ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930)

UNDANG-UNDANG (STOOM ORDONNANTIE) VERORDENING STOOM ORDONNANTIE 1930 ATAU DENGAN KATA DALAM BAHASA INDONESIA UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930.

UNDANG-UNDANG (STOOM ORDONNANTIE) VERORDENING STOOM ORDONNANTIE 1930 ATAU DENGAN KATA DALAM BAHASA INDONESIA UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930.

BAB I. PENGATURAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN.

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1958 Tentang PENEMPATAN TENAGA KERJA ASING (Lembaran Negara No. 8 Tahun 1958) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P R E S I D E N REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 Tentang : Pengangkutan Zat Radioaktip

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1960 (7/1960) Tanggal: 26 SEPTEMBER 1960 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang-undang Nomor I Tahun 1970

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 1960 TENTANG PENGAWASAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN ASING PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 TENTANG PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1959 (4/1959) 9 MARET 1959 (JAKARTA) Sumber: LN 1959/12; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1957 TENTANG PERIZINAN PELAYARAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG TANDA DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERIZINAN USAHA PERIKANAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

12. Peraturan Uap Tahun 1930 atau Stoom Verordening 1930;

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1954 TENTANG UNDIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I J A W A T I M U R

Berita Resmi Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Triwulan ke IV Tahun Nomor: 4 Peraturan Daerah Kotapraja Yogyakarta Tahun 1960

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang : Pendaftaran Tanah

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN,

PERTURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG REPUBLIK INDONESIA Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 1960 Tanggal 12 Juli 1960

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

- 1 - WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN TEMPAT USAHA DAN GANGGUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1978 TENTANG PERUSAHAAN UMUM POS DAN GIRO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 06 TAHUN 2001 TENTANG

NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

NOMOR 16 TAHUN 1964 TENTANG BAGI HASIL PERIKANAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1959 TENTANG SUMPAH KETUA, WAKIL KETUA DAN ANGGOTA BADAN PENGAWAS KEGIATAN APARATUR NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240 TAHUN 1961 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN NEGARA POS DAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S. 1930-225, s.d.u. dg. S. 1931-168 terakhir s.d.u. dg. S. 1947-208. Pasal I Dengan mencabut Peraturan-peraturan uap yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal 4 Pebruari tahun 1924 (Sib. No. 42) menetapkan sebagai berikut: BAB I ATURAN UMUM Pasal 1 (1) yang dimaksud dengan pesawat uap dalam ordonansi ini ialah ketel uap dan setiap pesawat lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah secara langsung atau tidak langsung dihubungkan dengan suatu ketel uap dan diperuntukkan guna bekerja di bawah tekanan yang lebih tinggi dari tekanan udara biasa. (2) Ketel uap ialah suatu pesawat yang dibangun untuk menghasilkan uap yang dipergunakan di luar pesawat tersebut. Pasal 2 yang dimaksud dengan perlengkapan pesawat uap dalam ordonansi ini ialah semua pesawat yang ditujukan untuk menjamin pemakaian pesawat uap itu dengan aman. Pasal 3 Yang dimaksud dengan pemakai suatu pesawat uap dalam ordonansi ini ialah: a. dalam hal pemakaian khusus untuk keperluan rumah tangga, kepala keluarga atau pengurus suatu bangunan di mana pesawat tersebut dipakai; b. dalam semua hal lainnya, kepala atau pengurus usaha, perusahaan atau bangunan di mana pesawat itu dipakai. Pasal 4 Dalam ordonansi ini yang dimaksud dengan pesawat uap yang tetap ialah semua pesawat uap yang ditancapkan di lantai/dinding dan dengan pesawat uap yang dapat dipindah-pindahkan ialah semua pesawat uap yang tidak ditancapkan di lantai/dinding. BAB II PEMERIKSAAN RENCANA GAMBAR PESAWAT UAP Pasal 5 1 / 9

(1) Barangsiapa merencanakan suatu pesawat uap guna dipakai di Indonesia, mengajukan permohonan pengesahan rencana gambar pesawat uap tersebut kepada Kepala Pengawasan Keselamatan Kerja (kini dapat disamakan dengan Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja). (2) Dengan peraturan pemerintah ditetapkan: a. surat-surat manakah yang harus dilampirkan pada permohonan pengesahan tersebut di atas; b. berapa biaya yang harus dibayar kepada Negara untuk itu; dan c. oleh pejabat manakah pengesahan itu dapat dicabut. BAB III IZIN UNTUK MENJALANKAN PESAWAT UAP Pasal 6 (1) Dilarang menjalankan pesawat uap tanpa memiliki surat izin yang diberikan oleh Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. (2) Dengan peraturan pemerintah dapat ditunjuk pesawat uap yang tidak tunduk kepada ayat di atas ini. Pasal 7 (1) Surat izin diberikan, apabila pemeriksaan dan percobaan pesawat, juga pemeriksaan terhadap perlengkapannya yang dilakukan oleh Negara menunjukkan hasil yang memenuhi syarat-syarat dalam dan berdasarkan peraturan pemerintah termasuk pasal 8. (2) Untuk pesawat uap yang ditempatkan di kapal berasal dari luar Indonesia dan yang telah diperiksa dan dicoba di Negeri Belanda, percobaan seperti termaksud pada ayat (1) pasal ini tidak diharuskan, asalkan pesawat itu tetap berada di kapal yang sama di mana pesawat itu ditempatkan sewaktu pemeriksaan dilakukan di Negeri Belanda, dan pada surat permohonan dilampirkan bukti yang diberikan oleh Menteri Perburuhan, Perdagangan dan Perindustrian Belanda yang menyatakan bahwa pemeriksaan dan percobaan telah dilakukan dengan hasil yang baik. Pasal 8 Dengan peraturan pemerintah ditetapkan: a. keterangan apakah yang harus dimuat dalam surat permohonan untuk mendapatkan surat izin dan apakah yang harus dilampirkan. Juga tentang keterangan dan syarat-syarat yang harus dinyatakan dalam surat izin tersebut; b. syarat apakah yang harus dipenuhi oleh pesawat uap dan perlengkapannya termasuk dalam pasal 6; c. cara pemeriksaan dan percobaan serta aturan yang harus diindahkan; d. dalam hal manakah Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja,Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dapat memberi pembebasan seluruhnya, sebagian atau dengan bersyarat atau ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut. Pasal 9 2 / 9

Untuk pemeriksaan dan percobaan pesawat uap yang pertama kali, dilakukan oleh Negara, juga untuk memperoleh surat izin baru dalam hal surat izin aslinya hilang, dikenakan biaya yang jumlahnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Pasal 10 Pemohon izin pemakaian pesawat uap harus menyediakan pekerja dan alat mesin yang diperlukan untuk kepentingan pegawai atau ahli yang akan mencoba pesawat tersebut. Pasal 11 (1) Akibat yang merugikan dari percobaan dipikul oleh pemohon, kecuali jika percobaan itu tidak dilakukan sebagaimana mestinya. (2) Dalam hal yang terakhir ini kerugian diganti oleh Negara. Pasal 12 (1) Jika menurut Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja pemakaian pesawat, mengingat syarat tentang keamanan ia menolak pemberian izin dan memberitahukannya disertai dengan alasannya kepada pemohon. (2) Pemohon dalam waktu empat belas hari setelah menerima pemberitahuan tersebut, dapat mengajukan keberatannya kepada suatu dewan yang terdiri dari Direktur Jenderal yang membawahi Direktorat Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja sebagai Ketua dan dua orang Insinyur ahli mesin yang setiap tahun sekali ditunjuk sebagai anggota oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (3) Kecuali jika keberatan itu tidak mempunyai dasar yang jelas, dewan memerintahkan agar pesawat diperiksa kembali oleh pegawai atau ahli lain dan jika perlu dicoba. (4) Jika pemeriksaan ulang menunjukkan bahwa keberatan yang diajukan oleh yang berkepentingan adalah tidak beralasan, dewan memberitahukan kepada yang berkepentingan bahwa penolakan dibenarkan. BAB IV PENGAWASAN TERHADAP PESAWAT UAP Pasal 13 (1) Semua pesawat uap yang dipakai beserta perlengkapannya berada di bawah pengawasan terus menerus oleh Negara Pengawasan ini dijalankan oleh pegawai-pegawai Dinas Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dari Kantor Daerah dan Resort dalam wilayah di mana pesawat uap itu berada menurut aturan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (2) Di mana berdasarkan aturan itu untuk pemeriksaan dan percobaan pesawat uap ditunjuk ahli lain daripada pegawai yang bersangkutan, maka ahli inti mempunyai wewenang yang sama seperti pegawai tersebut dan terhadap ahli itu berlaku juga segala sesuatu yang ditetapkan dalam ordonansi ini berkenaan dengan tindakan pegawai tersebut dalam tugasnya. Pasal 14 3 / 9

(1) Pegawai dan ahli tersebut pada pasal 13 setiap waktu berhak memasuki tempat di mana pesawat uap dan perlengkapannya berada. (2) Jika ditolak untuk memasuki, mereka memasukinya jika perlu dengan bantuan polisi. (3) Jika pesawat atau perlengkapannya hanya dapat dicapai melalui sebuah rumah, maka mereka tidak akan memasuki rumah tersebut bila bertentangan dengan kemauan penghuni, selain dengan menunjukkan suatu surat perintah khusus dari Bupati/Kepala Daerah yang bersangkutan. (4) Perihal memasuki rumah itu dibuat suatu berita acara oleh mereka; satu salinannya dikirimkan kepada penghuni rumah dalam waktu dua kali dua puluh empat jam sebelum memasuki rumah tersebut. Pasal 15 Pemakai pesawat uap dan mereka yang melayaninya, wajib memberi kepada pegawai dan ahli termaksud pada pasal 13 semua keterangan yang diinginkan mengenai hal dan kejadian yang berkenaan dengan dijalankannya ordonansi ini. Pasal 16 (1) Tiap pesawat uap diperiksa dan jika perlu dicoba lagi oleh Direktorat Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja setiap kali demikian dianggap perlu oleh Direktorat tersebut atau pun atas permohonan pemakai. (2) Untuk pemeriksaan dan percobaan termaksud pada ayat yang lalu, pemakai harus membayar kepada Negara sejumlah uang yang ditentukan dalam peraturan pemerintah. (3) Dengan menyimpang dari ketentuan pada pasal 3, semata-mata untuk pelaksanaan ayat yang lalu, sebagai pemakai pesawat uap ditetapkan seseorang yang atas namanya Surat izin dikeluarkan, selama ia tidak mengajukan Surat permohonan tertulis guna menarik kembali Surat izin tersebut kepada Direktorat Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Pasal 17 Pemakaian pesawat uap menyediakan bagi orang yang ditugaskan mengadakan pemeriksaan dan percobaan, pekerja dan alat mesin yang diperlukan untuk pemeriksaan dan percobaan tersebut. Pasal 18 Jika pemakaian pesawat uap bertentangan dengan pendapat pegawai pengawas yang bersangkutan yang diberitahukan kepadanya, berpendapat bahwa tidak ada cukup alasan baik untuk dalam jangka waktu biasa yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah diadakan percobaan atau pemeriksaan yang akan menentukan supaya pesawat uap tidak dapat dipakai lagi, maupun untuk atas perintah pegawai menyiapkannya dalam keadaan untuk diperiksa atau dicoba, maka dalam waktu tiga hari setelah pemberitahuan tersebut la menyampaikan secara tertulis keberatannya kepada pegawai itu yang terakhir ini memutuskan apakah penundaan dapat diberikan. Jika demikian ini dapat disesuaikan dengan syarat keamanan, maka olehnya sedapat-dapatnya akan dituruti keinginan pemakai. Pasal 19 (1) Dengan peraturan pemerintah ini ditetapkan: a. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi: 4 / 9

I. Oleh pemakai: 1. dalam hal pesawat uap dipindahkan tempatnya; 2. jika keadaan pesawat uap dan perlengkapannya tidak memenuhi uraian dan syaratsyarat yang tercantum dalam Surat izin; 3. jika penunjukan pemegang Surat izin tidak benar lagi; 4. dalam hal adanya kerusakan pada pesawat uap dan perlengkapannya; 5. dalam hal ada perbaikan pada pesawat uap beserta perlengkapannya; 6. dalam hal pemeliharaan dan pelayanan pesawat uap dan perlengkapannya; 7. dalam hal pengaturan ruangan di mana ketel-ketel kapal uap ditempatkan. II. Oleh pemakai dan oleh orang-orang yang melayaninya selama pesawat dipakai, baik jika pesawat uap dan perlengkapannya dalam keadaan bekerja maupun tidak bekerja, mengenai keamanan bekerjanya pesawat uap beserta perlengkapannya; b. Hal-hal yang harus dilakukan oleh pemakai pesawat uap agar memungkinkan pengawasan yang mudah dan tidak berbahaya, dan hal-hal yang dapat diperintahkan oleh para pegawai dan ahli seperti termaksud dalam pasal 13; c. Dalam hal manakah Surat izin dapat dicabut. (2) Dalam peraturan pemerintah seperti termaksud pada ayat (1) pasal ini ditentukan pula hal-hal, di mana Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dapat memberi pembebasan seluruh atau pembebasan bersyarat atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut. Pasal 20 (1) Pegawai yang berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pesawat uap, berwenang memerintahkan dilakukannya usaha yang dipandang perlu guna menjamin keamanan pesawat dan ditaatinya ketentuanketentuan dalam ordonansi ini. (2) Bila ternyata baginya bahwa orang yang bertugas melayani pesawat uap itu tidak memiliki kemampuan yang diperlukan, ia dapat memerintahkan agar orang tersebut dibebaskan dari pelayanan pesawat itu. (3) Dalam hal termaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, ditetapkan suatu jangka waktu dalam waktu mana pemakai harus melaksanakan perintah tersebut. (4) Bila pemakaian menganggap dirinya diberatkan oleh perintah tersebut, dalam waktu empat belas hari setelah perintah itu diberikan, ia dapat mengajukan keberatannya kepada Direktur Pembinaan Normanorma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja yang memberi keputusan mengenai itu. Jika pemakai juga tidak dapat menyetujui keputusan ini, dalam waktu sepuluh hari setelah menerima pemberitahuan keputusan tersebut, ia dapat mengajukan keberatan dengan suatu Surat permintaan yang bermeterai kepada dewan termaksud pada pasal 12, yang kemudian mengambil keputusan terakhir dan menetapkan jangka waktu lagi dalam waktu mana keputusan itu harus sudah dipenuhi. (5) Segera setelah dipenuhinya perintah yang diberikan itu, pemakai memberitahukannya kepada Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan kesehatan Kerja dengan perantaraan pegawai pengawas yang bersangkutan pada Direktorat tersebut. Pasal 21 5 / 9

(1) Bila pada pemeriksaan atau percobaan ternyata bahwa pesawat tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan untuk keamanan dalam pemakaian, maka pegawai yang bersangkutan melarang pemakaian selanjutnya. (2) Larangan demikian ia diberitahukan kepada Bupati/Kepala Daerah yang bersangkutan yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya, dan kepada Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. (3) Pemakai dapat mengajukan keberatannya kepada dewan termaksud pada pasal 12 dalam waktu yang ditetapkan di sini. Kecuali dalam hal keberatan tersebut terang tidak mempunyai dasar, dewan hanya mengambil keputusan terakhir, setelah pesawat diperiksa kembali dan jika perlu dicoba oleh seorang pegawai atau ahli lain. (4) Bila larangan tidak dapat diubah lagi karena dibenarkan dalam tingkat banding atau karena lewatnya jangka waktu yang ditetapkan, Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja mencabut Surat izin yang dikeluarkan untuk pesawat itu. Pasal 22 (1) Bila pegawai yang berkewajiban melakukan pengawasan mendapatkan bahwa suatu pesawat uap bekerja tanpa adanya izin yang diperlukan, ia melarang pemakaian selanjutnya. Terhadap larangan ini berlaku ketentuan termaksud pada pasal 21 ayat (2). (2) Pesawat uap tidak boleh dipakai lagi, kecuali setelah berdasarkan suatu permohonan, dan dari pemeriksaan dan percobaan sesuai dengan pasal 7 dan 8 dinyatakan tidak ada keberatan untuk dipakai lagi. BAB V PERLEDAKAN Pasal 23 (1) Tentang meledaknya pesawat uap, pemakai segera memberitahukan kepada Bupati/Kepala Daerah. la menjaga agar pada tibanya Bupati/Kepala Daerah di tempat kecelakaan, semua berada dalam keadaan tidak berubah, kecuali jika demikian itu dapat menimbulkan bahaya. (2) Tentang meledaknya suatu pesawat uap yang termasuk perlengkapan kapal uap atau alat pengangkutan di darat, pemberitahuan dilakukan kepada Bupati/Kepala Daerah di tempat kapal itu berlabuh atau pelabuhan yang pertama dimasuki atau di tempat alat pengangkutan itu berada. (3) Bupati/Kepala Daerah segera setelah menerima pemberitahuan mengenai perledakan tersebut, mengambil tindakan seperlunya untuk menjaga agar segala sesuatu di tempat kecelakaan tetap tidak berubah sampai pemeriksaan termaksud dalam pasal 24 dimulai sepawang hal demikian itu tidak akan menimbulkan bahaya. ia memberitahukan kejadian tersebut baik langsung maupun dengan perantaraan Gubernur/Kepala Daerah kepada pegawai yang berkewajiban melakukan pengawasan atas pesawat uap yang secepatnya harus mengadakan pemeriksaan di tempat. Pasal 24 (1) Pemeriksaan di tempat terutama bertujuan untuk menetapkan apakah perledakan itu merupakan akibat dari: 1. kelalaian atau keteledoran ataupun karena tidak memperhatikan aturan pemakaian pesawat uap 6 / 9

oleh pihak pemakai atau dalam pemakaian dapat dibuktikan bahwa ia telah melakukan segala sesuatunya untuk menjaga dilaksanakannya aturan itu, oleh orang yang diberi tugas melayani pesawat itu; 2. tindakan sengaja oleh pihak ketiga. (2) Mengenai pemeriksaan ini oleh pegawai yang ditugaskan melakukan pemeriksaan, atas sumpah jabatannya dibuat suatu berita acara rangkap dua yang sedapat-dapatnya memuat suatu keterangan yang jelas dan tegas mengenai sebab kecelakaan tersebut. Sebuah berita acara jika ada dugaan bahwa telah dilakukan suatu tindak pidana, secepatnya diajukan kepada pegawai yang berkewajiban melakukan penuntutan dan yang lainnya kepada Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja yang segera setelah menerima surat tersebut, mencabut surat izin yang telah dikeluarkan untuk pesawat yang meledak itu. (3) Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja mengirimkan salinan berita acara kepada pemakai yang bersangkutan. BAB VI WEWENANG MELAKUKAN PENGUSUTAN BERKENAAN DENGAN PELAKSANAAN KETENTUAN- KETENTUAN DALAM ORDONANSI INI Pasal 25 Selain pegawai yang berkewajiban melakukan pengusutan kejahatan dan pelanggaran pada umumnya, juga pegawai tersebut pada pasal 13 berwenang dan wajib mengadakan pengusutan pelanggaran terhadap ordonansi ini dan terhadap ketentuan-ketentuan yang diadakan untuk melaksanakan ordonansi ini. BAB VII ATURAN PIDANA Pasal 26 Pemakai pesawat uap dipidana dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden: a. bila pesawat tersebut dijalankan sebelum izin yang disyaratkan untuk itu diperoleh atau sesudah izin itu dicabut ataupun pemakaian selanjutnya dilarang, berdasarkan pasal 21 ayat (1) atau pasal 22 ayat (1); b. bila ia tidak menjaga bekerjanya alat keamanan dengan sepenuhnya seperti yang diuraikan dalam surat izin yang diberikan; c. bila ia membiarkan alat keamanan itu diubah di luar pengetahuan pegawai yang berkewajiban melakukan pengawasan atau merintangi berjalannya alat tersebut dengan baik dan tepat; d. bila ia tidak cukup menjaga dipenuhinya aturan-aturan khusus yang telah ditetapkan atau syarat-syarat khusus yang diharuskan; e. bila ia setelah terjadinya perledakan, tidak segera memberitahukannya kepada Bupati/Kepala Daerah yang bersangkutan. Pasal 27 7 / 9

Dipidana dengan kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus gulden, barangsiapa yang bertugas melayani suatu pesawat uap tidak berada di tempat pada waktu pesawat itu dipergunakan. Pasal 28 Tindak pidana dalam ordonansi ini dianggap sebagai pelanggaran. BAB VIII PENGECUALIAN DAN ATURAN PERALIHAN Pasal 29 Ordonansi ini tidak berlaku terhadap pesawat uap yang dipakai di kapal Angkatan Laut Republik Indonesia, Perhubungan Laut dan Dinas Pemberantasan Penyelundupan Candu di laut dan selain pengecualian yang ditentukan dengan peraturan pemerintah, juga tidak berlaku terhadap pesawat uap yang dipakai di kapal perhubungan dan kepolisian milik Pemerintah Daerah. Pasal 30 Kecuali yang ditetapkan pada pasal 23 dan 24, ordonansi ini juga tidak berlaku terhadap pesawat uap: a. yang dipakai di kapal dan perahu yang tidak diperlengkapi dengan bukti kewarganegaraan Indonesia yang sah atau sebagai gantinya suatu surat izin, jika pemakai dapat membuktikan bahwa telah dipenuhinya peraturan mengenai uap yang berlaku di negara yang benderanya ia pakai ataupun kapal itu dapat memperlihatkan surat izin mengangkut penumpang atau surat mengenai kelayakan (certificaat van deugwkheid) yang memuat catatan mengenai pengangkutan penumpang dari negaranya sendiri yang masih berlaku dan diakui oleh Indonesia, kecuali jika pemiliknya menyatakan keinginannya untuk menempatkan pesawat uap itu di bawah pengawasan Direktorat Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Direktur Pembinaan Norma-norma Keselamatan Kerja, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dapat menetapkan apakah dan dalam hal manakah mengenal kapal yang diklasifikasi dapat dipandang cukup dengan pengawasan oleh biro klasifikasi yang bersangkutan; b. yang dapat diangkut dan milik seorang pemilik yang bertempat tinggal di luar Indonesia, jika pemakai dapat membuktikan bahwa telah dipenuhi peraturan mengenai uap yang berlaku di negeri di mana pemilik bertempat tinggal dan bahwa pesawat itu dipakai di Indonesia kurang dari enam bulan berturut-turut. Pasal 31 Pemakai pesawat uap yang pada waktu berlakunya ordonansi ini memiliki surat izin, tetap berhak untuk memakai pesawat uapnya itu berdasarkan surat tersebut dan dengan syarat yang tercantum dalam surat izin itu. Hak untuk memakai surat izin ini berakhir pada pembaharuan suatu bagian dari pesawat uap atau perlengkapannya dengan tidak menyesuaikannya dengan ketentuan yang ditetapkan berdasarkan ordonansi ini. Ordonansi ini dapat disebut Ordonansi Uap 1930. Pasal 32 8 / 9

Pasal II Ordonansi ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal, yakni tanggal 1 Januari 1931. Diundangkan di Cipanas pada tanggal 30 Juni 1930. 9 / 9