EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

Pengertian Hukum Pidana Sumber Hukum Pidana Asas-asas berlakunya hukum pidana Hukum Pidana dan Kriminologi Peritiwa Pidana Jenis-Jenis Hukuman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBANTU KEJAHATAN TERHADAP NYAWA

BAB II LANDASAN TEORI

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS. dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

ABSTRAK. Kata kunci : Informed Consent, kesehatan, medis

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien. 1. Tanggung Jawab Etis

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MUTILASI

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat

Institute for Criminal Justice Reform

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

1. PERCOBAAN (POGING)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HAK ASASI

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan. Meskipun pengaturan tentang kejahatan di Indonesia sudah sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KONSEP HUKUM DALAM KEPERAWATAN

KODE MATA KULIAH : : Dr. Budiyanto, S.H.,M.H William H. Reba, S.H.,M.Hum Victor Th. Manengkey, S.H.,M.Hum Farida Kaplele, S.H.,M.

Istilah kode berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

RechtsVinding Online

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM, RUMAH SAKIT SWASTA, DAN MALAM HARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

I S D I Y A N T O NIM : C

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Transkripsi:

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed again. To date, whether or not euthanasia should be done is still a debate. Because, euthanasia is not only a moral issue but only for legal, religious, ethical, and human rights. Euthanasia is generally divided into two kinds, namely active euthanasia and passive euthanasia. Active euthanasia is prohibited whether it be setting the criminal law and codes of medical ethics (because there is an element of killing), whereas passive euthanasia is possible to do. Keywords: euthanasia, right to life, criminal law, and the code of medical ethics. A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia kadang-kadang dihadapkan pada kebutuhan hidup yang mendesak untuk mempertahankan statusnya. Kebutuhan semacam ini seringkali harus dapat dipenuhi dengan segara, sehingga tanpa pemikiran yang matang orang tersebut telah melakukan perbuatan yang dapat merugikan lingkungan maupun manusia lainnya. Akibat dari perbuatan tersebut suasana kehidupan menjadi tidak nyaman dan masyarakat menjadi terganggu, yang hal ini harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku yang menimbulkan gangguan tersebut. 1 Sejak dari permulaan manusia memang selalu dihadapkan berbagai tantangan dan rintangan sebagai masalah dalam hidupnya. Manusia harus berusaha untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Usaha untuk menanggulangi dan menyelesaikan masalah-masalah serta pengembangan potensi-potensi manusia tersebut melahirkan suatu peradaban. Tantangantantangan dan masalah-masalah yang dihadapi manusia itu tidak akan pernah berakhir, bahkan semakin meningkat. * Dosen dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung 1 Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm 1.

Oleh karena itu, peradaban senantiasa mengalami perkembangan mengikuti perkembangan tadi. 2 tantangan-tantangan Usaha untuk menjawab suatu tantangan dan menyelesaikan suatu permasalahan hidup yang dilakukan manusia itu, telah melahirkan suatu perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju (modern) akan lebih mudah untuk mengatasi tantangan dan masalah-masalah yang dihadapi, serta kebutuhan hidup pun relatif akan cepat terpenuhi. Dengan munculnya tantangan dan rintangan baru, manusia semakin terdorong dan kreatif untuk menciptakan (mengembangkan) ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin up to date dan canggih. Namun demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi juga tetap melahirkan tantangan baru yang membutuhkan suatu jawaban. Dapat dikatakan antara tantangan (baru) dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berpacu dalam hubungan sebab akibat yang tidak 2 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Presindo, Bandug, 2001, hlm 1. akan pernah berhenti. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan adalah implikasi-implikasi (dampak negatif) dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang tidak jarang sulit untuk mengantisipasinya. 3 Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat maju di bidang kedokteran ini, diagnosa terhadap suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern, rasa sakit seseorang yang menderita suatu penyakit dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu, yaitu dengan memasang sebuah respirator. Bahkan, perhitungan saat kematian seseorang yang menderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih akurat. 4 Selain untuk memperpanjang kehidupan pasien, perlengkapan medis pun dapat digunakan untuk mempercepat 3 ibid., hlm 2. 4 Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 10.

kematian pasien, yaitu dengan cara memberikan obat secara berlebihan atau racun yang sangat mematikan. Dengan adanya berbagai macam pengobatan alternatif di bidang medis ini, pasien pun dapat memilih pengobatan seperti apa yang baik untuk dirinya. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pasien tersebut meminta kepada dokternya untuk mempercepat kematian pasien itu sendiri. Adanya permintaan mati tersebut dikarenakan tidak adanya obat yang dapat mengantisipasi atau mengurangi suatu penyakit yang diderita oleh pasien. Hal ini dikenal dengan istilah euthanasia. Euthanasia bagi masyarakat awam termasuk suatu permasalahan yang masih asing. Kebanyakan masyarakat awam belum tahu apa itu euthanasia, apalagi untuk sampai mengetahui bagaimana hukumnya kalau euthanasia tersebut dilakukan. Permasalahan euthanasia masih sangat asing untuk didengar masyarakat yang bertempat tinggal di desa yang perlengkapan medisnya masih sangat terbatas. Dengan ketidaktahuan tentang permasalahan tersebut, bagaimana masyarakat di desa dapat mengetahui hukumnya jika euthanasia itu dilakukan. Sedangkan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota yang perlengkapan medisnya lebih memadai dari pada di desa, isu euthanasia malah menjadi bahan perdebatan. Permasalahan euthanasia ini memang sampai sekarang masih menjadi suatu perdebatan yang sulit diselesaikan dalam waktu singkat. Para etikawan pun tidak seragam dalam menyikapi soal euthanasia ini (pro dan kontra). Yang pro salah satu alasannya yang paling kerap dikemukakan adalah bahwa pasien memiliki hak untuk mati. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta mati agar penderitaannya segera diakhiri. Sebab beberapa hari yang tersisa dari hidup si pasien pasti penuh penderitaan. Euthanasia hanya sekedar mempercepat kematiannya, sehingga memungkinkan pasien mengalami kematian yang baik tanpa penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan mereka yang kontra mengemukakan salah satu alasan, bahwa euthanasia ini bisa disalahgunakan. Kalau ada pengecualian terhadap larangan membunuh, bisa-bisa cara ini digunakan juga terhadap orang-orang

cacat, lanjut usia, atau orang yang dianggap tidak berguna lagi. 5 Euthanasia ini merupakan situasi yang sering menjadi masalah bagi para dokter, perawat, maupun keluarga pasien. Euthanasia sering menjadi dilema yang cenderung mendorong seseorang mencari jalan pintas sepragmatis mungkin untuk membebaskan diri dari keadaan yang mencekam. Sementara tugas dokter adalah membantu mempertahankan kehidupan setiap insan yang memerlukan pertolongan. Meskipun alasan melakukan euthanasia tersebut demi belas kasihan, tetap akan terancam oleh pasal 344 KUHPidana dengan ancaman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 6 Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral dan hukum. 7 Selain permasalahan di atas, euthanasia juga mendapat tanggapan dari pakar-pakar keagamaan. Kematian seseorang jika dipandang dari sisi agama Islam adalah merupakan haqqullah (hak Allah), bukan hak manusia haqqul adam. Secara lahiriyah seseorang memang tampak jelas menguasai dirinya, tetapi sebenarnya manusia bukanlah pemilik penuh atas dirinya tersebut. Sebab manusia hanya tunduk pada aturan-aturan tertentu yang di percayainya sebagai aturan Allah. 8 Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis ingin mengkaji permasalahan euthanasia ini berdasarkan peraturan-peraturan yang ada untuk mengetahui suatu kebenaran dan kepastian hukum tentang euthanasia dari sudut pandang hukum pidana dan etika kedokteran. B. Rumusan Masalah Berdasarkan berbagai uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam hukum pidana? 2. Bagaimana tindakan seorang dokter dalam menangani permasalahan euthanasia jika dilihat dari etika keprofesiannya? 5 Euthanasia,http://www.sahabatsurgawi.net/bina% 20iman/euthanasia.html. 24 Maret 2007. 6 Petrus Yoyo Karyadi, Op.Cit. hlm 12. 7 Chrisdiono M. Achadiat, Euthanasia yang (semakin)kontraversial,http://www.tempo.co.id/me dika/arsip/012002/top-1.htm. 11 Maret 2007. 8 Masdar F. Mas udi, Euthanasia adalah Refleksi KegagalanJaminanKesehatan,http://islamlib.com/id/ index.php?page=article&id=772. 11 Maret 2007.

C. Pembahasan I. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana Pengaturan euthanasia terdapat dalam KUHPidana buku ke-dua Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa orang, Pasal 344 yang berbunyi: Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Euthanasia secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu: - Euthanasia aktif Yang dimaksud euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara langsung dari dokter atas persetujuan pasien atau pihak keluarga untuk mempercepat kematian pasien, agar terlepas dari penderitaan yang berkepanjang. - Euthanasia pasif Yang dimaksud euthanasia pasif yaitu suatu tindakan secara tidak langsung dari dokter atas persetujuan dari pasien atau pihak keluarga untuk menghentikan segala upaya medis yang dianggap tidak memberikan perubahan terhadap pasien. a) Euthanasia Aktif Dalam Pasal 344 KUHPidana kalau dicermati ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya yaitu: - perbuatan: menghilangkan nyawa - objek: nyawa orang lain - atas permintaan orang itu sendiri - yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh. 9 Unsur-unsur di atas harus dapat dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan itu merupakan tindakan euthanasia. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan guna untuk memastikan perbuatan itu memang merupakan tindakan euthanasia. 9 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 102.

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta. Adapun bagi orang yang diminta, terdapat kebebasan untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dan dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak. 10 Apabila seorang dokter menyetujui apa yang diminta oleh pasiennya (permintaan mati) secara langsung maka, dokter dapat dikenakan Pasal 344 KUHPidana. Tindakan tersebut tentunya sudah dapat dibuktikan sebelumnya dan perbuatan itu pun sudah terjadi serta tindakan dokter tersebut telah memenuhi syarat-syarat pemidanaan seperti: - Sudah ada pengaturannya terlebih dahulu - adanya perbuatan - perbuatan tersebut memang melanggar hukum - adanya kesalahan, dan - dapat dipertanggung jawabkan Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: - adanya wujud perbuatan - adanya suatu kematian - adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian. 11 Selain itu, dokter juga sudah melanggar ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia, sesuai dengan Pasal 10, yang berbunyi: Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. 10 Ibid., hlm103. 11 Ibid., hlm 57.

Jadi, jelas berdasarkan uraian di atas euthanasia aktif dilarang di Indonesia. Maka, terhadap pelaku (dokter) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut sesuai dengan Pasal 344 KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Permasalahaneuthan asia di atas merupakan semata-mata permintaan dari pasien kepada dokter. Jadi, bagaimana jika pasien tersebut dalam keadaan tidak sadarkan diri (koma), apakah pihak keluarga dapat mewakili pasien tersebut dalam mengambil keputusan? Berdasarkan aksioma bahwa naluri terkuat dari setiap mahluk hidup selalu ingin mempertahankan hidupnya, maka walaupun pasien dalam keadaan koma, tetap diasumsikan bahwa pasien tersebut tidak menginginkan hidupnya diakhiri. 12 Jika pihak keluarga tetap mendesak dokter untuk melakukan euthanasia maka pihak keluarga dapat dituntut berdasarkan uitlokking Pasal 55 KUHPidana. 13 Uitlokking merupakan bahasa Belanda yang sama artinya dengan flaterry dalam bahasa Inggris yang berarti bujukan. 14 Adapun bunyi dari Pasal 55 KUHPidana, yaitu: Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum: - Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu. - Orang yang memberikan upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiat atau keterangan, dengan 12 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Pressindo, Jakarta, 2001, hlm 59. 13 Ibid hlm 60. 14 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Jakarta, 1977.

sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan. Mengenai perbuatanperbuatan itu hanyalah menyangkut perbuatanperbuatan yang disengaja telah digerakkannya untuk dilakukan oleh orang lain, beserta akibat-akibatnya. Untuk adanya uitlokking, harus memenuhi dua syarat: 15 - Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbaar poging atau suatu percobaan yang dapat dihukum. - Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut tergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan dalam Pasal 55 KUHPidana. Jika diasumsikan bahwa keluarga pasien mendesak dokter untuk melakukan euthanasia tersebut telah disertai dengan keterangan-keterangan. Misalnya keterangan keadaan pasien yang tidak dapat sembuh kembali, alasan ekonomis, atau merasa kasihan melihat penderitaan pasien yang berkepanjangan. Maka dengan segala pemberian keterangan tersebut, keluarga pasien dapat dianggap telah melakukan uitlokking kepada dokter untuk menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Di samping itu, dokter sendiri dalam keadaan toerekeningsvatbaar. Jadi, berdasarkan uraian di atas bahwa terhadap keluarga pasien yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan Pasal 55 KUHPidana. Kedua syarat untuk adanya 15 Petrus Yoyo Karyadi, Op. Cit., hlm 61.

16 Ibid. 17 Ibid. hlm 62. uitlokking tersebut di atas telah terpenuhi juga. 16 Sedangkan dokter (pelaku) sendiri dapat dituntut berdasarkan Pasal 338 KUHPidana, karena telah menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Dalam hal ini berarti tidak ada unsur perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, karena dokter sendiri dalam melakukan tindakan euthanasia itu atas dasar desakan dari keluarga pasien. Jadi, keluarga pasien dapat dipenjara selama-lamanya lima belas tahun, sama seperti pelakunya sendiri (dokter). 17 Apabila dalam melakukan euthanasia justru seorang dokter yang mempunyai inisiatif atau memberi dorongan kepada pasien atau keluarganya, maka dokter tersebut dapat dikenakan Pasal 345 KUHPidana yang berbunyi: Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang tersebut jadi bunuh diri. Seorang dokter dalam melakukan tindakan pembunuhan terhadap pasien, jika tanpa adanya unsur permintaan dari pasien atau keluarganya, maka pembunuhan tersebut adalah pembunuhan biasa. Dokter atau pelaku dapat dikenakan Pasal 338 KUHPidana yang berbunyi: Barangsiapa merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dan jika pembunuhan tersebut juga diawali adanya perencanaan terlebih dahulu oleh pelaku maka ia pun dapat dikenakan

Pasal 340 KUHPidana yang berbunyi: Barangsiapa sengaja dan dengan berencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Menurut Petrus Yoyo Karyadi dalam hal pembunuhan ini, Pasal 388 KUHPidana di atas merupakan landasan hukum yang jelas untuk euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien dan Pasal 338 yang dibarengi dengan Pasal 340 merupakan euthanasia aktif tanpa permintaan dari pasien. Dari beberapa urain di atas jelas bahwa euthanasia aktif dilarang di Indonesia, karena itu merupakan perbuatan yang menghilangkan nyawa manusia meskipun mati itu merupakan permintaan dari pasien sendiri. b) Euthanasia Pasif Euthanasia pasif merupakan pemberhentian seluruh upaya medis yang ada karena upaya-upaya tersebut dianggap tidak dapat membantu meringankan penderitaan pasien. Untuk mendapatkan kepastian hukum serta mempermudah dalam mengkaji euthanasia pasif ini, maka euthanasia pasif ini dibedakan terlebih dahulu ke dalam tiga kelompok: 1. Euthanasia pasif atas permintaan pasien Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52 yang berbunyi: Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek

kedokteran, mempunyai hak: - Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3. - Meminta pendapat dokter atau dokter gigi. - Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. - Menolak tindakan medis, dan - Mendapatkan isi rekam medis. Apabila pasien telah meminta dokter untuk melakukan euthanasia pasif atas dirinya, maka berarti ia telah menjalankan haknya, yaitu hak untuk menghentikan pengobatan. Dengan demikian, pasien yang bersangkutan sudah tidak 18 Ibid., hlm 67. peduli dengan resiko kematiannya. Dalam hal ini, dokter tidak lagi kompeten untuk melakukan pengobatan terhadap pasiennya. Walaupun pasien yang bersangkutan segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter tetap bebas dari tuntutan hukum, karena tidak terdapat strafbaarfeit pada dirinya. 18 2. Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien Euthanasia pasif tanpa permintaan, berarti dokter sendirilah yang berinisiatif untuk berbuat euthanasia pasif, tanpa melakukan pengobatan. Biasanya dokter dalam melakukan euthanasia pasif terdorong karena anggapan dokter bahwa tindakan medik yang

akan dilakukan terhadap pasiennya sudah tidak ada gunanya lagi. Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang akan dilakukan itu sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter bebas dari tuntutan hukum. Sebaliknya apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang akan dilakukannya sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat dijerat dengan Pasal 304 jo 306 (2) KUHP. 19 Pasal 304 menyatakan: Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan terhadap orang itu, diancam dengan pidana penjara Pasal 306 (2) menyatakan: Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan orang itu meninggal, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya Sembilan tahun. Selain Pasal di atas, Pasal 531 KUHP juga dapat menjerat perbutan dokter tersebut. Pasal 531 menyatakan: Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia 19 Ibid., hlm 67-68.

3. Euthanasia pasif tanpa sikap pasien Seperti yang sudah dikatakan di atas, bahwa euthanasia pasif yang dilakukan dokter, biasanya berdasarkan pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya. Adapun tanpa sikap pasien adalah apabila keadaan pasien sudah dalam tak sadarkan diri (koma). Hal itu berarti tanpa diketahui apa kehendak pasien yang sebenarnya. Tanpa sikap ini dapat juga berarti bahwa pasien masih dalam keadaan sadar. Akan tetapi, ia sendiri tidak dapat menentukan sikapnya. 20 Pada prinsipnya pengertian tanpa permintaan dengan tanpa sikap pasien hampir sama. Dengan demikian, akibat hukum yang ditimbulkan antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil pula. II. Euthanasia dilihat dalam Kode Etik Kedokteran yaitu: a. Euthanasia aktif merupakan suatu tindakan yang dilarang sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 10 yang berbunyi: Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. b. Euthanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat berbagai ketentuan yang ada. Sebagai contoh seperti: penyakit tersebut memang tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya lagi jika pengobatan itu diteruskan). D. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penulis yaitu perlunya merumuskan kembali Pasal 344 KUHPidana, karena Pasal 344 KUHPidana masih terdapat kekurangan 20 Ibid., hlm 70.

yang perlu diatur lebih lanjut. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Dalam Pasal 344 KUHPidana hanya berlaku untuk euthanasia aktif saja. 2. Tidak ada penjelasan siapa saja subyek hukum yang terdapat dalam Pasal 344 KUHPidana. Apabila Pasal 344 KUHPidana tetap dipakai maka dapat dimungkinkan akan menimbulkan kesulitan dalam menerapkannya dan mengadakan tuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan lagi untuk kepentingan bagi semua pihak agar terjamin kepastian hukum. Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Presindo, Bandug, 2001. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Jakarta. Daftar Pustaka Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006. Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.