FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL 1 Paul Suparno

dokumen-dokumen yang mirip
PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER SECARA HOLISTIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gia Nikawanti, 2015 Pendidikan karakter disiplin pada anak usia dini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Undang-undang pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

No membangun kurikulum pendidikan; penting dan mendesak untuk disempurnakan. Selain itu, ide, prinsip dan norma yang terkait dengan kurikulum

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

OPTIMALISASI PPR UNTUK PENGEMBANGAN KECERDASAN DAN PEMBINAAN KARAKTER 1

BAHAN AJAR CHARACTER BUILDING BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

PEMBELAJARAN SENI TARI BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI STIMULUS ALAM SEKITAR DI SDN TERSANA BARU KABUPATEN CIREBON

PENGANTAR TUGAS PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

KONSEP PENDIDIKAN. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong kemajuannya dengan kekreatifan guru dan murid. Selain itu,

BAB I PENDAHULUAN. patriotisme, dan ciri khas yang menarik (karakter) dari individu dan masyarakat bangsa

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang MasalahPendidikan di Indonesia diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

MATA KULIAH PEMBELAJARAN TERPADU (PSD SKS)

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan zaman. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas, karena

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian prasyarat Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Kewarganegaraan ROSY HANDAYANI A.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha membina kepribadian dan kemajuan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia. dan Undang-undang Dasar Tahun Upaya tersebut harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

Kurikulum SD Negeri Lecari TP 2015/ BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh akhlak bangsa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan. martabat manusia, melalui proses yang panjang dan berlangsung

PERAN PERGURUAN TINGGI DAN ILMUWAN PADA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN INDONESIA KE DEPAN 1 Paul Suparno, S.J. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

BAB 1 PENAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

PEMBENTUKAN WATAK BANGSA INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA ABAD 21

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang diatur di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya harus memiliki pendidikan yang baik. Sebagaimana tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan karakter (character building) generasi bangsa. Pentingnya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu

NUR ENDAH APRILIYANI,

BAB I PENDAHULUAN. secara terus-menerus. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. individu terutama dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia memerlukan berbagai macam pengetahuan dan nilai. Terkait

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dan informasi dituntut kemampuan ilmu. pengetahuan dan teknologi yang memadai. Untuk menuju pada kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku mulia. Begitulah kutipan filsuf Yunani, Plato, SM (dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk besar, wilayah

BAB I PENDAHULUAN. suatu lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut suatu rencana dan

I. PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. sekarang merupakan persoalan yang penting. Krisis moral ini bukan lagi

PEMBELAJAR YANG MENDIDIK DAN BERKARAKTER

2015 PERSEPSI GURU TENTANG PENILAIAN SIKAP PESERTA DIDIK DALAM KURIKULUM 2013 DI SMA NEGERI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik. Oleh Karena itu, pendidikan secara terus-menerus. dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam. Undang Undang No 2/1989 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

1 FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL 1 Paul Suparno Pengantar Apakah ada filsafat pendidikan dalam praktek pendidikan nasional kita? Untuk menjawab persoalan ini dapat dilakukan dua pendekatan. Pertama, kita melihat apakah ada dokumen tertulis yang menjelaskan tentang filsafat pendidikan di Indonesia yang diterima oleh bangsa ini secara umum. Kedua, kita dapat melihat praktek pendidikan yang ada di lapangan dan dari sana kita mencoba menggali filsafat pendidikan macam apa yang ada di baliknya. Model kedua ini lebih tepat terutama bila memang tidak ada dokumen resmi tentang filsafat pendidikan yang digunakan di negara ini. Anggapan dasar dari model kedua ini adalah bahwa dalam setiap tindakan praktek pendidikan, selalu ada alasan dibaliknya meski sering hanya tersirat. Pengandaian ini didasarkan pada inti manusia yaitu rationalitasnya. Dalam analisa ini, kami membatasi pada: Praktek pendidikan yang terjadi pada akhir-akhir ini yaitu sejak adanya UU Sisdiknas 2003. Tinjauan filosofinya lebih pada menganalisis tujuan pendidikan nasional dan pelaksanaannya di lapangan. A. Dokumen Filsafat Pendidikan Indonesia Sejauh kami mencari nampaknya memang tidak ada dokumen filsafat pendidikan Indonesia yang diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan pedoman serta landasan dalam praktek pendidikan di Indonesia sekarang ini. Bahkan Dokumen rasional yang mendasari UU Sisdiknas saja tidak disertakan dalam UU Sisdiknas, sehingga orang hanya tahu undang-undangnya yang tertulis, tetapi tidak tahu mengapa undang-undang itu akhirnya dirumuskan demikian dan diterima. Akibatnya, dalam membaca UU Sisdiknas, kita merasa kering dan kurang berani untuk menganalisis secara lebih mendalam. Dengan tidak adanya dokumen filosofi tertulis yang dapat dipakai pegangan, maka akibatnya adalah dalam praktek pendidikan orang dapat mengembangkan filsafatnya sendirisendiri, yang penting tidak melanggar UU yang ada. Akibat tidak adanya dokumen tertulis, maka juga menjadi cukup sulit mencari titik temu dalam pemecahan permasalahan pendidikan yang lebih mendalam. 1 Disajikan dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh Kompas, di Hotel Santika Jakarta, 23 April 2012

2 B. Praktek Pendidikan dan Analisis 1. Tujuan Pendidikan Nasional Salah satu pertanyaan penting secara filosofis dalam pendidikan adalah apa yang dimaksud dengan pendidikan nasional, apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional, dan apakah seluruh proses pendidikan menunjang ke tujuan itu. Dalam UU Sisdiknas (2003) dituliskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1). Sedangkan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3). Dalam UU Pendidikan tahun 1989 rumusannya jauh lebih baik, yaitu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (1989, ps 4). Dari rumusan di atas, sangat jelas bahwa tujuan pendidikan nasional bukan hanya untuk mengembangkan segi pengetahuan (segi kognitif), tetapi pribadi manusia yang lebih utuh dan menyeluruh. Termasuk didalamnya adalah segi spiritual, moral, fisik, kepribadian, sikap demokratis dan tanggungjawab sebagai warga bangsa. Dalam bahasa pendidikan, manusia Indonesia yang diharapkan terjadi adalah manusia yang utuh. Rumusan tujuan pendidikan di atas memang baik, namun menurut kami belum menjadi rumusan yang khas pendidikan nasional bangsa Indonesia. Rumusan itu masih umum yang juga dapat menjadi rumusan pendidikan Negara lain. Menurut kami masih perlu ditambahkan secara eksplisit menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais; manusia Indonesia yang mau hidup dalam kesatuan sebagai anak bangsa dalam perbedaan. Karakter manusia yang ada dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika perlu dijadikan salah satu karakter yang perlu dipunyai dan dikembangkan oleh setiap pendidikan di Negara ini. Atau barangkali rumusan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab perlu lebih dijabarkan dalam sikap yang lebih jelas bagi orang muda. Bila memang tujuan pendidikan adalah membantu berkembangnya manusia muda menjadi manusia Indonesia yang utuh, kiranya pendidikan nasional sendiri juga perlu diselenggarakan secara holistik, bukan terpotong-potong. Dalam system pendidikan yang holitik maka semua segi yang diperlukan dalam pengembangan pribadi manusia diperhatikan seperti segi kognitif, emosi, moral, spiritual, fisik, social. Apakah hal ini memang terjadi?

3 Rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu indah itu dalam praktek sering tidak tercapai atau terjadi karena rumusan yang indah itu kurang dijabarkan dalam indicator yang dapat diukur atau dipantau di lapangan. Misalnya saja beraklak mulia, sering tidak dimengerti secara jelas di lapangan, sehingga dalam proses pendidikan tidak dapat diukur dengan lebih jelas. Dalam praktek pendidikan yang ukurannya sudah lebih jelas adalah kompetensi dalam bidang pengetahuan atau kognitif, sedangkan dalam segi karakter, beriman, takwa, aklak, berbudi luhur, demokratis dll masih banyak yang kabur atau bahkan tidak terukur. Akibatnya proses pendidikan belum sungguh-sungguh membantu tercapai tujuan pendidikan yang lebih utuh. 2. Praktek di Lapangan Apakah praktek pendidikan di lapangan memang sungguh memperhatikan dan mengembangkan manusia Indonesia yang lebih utuh? Apakah semua segi yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional itu mendapatkan perhatian dalam sistem pendidikan nasional kita. Apakah di sekolah-sekolah kita semua segi itu diperhatikan? a. UN dan penekanannya. Praktek UN yang begitu sangat ditekankan sebagai syarat kelulusan siswa sangat jelas menunjukkan bahwa tekanan pendidikan kita lebih pada segi kognitif. Bila nilai anak dalam UN tidak memenuhi syarat maka tidak akan lulus. Sedangkan syarat lain meski juga secara tertulis dalam standar kelulusan dianggap penting, tetapi dalam praktek dapat direlativisir dan diabaikan. Akhir-akhir ini memang ada ujian agama; tetapi lagi-lagi tekanan lebih pada segi pengetahuan, dan bukan dari segi tingkah laku anak. b. Kepribadian untuk ukuran kelulusan? Sejauh ini jarang terdengar bahwa seorang anak dianggap tidak lulus karena kenakalannya tinggi atau karena tingkah laku yang tidak baik. Siswa tidak lulus karena nilai pengetahuan sering terjadi. Lagi-lagi segi pengetahuan yang lebih diutamakan dari pada aklak atau karakter. c. Praktek guru. Dari banyak pengalaman lapangan, guru-guru yang mengajarkan mata pelajaran untuk UN lebih dihargai oleh siswa dan juga merasa lebih bergengsi karena menentukan kelulusan siswa. Sedangkan guru fak yang tidak diujikan, terutama fak yang tidak terlalu menekankan segi kognitif dianggap kurang hebat, kurang dihargai. Jelas ini juga terpengaruh karena tekanan ada pada segi kognitif, pada UN. d. Budaya nyontek/plagiat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa budaya nyontek dan plagiarism begitu marak di pendidikan nasional kita. Berbagai cara dilakukan siswa, guru, bahkan dosen untuk melakukan tindak tidak benar tersebut. Mengapa hal ini terjadi dan begitu masal? Ada beberapa alasan yang dapat disebutkan antara lain: Sekolah hanya mementingkan nilai kognitif yang berwujud angka. Nilai-nilai lain yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional tidak dianggap penting. Oleh karena yang penting adalah angka, maka mereka yang merasa tidak akan mampu mendapatkan angka itu, lalu menggunakan segala cara yang tidak halal, yaitu nyontek. Menarik, ini dilakukan juga di kalangan guru dan dosen dalam

4 mengumpulkan syarat sertifikasi atau kenaikan golongan. Bahkan barusan ada calon professor yang dibatalkan proses pengajuannya karena plagiarisme. Tujuan pendidikan menjadi manusia Indonesia yang utuh, yang bernilai spiritual, moral, dan beraklak mulia tidak ditekankan oleh sekolah. Bahkan juga oleh instansi pemerintah, misalnya dengan adanya gerakan tim sukses UN. Yang ditekankan bukan usaha keras untuk belajar, tetapi menyiasati agar tetap lulus meski tidak belajar. e. Budaya kekerasan di sekolah. Beberapa kasus kekerasan terjadi di beberapa sekolah, termasuk di PT. Tawuran antara sekolah, antar gang, sering terjadi. Beberapa anak sekolah bila marah dengan mudah merusak bus, peralatan sekolah, dan bahkan bertindak anarki. Gejala ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan yang holistik yang menyangkut segi kemanusiaan, penghargaan kepada orang lain, penerimaan gagasan orang lain, bersikap lebih demokratis, kurang terjadi. Mengapa demikian? Beberapa alasan dapat diterka seperti: Praktek sekolah tidak menekankan nilai penghargaan kepada orang lain; yang lebih ditekankan adalah nilai angka (segi kognitif). Sekolah tidak memandang persoalan ini sebagai sangat penting dibandingkan dengan nilai kelulusan. Praktek pendidikan nilai moral kurang atau tidak berjalan dengan baik. f. Praktek diskriminasi di sekolah. Terjadi di beberapa tempat, anak-anak kita dilatih bersikap diskriminatif atau minimal tidak menghargai atau menerima adanya perbedaan dalam hidup ini. Jelas ini merupakan akibat praktek pendidikan yang kurang melihat dan menekankan bahwa tujuan pendidikan nasional menginginkan anak muda yang saling bersatu sebagai anak bangsa. Barangkali diskriminasi ini justru sebagi akibat praktek pendidikan yang kurang ditata secara lebih holistik sesuai dengan landasan Pancasila. 3. Apakah Program Mendukung Tujuan Pendidikan Nasional? a. Intervensi dalam kurikulum sekolah. Sering terjadi intervensi dalam kurikulum pendidikan seperti, ingin memasukkan pelajaran anti korupsi, pelajaran gempa, pelajaran seni, pelajaran kemandirian, dll. Yang terakhir, dalam level PT ingin dimasukkan syarat kelulusan S1, S2, S3 dengan tulisan di jurnal. Intervensi ini menandakan bahwa kurikulum belum dipikirkan secara menyeluruh, tetapi dalam perjalanan, dengan mudah dimasukkan apa-apa yang dirasa perlu. Tentu saja syah-syah saja memasukkan sesuatu dalam kurikulum pendidikan; tetapi bukan asal ada ide lalu dimasukkan. Perlulah dipikirkan kurikulum keseluruhan yang matang, dimana hal-hal baru yang diinginkan dipertimbangkan. Jadi bukan asal tambal sulam. Disinilah pentingnya filsafat pendidikan yang dapat mengkritisi dan mempertimbangkan apakah tambahan-tambahan itu sungguh penting dan memang belum ada dalam kurikulum keseluruhan. Dengan adanya filsafat

5 pendidikan yang menjadi landasan, maka juga dihindari pihak-pihak yang tidak berwewenang untuk setiap kali mencampuri urusan praktek pendidikan nasional. b. Program RSBI dan Akselerasi. Banyaknya sekolah RSBI dan akselerasi, menjadi nyata bahwa secara tidak sadar kita menginginkan bahwa anak-anak yang sangat pandai dan cerdas tidak boleh belajar bersama dengan anak-anak yang kurang pandai atau yang biasa; atau sebaliknya anak biasa tidak boleh belajar dengan anak yang pandai. Dari pemisahan atau segregasi itu, nampak jelas bahwa pendidikan nasional bersikap diskriminatif. Pendidikan kurang memikirkan masa depan bangsa yang lebih menginginkan kesatuan nasional, dimana anak bangsa dari kelompok apapun dan juga tingkat kepandaian apapun dapat bekerjasama dan bersatu. Sudah cukup lama di AS segregasi ditolak, karena dalam pengalaman belajar, anak pandai dapat juga belajar dari anak kurang pandai dan sebaliknya. Sekali lagi pemisahan anak pandai dari yang tidak pandai, menyatakan dengan jelas sekali lagi bahwa system pendidikan nasional kita hanya menekankan segi kognitif. Padahal dalam kenyataan dapat saja terjadi anak yang pandai dibantu khusus tetapi tetap dalam system yang biasa. c. KTSP yang seharusnya kontekstual, tetapi dalam praktek kurikulumnya sama. Idealnya KTSP menekankan konteks dan memperhatikan keadaan serta lingkungan setempat, sehingga anak didik dapat dibantu lebih tepat untuk maju. Namun dalam praktek di lapangan, kurikulum yang dibuat di banyak tempat adalah sama, padahal sekolahnya lain sama sekali. Ada usaha bahwa sekolah, guru, dan bahkan pemerintah daerah menyeragamkan KTSP. Jelas disini filsafat pendidikan yang menekankan bahwa setiap anak dalam situasinya perlu dibantu sesuai dengan keadaannya tidak terjadi. Sekali lagi yang ditekankan bukan kebutuhan siswa yang real, tetapi kemudahan pendidik dan pengelola. 4. Usaha yang Perlu Dikembangkan kedepan a. Pendidikan karakter. Akhir-akhir ini terjadi arus balik, yaitu dengan mulai ditekankan lagi pendidikan karakter di praktek pendidikan nasional. Kemdikbud juga telah mensosialisasikan 18 nilai karakter bangsa yang hendaknya dapat dibantukan kepada anak didik di level pendidikan dasar menengah. Usaha yang menurut kami pantas dihargai, terutama untuk mengembalikan tujuan pendidikan nasional kepada yang sesungguhnya. Diharapkan dengan pendidikan karakter, anak didik nantinya berkembang bukan hanya menjadi manusia cerdas tetapi juga menjadi manusia yang baik. Namun sekali lagi pendidikan karakter itu akan tidak berhasil bila pemerintah tetap menekankan UN atau nilai angka fak sebagai hal yang paling penting dalam kelulusan siswa. b. Perlu indikator yang jelas. Tujuan pendidikan nasional yaitu untuk membantu anak muda menjadi manusia Indonesia yang utuh dengan segi-seginya perlu dijabarkan lebih jelas dengan indikator yang jelas dalam seluruh proses pendidikan dari SD sampai dengan SMA/SMK. Tanpa rumusan indikator yang jelas, praktek sekolah dapat keliru bahkan

6 hasil akhirnya saling bertentangan. Rumusan indikator perlu disusun untuk masingmasing jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA/SMK. c. Pendekatan aktif dan reflektif. Pendidikan nilai akan lebih berhasil dan berdampak bila model yang digunakan adalah menggunakan model pendekatan siswa aktif dan reflektif. Siswa perlu dibantu untuk aktif mengalami proses nilai itu, mengolahnya, dan mencernanya. Selanjutnya mereka dibantu untuk mengadakan refleksi, menggali makna dan artinya pengalaman itu bagi hidupnya dan bagi orang lain. Dari refleksi itu mereka akan tergerak melakukan aksi nyata. Dengan demikian maka pendidikan nilai akan menjadi bagian hidupnya dan pelan-pelan menjadi kebiasaan bertindak. Misalnya, penanaman nilai rela hidup bersama dengan orang lain dan menghargai orang lain yang berbeda, dapat dijalankan dengan live in di lingkungan masyarakat yang berbeda. Dengan pengalaman itu mereka akan mudah untuk menghagai orang lain. d. Dalam pendidikan Dasar dan Menengah, keteladanan adalah sangat penting. Terutama dalam pendidikan karakter, keteladanan dari pendidik sangat dibutuhkan. Kalau sekolah ingin menanamkan nilai kejujuran, hanya akan berjalan baik bila para pendidik sendiri juga berlaku jujur. e. Khusus untuk pendidikan karakter, karena menyangkut tingkah laku, sangat baik bila dilakukan secara holistik dan menyeluruh. Semua pihak di sekolah dilibatkan, lingkungan sekolah juga diatur dengan nilai itu, dan bahkan orang tua dilibatkan di dalamnya. Dengan model ini maka semua pihak ikut bertanggung jawab dalam proses pendidikan orang muda. f. Driyarkara (1980) menjelaskan pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, sekaligus juga proses pembudayaan dimana orang muda masuk dalam alam nilai. Dalam proses itu relasi antara pendidik dan siswa dialogal, saling membantu. Dalam proses itu orang muda dibantu menjadi manusia dewasa dan manusia yang lebih manusiawi. Oleh karena pendidikan juga merupakan proses pembudayaan, maka orang muda dikenalkan dan dimasukan dalam tata nilai tertentu, sehingga mereka menghidupi tata nilai itu dan diperkaya oleh tata nilai tersebut. Disinilah lingkungan pendidikan dan masyarakat di sekitar pendidikan dapat membantu proses pendidikan. Lingkungan yang baik akan membantu perkembangan orang muda menjadi lebih baik; sebaliknya lingkungan yang kurang baik akan dapat mempersulit perkembangan mereka. g. Dalam PP RI No 9 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dengan sangat rinci diungkapkan adanya 8 standar, yang dapat digunakan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemenuhan standar itu tentu sangat berguna bagi perkembangan pendidikan, tetapi yang barangkali perlu lebih diperhatikan adalah apakah sekolah itu sungguh mencapai tujuan pendidikan nasional atau tidak. Utamanya, apakah memang lulusannya sungguh menjadi pribadi yang berkarakter atau tidak. Bukan soal apakah lulus UN 100 persen, tetapi apakah mereka memang menjadi pribadi yang baik, berbudi luhur, mencintai bangsa ini, dan mau hidup rukun dengan orang yang berbeda.

7 h. Barangkali para pendidik perlu terus disadarkan akan siapakah manusia Indonesia itu. Gagasan mereka tentang manusia Indonesia yang baik, perlu dipupuk, sehingga mereka dapat dengan mudah membantu generasi muda untuk mencapainya. i. Pemerintah hanya perlu menetapkan beberapa inditator manusia Indonesia yang harus dikembangkan di semua sekolah, sedangkan masing-masing sekolah dapat menambah dan mengembangkan nilai dan kekhasan yang lain sendiri. Acuan UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas UU RI No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional PP RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikian. Driyarkara tentang Pendidikan. Kanisius, 1980.