MAKALAH PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP Pembicara: Ampuan Situmeang SH, MH ADVOKAT AJI Aliansi Nasional Reformasi KUHP BATAM 21 September 2006 1
PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP Ampuan Situmeang SH, MH Advokat Adanya delik pers di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengundang protes berbagai organisasi wartawan dan Dewan Pers. Mereka meminta delik atau tindak pidana tentang pers dicabut dari RUU KUHP karena sudah diatur secara khusus dalam UU Pokok Pers nomor 40 Tahun 1999, sesuai asas lex specialis derogate lex generale (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan umum). Di negara demokrasi, penyelenggaraan pers tidak boleh dikontrol dan diintervensi oleh pemerintah. Dan umumnya penyelenggaraan pers didasarkan pada asas self regulating. Kalaupun harus diatur pihak eksternal umumnya diatur oleh suatu badan pengatur independen. Di tempat kita disebut dewan pers untuk pers cetak dan atau KPI untuk pers elektronik. Dalam organisasi pengawasan pers, secara sederhana ada dua pelaku control yang lazim berlaku di negara demokrasi, yaitu: (1) pelaku kontrol internal, terdiri dari hati nurani wartawan sendiri, editor, dan ombudsman media yang bersangkutan; (2) pelaku kontrol eksternal yang berisi kontrol dari masyarakat, media watch, organisasi wartawan/pers, dewan pers/kpi, dan jalur hukum (apabila terjadi pelanggaran dalam karya jurnalis diproses secara civil defamation, sedangkan pelanggaran berita non karya jurnalis secara criminal defamation) Dan apabila ternyata lembaga ombudsman, media watch, organisasi wartawan/pers, dewan pers, KPI, pada kenyataannya gagal dalam mengontrol pers, hal ini yang kemudian kelak dapat menjadi dalih bagi penganut konsep pers otoriter, agar pemerintah kembali turun tangan mengontrol pers. PERSOALAN DELIK PERS Di negara semacam USA, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Australia dan lain-lain, mereka mengembangkan politik hukum medianya antara lain bercirikan tidak menganut criminal defamation; tidak memenjarakan wartawan karena karya jurnalistik yang dihasilkannya; melainkan menganut civil defamation, karya jurnalis yang terkandung pencemaran nama baik, perusahaan pers dapat dihukum denda. 1 Tetapi bukan berarti watawan lantas tidak bisa dikriminalkan. Sepanjang hasil karyanya merupakan malpraktek jurnalisme atau penyalahgunaan profesi mediapers, wartawan tetap bisa dikriminalkan. Disampaikan pada Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP yang diselenggarakan ole Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP 1 Pendapat ini telah dituliskan oleh Amirudin (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip, wakil Ketua KPID Jateng) dalam makalah yang berjudul Kriminalisasi atas Kebebasan Pers dalam Perspektif pers. 2
Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain bercirikan 2 : 1. Tidak untuk kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan pemerasan; 2. Hasil fabrikasi; 3. Berintensi malice, misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang atau instansi tertentu. Hal-hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai modus operandi bagiwartawan untuk dapat dikriminalkan. Kriminalisasi karena malpraktek jurnalistik, dimasukkan dalam kerangka menjaga substansi kemerdekaan pers tetap terpelihara dan terhindar karena gangguan operasi kerja wartawan yang terselipkan unsur present of actual malice. LALU BAGAIMANA CARA MENYELESAIKAN PERMASALAHAN HUKUM AKIBAT PEMBERITAAN PERS? Berdasarkan UU no. 40/1999 tentang Pers, apabila terjadi pelanggaran pemberitaan bisa diselesaikan dengan cara: 1. Melalui mekanisme penyelesaian dewan pers; yakni berdasarkan UU no. 40/1999, pasal 15 ayat (2) huruf c dan d 3. Pasal 15 1. 2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. b. c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; e. Penjelasan pasal 15 Ayat (2) Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers dapat mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasuskasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, yang antara lain apabila terbukti dapat diterapkan sanksi-sanksi seperti melakukan ralat, melakukan hak jawab, 2 Banjar Nakon Brudar, Wartawan Freelance, Chalia Indonesia 1994, halaman 227 3 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Memebicarakan Peran Dewan Pers melaksanakkan fungsi-fungsinya. 3
permintaan maaf terbuka, kesepakatan ganti rugi, dan melakukan skorsing sampai tindakan pemecatan terhadap wartawan yang salah. Dalam konteks itu, tugas-tugas Dewan Pers hanyalah sebatas sampai menghasilkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Yang berwewenang melaksanakan sanksi adalah media yang bersangkutan itu sendiri. Bila media ternyata tidak bersedia melaksanakan sanksi sebagai tindak lanjut dari PPR yang diterbitkan Dewan Pers, maka Dewan Pers akan mempublikasikan secara terbuka kepada umum, dengan harapan yang melakukan penilaian akhirnya public. 2. Mekanisme penyelesaian kedua adalah melalui jalur hukum, yakni berdasarkan UU no. 40/1999, Pasal 18 ayat (2) dan (3) Pasal 18 1. 2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratur juta rupiah) 3. perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Penjelasan pasal 18 Ayat (2) Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 12. Kemudian apabila ternyata berita yang dihasilkan terbukti bersalah dan atau bukan merupakan hasil karya jurnalistik tetapi adalah hasil malpraktek maka berlaku Pasal 12 Penjelasan, UU no. 40/1999 yang dapat diproses dalam perkara pidana sesuai mekanisme KUHP. Penjelasan Pasal 12 Sepanjang menyangkut pertanggungjawabn pidana menganut ketentuan perundangundangan yang berlaku. BEBERAPA PRASARANA KEBEBASAN PERS 1. UU pers (Lex Specialis) 2. Dekriminalisasi Pers (Pasal 50 KUHP atau Pasal 31 RUU KUHP) Pasal 50 (KUHP) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang- Undang, tidak dipidana 3. RUU Keterbukaan Informasi 4. RUU Perlindungan Saksi 5. Asas Absence of Malice 4
6. Dewan Pers dan Ombudsman sebagai Lembaga Arbitrase dan Referensi (self regulation/swakelola) 7. Koridor Sosial Alamiah KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Perlu fatwa atau Peraturan MA yang menyatakan UU no,. 40/1999 adalah Lex Specialis. Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta Pasal 1365 dan pasal 1372 KUH Perdata Pasal 1365 Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1372 Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat-ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan. Jika UU Pers, bukan lex specialis, UU ini justru memperberat hukuman bagi pers, bukannya melindungi (lihat KUHP Pasal 63 ayat (1) Pasal 63 (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat 2. Setiap komplain harus ditanggapi secara serius 3. Perlu ditawarkan Hak Jawab, Hak Koreksi, Klarifikasi, Jasa Ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan pers. 4. Perlu dibuatnya suatu kesepakatan dengan Kapolri dan Jaksa Agung dalam hal tidak ada penahanan dalam kasus pemberitaan pers sebelum melalui Dewan Kehormatan Pers, kecualis menyangkut pertanggungjawaban pidana. DAFTAR PUSTAKA 5
1. Oetama, jakop. Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta, Penerbit buku Kompas, Oktober 2001. 2. Oetama, Jakop. Berpikir Luang tentang Keindonesiaan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001. 3. Banjarnakor, Bundar. Wartawan Freelance. Jakarta, Chalia Indonesia, 1999 4. Situmeang, Ampuan. Catatan Diskusi tentang Kebebasan Pers. Batam, Penerbit Setia Beriman, 2003. 6