RINITIS VASOMOTOR. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

PERFORASI SEPTUM NASI HARRY AGUSTAF ASROEL. Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SMF Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Juni 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana RINITIS ALERGI

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi.

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

Penatalaksanaan Epistaksis

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

Definisi Bell s palsy

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. Oleh PATAR L. H.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS)

Gambar 1. Atresia Pulmonal Sumber : (

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Transkripsi:

PENDAHULUAN RINITIS VASOMOTOR Dr. Andrina Yunita Murni Rambe Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. 1 Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. 2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. 1,3-5 Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. 1,6 Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 1,3,4 Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya. 2,3 Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. 6,7 ANATOMI A. Hidung Luar. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 8 1. Pangkal hidung ( bridge ) 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung ( apeks ) 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung ( nares anterior ) Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. 8 Kerangka tulang terdiri dari : 8,9 1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung ) 2. Prosesus frontalis os maksila 3. Prosesus nasalis os frontalis 2003 Digital by USU digital library 1

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu : 8,9 1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior 2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor ) 3. Beberapa pasang kartilago alar minor 4. Tepi anterior kartilago septum nasi Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu : 9 1. Kelompok dilator : - m. dilator nares ( anterior dan posterior ) - m. proserus - kaput angulare m. kuadratus labii superior 2. Kelompok konstriktor : - m. nasalis - m. depresor septi B. Hidung dalam Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 8 a. Vestibulum Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae. 8 b. Septum nasi Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari : 8,9 - lamina perpendikularis os etmoid - vomer - krista nasalis os maksila - krista nasalis os palatina Bagian tulang rawan terdiri dari : 8,9 - kartilago septum ( lamina kuadrangularis ) - kolumela c. Kavum nasi! Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os palatum. 8,9! Atap hidung Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 8,9! Dinding lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial. 9! Konka 2003 Digital by USU digital library 2

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 8! Meatus nasi Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 8! Dinding medial Dinding medial hidung adalah septum nasi. 8 Pendarahan Hidung Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: 9 1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. 2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian superior posterior. 3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. 8 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little s area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. 8 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus. 8,9 Persarafan hidung 1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar. 3 2. Saraf sensoris. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. 3 3. Saraf otonom. Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : 3 a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ). 2003 Digital by USU digital library 3

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 3, berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar. b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ). Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu. 4. Olfaktorius ( penciuman ) Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung. 8 Fisiologi hidung Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( air conditioning ), penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara, refleks nasal dan turut membantu proses bicara. 3,8 KEKERAPAN Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak 30 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. 10 Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. 2,5 Biasanya timbul pada dekade ke 3 4. 3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%. 5 Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non alergi dijumpai pada dekade ke 3. 5 Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor. 5 Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus ( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ). 10 ETIOLOGI Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. 1,2,5,11 Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12 2003 Digital by USU digital library 4

1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme. 4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. PATOFISIOLOGI Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti. 5,6,13,14 Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 14 Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ). 14 Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu : 4,14 1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis 2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis 3. mengurangi peptide vasoaktif 4. mencari dan menghindari zat-zat iritan. PATOGENESIS Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluhpembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. 10,11 1. Latar belakang 2,15 - adanya paparan terhadap suatu iritan! memicu ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung! vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung! hidung tersumbat dan rinore. - disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) - merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada zat allergen nya. 2003 Digital by USU digital library 5

- tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE ( IgE-mediated hypersensitivity ) 2. Pemicu ( triggers ) : 2,11,15 - alkohol - perubahan temperatur / kelembapan - makanan yang panas dan pedas - bau bauan yang menyengat ( strong odor ) - asap rokok atau polusi udara lainnya - faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas - penyakit penyakit endokrin - obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral GEJALA KLINIS Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. 1,2,6,7,11 Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. 1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ). 11 Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore ( runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. 1 DIAGNOSIS Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. 1 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. 1,6,11 Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. 3 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. 1,7,11,12 Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. 11 Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. 1,2,7,11 Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat. 1 Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor ( Dikutip dari kepustakaan 5 ) 2003 Digital by USU digital library 6

Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan musim - Riwayat keluarga ( - ) - Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - ) - Timbul sesudah dewasa - Keluhan gatal dan bersin ( - ) Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - ) - Tanda tanda infeksi ( - ) - Pembengkakan pada mukosa ( + ) - Hipertrofi konka inferior sering dijumpai Radiologi X Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan sinus - Umumnya dijumpai penebalan mukosa Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - ) Test alergi Ig E total - Normal Prick Test RAST - Negatif atau positif lemah - Negatif atau positif lemah DIAGNOSIS BANDING 11 1. Rinitis alergi 2. Rinitis infeksi Rinitis alergi Rinitis vasomotor Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 4 Riwayat terpapar allergen ( + ) Riwayat terpapar allergen ( - ) Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis atau kimia, juga faktor psikologis Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai Test kulit Positif Negatif Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat Eosinofil darah Meningkat Normal 2003 Digital by USU digital library 7

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat Neurektomi Tidak membantu Membantu n. vidianus Tabel 2. Dikutip dari kepustakaan 11,12 PENATALAKSANAAN Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17 1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy ) 2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) : - Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ). - Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore. - Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone - Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray ) 3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) : - Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO 3 25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ). - Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate ) - Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ) - Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection) - Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ) - Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi Simptom Jenis terapi Prosedur Obstruksi hidung Reduksi konka - Kauterisasi konka ( chemical atau electrical ) - Diatermi sub mukosa - Bedah beku ( cryosurgery ) Reseksi konka - Turbinektomi parsial atau total - Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ) 2003 Digital by USU digital library 8

Rinore Vidian neurectomy - Eksisi nervus vidianus - Diatermi nervus vidianus Tabel 3. Terapi operatif terhadap rinitis vasomotor ( Dikutip dari kepustakaan 5 ) KOMPLIKASI 11 1. Sinusitis 2. Eritema pada hidung sebelah luar 3. Pembengkakan wajah PROGNOSIS Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. 11 KESIMPULAN 1. Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang kadang dijumpai adanya bersin bersin. 2. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. 3. Biasanya dijumpai setelah dewasa ( dekade ke 3 dan 4 ). 4. Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan rinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan - pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. 5. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif. KEPUSTAKAAN 1. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1997. h. 107 8. 2. Rhinitis vasomotor : http://www.icondata.com/health/pedbase/files/rhiniti1.htm 3. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 87. 2003 Digital by USU digital library 9

4. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A. Vasomotor rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999; 108:208-10. 5. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott- Brown s Otolaryngology. 6 th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1 17. 6. Cody DTR, Kern EB, Pearson BW. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986, h. 183 8. 7. Bernstein JM. Peran Hipersensitivitas Dengan Perantaraan Ig E Pada Otitis Media dan Rinitis. Dalam : Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1, Edisi ke 13. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994. h. 176 9. 8. Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo. Hidung. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1997. h. 89 95. 9. Ballenger JJ. Aplikasi Kilinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam : Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1, Edisi ke 13. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994. h. 1 25. 10. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang, 28-30 Oktober, 1999. 11. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket Reference. 2 nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3. 12. Ramalingam KK,Sreeramamoorthy. A short practice of otolaryngology.india : All India Publishers & Distributors, 1992, p.196 7. 13. Sutji Rahardjo, Burhanuddin, FG Kuhuwael. Efektifitas Kauterisasi Konka Pada Penderita Rinitis Vasomotor. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XI, Yogyakarta, 4-7 Oktober, 1995. 14. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis : http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/vasorhi.htm 15. Vasomotor ( non allergic rhinitis ) : http://www.regionalallergy.com/education/understanding/sinusitis/rhinitis/ rhinitis.html 16. Groves J, Gray RF. A Synopsis of Otolaryngology. 4 th ed. Great Britain : John Wright & Sons Ltd, 1985. p. 130-1. 17. Graft DF. Allergic and nonallergic rhinitis : http://www.postgradmed.com/issues/1996/08_96/graft1.htm 2003 Digital by USU digital library 10