BAB I PENDAHULUAN. Aghnia Nurisyabani, 2015 KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

dokumen-dokumen yang mirip
4.5 Rangkuman Hasil Tabel 4.2 Perbandingan Tema Pengalaman Suami Istri pertama Istri kedua 1. Keadilan Sebelum dipoligami 1. Perasaan diabaikan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

DRAF WAWANCARA. Jumlah Anak. 4. Apakah suami anda memperkenalkan istri mudanya kepada keluarga anda?

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. proses pendidikan yang harus dilalui baik pendidikan keluarga maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai. Ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan banyak

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 tentang Perkawinan menuliskan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Pentingnya kehidupan keluarga yang sehat atau harmonis bagi remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB III SINTESIS MAKNA TEKSTURAL DAN STRUKTURAL. selanjutnya dalam studi fenomenologi adalah penggabungan secara intuitif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kesiapan menikah hasil identifikasi dari jawaban contoh mampu mengidentifikasi tujuh dari delapan faktor kesiapan menikah, yaitu kesiapan emosi,

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak bisa hidup

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. tahun (ICRP, 2007). Data dari LBH Apik Jakarta tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Beberapa tahun terakhir ini, kata poligami sudah bukan menjadi kata yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Poligami, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Di Indonesia, karena mayoritas penduduknya beragama Islam, poligami boleh dilakukan oleh pria. Kasus poligami seringkali menjadi sorotan masyarakat dan menjadi kabar utama di hampir seluruh media di Indonesia. Kabar yang cukup menghebohkan yakni ketika seorang ustadz tersohor di negeri ini melakukan poligami dengan menikahi seorang wanita muda. Berita itu kemudian lebih banyak menjadi kontroversi di beberapa kalangan masyarakat. Bahkan setelah berita itu muncul, pondok pesantren ustadz tersebut pun sempat sepi pengunjung. Kabar lain yang juga menjadi bulan-bulanan masyarakat mengenai poligami adalah mengenai seorang pengusaha kuliner ternama yang memiliki cabang rumah makan hampir di seluruh Indonesia. Ia memiliki empat orang istri dan memajang foto bersama dengan keempat istrinya di setiap cabang rumah makannya, hingga ia diberi gelar Presiden Poligami Indonesia. Belakangan ini juga sangat marak berita-berita yang tayang di media mengenai pejabat-pejabat negara yang melakukan poligami dengan menikah siri. Tidak hanya orang-orang ternama saja yang melakukan poligami, saat ini masyarakat biasa pun banyak yang melakukan poligami. Penulis melakukan survey kepada 10 orang warga Bandung (5 orang lakilaki dan 5 orang perempuan) mengenai pendapat mereka mengenai poligami. Dari 10 orang yang ditanyai, 8 orang (5 orang perempuan dan 3 orang laki-laki) mengatakan bahwa mereka tidak setuju dengan poligami dan 2 orang lainnya mengatakan bahwa mereka merasa tidak ada yang salah dengan poligami. Alasan 1

2 8 orang yang tidak menyetujui poligami diantaranya adalah karena poligami dianggap tidak mementingkan perasaan wanita dan anak-anak, hanya sebagai pelampiasan nafsu lelaki saja, ada juga yang merasa istri hanya satu saja banyak yang tidak diurus apalagi lebih dari satu. Sedangkan 2 orang yang menyetujui poligami memiliki alasan karena saat ini jumlah wanita sudah lebih banyak dibandingkan laki-laki, sehingga perlu untuk berpoligami agar tidak ada wanita yang terlantar dan alasan lainnya adalah mengikuti sunah Rasulullah SAW. Dalam sidang materiil UU Perkawinan, pemerintah membeberkan data perceraian akibat poligami yang melonjak setiap tahunnya. Namun ada yang berpandangan bahwa poligami adalah ibadah sehingga ia merupakan non derogable right atau hak yang tidak boleh dibatasi (NNC, 2007). Hasil survey LBH-APIK terkait dengan praktik poligami menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun tahun 2001 hingga Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari kekerasan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas yaitu sebanyak 35 kasus (Marzuq, 2009:48). Banyak pula kasus perceraian yang diakibatkan oleh poligami yang tidak sehat. Berikut data yang didapatkan dari Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia sejak tahun 1996 hingga 2001: Tabel 1.1 Angka Kasus Perceraian Pasangan Poligami Seluruh Indonesia Sejak Tahun 1996-2001 Tahun Jumlah Akibat Perceraian Provinsi Tertinggi Kasus Poligami Tidak Sehat Akibat Poligami (%) 1996 97.356 519 0,53 104 (Jawa Timur) 1997 67.894 705 1,04 369 (Jawa Barat) 1998 103.416 590 0,53 108 (Jawa Timur) 1999 183.805 828 0,45 403 (Jawa Barat) 2000 145.609 875 0,60 385 (Jawa Barat) 2001 145.081 938 0,62 261 (Jawa Barat) Sumber: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag. RI (Marzuq, 2009:84)

3 Prof. Nasaruddin Umar, selaku Dirjen Bimas Islam Depag, menyebutkan bahwa ada 813 kasus perceraian akibat poligami yang tercatat di Pengadilan Agama pada tahun 2004. Setahun kemudian angka itu naik menjadi 879 kasus dan pada tahun 2006 melonjak menjadi 983 kasus. Data ini menunjukkan bahwa poligami justru menjadi penyebab perceraian dan mengakibatkan anak dan istri terlantar (NNC, 2007). Sejauh ini, orang-orang anti-poligami banyak berdemo mengenai keadilan kaum perempuan. Banyak pula ditemukan artikel-artikel atau buku-buku yang dibuat mengenai poligami, namun hanya sebatas membahas mengenai bagaimana perasaan seorang istri yang dipoligami, kesetaraan gender, keadilan yang diberikan suami pada istri yang harus dibagi dengan istri yang lainnya, dan lain sebagainya mengenai istri atau hak-hak perempuan. Sedangkan dibalik itu, jarang orang-orang yang memperbincangkan mengenai bagaimana keadaan, perasaan, dan tanggapan anak-anak dengan orang tua yang berpoligami. Berpoligami tentu bukan sebuah keputusan yang mudah, baik itu dari pihak istri, suami, maupun anggota keluarga lainnya. Keluarga pun harus siap menerima apapun tanggapan yang diberikan masyarakat sekitar yang kemungkinan besarnya adalah berupa cemoohan atau pernyataan-pernyataan negatif. Poligami ini juga tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keadaan keluarga, baik dalam hal materi maupun non materi. Pembagian perhatian dari seorang ayah kepada anaknya tentu saja akan mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut, terutama pada anak yang akan beranjak dewasa. Ayah yang awalnya hanya memfokuskan perhatiannya pada satu keluarga saja, namun kemudian harus memberi perhatian pada keluarga barunya tentu akan membuat kecemasan tersendiri bagi anak. Seperti yang dikatakan S, seorang remaja perempuan yang berusia 20 tahun, ia merasa banyak sekali perubahan dalam keluarganya ketika mengetahui ayahnya melakukan poligami. Perubahan itu baru ia rasakan semenjak beberapa tahun terakhir ini. S merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara. Ibu S merupakan istri pertama. Ayah S melakukan poligami karena pada awalnya ibu S tidak

4 kunjung melahirkan keturunan, namun setelah ayah S menikah lagi, istri pertama dan kedua hamil bersamaan. Ibu S tinggal di Bogor, sedangkan istri kedua ayahnya tinggal di Cianjur, sehingga ayah S harus membagi waktu dan perhatiannya antara keluarga Bogor dan Cianjur. Dengan bertambah dewasanya saudara-saudara S, baik dari istri pertama maupun kedua, bertambah pula masalah dalam keluarga mereka. Dalam beberapa tahun kebelakang, S sering melihat ibunya tiba-tiba menangis tanpa tahu penyebabnya. Hingga akhirnya sejak tahun 2012, anak-anak dari istri pertama mengetahui bahwa di pihak keluarga istri kedua tidak diberitahu bahwa ayah S mempunyai dua istri, sehingga ayah S lebih sering berada di keluarga istri kedua. Selain itu, menurut S, anakanak dari istri kedua memang jauh lebih berhasil dibanding S dan saudarasaudaranya. Mereka sekolah di sekolah yang bagus, di universitas ternama dan bahkan ada yang sudah bekerja di luar negeri. Hal ini membuat ayah S lebih senang dan lebih memperhatikan keluarga Cianjur dibandingkan keluarga Bogor. S tak berhenti menangis ketika menceritakan keadaan keluarganya terutama mengenai perasaan ibunya. Ia mengatakan bahwa ia tak tega melihat ibunya yang hampir setiap hari menangis dan harus mencari nafkah sendiri dengan menjadi guru SD, karena beberapa bulan kebelakang ayahnya tidak lagi memberi mereka nafkah. Sejak SMA, S sudah tidak dekat lagi dengan ayahnya, karena ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga keduanya. Sama halnya dengan T, remaja perempuan yang berusia 15 tahun, ia juga merasakan beberapa masalah yang timbul setelah mengetahui ayahnya melakukan poligami. T merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara dari istri pertama. Awalnya T tidak diberitahu bahwa ayahnya melakukan poligami, namun saat ia kelas 3 SD ia melihat istri kedua ayahnya dan bertanya pada ibunya. Sejak itu barulah ia tahu bahwa ayahnya telah menikah lagi. Menurut T, alasan ayahnya melakukan poligami adalah untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW. Beberapa tahun setelah ia mengetahui ayahnya poligami, ia merasa masih ada hal yang mengganjal pada ibunya. Ibunya sering menangis namun tidak mengakui apa penyebabnya dan menjadi gampang sakit. Tetangga disekitar rumahnya pun tak

5 sedikit yang membincangkan masalah ini. Hal inilah yang menjadi pikiran bagi T. Selain itu, masalah yang paling berat dirasa oleh T adalah mengenai keuangan keluarganya. Sebelum ayahnya melakukan poligami ia merasa selalu berkecukupan, namun setelah ayahnya memiliki keluarga baru, ayahnya selalu beralasan apabila ia ingin meminta uang. Akhirnya T lebih sering meminta uang pada ibunya. Ibunya bekerja dengan membuka laundry pakaian. T sering membantu ibunya menyetrika pakaian. Menurut T, ayahnya tidak pernah terbuka kepada ibu ataupun anak-anaknya. Apabila ada masalah, terutama masalah keuangan, mereka hanya berdiam diri saja, sehingga tidak ada penyelesaian yang baik dari masalah tersebut. Ketika ditanya mengenai peran ayah sehari-hari, menurutnya ayahnya mempunyai sifat tanggung jawab, peduli, dan tegas. Namun karena harus menghidupi dua keluarga secara bersamaan dan dari dua belah pihak memiliki tuntutan masing-masing, terkadang sifat-sifat tersebut tidak terlihat. Kasus serupa juga dialami oleh seorang remaja perempuan berinisial A yang berusia 19 tahun yang merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Ia baru mengetahui ayahnya melakukan poligami saat ia duduk di kelas 4 SD. Ia mengetahui hal itu sejak sering melihat orang tuanya bertengkar hingga akhirnya ia mengerti bahwa ayahnya telah menikah lagi. Hal yang membuat A sangat terkejut adalah ketika mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi tanpa izin dari ibunya. Ia merasa sangat kecewa dan tidak percaya ayahnya melakukan hal itu. Sejak kecil, A memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya, dan setelah ayahnya menikah lagi, ia merasa semakin jauh jarak mereka. Saudara-saudaranya yang lain pun merasakan hal yang serupa. Awalnya mereka menerima keadaan ini, namun lama kelamaan mereka menjadi acuh dan tidak peduli lagi dengan ayah mereka. Ayahnya pun jarang ada di rumah, sehingga mereka jarang mengobrol atau bersenda gurau bersama. Hal inilah yang menimbulkan kerenggangan diantara keluarganya. Sikap acuh dan tidak peduli ini yang akhirnya dilakukan A dan saudaranya, karena mereka sudah tidak percaya lagi pada ayahnya.

6 Dari pernyataan ketiga remaja tersebut dapat diketahui bahwa terdapat masalah-masalah yang terjadi pada keluarga poligami. Masalah-masalah itu antara lain mengenai pembagian waktu dan perhatian, masalah perekonomian, kecemburuan, serta hilangnya rasa kepercayaan pada ayah. Menurut Hall (1904) dalam Santrock (2007), masa remaja merupakan masa badai-dan-stres (stormand-stress), karena pada masa ini remaja mengalami pergolakan yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati. Banyak hal yang menyebabkan emosi remaja terombang-ambing. Salahnya satunya dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung, mudah marah, atau mudah sedih/murung). Proses pencapaian kematangan emosional remaja sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok s\ebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang mempersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau pengakuan dari teman sebaya, remaja ini cenderung akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti kecemasan, kemarahan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional (Santrock, 2007). Goleman (2005) mengemukakan bahwa skor IQ anak-anak generasi sekarang semakin tinggi, namun kecerdasan emosi mereka justru menurun. Mereka lebih sering mengalami masalah emosi dibandingkan generasi terdahulu. Menurut Salovey et al. (2000) dalam Journal of Psychoeducational Assessment (2012), orang tua yang secara emosional memperhatikan dengan baik kebutuhan emosional anak-anak mereka biasanya memiliki anak yang cerdas emosinya. Penelitian ini menegaskan hubungan antara tingkat kontrol emosional orang tua dengan anak-anak mereka yang hasilnya tampak bahwa kecerdasan

7 emosional orang tua memiliki dampak pada pembelajaran emosional anak-anak mereka. Ada sebuah penelitian tentang kecerdasan emosional yang meneliti mengenai pengaruh orang tua dan anak terhadap persepsi mereka satu sama lain. Sampelnya terdiri dari 73 ayah 73 ibu dan 156 anak (71 laki-laki dan 85 perempuan). Kecerdasan emosional dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kecerdasan emosional dari dalam diri dan kecerdasan emosional dari luar diri. Kedua kecerdasan emosional ini diukur untuk mengetahui hubungannya menggunakan Trait Meta Mood Skala-24. Ada tiga faktor dari pengukuran ini yaitu mengenai perhatian, kejelasan, dan perbaikan emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dari dalam diri orang tua berkorelasi dengan kecerdasan emosional dari dalam diri anak-anak dalam dua dari tiga faktor kecerdasan emosional yaitu perhatian dan kejelasan emosional. Sedangkan, kecerdasan emosional dari luar diri orang tua dan kecerdasan emosional dari luar diri anak-anak berkorelasi secara signifikan dalam ketiga faktor tersebut. Artinya, orang tua dan anak-anak mereka melihat satu sama lain dengan cara yang sama. Regresi analisis menegaskan bahwa kecerdasan emosional yang tumbuh dari dalam diri anak-anak diperkirakan pertama kali dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dari luar anak yaitu dari orang tua mereka. Kecerdasan emosional dari luar diri orang tua juga memiliki daya prediksi atas perhatian anak-anak mereka yang dipercaya akan memengaruhi emosi mereka (Sanchez-Nunez, dalam The Family Journal, 2013). Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan oleh Sudarmiasih (2010), seorang mahasiswa jurusan Psikologi UPI. Ia meneliti kecerdasan emosional remaja dengan sampel penelitian sebanyak 129 siswa kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010. Instrumen penelitiannya menggunakan skala psikologis dalam bentuk skala Likert. Hasil penelitiannya adalah pola asuh orang tua yang dipersepsi remaja bervariasi yaitu pola asuh otoriter, acuh tak acuh, dan yang paling dominan adalah demokratis. Penelitian juga membuktikan bahwa terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pola asuh orang tua dengan

8 kecerdasan emosional. Setiap pola asuh mempunyai hubungan yang berbeda, pola asuh otoriter dan acuh tak acuh tidak mempunyai hubungan dengan kecerdasan emosional remaja, sedangkan pola asuh demokratis mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan kecerdasan emosional remaja. Adanya hubungan yang positif antara anak dan orang tua tentu akan berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak tersebut. Remaja yang memiliki ayah berpoligami akan berbeda dengan remaja yang ayahnya tidak berpoligami. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada bagaimana remaja tersebut mengatur emosinya. Menerima ayah yang poligami tentulah bukan sesuatu yang mudah. Adanya perasaan-perasaan negatif, kecemasan-kecemasan, dan disertai dengan masa remaja yang merupakan masa badai secara emosi, maka keadaan ini akan sangat mempengaruhi kondisi emosional remaja tersebut. Hal tersebut diataslah yang membuat penulis tertarik untuk lebih menggali informasi dan mengetahui lebih mendalam mengenai perasaan-perasaan yang muncul serta bagaimana cara remaja mengatur emosi mereka sehingga akan terlihat timbul atau tidaknya kecerdasan emosional pada diri remaja yang memiliki ayah yang berpoligami. Dengan demikian penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai Kecerdasan Emosional Remaja yang Memiliki Orang Tua Berpoligami. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah yang berpoligami. Maka rumusan masalah dari penelitian ini dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang: 1) bagaimana kecerdasan emosional subjek dengan keadaan subjek yang memiliki ayah berpoligami, dan 2) bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat berfungsi dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya. C. Tujuan Penelitian

9 Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat menerima dan menjalani keadaan subjek dengan ayah yang berpoligami. 2. Mengetahui bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat berfungsi dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya. D. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah temuan-temuan yang empiris yang selanjutnya menjadi sumber pengetahuan mengenai kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah berpoligami. Bagi keilmuan Psikologi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan Remaja, Psikologi Kognitif serta Psikologi Keluarga. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosional remaja, khususnya remaja yang memiliki orang tua berpoligami. 2. Manfaat Praktis Dengan diperolehnya gambaran mengenai kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah yang berpoligami, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman serta masukan-masukan yang berarti bagi peneliti, subjek penelitian, para orang tua, para remaja hingga masyarakat luas. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan

10 Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka Bab ini terdiri dari uraian teori yang menjadi acuan pembahasan. Teoriteori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan emosi remaja, remaja dan keluarga, serta teori kecerdasan emosional. Bab III: Metode Penelitian Dalam bab ini diuraikan mengenai desain penelitian, instrumen penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data,, teknik analisis data, dan uji keabsahan data. Bab IV Hasil dan Pembahasan Hasil Terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran subjek penelitian, hasil, dan pembahasan. Bab V Kesimpulan dan Saran Terdiri dari kesimpulan yang telah diperoleh dari penelitian, dan kesimpulan yang sudah diperoleh akan diajukan saran bagi pembaca penelitian serta bagi peneliti selanjutnya.