SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H. 1 dan Anton Purba, S.H., LL.M 2

dokumen-dokumen yang mirip
Ikhtisar Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH [LN 2008/94, TLN 4867]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ATURAN PELAKSANA UNDANG-UNDANG

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.03/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REGULASI ENTITAS SYARIAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472]

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK GUBERNUR BANK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN UMUM PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Kelembagaan. Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 4/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 33 /PBI/2009 TENTANG PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

Azas-Azas Perbankan. Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS, SH, MH

2 Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola perbankan syariah melalui pe

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN POJK BANK PERANTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL [LN 1995/64, TLN 3608]

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam P

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I. KETENTUAN UMUM

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH THALIS NOOR CAHYADI, S.H. M.A., M.H., CLA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2016 TENTANG LEMBAGA PENDANAAN EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No.11/ 9 /DPbS Jakarta, 7 April 2009 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/17/PBI/2008 TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

II. PIHAK YANG WAJIB MELALUI PROSES PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA

2017, No Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2014 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK

- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /SEOJK.05/2016 TENTANG LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /SEOJK.03/2016

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 3 /PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN

- 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Nega

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 60 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Liabilitas dan Modal. Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H. 1 dan Anton Purba, S.H., LL.M 2 I. PENDAHULUAN Puji syukur akhirnya UU Perbankan Syariah yang merupakan inisiatif DPR RI telah ditandatangani oleh Presiden RI pada tanggal 16 Juli 2008, dengan nomor 21 Tahun 2008, setelah sebelumnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana diketahui kegiatan perbankan syariah di Indonesia baru di mulai sejak tahun 1992, dengan mulai beroperasinya PT Bank Muamalat Indonesia (yang didirikan pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah). Pengaturan mengenai perbankan syariah pada waktu itu memang masih sangat terbatas, dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum diatur secara tegas mengenai perbankan syariah. Dengan memperhatikan kebutuhan pengaturan yang lebih jelas mengenai perbankan syariah, maka dalam amandemen UU Perbankan, yaitu UU 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diakomodir beberapa pengaturan mengenai kegiatan perbankan syariah, antara lain pengertian bank mencakup bank syariah, pengertian prinsip syariah, dan pembiayaan. Setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, yang diikuti dengan serangkaian langkah kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas perbankan, baik dari segi pengaturan, yaitu dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang menyangkut perbankan syariah, maupun dari sisi internal Bank Indonesia yaitu dengan membentuk direktorat tersendiri yang menangani perbankan syariah, membuka kemungkinan bank konvensional untuk melakukan kegiatan usaha syariah dengan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS), maupun penyediaan sarana pendukung, seperti Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, perbankan syariah telah menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir perbankan syariah menunjukkan peningkatan dari segi total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 36.538 miliar pada Desember 2007 atau meningkat 74,9%, penghimpunan dana meningkat 79,7% dari Rp 15.582 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 28.012 miliar pada Desember 2007 pembiayaan meningkat 83,4%, dari Rp 15.232 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 27.944 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

miliar pada Desember 2007, namun apabila ditinjau dari pangsa total aset perbankan syariah dibandingkan perbankan konvensional masih relatif kecil, yaitu baru mencapai 1,84% atau Rp36.538 miliar dibanding Rp1.986.501 miliar pada Desember 2007. Terdapat pandangan bahwa belum berkembang pesatnya perbankan syariah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh : a. Sumber Daya Manusia yang kompeten dan profesional masih belum optimal; b. Pemahaman masyarakat terhadap perbankan Syariah belum merata; c. Jaringan kantor pelayanan dan keuangan Syariah masih relatif terbatas; d. Belum didukung dengan peraturan yang memadai (dalam bentuk Undang-Undang tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Perbankan konvensional); e. Sinkronisasi kebijakan dengan institusi pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi keuangan, khususnya perpajakan belum maksimal. Bank Indonesia berupaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi sebatas kewenangan yang dimiliki, antara lain dalam mengatasi keterbatasan jaringan kantor pelayanan Bank Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 yang membolehkan bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah untuk membuka layanan syariah pada kantor cabang kovensional bank dimaksud. Melalui kebijakan tersebut diharapkan masalah jaringan pelayanan dan keuangan Bank Syariah dapat diatasi karena masyarakat dapat dilayani dimana saja saat membutuhkan layanan Bank Syariah. Selain itu, untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya, maupun akademisi dan kalangan perbankan pada khususnya, Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan sosialisasi mengenai perbankan syariah. Upaya untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, tentunya tidak dapat dilakukan hanya oleh otoritas perbankan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama dengan Pemerintah maupun DPR, serta dukungan masyarakat. Melihat begitu besarnya dorongan dan dukungan dari masyarakat agar disusun UU Perbankan Syariah yang terpisah dari UU Perbankan konvensional, DPR RI mengajukan inisiatif penyusunan RUU Perbankan Syariah, dan selanjutnya mendapat tanggapan positif dari Pemerintah BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

sehingga terbuka jalan untuk segera menyelesaikan RUU Perbankan Syariah, dan akhirnya setelah melalui pembahasan intensif UU Perbankan Syariah berhasil diselesaikan, dan mulai diberlakukan per 16 Juli 2008, menyusul telah diberlakukannya UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara pada 7 Mei 2008. Dukungan yang begitu besar dari berbagai kalangan dapat dilihat dari proses penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perbankan Syariah yang dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Dengan adanya dukungan seperangkat aturan yang memadai di bidang perbankan syariah, serta semakin bertambahnya instrumen keuangan syariah diharapkan akan semakin menarik investor/pelaku bisnis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dapat berkembang lebih baik lagi. Terlebih-lebih di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip syariah, termasuk perbankan syariah. Hal ini mengingat di negaranegara yang mayoritas non muslim saja, seperti di Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura, kegiatan perbankan syariah pada khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya banyak diterapkan dan berkembang cukup baik. Dengan demikian adalah keliru persepsi yang menganggap bahwa Bank Syariah hanya diperuntukan bagi penduduk yang muslim. Dalam praktiknya Bank Syariah adalah merupakan pilihan bagi masyarakat dalam memilih layanan perbankan dan tidak ada peraturan perundangundangan yang membatasi pelayanan Bank Syariah hanya untuk penduduk yang beragama muslim saja. Pada kenyataannya memang terdapat banyak kalangan non muslim yang menjadi nasabah Bank Syariah. II. MATERI UU PERBANKAN SYARIAH Dengan telah diberlakukannya UU tentang Perbankan Syariah, maka terdapat 2 (dua) UU yang mengatur perbankan di Indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Walaupun telah terdapat 2 (dua) UU yang masing-masing mengatur bank berdasarkan prinsip syariah dan bank konvensional, namun dalam masa peralihan ini masih dikenal Unit Usaha Syariah, yang membuka kesempatan bagi bank konvensional untuk melakukan kegiatan bank BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

berdasarkan prinsip syariah. Hal ini menyebabkan bank konvensional di satu sisi tunduk pada UU Perbankan (bagi kantor bank yang beroperasi secara konvensional), dan di sisi lain tunduk pada UU Perbankan Syariah (bagi UUS dan KC Syariah dari bank konvensional dimaksud). Pada umumnya sistematika pengaturan UU Perbankan Syariah sama dengan UU Perbankan, yaitu antara lain meliputi azas, tujuan dan fungsi; perizinan, bentuk badan hukum; jenis dan kegiatan usaha; rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa perbedaan prinsip di dalamnya khususnya yang menyangkut aspek syariah, di samping itu terdapat beberapa pengaturan baru yaitu mengenai tata kelola, prinsip kehatihatian, dan pengelolaan risiko; penyelesaian sengketa; Komite Perbankan Syariah; self liquidation, serta perluasan kewenangan pengawasan Bank Indonesia, dengan ulasan singkat sebagai berikut: Asas, Tujuan dan Fungsi Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2). Berbeda dengan UU Perbankan, pengaturan yang menyangkut asas ini, lebih menekankan pada frasa berasaskan Prinsip Syariah. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik dari perbankan syariah. Adapun yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam hal ini adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12), dan lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Jika UU Perbankan konvensional tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, maka dalam UU Perbankan Syariah tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menekankan pada aspek kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility). Sama halnya dengan bank (konvensional), fungsi pokok bank syariah adalah menghimpun dan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

menyalurkan dana masyarakat atau melaksanakan fungsi intermediasi. Di samping fungsi tersebut, bank syariah (dan UUS) mempunyai kekhususan, yaitu dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif). Perizinan dan bentuk badan hukum Untuk dapat melakukan kegiatan usaha sebagai bank tentunya harus memperoleh izin terlebih dahulu dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini Bank Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim pengaturan yang menyangkut perizinan bank, yaitu yang diatur dalam bab mengenai perizinan, yang berlaku bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia (Pasal 5), dan dalam bab mengenai kegiatan usaha, yang berlaku bagi pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan atau investasi (Pasal 22). Pengaturan mengenai perizinan atas kegiatan penghimpunan dana masyarakat lebih dimaksudkan untuk mencegah penghimpunan dana tanpa izin (umumnya disebut sebagai bank gelap ), kecuali kegiatan penghimpunan dana tersebut diatur dengan UU tersendiri, seperti UU Asuransi, UU Koperasi, dan UU Dana Pensiun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang menyadari betapa pentingnya UU memberikan perlindungan terhadap kegiatan penghimpunan dana masyarakat yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang memiliki dana. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan sebagai lembaga yang didasarkan pada asas kepercayaan. Atas pelanggaran kedua ketentuan tersebut diancam dengan sanksi yang sama, yang diatur dalam Pasal 59. Sementara dalam UU Perbankan konvensional materi yang menyangkut izin usaha bank hanya berkaitan dengan penghimpunan dana (Pasal 16). Berbeda halnya dengan bentuk badan hukum bank yang selama ini dikenal (berdasarkan UU Perbankan konvensional) yaitu berupa PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah, dalam UU Perbankan Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam hal ini, badan hukum PT bank tersebut selain tunduk pada aturan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga tunduk pada UU Perbankan Syariah, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU PT yang menegaskan bahwa terhadap perseroan berlaku UU Perseroan Terbatas, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan perbankan. Dengan bentuk badan hukum berupa PT, diharapkan Bank Syariah dapat lebih mudah dalam memenuhi ketentuan di bidang perbankan, antara lain dalam hal penambahan modal mengingat dalam perseroan terbatas dikenal prinsip one share one vote, sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan badan hukum lain, misalnya koperasi yang menganut prinsip one man one vote. Selain itu, penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham juga relatif lebih gampang dibandingkan penyelenggaraan Rapat Anggota pada koperasi. Jenis dan Kegiatan Usaha Pembagian jenis bank dalam perbankan syariah dibedakan menjadi bank umum dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan perbedaan pokok BPRS dilarang menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran. Pembagian jenis bank tersebut pada prinsipnya sama dengan perbankan konvensional. Kegiatan usaha perbankan syariah, khususnya menyangkut produk dan jasa yang ditawarkan, pada prinsipnya memiliki cakupan yang relatif lebih luas (bersifat universal banking) dibandingkan dengan yang ditawarkan perbankan konvensional, karena selain melakukan kegiatan usaha seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga menawarkan jasa yang umumnya dijalankan oleh lembaga pembiayaan, seperti jasa leasing, serta pembiayaan bagi hasil yang umumnya ditawarkan oleh lembaga investasi, semacam modal ventura. Kegiatan usaha perbankan syariah, produk, serta jasanya wajib tunduk pada Prinsip Syariah, dalam hal ini fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa dimaksud diimplementasikan menjadi ketentuan perbankan melalui Peraturan Bank Indonesia. Fatwa dimaksud perlu diimplementasikan melalui PBI mengingat fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bersifat umum (misalnya menyangkut transaksi keuangan), sehingga perlu diterjemahkan kedalam peraturan yang bersifat khusus (perbankan). Dalam rangka penyusunan PBI BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

dimaksud, UU mengamanatkan Bank Indonesia untuk membentuk Komite Perbankan Syariah yang anggotanya berasal dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan masyarakat, yang memiliki keahlian di bidang syariah. Jumlahnya paling banyak 11 (sebelas) orang dengan komposisi yang seimbang. Pemilik dan Pengurus Bank UU Perbankan Syariah menegaskan bahwa ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah (pasal 28). Selanjutnya ditegaskan bahwa salah satu dari jajaran direksi tersebut berperan sebagai direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundangundangan lainnya. Demikian pentingnya sumber daya manusia di bidang perbankan, UU ini juga mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan bagi pengurus bank (Pasal 30), dan pemegang saham pengendali (Pasal 27). Pengaturan tersebut diperlukan mengingat perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat perlu dikelola oleh pengurus yang mempunyai kemampuan/kompetensi dan kepatutan/integritas, serta dimiliki oleh pemegang saham yang mempunyai kemampuan/kompetensi dan kepatutan/integritas. Dengan demikian tidak setiap orang dapat menjadi pengurus atau pemilik bank, hanya mereka yang telah lulus uji kemampuan dan kepatutanlah yang berhak. Di samping Dewan Komisaris dan Direksi, UU ini juga mewajibkan dibentuknya Dewan Pengawas Syariah di setiap Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS, dengan tugas antara lain memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32). Dewan Pengawas Syariah tersebut diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Rahasia Bank Rahasia bank merupakan hal penting dalam dunia perbankan, dan berlaku umum di seluruh negara. Pengaturan mengenai rahasia bank pada umumnya sama dengan UU Perbankan konvensional, yang wajib dirahasiakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah dan simpanannya, kewajiban tersebut berlaku bagi BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

bank dan pihak terafiliasi. Beberapa pengaturan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Syariah yang agak berlainan dengan UU Perbankan konvensional, antara lain: 1) Tidak diaturnya pengecualian rahasia bank untuk kepentingan piutang yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN, seperti halnya yang diatur dalam UU Perbankan konvensional. Dengan demikian pengecualian rahasia bank yang dapat dimintakan izinnya ke BI terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, dan kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Di samping itu terdapat pengecualian lainnya yang tidak memerlukan izin dari BI, yaitu dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, dan atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, serta bagi ahli waris yang sah dalam hal nasabah telah meninggal dunia. 2) Pengaturan mengenai penyidik diperluas, tidak hanya terbatas pada jaksa atau polisi, tetapi berlaku juga bagi penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU (Pasal 43). Dengan demikian para penyidik di luar polisi atau jaksa dapat meminta keterangan mengenai rahasia bank, namun permintaan tersebut tetap diajukan oleh pimpinan instansi/departemen atau setingkat menteri. Hal tersebut menunjukkan sikap masih dipertahankannya sifat kerahasiaan bank, walaupun diperluas kepada penyidik diluar polisi atau jaksa, tetapi hanya tingkat pimpinan instansi/departemen yang dapat mengajukan permintaan izin dimaksud. Pembinaan dan Pengawasan Bank Bank merupakan suatu lembaga kepercayaan yang dalam melakukan kegiatan usahanya sebagian besar menggunakan dana masyarakat Oleh karena itu untuk menjaga kelangsungan usahanya, dan menjamin kestabilan sistem perbankan secara keseluruhan, maka terhadap lembaga perbankan perlu dilakukan pengawasan oleh otoritas perbankan yaitu Bank Indonesia. Pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan bank secara umum hampir sama dengan UU Perbankan konvensional, antara lain menyangkut kewajiban bank untuk memelihara tingkat kesehatan, kewajiban untuk menyampaikan segala keterangan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia, dan kewajiban untuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas- BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

berkas atas permintaan Bank Indonesia. Di samping itu diatur pula penugasan kepada kantor akuntan publik atau pihak lain untuk melakukan pemeriksaan, serta beberapa kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan. Pengaturan yang relatif baru adalah pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan bank (pasal 52 ayat (3)), yaitu kewenangan untuk: - Memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan bank; - Memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian BI memiliki pengaruh terhadap bank; - Memerintahkan bank melakukan pemblokiran rekening tertentu. Pengaturan yang relatif baru lainnya adalah mengenai pencabutan izin usaha bank atas permintaan sendiri (self liquidation). Dalam rangka mengantisipasi adanya permintaan pencabutan izin usaha bank atas permohonan pemegang saham, telah diakomodir pasal yang mengatur mengenai hal tersebut sebagai payung hukum (Pasal 54 ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum diatur dalam UU Perbankan konvensional. Pengaturan mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri sejalan dengan UU LPS yang membuka kemungkinan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham. Dalam hal ini LPS tidak membayar klaim penjaminan nasabah penyimpan, karena penyelesaian seluruh kewajiban bank merupakan tanggung jawab bank yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengajuan pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri hanya dapat diajukan bank kepada Bank Indonesia setelah bank dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabahnya. Penyelesaian Sengketa Hubungan bank dengan nasabah pada umumnya merupakan hubungan keperdataan. Jalinan hubungan tersebut, dalam praktiknya tidak selalu berjalan mulus, bisa saja timbul ketidaksepahaman atau sengketa diantara keduanya. Dalam hal terjadi sengketa yang menyangkut perbankan syariah, maka penyelesaian sengketa tersebut pada prinsipnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Pasal 55), namun apabila para pihak telah memperjanjikan lain, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Dengan demikian sengketa perbankan syariah selain penyelesaiannya dapat dilakukan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

melalui Peradilan Agama (sesuai UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), bisa juga memilih penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas, atau peradilan umum. Namun, Undang- Undang mensyaratkan bahwa penyelesaian sengketa di luar Peradilan Agaman tetap harus dilakukan dengan berpedoman pada Prinsip Syariah. Sanksi Pengaturan sanksi dibedakan antara sanksi administratif dan sanksi pidana, dengan pola pengaturan umumnya hampir sama dengan UU Perbankan (konvensional). Pengaturan sanksi yang relatif baru (Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi pidana bagi direksi atau pegawai Bank Syariah atau UUS yang dengan sengaja: Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi bank; Menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik; Memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku; Tidak melakukan langkahlangkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana; diancam dengan pidana penjara 1 tahun - 5 tahun, dan pidana denda antara Rp1 miliar - Rp5 miliar. Pengaturan mengenai pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana (BMPPD) tidak dikenakan secara langsung, sama seperti halnya dalam perbankan konvensional yang menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk menjaring pelanggaran BMPK, yaitu apabila bank tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan, dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. Dengan demikian diberikan kesempatan bagi bank untuk melakukan perbaikan/koreksi atas pelanggaran BMPK, hal ini mengingat terjadinya pelanggaran BMPK tidak selalu diketahui secara langsung pada saat pemberian kredit, tetapi bisa saja baru diketahui di kemudian hari. Adanya pengaturan sanksi tersebut diharapkan dapat lebih mempertegas ancaman terhadap BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

norma-norma yang telah ditetapkan, yang seharusnya dipatuhi oleh direksi maupun pegawai bank. Ketentuan Peralihan Dalam Aturan Peralihan telah diatur mengenai batasan UUS beralih menjadi Bank Umum Syariah, mengingat UUS hanya bersifat sementara, yaitu : (1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah; atau (2) 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib melakukan Pemisahan UUS yang dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah. Semangat dari pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan perbankan syariah yang murni di masa depan, sehingga kelak tidak dikenal lagi sistem campuran antara bank syariah dengan bank konvensional. Pengaturan lebih lanjut mengenai peralihan tersebut akan diatur dalam PBI. Guna mendukung efektivitas pengaturan tersebut, maka dalam PBI mengenai hal tersebut perlu dibuat secara tegas pengaturan persyaratan dan tata cara peralihan dari UUS menjadi Bank Umum Syariah, serta sanksi bagi yang melanggar, di samping itu hal terpenting adalah penegakan hukum atas aturan tersebut. PENUTUP 1. Dengan telah disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU, maka amanat UU tentang + 25 pengaturan lebih lanjut dalam PBI perlu segera disiapkan penyusunannya, termasuk di dalamnya penyesuaian beberapa PBI yang berlaku saat ini dengan materi UU Perbankan Syariah. 2. Untuk lebih memberikan pemahaman yang memadai kepada perbankan dan masyarakat umum sebagai pengguna, maka sosialisasi UU Perbankan Syariah dan peraturan pelaksanaannya perlu dilakukan secara efektif, baik melalui seminar/ lokakarya maupun melalui media masa. 3. Dengan telah diberlakukannya UU Perbankan Syariah yang merupakan landasan hukum bagi kegiatan perbankan syariah di Indonesia, maka diharapkan dapat mendorong perkembangan perbankan syariah, khususnya dalam peningkatan pelayanan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

perbankan baik dari sisi jumlah bank maupun jaringan pelayanan, sehingga peranan perbankan syariah sebagai salah satu pilihan di samping perbankan konvensional, dapat meningkat dengan pangsa yang cukup signifikan dibanding perbankan konvensional. 4. Dengan terdapatnya beberapa perbedaan pengaturan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional, maka UU Perbankan konvensional perlu dilakukan perubahan, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008