PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2006 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 30 TAHUN 2001

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK.17 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN POS SAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK. 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGGANTIAN BIAYA OPERASI SEARCH AND RESCUE (SAR)

2016, No Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Perubahan Ketiga atas Organisasi dan Tata Kerja Badan SAR Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 684); 4. Peratur

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tamb

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2007 TENTANG BADAN SAR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR: PK. 01 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN POTENSI SAR BADAN SAR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

Menimbang : a. dalam rangka kesiap-siagaan dan kelancaran penanggulangan terhadap

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2007 TENTANG BADAN SAR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

2017, No Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Te

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK. 04 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA BADAN SAR NASIONAL

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR PK 7 TAHUN 2015 TENTANG INSPEKTUR PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA BADAN SAR NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 250 / 11 / VI /2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 60 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI, DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

No semua komponen bangsa, maka pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pencarian yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Badan

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

RGS Mitra 1 of 10 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KARO PROPINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN LAYANAN NOMOR TUNGGAL PANGGILAN DARURAT 112

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 of 6 3/17/2011 3:59 PM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN BENGKALIS

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DARURAT BENCANA TSUNAMI ACEH

Walikota Tasikmalaya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 123

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR PK. 4 TAHUN 2017 TENTANG UNIT SIAGA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG KESEHATAN MATRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/PRT/M/2015 TENTANG

Transkripsi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 94 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pencarian dan Pertolongan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481); 3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Pencarian dan pertolongan untuk selanjutnya disebut SAR (Search and Rescue) adalah usaha dan kegiatan yang meliputi :

1. Pencarian dan pertolongan untuk selanjutnya disebut SAR (Search and Rescue) adalah usaha dan kegiatan yang meliputi : a. b. mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah pelayaran dan atau penerbangan; mencari kapal dan atau pesawat udara yang mengalami musibah; 2. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya; 3. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait; 4. Musibah pelayaran atau penerbangan adalah kecelakaan yang menimpa kapal dan atau pesawat udara dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya serta dapat membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa manusia; 5. Potensi SAR adalah sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan operasi SAR; 6. Unsur SAR (SAR Unit/SRU) adalah potensi SAR yang sudah terbina dan atau siap untuk digunakan dalam kegiatan operasi SAR; 7. Operasi SAR adalah : a. b. segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mencari, menolong dan menyelamatkan para korban sebelum diadakan penanganan berikutnya; rangkaian kegiatan yang terdiri atas 5 (lima) tahap yaitu tahap menyadari, tahap tindak awal, tahap perencanaan, tahap operasi dan tahap akhir penugasan; 8. Evakuasi adalah kegiatan memindahkan korban musibah pelayaran dan atau penerbangan serta bencana dan musibah lainnya dari lokasi bencana/musibah ke tempat penampungan pertama untuk tindakan penanganan berikutnya; 9. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan, meninggal atau hilang akibat dari musibah pelayaran, penerbangan, atau bencana dan musibah lainnya; 10. Badan SAR Nasional yang selanjutnya disebut Basarnas adalah instansi pelaksana tugas di bidang pencarian dan pertolongan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri; 11. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang SAR. BAB II PEMBINAAN DAN PENGERAHAN POTENSI SAR Pasal 2

(1) Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengerahan Potensi SAR. (2) Pelaksanaan pengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Basarnas. Pasal 3 (1) Pembinaan potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi : a. pengaturan; b. pengawasan; dan c. pengendalian. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi: a. penetapan kebijaksanaan umum; dan b. penetapan kebijaksanaan teknis. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, meliputi : a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang SAR; dan b. penyempurnaan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang SAR. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, meliputi : a. pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang kegiatan pencarian dan pertolongan; dan b. pemberian bimbingan dan penyuluhan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang kegiatan pencarian dan pertolongan. Pasal 4 Dalam rangka pengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan kegiatan yang meliputi : a. perencanaan; b. pendayagunaan; c. pengembangan; dan d. pelaksanaan pengendalian. Pasal 5

(1) Untuk meningkatkan efektivitas operasi SAR, Basarnas melaksanakan pendidikan dan pelatihan SAR. (2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk mengoptimalkan kemampuan mendeteksi dini, melakukan komunikasi, mencari, menolong dan mengevakuasi. (3) Tata cara pendidikan dan pelatihan potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 6 (1) Pengerahan potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) disesuaikan dengan jenis musibah yang terjadi. (2) Dalam pelaksanaan operasi SAR, Kepala Basarnas dapat meminta pengerahan Potensi SAR kepada Instansi/organisasi yang mempunyai Potensi SAR. (3) Potensi SAR yang memberikan bantuan atas permintaan Kepala Basarnas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat diberikan biaya penggantian sesuai kemampuan keuangan negara. (4) Tata cara pengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. BAB III PELAKSANAAN OPERASI SAR Pasal 7 (1) Basarnas wajib melakukan siaga SAR 24 (dua puluh empat) jam terus menerus untuk melakukan pemantauan terhadap kejadian musibah pelayaran dan atau penerbangan. (2) Pelaksanaan siaga SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi dan sistem informasi beserta sarana penunjangnya yang dapat digunakan selama 24 (dua puluh empat) jam terus menerus. (3) Tata cara pelaksanaan siaga SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 8 Pelaksanaan operasi SAR didukung dengan fasilitas dan alat peralatan SAR yang memadai. Pasal 9 (1) Penanganan terhadap musibah pelayaran yang terjadi di daerah lingkungan kerja dan atau daerah lingkungan kepentingan pelabuhan menjadi tanggung jawab pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja dan atau daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.

(2) Penanganan terhadap musibah penerbangan yang terjadi di daerah lingkungan kerja bandar udara dan atau kawasan keselamatan operasi penerbangan menjadi tanggung jawab pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja bandar udara dan atau kawasan keselamatan operasi penerbangan. Pasal 10 (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menyatakan penghentian atau selesai terhadap operasi SAR dengan pertimbangan : a. seluruh korban telah berhasil ditemukan, ditolong dan dievakuasi; b. setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi SAR, tidak ada tanda-tanda korban akan ditemukan. (2) Operasi SAR yang telah dihentikan atau dinyatakan selesai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dibuka kembali dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi diketemukannya lokasi dan atau korban musibah. (3) Operasi SAR dapat diperpanjang pelaksanaannya atas permintaan dengan beban biaya ditanggung oleh pihak yang meminta. (4) Tata cara penghentian atau pernyataan selesai operasi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan perpanjangan pelaksanaan operasi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 11 Penanganan musibah yang terjadi di wilayah yang berbatasan dengan wilayah negara lain dapat dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama secara bilateral atau multilateral. Pasal 12 (1) Unsur SAR Indonesia yang akan ditugaskan untuk pelaksanaan operasi SAR ke wilayah negara lain, terlebih dahulu harus mendapatkan izin (clearance) dari negara yang bersangkutan. (2) Untuk mendapatkan izin (clearance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Basarnas melakukan koordinasi dengan Rescue Coordination Centre (RCC) negara yang bersangkutan atau Perwakilan negara tersebut di Indonesia. Pasal 13 (1) Unsur SAR negara lain yang akan ditugaskan untuk pelaksanaan operasi SAR ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, terlebih dahulu wajib mendapat izin (clearance) dari negara Republik Indonesia. (2) Untuk mendapat izin (clearance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Rescue Coordination Centre (RCC) atau Perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia melakukan koordinasi dengan Basarnas atau Perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan untuk pengurusannya. Pasal 14 (1) Unsur SAR negara lain yang didatangkan atas permintaan Pemerintah Republik Indonesia, biaya operasionalnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia.

tanggung jawab Pemerintah Indonesia. (2) Unsur SAR negara lain yang atas permintaannya sendiri membantu pelaksanaan operasi SAR di wilayah Republik Indonesia, maka biaya operasionalnya tidak menjadi tanggung jawab Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 15 Potensi SAR yang berupa kapal dan atau pesawat udara yang diikutsertakan dalam operasi SAR diberikan kemudahan dan prioritas pelayanan untuk kelancaran operasi SAR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV WILAYAH TANGGUNG JAWAB SAR Pasal 16 Wilayah tanggung jawab SAR meliputi seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia. Pasal 17 (1) Untuk kepentingan peningkatan efisiensi pelaksanaan operasi SAR di wilayah teritorial Republik Indonesia, ditetapkan pembagian wilayah tanggung jawab SAR. (2) Pembagian wilayah tanggung jawab SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 18 Dalam hal terjadi bencana dan musibah lainnya, potensi SAR dapat dikerahkan untuk membantu penanggulangannya. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pencarian dan pertolongan dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 20 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1972 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1951 tentang Dinas Pencari dan Pemberi Pertolongan untuk Kapal-kapal Laut dan Udara yang Mendapat Kecelakaan (Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1972), dinyatakan tidak berlaku.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Pebruari 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Pebruari 2000 Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BONDAN GUNAWAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 25

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, U M U M Transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara dalam rangka memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara dan meningkatkan Ketahanan Nasional, serta memperkuat hubungan antarbangsa. Menyadari arti penting peranan tersebut, maka penyediaan jasa transportasi harus mencerminkan pelayanan angkutan yang aman, cepat, lancar, tertib, teratur, dan selamat, serta dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka meningkatkan rasa aman bagi pengguna jasa transportasi khususnya angkutan laut dan udara, maka perlu ditunjang dengan kegiatan pencarian dan pertolongan yang cepat, tepat, dan andal. Selain itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1972 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1951 tentang Dinas Pencari dan Pemberi Pertolongan untuk Kapal-kapal Laut dan Udara yang Mendapat Kecelakaan, perlu segera diganti dengan Peraturan Pemerintah yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Pencarian dan Pertolongan (Search and Rescue) sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Dengan Peraturan Pemerintah ini diharapkan, agar penyelenggaraan pencarian dan pertolongan dapat lebih bermanfaat dengan berdasarkan pada asas kemanusiaan, tanggung jawab, keterpaduan, dan kesadaran hukum. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Angka 2 Angka 3

Pasal 2 Angka 3 Angka 4 Angka 5 Angka 6 Angka 7 Angka 8 Angka 9 Angka 10 Angka 11 Yang dimaksud dengan sarana operasi SAR antara lain pesawat udara, kapal, ambulance, peralatan SAR, alat-alat berat. Yang dimaksud dengan prasarana operasi SAR antara lain terminal, pelabuhan, bandar udara, depo Pertamina, rumah sakit, lapangan. Selama ini pelaksanaan pengerahan Potensi SAR telah dilakukan oleh Badan SAR Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1979 tentang Perubahan Lampiran-lampiran 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16

tentang Perubahan Lampiran-lampiran 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen. Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Ayat (3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan SAR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini tidak mengurangi tanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia masing-masing instansi/organisasi potensi SAR. Yang dimaksud dengan deteksi dini adalah kegiatan untuk mengetahui berita/informasi terjadinya musibah pelayaran dan atau penerbangan secepat mungkin. Pasal 6 Ayat (3) Ayat (4) Pengerahan potensi SAR disesuaikan dengan jenis musibah yang terjadi, dimaksudkan untuk menghindari pengerahan potensi SAR yang tidak efektif. Yang dimaksud dengan instansi/organisasi yang mempunyai potensi SAR antara lain instansi Pemerintah (sipil, TNI dan POLRI), organisasi kemasyarakatan dan swasta.

Pasal 7 Yang dimaksud dengan sarana penunjang antara lain genset dan komputer. Ayat (3) Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja dan atau lingkungan kepentingan pelabuhan adalah pelaksana fungsi keselamatan pelayaran atau Kepala Kantor Pelabuhan. Pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja bandar udara dan atau kawasan keselamatan operasi penerbangan saat ini adalah Kepala Kantor Bandar Udara atau Kepala Cabang Badan Usaha Kebandarudaraan. Penghentian operasi SAR diperlukan untuk menghindari pelaksanaan operasi SAR yang berlarut-larut dan memberikan kepastian hukum. Huruf a Huruf b Penghentian atau pernyataan selesainya operasi SAR dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi SAR, dilakukan dengan pertimbangan karena tidak ada tanda-tanda korban diketemukan yang secara normal daya tahan hidup manusia tanpa makan dan minum hanya 7 (tujuh) hari.

minum hanya 7 (tujuh) hari. Apabila korban masih hidup, diperkirakan korban dengan segala upaya telah menemukan suatu tempat yang dapat memberikan pertolongan. Ayat (3) Ayat (4) Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Yang dimaksud dengan permintaan Pemerintah Republik Indonesia adalah permintaan yang dilakukan oleh Kepala Basarnas selaku koordinator SAR. Pengertian kemudahan dan prioritas yang diatur dalam ketentuan ini antara lain pengisian bahan bakar minyak, urusan kepabeanan, keimigrasian, pengisian air, dan pendaratan.

Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Pasal 20 Pasal 21 Pengertian pembagian wilayah tanggung jawab SAR sebagaimana dalam ketentuan ini adalah wilayah tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Basarnas. Kegiatan pencarian dan pertolongan di luar musibah pelayaran dan penerbangan bukan merupakan tugas pokok Basarnas, namun demikian setiap saat Basarnas siap membantu apabila diminta oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang tersebut. Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak atau secara berlanjut yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan yang normal yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan prasarana/sarana, lingkungan dan atau fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan musibah lainnya antara lain kejadian yang diakibatkan oleh jatuhnya benda antariksa dan kecelakaan transportasi darat. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3938