubungan antara wilayah koloni di Hindia Timur dan negara induk. Untuk korespondensi penulis dapat dihubungi melalui email: djoko_marihandono@yahoo.com 5

di pulau ini. Investasi juga banyak ditanam di pulau ini, khususnya untuk pengembangan tanaman komoditi ekspor yang sangat laku di pasar internasional, seperti: gula, kopi, teh, tembakau. Oleh karena itu, perhatian negara induk terhadap Pulau Jawa sangat besar sepanjang sejarah kolonialisme mereka. Seperti diketahui, di Pulau Jawa pulalah Belanda memperoleh keuntungan besar dari hasil komoditi ekspor itu. Walaupun menghabiskan banyak biaya untuk menjaga stabilitas keamanan pulau ini, eksploitasi ekonomi tetap dipertahankan dengan tujuan agar investasi dapat terus dikembangkan. Apabila kembali menengok peristiwa sepanjang kehadiran mereka ke wilayah koloni ini, perlawanan masyarakat lokal bermunculan untuk menolak kehadiran mereka. Walaupun menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar, namun perlawanan masyarakat lokal tersebut dapat diatasi dengan berbagai cara. Sebagai contoh, sejak akhir abad XVIII memasuki abad XIX, di pedalaman Batavia (Batavia Ommelanden), terjadi pemberontakan Cirebon yang berlangsung cukup lama di bawah pimpinan tokoh-tokoh dari Cirebon, termasuk Bagus Rangin. Di sela-sela itu, di Vorstenlanden juga terjadi pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo yang bergerak di sekitar daerah Madiun. Demikian pula peristiwa bergolaknya perjuangan Pangeran Diponegoro yang baru berakhir pada 1830 juga sangat memukul kehadiran mereka di Pulau Jawa. Namun mereka tetap bertahan untuk tetap berada di wilayah ini karena kekayaan alamnya yang sangat menguntungkan, bahkan untuk mencapai tujuannya, investasi besar-besaran telah ditanamkan setelah selesainya Perang Jawa. Setelah Perang Jawa usai, Pemerintah Kolonial mengalami defisit yang luar biasa besar. Untuk memulihkan kembali kondisi keuangannya, diberlakukanlah eksploitasi agraria yang menjadi konsep utama dalam upaya untuk menutup hutang negara yang demikian besar. Konsep eksploitasi agraria ini kita kenal dengan nama Kultuurstelsel. Setelah diberlakukannya konsep ini, keuntungan mulai dirasakan pemerintah di wilayah koloni, bahkan kenaikan tingkat perekonomian juga dirasakan oleh negara induk yang berada di Eropa. Kas negara yang semula mengalami defisit, sejak diterapkannya konsep Kultuurstelsel berubah, menunjukkan arah yang positif. Oleh karena itu, pada paruh kedua abad XIX, pemerintahan di Den Haag menyetujui upaya untuk membangun 6

infrastruktur di wilayah ini guna mendukung eksploitasi ekonomi dengan tujuan agar keuntungan yang diperoleh dapat ditingkatkan lebih banyak lagi. Kebijakan penanaman modal di wilayah koloni ini (baca: Jawa) bukannya tanpa risiko. Hasil investasi penanaman produk ekspor membawa hasil yang sangat besar. Produk-produk tersebut berlimpah di gudang-gudang negara yang terdapat di pedalaman. Komoditi dagang ini harus segera dibawa ke pelabuhan-pelabuhan agar dapat dikapalkan dan dikirimkan ke pasar-pasar dunia. Namun kenyataannya, banyak komoditi dagang yang sangat laku di pasaran Eropa itu mengalami kerusakan bahkan pembusukan sebagai akibat dari kondisi gudang yang kurang representatif dan lamanya barang-barang tersebut disimpan di gudang-gudang negara. Kondisi infrastruktur seperti itu akhirnya menjadi perhatian bagi pengelola wilayah koloni ini. Sementara itu di Eropa, pada saat yang sama, terjadi perubahan di bidang transportasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang digunakan di bidang transportasi. Seiring dengan kemajuan teknologi dan keinginan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi, Pemerintah Hindia Belanda memikirkan solusi yang harus ditemukan guna melancarkan pengangkutan hasil komoditi dagang dari gudang-gudang di pedalaman ke pelabuhan. Setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan di parlemen Belanda, akhirnya dicapailah keputusan untuk mulai menggunakan fasilitas transportasi kereta api di wilayah koloni, yang sudah mulai berfungsi dengan baik di Eropa sejak 1840-an. Dengan menggunakan fasilitas transportasi yang baru ini diharapkan waktu tempuh pengangkutan komoditi dagang dari pedalaman ke pelabuhan dapat dipersingkat, sehingga risiko kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari lamanya proses pengangkutannya dapat diatasi, selain juga dapat dimanfaatkan untuk mengangkut penumpang. 2 Kenyataannya, persetujuan parlemen Belanda ini tidak dapat langsung direalisasikan di wilayah koloni. Implementasi dari persetujuan parlemen memerlukan beberapa fasilitas pendukungnya baik fisik maupun aturan-aturan yang mendukungnya. Untuk membangun jalur kereta api diperlukan modal yang besar, baik untuk penyediaan lokomotif, gerbong, maupun rel-relnya. Selain itu juga diperlukan regulasi yang 2 Lihat Jeronimo de Bosch, Geschiedenis van Nederland Indie (Charleston: Bibliobazar, 2008), hlm. 230. 7

mendukung karena sistem investasi perkebunan dan eksploitasi kereta api sifatnya berbeda. Dalam bidang perkebunan permasalahan yang ada menyangkut persewaan tanah dalam waktu tertentu (landverhuur)dengan hak-hak sewa bagi pengelolanya (erfpachtrecht). Namun untuk investasi kereta api memerlukan lahan yang luas, yang jalurnya membentang dari satu wilayah ke wilayah lain yang melewati batas-batas administratif yang berlaku pada waktu itu. Pemasangan jalur yang melewati batas wilayah administratif ini mengandung konsekuensi bahwa izin eksploitasi yang diberikan hanya berasal dari Gubernur Jenderal dan bukan dari pejabat lain. Para calon investor banyak menyampaikan keberatan kepada parlemen, mengingat bahwa untuk berinvestasi diperlukan izin, yang dalam aturan hukum dagang Belanda yang berlaku pada saat itu izin yang diberikan oleh pemerintah di wilayah koloni tidak memiliki waktu yang tegas tentang masa berlakunya izin tersebut. Dengan demikian, para calon investor ini terancam kerugian setiap saat apabila izin itu sewaktuwaktu dicabut. Ketidakjelasan dalam berinvestasi inilah yang terus menerus menjadi topik bahasan di parlemen Belanda. Dengan mempertimbangkan keinginan dari mereka yang menentang ataupun menyetujui pemberian izin yang rentan akan pencabutan sepihak oleh pemerintah, akhirnya ditemukan solusi, yaitu dengan pemberian hak konsesi (Concessie Recht). 3 Yang dimaksud dengan hak konsesi adalah sistem persewaan tanah dengan pengambilalihan hak atas tanah dari pemegang hak semula. Dengan demikian, pemerintah akan membebaskan lahan yang akan dibutuhkan dalam pembangunan jalur kereta api dan infrastruktur pendukungnya tanpa merugikan penduduk lokal yang telah mengeksploitasi sebelumnya. Agar tidak menimbulkan kerancuan dengan hak penyewaan tanah yang sebelumnya telah ada (erfpachtrecht), maka konsesi dibatasi maksimal selama 99 tahun. Kepastian batas waktu konsesi ini, para investor akan mengkalkulasi berapa beaya yang akan dikeluarkan, keuntungan yang 3 Penjelasan tentang makna konsesi terdapat dalam Proces Verbaal van den Conferentie Tusschen Zyne Excelentie van den Minister van Kolonien en de Heeran W. Poolman en A. Fraser, Gehouden op den 14 Junij 1863 aan het Departement van Kolonien, Bundel Algemeen Secretarie. 8

akan diperoleh, kepastian berinvestasi bagi pemegang hak konsesi, dan kepastian hukum bila terjadi masalah yang ditimbulkan dari investasi dan aktivitas yang dijalankannya. 4 Dengan kondisi seperti ini, mulailah konsesi ditawarkan pada 1862 kepada publik. Namun pada awalnya tawaran konsesi ini tidak mendapatkan respon positif dari kelompok investor, karena untuk pembangunan jalur kereta api ini diperlukan investasi yang sangat besar, dan syarat yang diajukan oleh pemerintah sangat ketat. Banyak investor swasta yang menganggap peluang investasi jalur kereta api di wilayah koloni kurang memberikan keuntungan dibandingkan dengan investasi lainnya. Pemerintah membiarkan untuk sementara kekurangminatan investor swasta, karena penerapan politik kultuurstelsel masih dominan pada saat itu. Pemerintah adalah satu-satunya lembaga yang berkepentingan mengangkut komoditinya sendiri. 5 Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1866, tatkala Menteri Perdagangan dan Koloni dijabat oleh Fransen van de Putte, mengeluarkan peraturan mengenai pembukaan jalur kereta api. Pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berinvestasi di bidang transportasi kereta api, bersamaan dengan upaya pemerintah yang menanamkan modalnya di bidang ini juga di bawah naungan Kereta Api Negara, Staatspoor. Pihak swasta pertama yang memenangkan tender untuk investasi jalur kereta api di Jawa adalah konsorsium Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang dikenal dengan singkatan NISM. Dibandingkan dengan Staatspoor, konsorsium NISM jauh lebih siap untuk menanamkan investasinya di wilayah koloni di Jawa ini. Sebagai bakal pesaingnya di kemudian hari, pemerintah mengajukan persyaratan untuk memudahkan sekaligus mengawasi eksploitasi jalur kereta api tersebut. Persyaratan tersebut antara lain pemilik tanah harus diberikan ganti rugi atas tanah yang digunakan sebagai jalur kereta api (pasal 3). Selain itu, apabila jalur itu sudah tidak digunakan lagi, 4 Anonim, 1882. Tarieven der Spoorwegen op Java, dalam TNI, Jilid II, hlm. 354. 5 Kultuurstelsel dimonopoli oleh negara. Swasta hampir tidak diberikan peluang. Selanjutnya lihat R.E. Elson, Village Java Under the Cultivation System, 1830-1870 (Sydney: ASAA Southeast Asia Publication Series, 1994), hlm. 96-97. 9

pihak swasta harus segera mengembalikan bekas tanah yang digunakannya kepada negara karena termasuk dalam aset tidak bergerak (Onroerende Goederen). 6 Setelah melihat potensi yang berada di beberapa wilayah, akhirnya ditetapkan akan segera dibangun jalur kereta api Batavia-Buitenzorg, yaitu jalur yang didominasi oleh tanah-tanah swasta (partikelir) yang banyak menghasilkan produk ekspor, dan produk-produk lain yang dihasilkan dari wilayah pegunungan Priangan. Sementara itu jalur Semarang-Vorstenlanden dibangun setelah NISM memperoleh izin dari Den Haag karena melewati tanah-tanah kesultanan, yang tidak dapat diputuskan oleh wali negeri di Batavia. Jalur itu melewati sejumlah pabrik gula guna mengangkut produksi gula dari Vorstenlanden ke pelabuhan Semarang dan dari pabrik-pabrik yang berada di sekitar rel tersebut. Peletakan batu pertama pembangunan itu dilakukan pada 1867. Penetapan kedua jalur kereta api Batavia-Buitenzorg oleh Staatspoor dan Semarang Vorstenlanden oleh NISM tersebut lebih banyak didominasi oleh faktor ekonomi, khususnya jalur pengangkutan hasil bumi komoditas ekspor. 7 Pembangunan jalur kereta api selain di kedua tempat tersebut menjadi lebih cepat ketika mulai diberlakukannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa hak milik tanah (eigendomrecht) orang pribumi diakui dan dijamin secara resmi oleh pemerintah. Dengan adanya pengakuan pemerintah tersebut, lebih mudah bagi investor, baik pemerintah maupun swasta, untuk melakukan pembebasan tanah yang guna pemasangan jalur rel lengkap dengan infrastruktur lainnya. Pada masa ini, perusahaan kereta api negara (Staatspoor) sangat gencar menanamkan investasi kereta api. Kereta api negara membangun jalur secara besarbesaran untuk jalur jarak jauh yang menghubungkan kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Buitenzorg, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Vorstenlanden. 8 Hal ini 6 Lihat Besluit van Gouverneur Generaal 13 Agustus 1871 No. 9 yang berada pada Bundel Algemeen Secretarie, koleksi Arsip Nasional RI, Jakarta. 7 Konsesi kepada NISM diberikan pada 6 Juli 1863 sebagai konsesi pembangunan jalan kereta api pertama di Hindia Belanda. Kontrak yang dibuat sudah ditandatangani pada 28 Agustus 1862 yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1863 Nomor 116 koleksi Arsip Nasional RI, Jakarta. 8 Lihat Michiel van Ballegoijen de Jong, Spoorwegstations op Java (Amsterdam: de Bataafsche Leeuw, 1993), hlm. 14. 10

dipertimbangkan benar-benar oleh pemerintah mengingat terbatasnya dana yang ada untuk pembangunan jalur ini, sehingga jalur jarak jauh dijadikan prioritas pertama. Konsekuensi dari ditetapkan jalur jarak jauh yang diinvestasikan di Jawa adalah kereta dan lokomotif yang digunakan harus berukuran besar dan daya angkut yang banyak. Karena perkembangan perekonomian tidak sebesar yang diharapkan, sementara tuntutan jarak pendek semakin besar, maka diputuskan bahwa jalur jarak pendek akan diserahkan kepada pihak swasta dengan jalur kereta yang lebih kecil. Infrastruktur yang menunjang kemudahan investor swasta menanamkan modalnya di Jawa mulai dibuka lebar. Tanahtanah pemerintah yang diperlukan akan diserahkan hak bangunnya kepada pemegang konsesi secara gratis, untuk jangka waktu sama dengan berlakunya konsesi. Kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari berlakunya konsesi ini seperti ganti rugi kepada pemilik dan pemakai akan ditanggung oleh pemegang konsesi. Setelah tujuh tahun berlangsung, terdapat hal-hal yang menghambat pembangunan jalur kereta api ini, antara lain kondisi lahan. Di daerah pelosok, banyak persawahan perbukitan, yang secara topografis tidak rata, sehingga memerlukan investasi yang lebih bila dibandingkan dengan pemasangan rel di daerah datar. Selanjutnya, pembangunan jalur ini lebih banyak ditentukan berdasarkan kepentingan ekonomi daripada kepentingan lainnya. Banyak produk komoditi ekspor yang dibawa, yang mau tidak mau membatasi jumlah penumpang yang akan memanfaatkan jasa kereta api ini. Kendala ini dijawab oleh pemerintah bahwa sektor swasta diberikan izin untuk mengeksploitasi wilayah dengan membangun jalur kereta api yang lebih kecil yang lebih sering dikenal dengan istilah trem. Trem lebih banyak difungsikan untuk mengangkut penumpang jarak dekat menghubungkan tempat-tempat di pedalaman, menuju atau memotong jalur kereta api jarak jauh. Fungsi trem ini akhirnya ditetapkan dalam peraturan tertanggal 13 Agustus 1871 oleh pemerintah di Batavia. Dasar aturannya adalah sebagai berikut: Artikel 1 Tramwegen ten behoeve van ondernemingen van landbouw en nijverheid worden niet dan krachtens vergunning van het Hoofd van Gewestelijk 11

Bestuur aangelegd en gebruikt voor zoover die tramwegen op gronden, niet behoorende aan den ondernemer, worden aangelegd; 9 Pasal 1 Jalan-jalan trem demi kepentingan perusahaan perkebunan dan industri hanya dibuka berdasarkan ijin kepala pemerintah wilayah (residen) dan digunakan sejauh jalan trem ini dibuka di tanah-tanah yang tidak termasuk milik pengusaha perkebunan. Jalur trem ini berbeda dengan jalur kereta api, karena untuk membangun jalur trem ini tidak lagi diperlukan izin dari negara induk di Den Haag maupun dari pemerintah pusat di Batavia, namun cukup diperoleh izin dari kepala pemerintahan setempat sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, yakni residen. Dengan demikian, terdapat keterbatasan eksploitasi jalur trem, karena jalur yang ditempuhnya tidak jauh seperti kereta api negara. Dalam pelaksanaannya, system jaminan juga berlaku dalam penanaman investasi jalur trem, dengan imbalan lahan diberikan secara gratis dan hak bangunan dari pemerintah yang dapat digunakan untuk mendukung infrastruktur trem selama berlakunya konsesi yang diambilnya. Tidak selamanya jalur trem menggunakan tanah-tanah negara. Jalur ini, untuk kepentingan eksploitasinya juga menggunakan tanah partikelir milik rakyat. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan yang dikeluarkan tanah-tanah tersebut akan dibebaskan oleh pemerintah dengan menggunakan jaminan (borgkapitaal) yang berasal dari perusahaan swasta. Pasal 12 dalam peraturan itu berbunyi sebagai berikut: Artikel 12 Hij verplicht, ingeval de tramweg gelegd is over gronden, waarover de bevolking de beschikking had, die gronden zooveel mogelijk weder in denzelfden staat te brengen als waarin zij berkeerden voor den aanleg van den tramweg. 10 Pasal 12 Jika jalan trem dibuka di atas tanah-tanah yang menjadi kewenangan penduduk, investor wajib mengembalikan tanah-tanah ini dalam kondisi yang sama seperti kondisi sebelum pembukaan jalan trem itu. 9 Staatsblad van Nederlandsch Indië 1871 No. 113. 10 Staatsblad van Nederlandsch Indië 1885 No. 138. 12

Pembebasan tanah penduduk yang terkenal jalur kereta api tidak sesederhana seperti yang dibayangkan sebelumnya. Hal ini terjadi karena hak-hak tanah rakyat memiliki hak dan kewenangan tertentu (beschikkingsrecht). Apabila kepemilikan itu adalah eigendom, pemerintah dapat mengambil alih dengan membebaskan tanah milik rakyat itu dengan memberikan ganti rugi yang besarnya telah ditetapkan oleh pemerintah (naasting). 11 Setelah semua hal yang berkaitan dengan pengambilalihan tanah itu selesai, pemerintah kemudian meminjamkannya kepada investor. Setelah masa konsesi berakhir, maka kepemilikan tanah itu kembali menjadi milik negara. B. Pembangunan Jalur Kereta Api Cirebon-Semarang Pembangunan jalur Semarang-Cirebon memerlukan modal yang sangat besar. Oleh karena itu, perusahaan yang memperoleh konsesi ini memerlukan banyak modal dan menjalankan bisnisnya di berbagai sektor usaha. Pertama dengan saham yang dimiliki oleh pemilik saham, perusahaan ini harus memberikan keuntungan kepada pemilik saham yang berupa sisa hasil usaha. Selain itu, perusahaan ini juga harus menjalankan bisnisnya dalam pemberian jasa pengangkutan berupa pelayanan transportasi. Perusahaan ini kurang tertarik dalam menanamkan modalnya untuk dalam pembangunan jalur kereta api jarak jauh, tetapi lebih tertarik pada bisnis penyelenggaraan moda transportasi penumpang dan komoditi dagang dalam jumlah kecil hingga menengah. Untuk itu, perusahaan ini berusaha memberikan pelayanan yang baik, khususnya bagi para penumpang. Pembangunan jalur ini sebelumnya dimiliki konsesinya oleh Batavia Spoorweg Maatschappij yang kemudian digantikan oleh Java Spoorweg Maatschappij yang merupakan anak perusahaan dari Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij. 12 Namun 11 Lihat Karl Henri Korff, Koloniale Concessiewetgeving (Leiden: Edward Ijdo, 1913), hlm 156. 12 Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij mulai menjalankan usahanya di Batavia pada 1883. Berdasarkan data yang ada pada karya Jan Kop, Bouwen in de Archipel: Burgerlijke Openbare Werken in Nederlands Indie 1800-200 (Zulphen: Wallburg Press, 2004), hlm. 76 dikatakan bahwa modal yang ditanam pada Batavia Ooster Spooweg Maastschaapij lebih kecil dibandingkan dengan modal yang terkumpul di perusahaan NISM. 13

setelah 1870, seiring dengan mulai menjamurnya pabrik gula di sepanjang pantai utara Jawa dari kota Semarang hingga Cirebon, beberapa investor melihat kurangnya sarana transportasi yang menghubungkan kedua kota itu. Moda transportasi yang ada saat itu masih berupa pedati yang ditarik oleh hewan yang sistem pengangkutannya dilakukan dengan sistem sewa dengan penduduk setempat. Seiring dengan perkembangan pabrik gula di wilayah itu, kebutuhan transportasi semakin mendesak. 13 Kenaikan hasil produksi gula di jalur itu menyebabkan sarana transportasi tidak mencukupi lagi. Pemikiran para investor adalah dalam waktu yang tidak terlalu lama sarana transportasi tradisional tidak akan mampu melayani kebutuhan transportasi saat itu. Pada 1885 terjadi krisis gula, di mana harga gula di pasaran dunia jatuh. Hal ini memaksa para pelaku pasar melakukan penghematan beaya produksi, sehingga produksi gula dari Jawa masih mampu bersaing dengan produksi dari wilayah lain. Setelah melakukan penghitungan kembali biaya produksi gula, tercatat bahwa yang menjadi biang keladi mahalnya harga gula adalah mahalnya biaya transportasi. Oleh karena itu, para industriawan gula mengusulkan kepada pemerintah agar dibuka jalur kereta api Cirebon-Semarang seperti halnya jalur Batavia-Buitenzorg dan Semarang-Vortenlanden yang sudah beroperasi. Permintaan ini ditanggapi oleh banyak investor, salah satu di antaranya adalah Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij. Perusahaan ini kemudian membentuk suatu tim untuk melakukan studi kelayakan pada Mei 1885. Dilaporkan antara lain: 1) bahwa di daerah Keresidenan Priangan kereta api mayoritas diselenggarakan oleh Perusahaan kereta Api Negara Staatspoor; 2) jalur kereta api dari Cirebon Staatspoor tidak melanjutkan pembangunan jalurnya ke arah Semarang, melainkan berbelok ke kanan menuju daerah Banyumas, seterusnya menuju ke Vorstenlanden. 14 Oleh karena itu, perusahaan 13 Berdasarkan laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1892, Bijlage C, tercatat sejumlah pabrik gula, antara lain 19 pabrik di Keresidenan Cirebon, 6 pabrik di Pekalongan, 4 pabrik di Semarang dan sejumlah pabrik di Tegal. 14 Pada 27 Juli 1894, investor R.H. Eyssonius de Waal dan A.J. Prager meminta konsesi jalur Balapulang-Purwokerto untuk pembukaan kereta api sekunder. Konsensus dengan pemerintah tidak tercapai, sehingga pemerintah menolaknya. Selanjutnya pada Agustus 1896 investor lainnya J.H. Kann meminta konsesi dimulai dari Banyumas menuju Tegal melalui Ajibaran, Bumiayu, Bantarkawung, Kedungalar, Dukuhjeruk, dan Matempo hingga Cirebon, dan cabang dari Karanganyar melalui Margasari dan 14

ini mengajukan konsesi kepada pemerintah untuk membangun jalur Cirebon- Semarang yang padat dengan pabrik gula. Akhirnya pemerintah melalui Gubernur Jenderal Van Rees memberikan konsesi kepada Batavia Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) untuk melaksanakan pembangunan jalur kereta api Cirebon-Semarang. Mengingat bahwa direksi perusahaan ini berada di Belanda, maka Gubernur Jenderal mengirim surat kepada Menteri Koloni mengenai pemberian konsesi kepada perusahaan tersebut, dengan tujuan agar Menteri Koloni mengetahuinya dan siap menerima pembayaran uang jaminan dari perusahaan itu. 15 Namun, dengan diterimanya konsesi itu, terjadi perubahan di dalam perusahaan itu sendiri. Perubahan itu disebabkan karena direksi perusahaan memutuskan bahwa berdasarkan ketentuan yang berkaitan dengan Kereta api, setiap perusahaan swasta hanya dapat mendapatkan satu konsesi di wilayah tertentu. Mereka tidak dapat lagi menangani konsesi yang baru, karena sudah memperoleh konsesi di kota Batavia. Akibatnya, dibentuklah suatu perusahaan baru yang diberi nama Java Spoorweg Maatschappij. 16 Dengan demikian, perusahaan inilah yang akhirnya menggantikan BOS pembangunan jalur Cirebon-Semarang. dalam Dukungan dari pemerintah pusat di Batavia terhadap konsesi ini sangat besar. Hal ini terbukti bahwa tidak berapa lama setelah konsesi itu ditandatangani, Gubernur Jenderal Van Rees mengeluarkan instruksi kepada para residen yang wilayahnya dilewati jalur kereta api, dengan tujuan agar membantu pelaksanaan proyek ini. Daerah yang dilewati antara lain: Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Semarang. Instruksi Gubernur Banjaranyar menuju Balapulang. Namun permintaan konsesi ini juga ditolak oleh pemerintah karena jalur Balapulang dan sekitarnya sudah ada yang lebih dahulu meminta konsesi, yaitu SCS. Semua informasi ini dimuat dalam Laporan Kolonial tahun 1894 (Koloniaal Verslag over het Jaar 1894), hlm. 153, dan Besluit van den Gouvernor Generaal 18 November 1896 Nomor 13, bundel Algemeen Secretarie. 15 Perusahaan ini menurut Besluit van Gouvernor Generaal 12 Februarie 1886 No. 26, Bundel Algemen Secretarie, disebutkan bahwa saham yang dibayarkan kepada Menteri keuangan di Amsterdam melalui Menteri Koloni terdiri atas 250 lembar saham @ f 1000 dengan bunga 4% yang berlaku sejak 1884. 16 BOS setelah melepaskan konsesi untuk jalur Semarang-Cirebon memperoleh proyek lain, yaitu memperpanjang jalur dari stasiun Mr. Cornelis ke arah timur menuju Bekasi pada 1 Maret 1887. Pada Juni 1896, BOS memperoleh izin memperpanjang lagi jalur yang sudah ada hingga Kerawang. (Lihat PA van der Lith,. Nederlandsch Oost Indie ( s Gravenhage: Bill Archive, 1875), hlm. 80. 15

Jenderal ini diikuti dengan respon positif dengan melakukan pembenahan di daerahnya masing-masing, khususnya memperbaiki jembatan-jembatan yang akan dilalui jalur ini. Perbaikan jembatan itu antara lain Jembatan Kamalaka di jalur Cirebon-Karangsambung, Jembatan Cisambung-Girang di Kadipaten (Afdeeling Majalengka). Sementara di wilayah Keresidenan Tegal penimbunan Sungai Gaung akhirnya diambil alih oleh residen yang menyediakan sebidang tanah untuk pembangunan halte dan stasiun kereta api. 17 Walaupun dalam rencana pembangunan jalur Cirebon-Semarang sangat padat, namun berkat bantuan para residen ini tenggang waktu yang ditetapkan dapat dipenuhi, bahkan batas waktu pembangunan 7 Desember 1886 sebagai batas akhir pembangunan dapat diselesaikan jauh sebelum batas waktu tersebut berakhir. Gaji semua pekerja telah diselesaikan pada bulan November 1886. Dengan demikian, rencana pembukaan jalur itu yang direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari 1887 akan dapat dipenuhi. 18 C. Pembukaan Jalur Trem Semarang Cheribonsche Stoomtram Maastschappij Java Spoorweg Maatschappij berhasil menyelesaikan semua konsesi yang diberikan oleh pemerintah. Perusahaan ini memiliki konsesi untuk batas waktu selama 99 tahun, namun direksi menyatakan tidak memerlukan waktu 99 tahun untuk mengembalikannya kepada pemerintah, namun cukup separuh dari waktu konsesi yang diberikan. Namun, perhitungan di atas kertas berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pembangunan prasarana yang berupa jembatan, tanggul, saluran air, perumahan, dan kantor stasiun ternyata memerlukan biaya yang sangat besar. Demikian pula untuk pengadaan lokomotif dan gerbong, juga memerlukan modal yang besar. Sebagai akibat dari kekurangsiapannya, perusahaan ini mendapatkan kesulitan tatkala lokomotif mengalami kerusakan. Lokomotif tidak dapat dioperasikan selama beberapa hari, sehingga perusahaan mengalami banyak kerugian. Walaupun kerugian ini setiap tahun menunjukkan angka yang mengecil, namun pendapatan dari penumpang tidak menentu sebagai akibat dari harga tiket kereta yang cukup tinggi. Akibatnya, dalam lima 17 Lihat Missive Gouvernement Secretarie 10 April 1886 No. 352 Bundel Algemeen Secretarie. 18 Lihat Koloniaal Verslag over het Jaar 1890, hlm. 142. 16

tahun pertama setelah dilakukan evaluasi, direksi perusahaan memutuskan bahwa usaha tersebut tidak dapat diteruskan karena mengalami kerugian yang sangat besar. 19 Berhubung perusahaan tidak mampu membayar kembali uang yang sudah ditanamkan kepada pemegang saham, maka direksi memutuskan untuk tidak melikuidasi perusahaan itu, melainkan akan menjualnya kepada investor lain yang bersedia menutup kerugian ini. Diupayakan penawaran ini dilaksanakan sesegera mungkin untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Akhirnya pada akhir 1891 dilakukan negosiasi dengan perusahaan lain yang mau membelinya. Pada 18 Januari 1892 Cheribonsche Stoomtram Maatschappij (SCS) secara resmi mengambil alih semua aset milik Java Spoorweg Maatschappij. 20 Pengambilalihan ini bukannya tanpa masalah. Masalah yang timbul berasal dari dalam perusahaan SCS itu sendiri. Pengambilalihan ini dilakukan sebelum perusahaan SCS diakui oleh pemerintah. Bahkan pada 1895 perusahaan ini juga belum disahkan oleh Pemerintah Kolonial. Namun, SCS sebenarnya merupakan kelompok perusahaan yang berada di bawah naungan Financieele Maatschappij Voor Nijverheidsondernemingen yang berpusat di Amsterdam. Perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang besar, bahkan menjadi kreditur dari beberapa pabrik gula yang melakukan operasinya di Jawa, termasuk beberapa pabrik gula yang beroperasi di Cirebon, Tegal, dan Semarang. Oleh karena itu, setelah mengkaji secara mendalam permasalahan yang dialami oleh perusahaan sebelumnya, Financieele Maatschappij voor Nijverheidsondernemingen berencana untuk mengubah jalur yang sudah dibuat oleh Java Spoorweg Maatschappij menjadi jalur trem. Untuk keperluan tersebut, direksi mengajukan permohonan kepada 19 Berdasarkan laporan kolonial tahun 1890 hlm. 42. disebutkan bahwa jumlah penumpang barang-barang yang diangkut menggunakan jasa angkutan kereta api ini menurun drastis. Bahkan dalam laporan itu disebutkan bahwa jumlah penumpang kelas 1 hanya terisi kurang dari 1% dari target yang diharapkan. 20 Semarang Cheribonsche Stoomtram Maatschappij dibentuk dengan menggunakan modal yang diperoleh dari penjualan saham berjalan Financieele Maatschappij voor Nijverheidsondernemingen. Sebagai pimpinannya ditunjuk G. Diephuis yang berkedudukan di Jalan J.P. Coen no. 3, Amsterdam (Staatscourant, 4 Mei 1893). 17

Menteri Koloni pada 25 April 1892 untuk mengubah status lama dan menggantinya dengan izin konsesi baru pembukaan jalur trem. 21 Permohonan itu ditolak oleh W.K. Baron van Dedem van Vesbergen, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koloni, dengan alasan bahwa saat itu pemerintah di Den Haag sedang menggodog peraturan baru untuk menggantikan peraturan lama tentang penetapan jaringan kereta api pada jalur yang sudah terpasang. Surat penolakan itu dijawab oleh direksi Financieele Maatschappij voor Nijverheidsondernemingen, bahwa yang saat ini dihadapi adalah bukan jalur kereta api, melainkan jalur trem, yang tidak berhubungan dengan peraturan yang sedang digodog oleh pemerintah. Perusahan ini kemudian menyewa pengacara untuk menempuh jalur hukum. Perusahaan Financieele Maatschappij voor Nijverheidsondernemingen melalui pengacaranya mengajukan konsesi kepada Gubernur Jenderal di Batavia, dengan tembusan kepada Menteri Koloni. Menteri Koloni menyerahkan masalah ini kepada Gubernur Jenderal C. Piknacker Hordijk di Batavia. Dari hasil pembahasan di Batavia, Direktur Openbare Werken (Pekerjaan Umum/PU) meminta waktu untuk melakukan inspeksi di jalur yang sudah terpasang oleh Java Spoorweg Maatschappij. Setelah memperoleh laporan, baik dari Direktur PU maupun institusi pemerintah lainnya, membentuk satu komisi untuk menjajagi jalur trem ini. Dari hasil laporan yang diberikan, trem yang dimaksudkan berukuran lebih kecil daripada kereta api, dengan kecepatan yang lebih rendah, pengangkutan barang yang lebih terbatas, dan untuk mengangkut penduduk lokal. Sehubungan dengan jarak tempuhnya juga lebih pendek dari pada jalur kereta api, lebar penampang rel ditetapkan antara 0,90 dan 1,067 meter. Berdasarkan laporan komisi ini, disusun rencana peraturan baru tentang jalur trem uap (stoomtramwegen) yang berbeda dengan peraturan tentang jalur kereta api. Peraturan ini disahkan oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk pada 9 Agustus 1893 menjelang habis masa jabatannya. 22 Setelah mendapatkan pengakuan secara yuridis dari pemerintah, pada 4 Mei 1895 secara resmi NV Semarang Cheribonsche Stoomtram Maatschappij menerima konsesi 21 Keterangan ini diperoleh dari Agenda No. 234/6/92, di dalam arsip Algemeen Secretarie, koleksi Arsip Nasional RI. 22 Secara detil peraturan ini dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1893 Nomor 190, koleksi Arsip Nasional RI. 18

dari pemerintah selama 99 tahun. Dengan demikian, konsesi ini akan berakhir pada 5 April 1994 dengan ketentuan dapat diubah (dihentikan atau diperpanjang) sesuai kebutuhan. Tujuan dari konsesi SCS ini adalah membuka dan mengeksploitasi jalur trem uap Cirebon-Semarang dan membeli kereta api sekunder Tegal-Balapulang yang akan diekspoitasi pula sebagai jalur trem. NV SCS melibatkan Departemen Pekerjaan Umum (Openbare Werken) pemerintah dalam hal pengelolaan jalur trem. Pengikutsertaan instansi ini menunjukkan bahwa aspek teknis sangat penting dalam pembangunan infrastruktur trem. Trem diletakkan di bawah pengawasan BOW seperti halnya pelabuhan, pengairan, maupun pembangunan infrastruktur transportasi lainnya. Hal ini juga berarti bahwa keterlibatan pemerintah dalam SCS ini memungkinkan pengambilalihan semua aset perusahaan itu bila diperlukan, dengan sistem penghitungan ganti rugi sesuai dengan taksiran besarnya pengambilalihan aset (naasting). Meskipun SCS menerima pelimpahan dari Java Spoorweg Maatschaapij, namun tidak secara otomatis semua aset dapat langsung digunakan. Jalur Tegal-Balapulang, misalnya, walaupun itu merupakan jalur sekunder, namun harus tetap diperiksa kembali untuk difungsikan sebagai jalur trem uap. Setelah memperoleh izin dari Menteri Koloni, pada 16 September 1895 jalur Tegal-Balapulang dibuka untuk kepentingan umum. Demikian pula jalur Cirebon-Semarang yang semula diperuntukkan untuk jalur kereta api, harus diubah jalurnya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai jalur trem uap. Penyesuaian jalur ini jauh lebih lama dibandingkan jalur Balapulang-Tegal yang disebabkan oleh kondisi yang berbeda di antara keduanya, baik jalurnya yang jauh lebih panjang, penampang rel yang berbeda, serta melewati beberapa jembatan yang perlu penyesuaian dengan jalur trem uap. Berhubung peraturan yang dikeluarkan pada 7 Desember 1893 untuk jalur Cirebon-Semarang tidak sesuai lagi, maka diperlukan penyesuaian peraturan tentang lahan konsesi milik NV SCS. Baru pada 28 November 1896, peraturan baru tersebut disahkan. 23 Sejak peraturan tersebut dikeluarkan, pihak SCS melakukan penggantian rel kereta api membentang dari Tegal Barat menuju Brebes 23 Peraturan ini pada prinsipnya berkaitan dengan aturan tentang ganti rugi lahan apabila perusahaan ini harus segera diambil alih oleh pemerintah. Lihat Besluit van Gouvernor Generaal 14 Februari 1897 No. 11 bundel Algemeen Secretarie. 19

dilanjutkan ke Pemalang dan pada akhir 1897 yang sebelumnya telah terhubung hingga Pekalongan. Sementara itu, tahap pertama yang menghubungkan Cirebon-Losari yang sudah selesai diuji coba pada 1895 dan akan dilanjutkan dari Losari ke Tegal. 24 Selain jalur-jalur utama yang menjadi prioritas, SCS juga merencanakan membangun jalur trem yang menghubungkan pelosok pedalaman, seperti Sindanglaut yang terletak di sebelah selatan Cirebon. Jalur sepanjang 14 km ini disetujui pembangunannya pada Mei 1897. Pemasangan jalur baru Kadipaten-Cirebon juga mulai dibangun. Jalur ini sepanjang 47 km melalui Palimanan-Parujakan di Cirebon. Jalur ini dibuka secara resmi bagi pengangkutan penumpang dan barang pada 29 Desember 1801. Khusus jalur Cirebon-Kadipaten, pada saat pembangunan jalur trem uap SCS harus melakukan koordinasi dengan pemerintah, khususnya jalur sebelah barat Cirebon, yang merupakan batas awal jalur Cirebon-Semarang. Setelah dirundingkan bersama dengan Kepala Dinas BOW dan SCS, disepakati bahwa untuk membuka jalur itu tidak perlu dilakukan pembayaran jaminan modal karena dianggap sebagai bagian dari jalur utama Cirebon-Semarang. Kesepakatan ini dituangkan dalam Peraturan 28 Nopember 1896. Seperti halnya jalur Tegal-Balapulang yang dihubungkan dengan pelabuhan Tegal, jalur-jalur trem uap yang ada di Cirebon juga dihubungkan dengan pelabuhan di Cirebon. Dinas BOW meminta SCS membangun infrastruktur pada jembatan Ciwaringin dan Cikaru yang akan dilewati oleh trem tersebut. Melalui kedua jembatan tersebut, jalur ini akan terhubung dengan pelabuhan dan gudang sepanjang gudang-gudang yang ada di sana serta dermaga yang berada di pelabuhan Cirebon. 25 Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tersebut, SCS harus menandatangani kontrak konsesi dengan pemerintah yang menetapkan bahwa sebelum 10 Juli 1900 jalur tersebut sudah harus terpasang. 24 Berdasarkan Koloniaal Verslag over het Jaar 1897, hlm. 148, dari Semarang juga dimulai pembangunan jalur rem trem uap ke barat, ke a rah Afdeeling Kendal sepanjang 10 km. 25 Lihat Besluit van Gouvernor Generaal 9 Agustus 1900 No. 57 bundel Algemeen Secretarie. 20

D. Penutup Pembangunan jalur kereta api dan trem di Cirebon menjadi lirikan kaum investor swasta karena pihak perusahaan kereta api negara Staatspoor kekurangan modal untuk menjawab tantangan pembangunan sarana transportasi yang akan mengangkut baik penumpang maupun produk komoditas ekspor. Sarana transportasi menjelang akhir abad XIX awal abad XX tidak mendukung perdagangan secara umum. Sistem transportasi tradisional tidak mampu lagi dalam mengangkut hasil komoditi dagang dari gudang negara ke pelabuhan. Dengan sistem transportasi tradisional seperti itu, biaya transportasi menjadi faktor dominan dalam penentuan harga jula produk pertanian dan perkebunan. Setelah terjadinya krisis dunia sebagai akibat dari mahalnya ongkos transportasi, menjadi pemicu dilakukannya modernisasi di bidang transportasi. Kota Cirebon dan sekitarnya merupakan wilayah yang kaya akan hasil produk pertanian yang sangat laku di pasaran dunia. Jalur Cirebon hingga Semarang merupakan daerah yang penuh dengan perkebunan tebu yang merupakan sentra lokasi pabrik gula. Demikian banyaknya pabrik gula yang berdiri di sekitar daerah tersebut, menjadikan jalur transportasi modern menjadi prioritas untuk dibangun. Sejak Batavia Ooster Spoorweg Maatschaapij yang telah berpengalaman dalam mengoperasikan jalur kereta api menginginkan untuk membangun jalur kereta api Cirebon-Semarang, ternyata mengalami kendala yang berupa benturan peraturan yang mengharuskan perusahaan itu membuat anak perusahaannya Java Spoorweg Maatschaapij. Jalur Semarang-Cirebon yang sudah beroperasi ternyata mengalami kesalahan dalam pengelolaannya, sehingga lima tahun setelah diresmikan perusahaan ini mengalami defisit yang parah. Untuk menjaga kredibilitas perusahaan, perusahaan ini tidak mau ditetapkan pailit, tetapi akan segera mencari investor lain yang bersedia untuk membeli jalur yang telah terpasang. Hadirnya NV Semarang Cheribonsche Stoomtraam Maatschaapij berhasil melakukan akuisisi terhadap aset Java Spoorweg Maatschaapij harus melakukan upaya agar jalur yang ada memberikan keuntungan. Cara yang dilakukan yaitu mengubah jalur kereta api menjadi jalur trem uap. Kenyataan ini menunjukkan bahwa daerah Cirebon dan sekitarnya merupakan daerah yang sangat menarik bagi investor. Apalagi setelah jalur- 21

jalur trem tersebut dihubungan dengan pelabuhan, gudang dan dermaga yang menjadikan perusahaan ini tetap eksis dan mampu bertahan terhadap goncangan ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Agenda No. 234/6/92, Bundel Algemeen Secretarie. Anonim, Tarieven der Spoorwegen op Java, dalam TNI, Jilid II, 1882. Besluit van Gouvernor Generaal 13 Agustus 1871 No. 9, Bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta. Besluit van den Gouvernor Generaal 18 November 1896 No. 13, Bundel Algemeen Secretarie. Besluit van Gouvernor Generaal 12 Februarie 1886 No. 26, Bundel Algemen Secretarie. Besluit van Gouvernor Generaal 14 Februari 1897 No. 11, Bundel Algemeen Secretarie. Bosch, Jeronimo de, Geschiedenis van Nederland Indie. Charleston: Bibliobazar, 2008. Elson, R.E., Village Java Under the Cultivation System 1830-1870. Sydney: ASAA Southeast Asia Publication Series, 1994. Jong, Michiel van Ballegoijen de, Spoorwegstations op Java. Amsterdam: de Bataafsche Leeuw, 1993. Koloniaal Verslag 1892, Bijlage C. Koloniaal Verslag over het Jaar 1890. Koloniaal Verslag over het Jaar 1894. Koloniaal Verslag over het Jaar 1897. Korff, Karl Henri, Koloniale Concessiewetgeving. Leiden: Edward Ijdo, 1913. Kop, Jan., Bouwen in de Archipel: Burgerlijke Openbare Werken in NederlandsIndie 1800-200. Zulphen: Wallburg Press, 2004. 22

Lith, P.A. van der., Nederlandsch Oost Indie. s Gravenhage: Bill Archive, 1875. Missive Gouvernement Secretarie 10 April 1886 No. 352, Bundel Algemeen Secretarie. Proces Verbaal van den Conferentie Tusschen Zyne Excelentie van den Minister van Kolonien en de Heeran W. Poolman en A. Fraser, Gehouden op den 14 Junij 1863 aan het Departement vam Kolonien, Bundel Algemeen Secretarie. Staatsblad van Nederlandsch Indie 1863 No. 116. Staatsblad van Nederlandsch Indie 1871 No. 113. Staatsblad van Nederlandsch Indie 1885 No. 138. Staatsblad van Nederlandsch Indie 1893 No. 190. Staatscourant, 4 Mei 1893. 23