ANALISIS VARIABILITAS CURAH HU]AN Dl SUMATERA BARAT DAN SELATAN DIKAITKAN DENGAN KEJADIAN DIPOLE MODE

dokumen-dokumen yang mirip
PENGGUNAAN FAST FOURIER TRANSFORM DALAM ANALISIS KENORMALAN CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT DAN SELATAN KHUSUSNYA SAAT KEJADIAN DIPOLE MODE

DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

KARAKTERISASI POLA CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN NCEP/NCAR REANALYSIS

Kondisi Iklim Indonesia Saat Ini dan Prediksinya Dalam Beberapa Bulan Mendatang Berbasis Hasil Analisis Data Iklim Global

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?

PENGEMBANGAN EKSPERT SISTEM BERBASIS INDEKS ENSO, DMI, MONSUN DAN MJO UNTUK PENENTUAN AWAL MUSIM

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) TERHADAP INTENSITAS HUJAN DI BENUA MARITIM INDONESIA (BMI) BARAT

Musim Hujan. Musim Kemarau

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER DI BAGIAN UTARA EKUATOR SUMATERA PADA SAAT PERISTIWA EL-NINO DAN DIPOLE MODE POSITIF TERJADI BERSAMAAN

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

STATUS TERKINI PREDIKSI CURAH HUJAN MK 2016 DAN MH 2016/2017 (STUDI KASUS: D.I. YOGYAKARTA)

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

ESTIMASI DATANGNYA KEMARAU PANJANG 2012/2013 BERBASIS HASIL ANALISIS KOMBINASI DATA ESPI DAN DMI

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

ANALISIS VARIABILITAS CURAH HUJAN MANADO DAN FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHINYA

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

MENGHITUNG DIPOLE MODE INDEX (DMI) DAN KORELASINYA DENGAN KONDISI CURAH HUJAN

PENGARUH AKTIVITAS ENSO DAN DIPOLE MODE TERHADAP POLA HUJAN DI WILAYAH MALUKU DAN PAPUA SELAMA PERIODE SERATUS TAHUN ( )

ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun )

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN

STUDI DAMPAK EL NINO DAN INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP CURAH HUJAN DI PANGKALPINANG

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

PERAN REVERSAL WIND DALAM MENENTUKAN PERILAKU CURAH HUJAN DI KAWASAN BARAT INDONESIA

ANALISIS VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA DI DAERAH KOTOTABANG PERIODE

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Sekitar Teluk (Studi Daerah Nabire Provinsi Papua dan Fakfak Papua Barat)

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

ANALISIS CURAH HUJAN PANTAI BARAT SUMATERA BAGIAN UTARA PERIODE

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PREDIKSI TOTAL HUJAN BULANAN DI TANJUNGPANDAN MENGGUNAKAN PERSAMAAN REGRESI DENGAN PREDIKTOR SST NINO 3.4 DAN INDIA OCEAN DIPOLE (IOD)

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

PENGARUH EL NIÑO, LA NIÑA DAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP CURAH HUJAN PENTAD DI WILAYAH INDONESIA

PENGARUH EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI INDONESIA. Zulfahmi Sitompul

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

Phenomena Atmosfer Yang Mempengaruhi Hujan di Wilayah Equator (Padang dan Pontianak)

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

DAMPAK EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION DAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN MUSIMAN DI INDONESIA

PERANCANGAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN BERDASARKAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI KALIMANTAN SELATAN

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

PREDIKSI LA NINA OLEH 3 INSTITUSI INTERNASIONAL DAN BMKG (UPDATE 03 JANUARI 2011)

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

ANALISIS TIPE HUJAN, PERUBAHAN INTER- DECADAL, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PADI DI WILAYAH PAPUA

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

Gambar 4 Diagram alir penelitian

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. ABSTRACT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS VARIABILITAS CURAH HU]AN Dl SUMATERA BARAT DAN SELATAN DIKAITKAN DENGAN KEJADIAN DIPOLE MODE Eddy Hermawan' 1, Sopia Lestari" 1 "' Penellti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Ikiim, LAPAN "' Program Studi Geofisika dan Metcorologi ITB-Bandung E-mail: eddy@bdg.lapan.go.id ABSTRACT The rainfall variability over the Western and Southern part of Sumatera Island related to the Dipole Mode (DM) event for period of twenty years (1980-1999) based on the monthly mean of rainfall, Dipole Mode Index (DMI), Sea Surface Temperature (SST), and Outgoing Longwave Radiation (OLR) data analysis have already investigated. By applying the spectral analysis technique Fast Fourier Transform (FFT), the most predominant peak oscillation of rainfall and DMI data has been identified. They are Semi Annual Oscillation (SAO) for Bukit Tinggi, Maninjau, and Sicincin station, and Annual Oscillation (AO) for Padang-panjang, Padang, Batu Sangkar, Solok, Tabing, Bengkulu, Kotabumi, Jambi, and Palembang station, respectively. While, the other predominant peak oscillation in period of 1.5 to 3 years are also found, especially on the DMI data analysis. It indicates that the rainfall variability over these areas could be related to the DM event, especially during DM (+) when the high pressure covers most of Indonesia region. When DM (+) occured, especially on JJA (June-July-August) and SON (September-October- November), the rainfall intensity over those area become less until below normal condition. Conversely, when DM (-) occured, the amount of rainfall intensity is more than normal condition. Compared to DM (-), DM (+) looks more giving a significant influence to the rainfall in both areas. ABSTRAK Variabilitas curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan dihubungkan dengan kejadian Dipole Mode (DM) selama dua puluh tahun (1980-1999) berbasis hasil analisis data curah hujan rata-rata bulanan, Indeks Dipole Mode (IDM), Suhu Permukaan laut (SPL), dan keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) telah dikaji. Dengan menggunakan teknik analisis spektral Fast Fourier Transform (FFT), puncak osilasi dominan utama dari data curah hujan dan IDM telah diidentifikasi. Mereka adalah Osilasi Setengah-Tahunan (Semi Annual Oscillation, SAO) untuk stasiun-stasiun Bukit Tinggi, Maninjau, 91

dan Sicincin, dan Osilasi Tahunan [Annual Oscillation, AO) seperti daerah Padang Panjang, Padang, Batu Sangkar, Solok, Tabing, Bengkulu, Kotabumi, Jambi, dan Palembang. Sementara, puncak osilasi lain dengan periode osilasi antara 1-5 hingga 3 tahun juga ditemukan, khususnya pada analisis data IDM. Hal ini mengindikasikan bahwa variabilitas curah hujan di kawasan ini dapat dihubungkan dengan kejadian DM, khususnya Dipole Mode (+) saat pusat tekanan tinggi menutupi sebagian besar wilayah Indonesia. Pada saat DM (+), khususnya pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September- Oktober-November), curah hujan di atas kawasan Sumatera Barat dan Selatan berkurang hingga di bawah normal. Sebaliknya, pada saat DM (-), kawasan Sumatera Barat dan Selatan memiliki curah hujan di atas normal. Dibandingkan dengan DM (-), DM (+) nampaknya memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap curah hujan di kedua wilayah tersebut. Kata kunci: Curah hujan, Kejadian DM, FFT 1 PENDAHULUAN Sebagai salah satu kawasan tropis yang unik dinamika atmosfernya yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran angin pasat, angin monsunal, iklim maritim dan pengaruh berbagai kondisi lokal, maka cuaca dan iklim di Indonesia diduga memiliki karakteristik khusus yang hingga kini mekanisme proses pembentukannya belum diketahui banyak orang. Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu dan cuaca menyatakan status atmosfer pada sembarang waktu tertentu. Dua unsur utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya cukup besar. Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling sering diamati dibandingkan dengan suhu. Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia- Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat [Walker Circulation) dan sirkulasi Utara-Selatan [Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal (McBride, 2002). Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian chaotic dari variabilitas monsun (Ferranti, 1997, dalam Aldrian, 2003). Monsun dan pergerakan ITCZ [Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semitahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia. Indonesia dike-rial sebagai satu kawasan benua maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua Samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu 92

elemen (unsur) iklimnya terutama curah hujan memungkinkan dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut (SPL) di sekitarnya. Salah satu fenomena yang dicirikan oleh adanya suatii perubahan SPL yang kemudian mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah fenomena yang terjadi di Samudera Hindia yang dikenal dengan istilah Dipole Mode (DM) yang tidak lain merupakan fenomena couple antara atmosfer dan laut yang ditandai dengan perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian timur (perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia tropis bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur Benua Afrika). Pada saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et. al 2001). Hasil kajian yang dilakukan Saji dan Yamagata (2001) menunjukkan adanya hubungan antara fenomena DM dengan curah hujan yang terjadi di atas Sumatera bagian Selatan sebesar -0,81. Selain itu, Banu (2003) juga telah mengkaji adanya pengaruh DM terhadap curah hujan di BMI (Benua Maritim Indonesia) dan Gusmira (2005) yang mengkaji dampak DM terhadap angin zonal dan curah hujan di Sumatera Barat. Seperti halnya di Sumatera Barat, pada makalah ini juga dianalisis keterkaitan kejadian DM terhadap perilaku curah hujan yang tersebar di beberapa stasiun penakar curah hujan yang ada di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Dengan menggunakan lebih banyak data stasiun untuk kedua kawasan tersebut, diharapkan dapat dianalisis keadaan curah hujan di kawasan tersebut yang mewakili curah hujan sebenarnya terutama yang terjadi pada saat kejadian DM. 2 DATA DAN METODE 2.1 Data Data Indeks Dipole Mode (IDM) yang ditentukan dari perbedaan anomali SPL di Lautan Hindia bagian barat (50 BT-70 BT, 10 LS-10 LU, kotak A pada Gambar 2-1) dan anomali SPL di Lautan Hindia bagian timur (90 BT- 110 o BT,10 LS-equator, kotak B pada gambar yang sama). Data tersebut merupakan data bulanan selama bulan Januari 1980 hingga Desember 1999 yang diperoleh dari: http://w3.jamstec.go.jp/frsgc/research/dl/saji/dmi.html. 93

Gambar 2-1: Lokasi Fenomena Dipole Mode (DM) yang dideflnisikan berdasarkan Saji dan Yamagata (2001) di Samudera Hindia Gambar 2-2: Lokasi posisi stasiun pengamatan curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan 94

Gambar 2-3:Bagan alir metodologi atau tahapan pengerjaan Data global dalam bentuk grid sebagai berikut: - Data SPL bulanan periode Januari 1980-Desember 1999. - Data keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) bulanan periode Januari 1980-Desember 1999. - Data presipitasi bulanan periode Januari 1980 hingga Desember 1999. Sumber data diperoleh dari data NCEP/NCAR Reanalysis pada NOAA dengan alamat web-sidenya http://www.cdc.noaa.gov. Data curah hujan bulanan observasi bulanan yang meliputi 12 stasiun pengamatan yang terdiri dari 8 stasiun pengamatan di Sumatera bagian barat dan 4 stasiun pengamatan di Sumatera bagian selatan. Data curah hujan 95

observasi {Januari 1980-Desember 1999) diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta dengan sebaran lokasi pengamatan sebagai berikut (Gambar 2-2). 2.2 Metode Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan : Analisis spektral terhadap curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform (FFT). Analisis spektral merupakan suatu metode untuk melakukan transformasi dari domain waktu ke domain frekuensi, sehingga kita dapat melihat po!a periodiknya, untuk kemudian dapat ditentukan jenis dari pola cuaca atau iklim yang terlibat. Perhitungan persentase curah hujan pada tahun-tahun DM terhadap curah hujan normal selama 20 tahun pengamatan (1980-1999). Analisis koefisien korelasi untuk mengetahui hubungan antara curah hujan dengan parameter IDM yaitu SPL. Analisis komposit anomali SPL dan keluaran RGP di perairan Sumatera bagian barat dan selatan serta Samudera Hindia pada saat DM (+) dan DM (-). Lengkapnya adalah sebagai berikut (Gambar 2-3) 3 HAS1L DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Spektral Curah Hujan di Sumatera Barat Analisis spektral curah hujan untuk stasiun Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 3-1 dan 3-2. Setelah dilakukan analisis lebih dalam dengan menggunakan semilog terlihat bahwa dari seluruh gambar yang ada, diperoleh puncak energi spektral yang menunjukkan adanya keberadaan dua pola osilasi dominan secara periodik yaitu Osilasi Tahunan (Annual Oscillation, AO) yang puncak energinya berada pada posisi sekitar 12 bulanan dan Osilasi Setengah-Tahunan [Semi-Annual Oscillation, SAO) yang puncak energinya berada pada posisi sekitar 6 bulanan. Energj spektral di daerah Batu Sangkar (Gambar 3-la) memperlihatkan bahwa terdapat peak (puncak) yang cukup tajam pada periode 12 bulanan yang menunjukkan keberadaan monsun di daerah tersebut, sedangkan untuk periode lain tidak memperlihatkan adanya suatu puncak. Sama hal nya dengan stasiun Batu Sangkar, di stasiun Bukit Tinggi pun (Gambar 3-lb) menunjukkan adanya puncak energi spektral pada periode 12 bulanan, namun demikian yang menunjukkan puncak yang paling dominan adalah pada saat periode 6 bulanan yang menandakan keberadaan dua puncak pada siklus tahunannya (12 bulanan). Selain itu, di daerah ini juga terdapat puncak lain walaupun tidak terlalu dominan yaitu pada saat periode 18-36 bulanan, 50 bulanan, bahkan sampai 100 bulanan. 96

Gambar 3-1: Energi spektral curah hujan di Stasiun Batu Sangkar (a), Bukit Tinggi (b), Maninjau (c), dan Padang (d) Untuk stasiun Maninjau (Gambar 3-lc) ternyata memiliki puncak energi spektral terkuatnya pada saat periode 100 bulanan. Namun demikian juga ditemukan dua puncak energi spektral yang memiliki kekuatan yang hampir sama yaitu pada saat periode 6 bulanan dan periode 50-100 bulanan. Sementara stasiun Padang (Gambar 3-Id) memiliki dua puncak energi spektral yang kuat dan beberapa puncak energi spektral yang lemah. Siklus 12 bulanan mendominasi daerah ini hal ini terlihat dari puncaknya pada saat periode 12 bulanan, sedangkan siklus 6 bulanan merupakan siklus kedua yang mendominasi daerah ini. Puncak-puncak lain juga ditemukan pada saat periode 18-36 bulanan serta 50-100 bulanan. Seperti hal-nya Padang, Padang-panjang ternyata memiliki dua puncak energi spektral yang kuat dan beberapa puncak energi spektral yang lemah (Gambar 3-2e) dengan puncak energi spektral terkuat terjadi pada saat periode 12 bulanan, kemudian diikuti oleh periode 6 bulanan. Selain itu juga ditemukan beberapa puncak lain pada saat periode 36 bulanan, 50-100 bulanan, dan 100 bulanan. Sementara stasiun Sicincin (Gambar 3-2f) puncak energi spektral yang mendominasinya terjadi pada saat periode 6 bulanan kemudian yang kedua adalah pada saat periode 12 bulanan. Beberapa puncak juga ditemukan pada saat periode 100 bulanan. 97

Gambar 3-2: Serupa dengan Gambar 3.1, tetapi untuk Stasiun Padang Panjang (e), Sicincin (f), Solok (g), dan Tabing (h) Stasiun Solok (Gambar 3-2g) hanya hanya ditemukan satu puncak energi spektral pada saat periode 12 bulanan. Puncak lain yaitu pada saat periode 50-100 bulanan juga ditemukan walaupun sangat lemah. Sementara stasiun Tabing (Gambar 3-2h) memiliki dua puncak energi spektral yang terkuat yaitu yang pertama adalah pada saat periode 12 bulanan dan yang kedua pada saat 6 bulanan. Beberapa puncak lain juga ditemukan pada saat periode 18-36 bulanan, 50-100 bulanan, serta 100 bulanan. Dari keseluruhan penjelasan masing-masing daerah di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah Sumatera Barat pada umumnya didominasi oleh Osilasi Tahunan (Tabel 3-1). Hal ini berarti bahwa curah hujan di wilayah ini didominasi oleh siklus tahunan (12 bulanan) yang dipengaruhi secara kuat oleh dua monsun, yang pertama adalah Monsun Barat Laut dari bulan November sampai Maret dan yang kedua adalah Monsun Tenggara dari bulan Mei sampai September. Selain Osilasi Tahunan, juga ditemukan Osilasi Setengah-Tahunan pada tiga kawasan ini seperti; Bukit Tinggi, Maninjau, dan Sicincin. Hal ini berarti bahwa ketiga daerah ini didominasi oleh siklus setengah-tahunan 98

(6 bulanan). Siklus setengah-tahunan ini berhubungan dengan pergerakan ITCZ ke arah utara dan selatan pada saat bulan Oktober-November dan Maret-April-Mei (Davidson et at, 1984; Davidson, 1984). Selain kedua osilasi tersebut di atas, ditemukan juga osilasi lain walaupun bukanlah yang dominan seperti osilasi 18-36 bulanan, 50-100 bulanan, serta 100 bulanan. Osilasi 18-36 bulanan diduga memiliki keterkaitan dengan kejadian Dipole Mode, sedangkan penyebab adanya osilasi-osilasi lain kadang kala sulit ditentukan. Kompleksnya komposisi periode tersebut menunjukkan banyaknya fenomena yang saling berinteraksi didalamnya. Perincian mekanisme-mekanisme interaksi ini secara teoritis sangatlah sulit dan komplek, karena proses interaksi ilmiah pada umumnya tidak terjadi secara linier. Tabel 3-1: MODE OSILASI CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT NO- 1 2 3 4 5 6 7 8 Stasiun Bukit Tinggi Maninjau Sicincin Padang Panjang Padang Batu Sangkar Solok Tabing Catatan : - artinya tidak bisa didefinisikan Mode osilasi Dominan 1 SAO SAO SAO AO AO AO AO AO curah hujan Dominan 2 AO AO AO SAO SAO SAO - SAO 3.2 Analisis Spektral Curah Hujan di Wilayah Sumatera Selatan Untuk stasiun Bengkulu (Gambar 3-3a) memiliki satu puncak energi spektral terkuat yaitu pada saat periode 12 bulanan (Gambar 3-3i). Walaupun demikian puncak lain juga ditemukan pada saat periode 18-36 bulanan. Sementara stasiun Jambi (Gambar 3-3b) memiliki dua puncak energi spektral yang kuat dan beberapa puncak energi spektral yang lemah. Puncak energi spektral terkuat terjadi pada saat periode 12 bulanan, 1 kemudian diikuti oleh periode 6 bulanan. Selain itu juga ditemukan beberapa puncak lain pada saat periode 18-36 bulanan. Untuk stasiun Kotabumi (Gambar 3-3c) memiliki satu puncak energi spektral yang kuat pada periode 12 bulanan. Hal ini menandakan bahwa pengaruh monsun sangat kuat dibandingkan dengan pengaruh yang lainnya. Sementara stasiun Palembang (Gambar 3-3d) memiliki satu puncak energi spektral yang kuat pada saat periode 12 bulanan dan satu puncak lagi pada saat periode 6 bulanan. Beberapa puncak juga ditemukan pada saat periode 18-36 bulanan walaupun sangat lemah dibandingkan dengan daerah Jambi dan Bengkulu ( 99

Gambar 3-3: Energi spektral curah hujan di Stasiun Bengkulu (i), Jambi (j), Kotabumi (k), dan Palembang (1) Dari rangkaian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah Sumatera Selatan didominasi oleh Osilasi Tahunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3-2 berikut : Tabel 3-2: MODE OSILASI CURAH HUJAN DI SUMATERA SELATAN Catatan : - artinya tidak bisa didefinisikan dengan jelas Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa wilayah Sumatera Barat dan Selatan umumnya didominasi Osilasi Tahunan (AO). Kedua kawasan ini menurut kajian Aldrian (2003) merupakan kawasan yang termasuk tipe iklim A dan memiliki siklus tahunan yang menandakan bahwa wilayah ini dipengaruhi oleh tipe iklim monsun. 100

3.3 Analisis Spektral Indeks Dipole Mode (IDM) dan Hubungannya dengan Analisis Spektral Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Gambar 3-4 menunjukkan bahwa Indeks Dipole Mode (IDM) memiliki puncak energi spektral pada saat periode 15, 18, dan 36 bulanan. Sementara analisis spektral curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan juga menunjukkan bahwa terdapat puncak energi spektral pada periode 18-36 bulanan walaupun sangat lemah. Adanya persamaan osilasi 18-36 bulanan pada IDM dan curah di kedua wilayah tersebut merupakan indikasi awal bahwa kejadian Dipole Mode dapat mempengaruhi curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan. x 10 ; Energi SpeMral Indeks DM Th.80-99 f ' 5 6 1«2 «^ 36 50 100 500 1000 Periods (bulan) Gambar 3-4: Energi spektral indeks dipole mode 3.3.1 Pengaruh Dipole Mode terhadap Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Analisis curah hujan 8 (delapan) stasiun di Sumatera Barat dan 4 (empat) stasiun di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada umumnya saat DM (+) daerah di kedua wilayah tersebut memiliki curah hujan di bawah normal pada periode JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September-Oktober- November). Daerah-daerah di Sumatera Barat tersebut misalnya Bukit Tinggi, Maninjau, Padang, Padang Panjang, Solok, Sicincin, dan Tabing, sedangkan Batu Sangkar memiliki curah hujan normal pada saat JJA. Sedangkan pada saat DM (-), daerah di Sumatera Barat yang mengalami peningkatan curah hujan dari normalnya pada periode JJA dan SON yaitu Padang, Maninjau, Padang Panjang, Batu Sangkar dan Solok. Sementara itu di Sumatera Selatan "yang mengalami peningkatan curah hujan dari normalnya yaitu Kotabumi pada periode JJA. 101

3.3.2 Pengaruh Dipole Mode (+) terhadap Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Analisis curah hujan secara spasial dilakukan untuk mengetahui batas-batas wilayah yang mengalami penurunan (peningkatan) curah hujan saat Dipole Mode Positif (Dipole Mode Negatif). Hasil analisis dibuat dalam skala musiman terbatas hanya untuk periode JJA dan SON dikarenakan bahwa pada hasil sebelumnya menunjukkan bahwa pada periode tersebut curah hujan di kedua kawasan ini mengalami kenaikan persentase (penurunan persentasi) curah hujan dari normalnya yaitu pada saat Dipole Mode Negatif [Dipole Mode Positif). Hasil analisis dilakukan secara spasial dan temporal dalam skala musiman sebagai berikut: -0.7-0.6-0.5-0.4-0.3 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Gambar 3-5: Korelasi antara Indeks Dipole Mode (IDM) dan Presipitasi (1980-1999) di Sumatera Barat dan Selatan pada tahun Dipole Mode (+). Interval kontur 0,1 dengan koefisien korelasi signifikan \r\ ^0.3 Dari Gambar 3-5 terlihat bahwa pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) kawasan Indonesia, khususnya untuk Sumatera Barat dan Selatan memiliki curah hujan di bawah normal. Daerah-daerah yang memiliki respon kuat terhadap kondisi DM (+) ini ditunjukkan melalui korelasi antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan presipitasi (Gambar 3-5) Daerah-daerah yang memiliki respon kuat di Sumatera Barat dan Selatan adalah Bukit Tinggi, Maninjau, Tabing, Solok, Batu Sangkar, Padang Panjang, Padang, Sicincin, 102

dan Jambi. Hal ini ditunjukkan dengan korelasi yang cukup signifikan yaitu r <-0.5. Nilai korelasi negatif mengindikasikan bahwa adanya anomali positif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan menurunnya curah hujan di Samudera Hindia tropis bagian timur. Bersamaan dengan adanya anomali SPL pada periode ini, hasil gambar dari komposit anomali keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) juga menunjukkan bahwa pada periode ini terjadi anomali positif di Sumatera Barat dan Selatan, sedangkan di Samudera Hindia tropis bagian timur terdapat anomali negatif. Anomali positif keluaran RGP mengindikasikan adanya emisi dari troposfer bawah dan mengindikasikan ketidakhadiran awan konvektif kuat (Webster et. al., 1999). Sementara pada bulan September-Oktober-November (SON) masih terlihat adanya penurunan curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan seperti halnya pada bulan JJA. Hampir seluruh daerah di Sumatera Barat dan Selatan memiliki respon yang cukup kuat dengan kondisi DM(+). Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang cukup signifikan ( 0.6 < r < 0.3 ) (Gambar 3-5). Pada periode ini pula terlihat bahwa kondisi DM (+) semakin meluas ke arah Sumatera bagian selatan. Hasil gambar dari komposit anomali keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) menunjukkan bahwa pada periode ini terjadi anomali positif di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat sedangkan di Samudera Hindia tropis bagian timur terdapat anomali negatif. Anomali positif keluaran RGP tersebut semakin meluas dan membesar daripada periode JJA yang mengindikasikan bahwa ketidakhadiran awan konvektif semakin kuat. 3.3.3 Pengaruh Dipole Mode (-) terhadap Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Dari Gambar 3-6 terlihat bahwa pada bulan Juni-Juli-Agustu (JJA) kawasan Indonesia, khususnya untuk Sumatera Barat dan Selatan memiliki curah hujan di atas normal. Sementara hasil korelasi hubungan antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan presipitasi diperlihatkan pada Gambar 3-6. Daerah-daerah yang memiliki respon kuat terdapat di Sumatera Barat bagian selatan dan di Sumatera Selatan ( 0.5 < r < 0.3). Nilai korelasi negatif mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan meningkatnya curah hujan di Samudera Hindia tropis bagian timur. Bersamaan dengan adanya anomali SPL pada periode ini, hasil gambar dari komposit anomali keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) juga menunjukkan bahwa pada periode ini terjadi anomali negatif di Sumatera Barat dan Selatan. Anomali negatif keluaran RGP mengindikasikan emisi dari troposfer atas yaitu dari awan konvektif kuat yang biasanya menandakan hujan di kedua kawasan tersebut. 103

Gambar3-6 : Korelasi antara Indeks Dipole Mode (IDM) dan Presipitasi (1980-1999) di Sumatera Barat dan Selatan pada tahun Dipole Mode (-). Interval kontur 0.1 dengan koefisien korelasi signifikan i > 0.3 Sementara pada bulan September-Oktober-November (SON) merupakan masa peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Pada periode ini masih terlihat adanya peningkatan curah hujan dari normalnya khususnya di Sumatera Selatan seperti halnya pada periode JJA. Hasil korelasi menunjukkan bahwa daerah-daerah di Sumatera Barat tidak menunjukkan respon kuat terhadap kejadian DM (-), hal ini diperlihatkan dari tidak adanya korelasi antara IDM dan presipitasi (-0.3 < r < 0.3). Sedangkan daerah-daerah di Sumatera Selatan memiliki respon yang cukup kuat dengan kondisi DM (-). Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang cukup signifikan dan bervariasi. Nilai koefisien korelasi r < - 0.3 diperoleh untuk daerah yang berada di paling selatan di Sumatera. Sementara hasil gambar dari komposit anomali keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) menunjukkan bahwa pada periode ini terjadi anomali negatif di Sumatera Barat dan Selatan sedangkan di Samudera Hindia tropis bagian timur terdapat anomali positif. Anomali negatif keluaran RGP tersebut semakin meluas ke selatan dan membesar daripada periode JJA yang mengindikasikan bahwa kehadiran awan konvektif yang semakin kuat. Dari keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Kejadian DM (+) dan DM (-) mempengaruhi curah hujan di Sumatera Barat 104

dan Selatan. Namun demikian DM (+) memberikan pengaruh yang cukup signifikan dibandingkan dengan DM (-)- Hal ini terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang dipengaruhinya daripada saat DM (-). Musim JJA dan SON merupakan musim dimana curah hujan di kedua kawasan tersebut mengalami penurunan curah hujan (penaikan curah hujan) dari normalnya pada saat DM positif (DM negauf). Sedangkan pada musim DJF dan MAM (musim hujan), rata-rata curah hujan di kedua kawasan tersebut berada pada keadaan normal. Terjadinya curah hujan normal pada musim hujan tersebut dikarenakan pada saat itu kejadian Dipole Mode sudah mulai menghilang (Saji et. al., 2001). Selain itu juga memang terlihat pada musim DJF dan MAM, anomali SPL di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan memiliki tanda yang sama dengan anomali SPL di Samudera Hindia bagian barat pada saat DM (+). Sedangkan pada saat DM (-) bahkan tidak terdapat adanya anomali SPL di Sumatera Barat dan Selatan serta di Samudera Hindia bagian barat. 4 KESIMPULAN Curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan pada umumnya didominasi oleh Osilasi Tahunan {Annual Oscillation, AO) untuk daerah Padang, Padang-panjang, Solok, Tabing, Batu Sangkar, Jambi, Bengkuiu, Palembang, dan Kotabumi. Namun demikian terdapat beberapa daerah di Sumatera Barat yang curah hujannya didominasi oleh Osilasi Semi-Tahunan [Semi-Annual Oscillation, SAO) yaitu Bukit Tinggi, Maninjau, dan Sicincin. Osilasi Tahunan yang terjadi di kedua kawasan tersebut diduga terkait erat oleh adanya pengaruh iklim monsun. Dipole Mode yang menyebabkan variasi curah hujan antar-tahunan juga mempengaruhi curah hujan di kawasan ini baik untuk daerah-daerah yang memiliki Osilasi Semi-Tahunan maupun Osilasi Tahunan, khususnya pada saat Tahun DM (+) dan DM (-). Fenomena Dipole Mode mempengaruhi curah hujan di Sumatera Barat dan Selatan. Dibandingkan DM (-(, DM (+) nampaknya memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap curah hujan di kedua kawasan tersebut. Pada saat DM (+), wilayah Sumatera Barat dan Selatan memiliki curah hujan di bawah normal terutama pada perioda JJA dan SON. Pada periode JJA, daerah-daerah yang memiliki respon kuat dengan DM (+) adalah Bukit Tinggi, Maninjau, Tabing, Solok, Batu Sangkar, Padang-panjang, Padang, Sicincin, dan Jambi (r -0.5 ). Sedangkan pada periode SON, hampir seluruh daerah di Sumatera Barat dan Selatan memiliki respon kuat terhadap kejadian DM (+) (-0.6s rs -0.3). Pada saat DM (-), wilayah Sumatera Barat dan Selatan memiliki curah hujan di atas normal dan respon yang kuat terhadap kejadian DM (-), khususnya Sumatera Barat bagian selatan dan Sumatera Selatan pada periode JJA (-0.5 < r < - 0.3) dan Sumatera Selatan pada periode SON (r s- 0.3). 105

Pada saat DM (+) terjadi anomali positif keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) di Samudera Hindia tropis bagian timur dan anomali negatif di Samudera Hindia tropis bagian barat. Terdapainya anomali positif di Samudera Hindia tropis bagian timur mengindikasikan bahwa adanya emisi dari troposfer bawah dan menunjukkan ketidakhadiran awan-awan konvektif kuat. Pada saat DM (-) terjadi anomali negatif keluaran Radiasi Gelombang Panjang (RGP) di Samudera Hindia tropis bagian timur dan anomali positif di Samudera Hindia tropis bagian barat. Terdapatnya anomali negatif di Samudera Hindia tropis bagian timur mengindikasikan emisi dari troposfer atas yaitu dari awan konvektif kuat yang biasanya menandakan hujan di kedua kawasan tersebut. DAFTAR RUJ UKAN Aldrian E, Susanto D. 2003. Simulations of Indonesian Rainfall with a Hierarchy of Climate Models. Disertasi pada Hamburg, Jerman. Aldrian, 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology. Ashok K, Guan Z, Yamagata T., 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. Banu. 2003. Analisis Interaksi Monsun, Enso, dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia. Tesis Magister pada GM ITB Bandung. Davidson NE, McBride JL, McAvaney BJ., 1984. Divergent Circulations During The Onset of The 1978-79 Australian Monsoon. Monthly Weather Review 112:1684-1696. Davidson NE., 1984. Short-term fluctuations in the Australian Monsoon During Winter Monex. Monthly Weather Review 112: 1697-1708. Gusmira, Eva, 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal dan Curah Hujan di Sumatera Barat. Tugas Akhir pada GM ITB Bandung : tidak diterbitkan. McBride, 2002. Kapan Hujan Turun? Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia. Department of Primary Industries, Queensland. Saji NH., and T. Yamagata, 2001. The Tropical Indian Ocean Climate System from The Vantage Point of Dipole Mode Events. Submitted to Journal of Climate. Webster et. al., 1999. The Great Indian Ocean Warming of 1997-1998 : Evidence of Coupled Ocean-Atmospheric Instabilities. Nature, 401, 356-360. 106