BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR!

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

Tata Upacara Pernikahan Sipil

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses dan pemaknaan tentang arti perkawinan itu sendiri selama pasangan

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

KELUARGA KATOLIK MENUJU ERA PERADABAN KASIH INDONESIA

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 2 Perkawinan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

MATERI I MATERI I. subyek yang ikut berperan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB IV ANALISIS DATA

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk, terdiri dari berbagai suku dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

Kalender Doa Proyek Hanna Januari 2013

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk

Itu? Apakah. Pernikahan

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

Pandangan Gereja Terhadap Pernikahan Beda Agama

MEMAHAMI KETENTUAN POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Marzuki

MATERI II PRIA SEBAGAI SUAMI DAN AYAH DALAM KELUARGA

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, sebagai seorang yang amat akrab dengannya, sebagai seorang yang bersatu erat

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA A. Perkawinan Antar Agama menurut Islam dan Kristen Katolik Pada dasarnya kedua agama tersebut, yakni Islam dan Katolik menyatakan bahwa perkawinan antar agama tidak diperbolehkan. Hal tersebut berlandaskan pada akidah atau keyakinan dari ajaran masing-masing agama yang memerintahkan melakukan perkawinan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Walaupun demikian Islam sangat menjunjung kemurnian akidah, supaya tidak bercampur dengan keyakinan yang lain. Islam mengenal perkawinan antar agama dengan pemahaman bahwa: Islam hanya memperbolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim yang taat mengikuti ajaran agamanya dengan harapan akan mengikuti ajaran suami dan melarang wanita muslim untuk melakukan perkawinan dengan pria non muslim. Pandangan agama Islam terhadap perkawinan antar agama (kedua mempelai masih mempertahankan keyakinannya), pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Al-Qur an secara tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam surat al- Baqarah ayat 221. Al-Qur an menunjukkan beberapa hal yang dapat menghalangi pernikahan. Halangan-halangan tersebut rupanya bersifat mutlak, sehingga hukum maupun para pemimpin agama Islam tidak dapat memberikan dispensasi atasnya. Halangan tersebut adalah perbedaan agama. Al-Qur an melarang semua orang Islam untuk menikah dengan seorang penyembah berhala. Larangan tersebut termuat dalam surat Al-Baqarah ayat 221. 1 1 Alpurwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik, Implikasinya dalam Kawin Campur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) hlm.55

57 Larangan perkawinan dalam surat al-baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun bagi wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak beragama Islam itu termasuk musyrik. Akan tetapi bagi laki-laki Islam masih diberikan pengecualian yaitu dibolehkan kawin dengan wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Akan tetapi Islam membolehkan laki-laki yang beragama Islam untuk mengawini wanita yang beragama Nasrani (di Indonesia Katolik dan Protestan). Hal ini disebabkan karena antara agama Islam dengan Katolik mengajarkan iman kepada Allah, kepada kitab-kitab-nya, kepada Rasul Allah. Sehingga wanita non muslim yang dikawini oleh pria muslim dapat ditarik dan mengikuti jejak suami. Akan tetapi hukum Islam tidak membolehkan wanita menikahi lakilaki yang tidak beragama Islam, dengan pertimbangan keselamatan agama dari wanita yang beragama Islam demikian pula anak-anaknya nanti dikahwatirkan akan memeluk agama ayahnya yang bukan Islam Dari uraian diatas tampak bahwa dalam hal perkawinan antar agama, dalam arti antara penganut agama Islam dengan non Islam, hanya bagi lakilaki Islam dengan wanita ahli kitab saja yang dibolehkan. Perkawinan yang demikian ini pun baru dapat dilaksanakan apabila mempelai laki-laki yang Islam benar-benar dominan dan tidak tergoda untuk mengikuti agama isterinya dan ia mampu untuk mendidik anak-anaknya menjadi muslim. Berbeda dengan Katolik yang menyatakan bahwa ketentuan dan hukum perkawinan, tidak terletak pada hukum sendiri melainkan pada tangantangan pejabat gereja. Ketentuan yang keras bagaimanapun dapat digugurkan kalau gereja memberikan dispensasi. Gereja tidak mengenal hukum semisal, wajib, sunat, haram, makruh dan mubah sebagaimana dalam Islam. Hukum yang tidak universal dalam penerapannya tidak dapat terhindar dari kontradiksi sehingga faktor kebijaksanaan gereja adalah satu hal yang mutlak diperlukan.

58 Hukum dan peraturan gereja yang mengatur kehidupan bermasyarakat dari umat Katolik dikumpulkan dalam sebuah buku hukum yang bernama Codex Luris Canonici. Hukum itu berasal dari masa berabad-abad sepanjang perjalanan sejarah gereja Katolik. Hukum sekarang yang digunakan adalah Paus Benecditus XV pada tahun 1917 M. Pandangan Katolik berkenaan dengan perkawinan antar agama menyatakan bahwa: Katolik tidak memperbolehkan perkawinan antar agama dan yang terjadi adalah jika calon suami atau istri telah berpindah agama Katolik, maka upacara perkawinan dapat dilaksanakan dan dianggap sah menurut ajaran Kitab suci, akan tetapi jika calon mempelainya (baik pria maupun wanita) ada yang tidak memeluk agama Katolik (perkawinan beda agama), maka Katolik menganggap perkawinan tersebut tidak sah. Gereja-pun tidak merestui perekawinan tersebut. Oleh karenanya salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katolik menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katolik dianggap tidak sah. Di samping itu perkawinan antara seorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katolik memandang hal ini sebagai sakramen yang menganjurkan penganutnya kawin dengan orang yang beragama Katolik. Dalam hukum kanonik, perkawinan antara seorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari ordinaris wilayah atau uskup (Kanon 1124). B. Persamaan dan Perbedaan Perkawinan Antar Agama Menurut Islam dan Kristen Katolik Pandangan Islam dan pandangan Kristen Katolik tentang hakikat perkawinan tidak banyak berbeda. Keduanya memandang perkawinan sebagai kenyataan manusiawi yang bernilai tinggi dan sekaligus sebagai suatu

59 kenyataan yang suci diberkati oleh Allah. Gereja Katolik bahkan memberi nilai sedemikian tinggi terhadap perkawinan antara dua orang Kristen sehingga mengakui sebagai sakramen yakni sebuah perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat. Martabat perkawinan juga tampak dari pengakuan kedua agama bahwa hukum-hukum yang mengatur lembaga tersebut tidak hanya berasal dari manusia, melainkan berasal dari Allah. Kedua agama mengakui bahwa perkawinan merupakan satu-satunya lembaga yang memberi hak moral maupun hak hukum kepada pria dan wanita untuk hidup bersama dan menurunkan anak. Umat Islam melihat peranan Allah sebagai yang mempertemukan antara pasangan-pasangan jodoh, begitu pula gereja mengungkapkan seperti: menjodohkan, menikahkah, memberkati, menjadi saksi, mempersatukan suami-istri. Pandangan Islam dan Kristen Katolik tentang tujuan perkawinan tidak banyak berbeda. Keduanya melihat bahwa perkawinan mempunyai tujuan pokok pada kesatuan suami-isteri, keturunan dan pemenuhan kebutuhan seksual. Dewasa ini keduanya juga tidak menunjuk urusan yang tegas dari ketiga tujuan tersebut. Perkawinan yang ideal sebaiknya mencapai semua tujuan tersebut. Perbedaan lebih terletak pada akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi apabila tujuan-tujuan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami-istri. Hukum perkawinan Islam mengizinkan perceraian, tetapi dalam Katolik tidak ada. Maka tampaklah perbedaan pandangan tentang tujuan perkawinan secara teoritis, melainkan dari aturan dan praktik hukum perkawinan yang berbeda pada konsekuensi prakteknya. Pandangan Islam dan Kristen Katolik tentang sifat pokok perkawinan cukup berbeda. Islam mengizinkan perceraian akan tetapi Katolik mengizinkan perceraian tetapi harus mempunyai syarat maupun prosedurnya jauh lebih sulit dan wewenang untuk melaksanakannya hanya diserahkan pada pemimpin tertinggi dari gereja. Perbedaan itu dalam praktek kawin campur dapat menimbulkan kesulitan cukup berat.

60 Hukum Islam dan hukum gereja tentang perkawinan mempunyai kemiripan. Kedua agama menuntut bahwa pernikahan dilaksanakan di hadapan 2 orang saksi dan di hadapan pemimpin agama yang sah mempunyai wewenang untuk meneguhkan nikah. Hukum Islam menuntut pemberian mas kawin dari mempelai pria untuk wanita, sementara hukum gereja tidak menuntut pemberian mas kawin. Hukum Islam dari setiap orang muslim harus menikah secara Islami, demikian juga seorang Katolik juga harus secara Katolik. Apabila dalam keadaan darurat maka hukum gereja masih dapat memberi izin pada seorang Katolik menikah secara lain. Pemimpin gereja Katolik dalam prakteknya keberatan apabila seorang Katolik menikah tanpa kehadiran seorang imam dan dua orang saksi. Inilah yang membedakan, walaupun kedua agama melarang perkawinan antar agama, akan tetapi Islam membolehkan perkawinan dengan non muslim (walupun terbatas pada pria muslim dan wanita muslim tidak diperkenankan untuk melakukan perkawinan dengan non muslim dikhawatirkan akan terbawa kepada keyakinan suaminya yang bukan muslim). Di sana al-qur an secara jelas mengaturnya tentang pengecualian menikahi non muslim dengan beberapa syarat sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II. Walaupun hukum Katolik melarang perkawinan beda agama, akan tetapi jika dominasi gereja membolehkan dengan adanya dispensasi, maka perkawinan beda agama tersebut diperbolehkan, sehingga geraja dapat mengatur dan merubah hukum karena otoritasnya dalam menerjemahkan al- Kitab. Dengan demikian pandangan Islam dan Katolik tentang pelanggaran perkawinan adalah menyangkut dispensasi dari halangan nikah. Hukum Islam tidak mengenal dispensasi, maka para pemimpin agama Islam tidak berwenang untuk mengizinkan umatnya menikah bila mereka terkena halangan nikah. Pemimpin gereja Paus maupun Uskup mempunyai wewenang

61 untuk memberi dispensasi dari halangan-halangan nikah, asal halangan tersebut bukan berasal dari hukum kodrat. C. Implikasi Perkawinan Antar Agama di Indonesia Pada prinsipnya setiap agama menghendaki penganutnya untuk kawin dengan orang yang sama agamanya dan tidak menghendaki penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama lainnya, bahkan ada agama tertentu yang melarang penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama lainnya. 2 Pada hakekatnya perkawinan beda agama ini menimbulkan banyak masalah baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sosial yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Hal yang menarik dalam perkawinan ini adalah keunikan alasan yang menjadikan mereka mempertahankan perkawinan beda agama ini, keunikan ini memang di luar rasio kita. Sebab alasan mereka rata-rata karena saling mencintai. Sebuah perkawinan memang harus didasarkan pada rasa cinta karena itu merupakan pondasi yang sangat kuat untuk melalui bahtera rumah tangga. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kalau rasa cinta itu sudah bertentangan dengan idiologi masing-masing individu, manakah yang harus didahulukan apakah cinta ataukah agamanya. Satu sisi agama merupakan sebuah keyakinan yang tidak mungkin untuk digadaikan dan ditukar dengan apapun, sedangkan cinta adalah sebuah anugrah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang tiada membedakan apakah hamba tersebut itu kafir atau beriman. Bila dilihat dari kaca mata Islam bahwa perkawinan tidak hanya sekedar mengeluarkan dorongan hawa nafsu sahwat belaka, tetapi bertujuan lebih dari itu, yakni membentuk keluarga yang sakinah, keluarga yang sejahtera sehingga dapat melahirkan keturunan yang sah. Agama merupakan pangkal kestabilan rumah tangga, apabila di antara pasangan suami isteri yang 2 O.S, EOH, Sh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Srigunting,, 1996) hlm. 105

62 masing-masing berbeda agama, mungkin akan menimbulkan kegoncangan atau perselisihan di dalam rumah tangga. Islam memberikan dan mengajarkan tuntunan kepada manusia yang akan melangsungkan perkawinan ke arah yang sekiranya dapat membawa kebahagian dunia dan akhirat, bahkan Islam sendiri benci terhadap pertikaian dan kekejaman yang mengakibatkan kehancuran. Islam pada prinsipnya yang juga mengatur tentang perkawinan di antara pemeluknya, sehingga tidak akan terdapat kesalahpahaman dan kecerobohan di antara pemeluknya. 3 Setiap manusia selalu menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan baik lahir maupun batin. Kebahagiaan yang dimaksudkan adalah dengan kasih mengasihi, sayang menyayangi serta saling pengertian yang mendalam antara sesamanya. Hal ini dapat dicapai dengan perkawinan yang mana dapat membuahkan di antaranya tali kekeluargaan yang memperkuat hubungan kemasyarakatan. Pada umumnya setiap agama melarang umatnya melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain, bila terjadi perkawinan demikian, si pelaku akan mendapat sanksi baik dari kalangan seagamanya maupun keluarganya. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi teringan, yaitu celaan, sampai yang terberat berupa pengucilan dari keluarganya. Tidak sedikit pasangan calon suami isteri yang gagal membina rumah tangga karena mendapat halangan dan rintangan tersebut, di antara mereka ada yang menempuh jalan yang sesat dengan hidup bersama di luar perkawinan, ada yang karena tidak kuat menerima tekanan-tekanan keluarga kemudian karena demi cinta mereka rela menghabisi hidupnya, di samping itu ada pula yang nekad dan berhasil membina rumah tangga bahagia, walau terpaksa menerima pengucilan dari keluarga mereka. Begitulah warna kehidupan manusia bermasyarakat. Seperti yang dikatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro, Sudah selayaknya dalam masyarakat selalu ada beberapa orang perseorangan yang 3 A. Zubairie, Pelaksanaan Hukum Perkawinan Campuran antara Islam dan Kristen, (Pekalongan: TB Bahagia, 1985), hlm. 13.

Tuhan. 4 Uraian di atas tampak bahwa dalam hal perkawinan beda agama, 63 tidak taat pada peraturan hukum, baik itu hukum dunia maupun hukum dalam pengertian antara penganut agama Islam dan bukan Islam, hanya bagi laki-laki Islam dengan wanita ahli kitab saja yang dibolehkan. Perkawinan yang demikian ini-pun baru dapat dilaksanakan apabila mempelai laki-laki yang Islam benar-benar dominan dan tidak tergoda untuk mengikuti agama isterinya dan ia mampu untuk mengikuti agama isterinya dan ia mampu untuk mendidik anak-anaknya menjadi muslim. Sebaliknya hukum Islam melarang perkawinan antara wanita yang beragama Islam dengan laki-laki yang bukan Islam, disebabkan karena wanita Islam itu akan murtad dari agama Islam dan mengikuti agama suaminya. 5 Peranan penting suami dalam keluarga dan rumah tangga tetap begitu ditekankan oleh hukum Islam. Tekanan itu sudah amat berkurang dalam hukum gereja Katolik. Perbedaan semacam itu dapat mempunyai dampak dalam hubungan seorang suami muslim yang punya istri Katolik. Istri yang Katolik mungkin merasa berhak dan bertanggung jawab secara sama dalam keluarga dan rumah tangganya, seperti suaminya. Padahal suaminya mungkin mempunyai pemahaman atau pandangan yang berbeda. Kesulitan lain muncul dalam hal memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Pihak Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak dalam semangat Katolik, bahkan ia harus berusaha sekuat tenaga untuk membaptis mereka secara Katolik. Padahal kewajiban yang sama juga ada pada pihak yang beragama Islam. Ia pun punya kewajiban untuk mendidik anak-anaknya secara Islam. Bagaimana hal seperti ini dapat dipecahkan?. 6 Walaupun setiap manusia memiliki hak untuk meneruskan keturunan dengan jalan menikah dan berkeluarga sebagai hak asasi manusia pemberian 4 Ibid., hlm. 8 5 O.S, EOH, Sh, Perkawinan Antar Agama, op. cit., hlm.118. 6 Al. Purwahadiwardoyo MSF, Perkawinan Menurut, op.cit., hlm. 77

64 Tuhan, meskipun demikian aturan pernikahan dan berkeluarga tersebut harus dijamin oleh lembaga yang berwenang agar pelaksanaannya berjalan dengan tertib. Masalah akidah atau keyakinan merupakan sesuatu yang paling dalam dan menyeluruh dalam membangun jiwa, mempengaruhinya, membentuk perasaannya, membatasi perasaannya, membatasi responresponnya, dan menentukan jalan-jalannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Meskipun banyak orang yang tertipu oleh ketenangan akidah lalu mereka mengira bahwa akidah adalah satu perasaan yang baru, yang kiranya sudah cukup dengan filsafat-filsafat berfikir sehingga tidak membutuhkan akidah lagi atau cukup dengan madzhab-madzhab sosial. Bagi mereka yang menginginkan perkawinan antar agama, maka ia harus berkorban atau menjual keyakinan mereka, yaitu dengan cara-cara sebagai berikut: a. Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau istri b. Salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan c. Perkawinan hanya dilangsungkan di kantor catatan sipil Padahal faktor penghambat dalam pelaksanaan perkawinan antar agama, yaitu: a. Adanya larangan dari agama-agama tertentu terhadap penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama lainnya. b. Adanya perbedaan penafsiran dari para pemimpin agama/ ulama, sarjana, hakim, pejabat pegawai pencatat perkawinan dan warga masyarakat tentang boleh atau tidaknya perkawinan antar agama, oleh karena hal ini tidak diatur dalam UU perkawinan. c. Masih ada perbedaan penafsiran tentang kantor catatan sipil apakah masih berwenang untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan. d. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari instansiinstansi yang berwenang, misalnya Mahkamah Agung, Departemen

65 Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri tentang bagaimana prosedur pelaksanaan dan pencatatan perkawinan antar agama. 7 Fenomena pemerkosaan, free seks, seks in the cost, kawin lari dan sejenisnya mengisyaratkan betapa pentingnya perkawinan sebagai alat pengerem terhadap nafsu liar. Artinya kalau kedua insan telah sepakat untuk membina hubungan perkawinan, maka sudah selayaknya pihak terkait memfasilitasi, baik agama maupun cacatan sipil. Adanya pelarangan perkawinan antar agama, menurut hemat penulis adalah lebih ditekankan pada kekhawatiran pada tindak konversi antar agama. Akan tetapi jika keduanya tetap berpegang teguh pada keyakinannya masing-masing, penulis berpendapat bahwa perkawinan tetap tidak dapat dilangsungkan. Lain lagi jika di antara keduanya dengan suka rela pindah agama (mengikuti agama calon suami atau istri). Hal tersebut bukan berarti penulis sepakat bahwa konversi diperbolehkan, akan tetapi kalau dengan adanya ikatan perkawinan seseorang dapat mengikuti agama yang dianggap benar (mengalami pencerahan/ enlighting) dan tidak terombang-ambing dalam kehidupannya karena keyakinannya selama ini, maka ia-pun mengikuti agama yang diyakininya benar, sebagai hasil dari proses pencarian dan perenungan adalah tidak menjadi persoalan. Karena yang terpenting ikatan perkawinan adalah menyelamatkan hubungan kedua insan dalam ikatan Tuhan, sehingga keduanya tidak amoral dan semakin jauh dari tatanan agama dan sosial. Bukankah Rasulullah pernah melakukan perkawinan dengan wanita Yahudi?, sebagai syi ar Islam, supaya Islam lebih dikenal dan dapat dijadikan rahmat li al-alamin. Penulis menegaskan bahwa kalau salah satu mempelai dengan keyakinan barunya telah menemukan bahwa agama yang cocok dan benar menurut keyakinanya adalah sesuai dengan mempelai yang satu, maka hal tersebut bukanlah dosa, karena hal tersebut merupakan hak asasi manusia. Ia boleh memeluk agama manapun yang ia kehendaki sesuai dengan keyakinannya. Hal tersebut dapat dilihat dari pengembaraan Nabi Ibrahim 7 Ibid., hlm. 150-151

66 dalam mencari Tuhan. Kalau dengan perkawinan sesorang dapat menemukan Tuhan yang sebenarnya dan sekaligus agama yang diyakininya, maka apa yang disalahkan terhadap orang tersebut yang telah melakukan konversi. Ia melakukan konversi bukan semata-mata karena bujukan, ancaman atau kemegahan materi, akan tetapi karena hasil perenungan dan keyakinan hati untuk membuka lembaran baru, sehingga ia lebih dapat hidup dengan jiwajiwa ke-ilahi-an. Semoga kita mendapatkan jalan yang benar dan ditetapkan pada jalan Allah, amin.