KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto Diskusi mengenai pengelolaan limbah radioaktif konvensional (pengelolaan limbah hasil operasi industri nuklir) di negara-negara maju saat ini lebih berfokus pada limbah aktivitas tinggi (termasuk di dalamnya bahan bakar bekas). Hal ini berarti bahwa pengelolaan limbah aktivitas rendah di negara negara tersebut dapat dianggap telah terpecahkan. Meskipun demikian tetap saja perkembangan, perubahan dan kecenderungan dalam penanganan limbah aktivitas rendah terus berlanjut dan patut dicermati. Di lain pihak, pro dan kontra tentang penyimpanan lestari (disposal) vs long-term storage merupakan isu dominan dalam perdebatan pengelolaan limbah radioaktif, meskipun hal ini bukan yang baru pertama kali dikemukakan. Beberapa ahli penyimpanan dan pembuangan limbah radioaktif menganggap bahwa struktur geologi lebih stabil dan tahan lama (durable) dibanding lingkungan kendali manusia. Di lain pihak, ada sebagian ahli yang tidak yakin terhadap prediksi berdasar model ilmu pengetahuan (matematika, fisika, dan kimia) berkenaan dengan masa depan limbah radioaktif yang tersimpan dalam struktur geologi, sehingga memilih penyimpanan dibawah kendali manusia. Pendapat terakhir tersebut menyebabkan adanya kecenderungan untuk mempertimbangkan opsi non-disposal (indefinite surface storage), dan tetap saja opsi ini memerlukan kegiatan safety assessment seperti halnya pada opsi disposal. Opsi non disposal tersebut terkait dengan kecenderungan penerimaan terhadap ide retrievability dan reversibility (ide kemungkinan penggunaan kembali limbah radioaktif di masa depan) yang harus diperhitungkan dalam desain penyimpanan limbah radioaktif. Pada pertemuan mengenai pengelolaan limbah radioaktif di Cordoba, Spanyol, ide tersebut merupakan isu baru, namun pada konferensi Issues and Trends in Radioactive Waste Management di Wina pada Desember 2002 seakan menjadi opsi yang tampak realistis. Opsi non- 1
disposal memberikan citra sangat penting dalam sisi politik dan mudah dipahami oleh masyarakat, dan tidak begitu banyak pengaruhnya dalam sisi teknis. Kecenderungan tersebut di atas diartikan bahwa penyimpanan/pembuangan limbah radioaktif menggunakan penyelesaian middle-of-the-road, yaitu, penyimpanan (repository) dalam kondisi terbuka selama ratusan tahun, sampai generasi berikutnya memutuskan untuk menutup fasilitas tersebut (atau mengambil limbah dan memprosesnya sesuai dengan opsi teknologi pada saat itu). Kenyataan di lapangan, secara teknis baik dari segi keselamatan maupun safeguard, pengelola limbah lebih menginginkan tempat penyimpanan dalam kondisi terbuka (istilah ini berarti limbah relatif mudah untuk diambil kembali) untuk periode sesingkat mungkin, namun alasan sosial politik kemungkinan lebih menginginkan bahwa tempat penyimpanan dalam kondisi terbuka selama mungkin (bila dibutuhkan). Apabila pendekatan middle-of-the-road diterima karena alasan non teknis, maka paling tidak harus ada penekanan dari segi teknis menyangkut: packaging dimana harus tetap mengikuti persyaratan final disposal, dan suatu keharusan pula untuk diberikan penjelasan pada generasi berikutnya tata cara penutupan fasilitas penyimpanan (sesuai dengan pengetahuan saat ini). Semua kecenderungan di atas menunjukkan adanya pergeseran pemahaman terhadap prinsip no undue burden for future generation. Akhir-akhir ini prinsip tersebut dipahami bahwa generasi saat ini, yang membuang limbah, mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaam limbah sesuai dengan persyaratan keselamatan pasif dengan sedikit atau tanpa persyaratan pemantauan atau kendali di masa depan. Kecederungan tersebut secara jelas menunjukkan pergeseran dari hukum absolut (absolute law) ke arah rekomendasi. Bagaimanapun, saat ini perlu dipikirkan dan dipertimbangkan mengenai metode penutupan fasilitas disposal di masa depan, sehingga generasi selanjutnya kemungkinan dapat mengadopsinya. Namun demikian perdebatan antara pendekatan konvensional (final disposal) dan middle-of-theroad akan tetap berlangsung. 2
Harus diperhatikan pula bahwa opsi fasilitas penyimpanan terbuka selama 300 tahun dengan sendirinya membuat para ahli harus memprediksi kondisi masyarakat paling tidak sampai 300 tahun ke depan. Contoh betapa sulitnya memprediksi kondisi sosial politik di masa depan dapat ditarik dari kenyataan sejarah, bahwa 300 tahun yang lalu di Perancis masih berkuasa Raja Louis XIV, dalam kurun waktu tersebut terjadi dua perang dunia, bahkan banyak negara belum terbentuk atau tidak dalam bentuk yang sekarang dikenal. Isu penting lainnya adalah, banyaknya istilah dalam pengelolaan limbah radioaktif yang perlu diperjelas. Masih banyak kebingungan, bahkan bagi para ahli sekalipun, misalnya beda antara regulatory control, active institutional control, dan passive institutional control. Atau, beda antara active monitoring dan passive monitoring. Klarifikasi ini sangat penting apabila akan digunakan untuk diskusi dengan pihak non spesialis serta masyarakat umum. Kecenderungan lain saat ini terhadap pemecahan masalah discharge control dalam pengelolaan limbah radioaktif adalah berdasar pada penerimaan masyarakat atau public acceptance. Pada prinsipnya adalah, pengelolaan limbah radioaktif tidak hanya dilihat dari kacamata siklus bahan bakar, namun harus diperhatikan pula implikasi terhadap masyarakat. Sebagai contoh, ada suatu kecenderungan di beberapa negara Skandinavia dan Inggris menggunakan pendekatan zero emissions daripada pendekatan optimisation. Pengelolaan sumber radiasi bekas kembali menjadi perhatian setelah kasus pengeboman gedung World Trade Center pada 11 September 2001 dimana ada kekhawatiran Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya terhadap kemungkinan adanya serangan dirty bomb menggunakan sumber radiasi akibat kurang terkendalinya sumber radiasi (masih dipakai atau bekas) yang ada di industri dan rumah sakit. Namun terlepas dari kasus tersebut, tetap saja faktor yang harus diperhatikan dalam penanganan sumber radiasi bekas adalah keselamatan dan efektifitas pembiayaan. Satu opsi teknologi penyimpanan yang sering muncul dari diskusi dalam seminar, karena mempunyai faktor keselamatan (safety) dan keamanan (security) yang bagus, adalah menggunakan borehole. Terdapat suatu tren, yang juga harus selalu 3
didukung, adalah pengembalian sumber bekas ke pembuatnya. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjamin keselamatan pengelolaan sumber bekas. Namun dapat dipahami pula banyak kendala yang dihadapi yang memerlukan suatu usaha keras berbagai pihak terkait untuk memperbaiki peraturan dan sistem administrasi perijinan penggunaan sumber radioaktif. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2002, Indonesia masih menerapkan dua pilihan bagi calon penggunan bahan radioaktif yang mengajukan ijin ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir, yaitu memilih untuk reeksport sumber radiasi bekasnya kelak atau di kirim ke Pusat Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR) BATAN. Meskipun demikian BAPETEN dan BATAN selalu mendorong ke calon pengguna bahan radioaktif untuk memilih reeksport dengan resiko biaya yang dikeluarkan menjadi lebih mahal, namun dari sisi keselamatan dan keamanan jauh lebih terjamin. Limbah NORM (Naturally Occuring Radioactive Material) atau lebih tepat menggunakan istilah TENORM (Technically-Enhanced Naturally Occuring Radioactive Material) akhir-akhir ini mulai diperhatikan di negara-negara maju. Limbah ini tidak hanya berasal dari aktivitas pemanfaatan energi nuklir saja, namun juga sering ditemukan di industri fosfat, minyak dan gas, serta industri lainnya. Akibat bervariasinya situasi yang dihadapi, maka harus ditangani secara hati-hati dan kasus perkasus berdasar pada proteksi radiasi dan kaidah umum yang berlaku. Berdasarkan kebijaksanaan yang banyak dianut saat ini, NORM tetap di bawah kendali institusi terkait selama mungkin. Arti kata selama mungkin adalah selama tidak ditemukan suatu alasan untuk mengolah secara khusus (selama 100-200 tahun?). ICRP 82 menetapkan intervention level untuk membersihkan NORM akibat kegiatan-kegiatan operasi di masa lalu, namun ada kecenderungan untuk tidak mengikuti aturan tersebut dan cenderung menggunakan level lebih rendah. Penggunaan level yang lebih rendah tersebut memerlukan biaya lebih banyak, namun secara politis dapat diterima. Banyak negara sulit untuk menanggung biaya penanganan limbah NORM, bahkan negara-negara berkembang belum begitu memperhatikan secara serius masalah NORM. 4
Sampai saat ini belum ada petunjuk yang jelas bagaimana mengelola limbah NORM, bagaimana melakukan remediasi lingkungan lokasi dan lain sebagainya. Kebijaksanaan umum yang diambil adalah pemerintah dan institusi terkait harus bersifat fleksible dalam menangani kasus per kasus limbah NORM. Salah satu masalah besar dalam pengelolaam limbah adalah pembiayaan limbah radioaktif di masa depan, perlu dilakukan diskusi secara serius dengan banyak organisasi masyarakat untuk menjelaskan dan mendapat masukan mengenai pembiayaan penanganan limbah radioaktif. Bagaimanapun juga pengelola limbah radioaktif memerlukan dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan masalah limbah radioaktif terutama adanya kepercayaan, penerimaan dan kedibilitas dari masyarakat. Dialog secara terus menerus harus dilakukan, tetapi dengan syarat paling tidak mempunyai kesamaan pola berfikir. Kalau syarat minimum ini tak dipenuhi maka yang terjadi adalah dua pihak yang ber-monolog. Terdapat kecenderungan yang sangat besar di beberapa negara-negara maju untuk selalu melibatkan seluruh stakeholder untuk menyelesaikan masalah pengelolaan limbah radioaktif. Proses untuk memutuskan suatu masalah dengan cara tersebut kemungkinan akan menjadi lambat, namun ini merupakan jalan yang terbaik. Kalau hanya pengelola limbah radioaktif yang dibantu oleh akademisi ataupun ilmuwan saja pasti tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan pengelolaan limbah radioaktif. Keterlibatan unsur masyarakat merupakan suatu syarat dan harus disesuaikan dengan kondisi sosial politik negara masing-masing. *) Sebagian besar materi makalah ini merupakan rangkuman dari hasil keikutsertaan penulis pada konferensi Issues and Trends in Radioactive Waste Management di Wina pada 9-13 Desember 2002. Daftar Pustaka 1. IAEA, International Conference on Issues and Trends in Radioactive Waste Management, Vienna, Austria, 9-13 December 2002. 5
2. Radioactive Waste Management Status and Trends, No. 2, IAEA, Vienna, 2002. 3. IAEA, Radioactive Waste Management-Turning Options into Solutions, Vienna, Austria, 19-20 September 2000. 4. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, 5. Djarot S. Wisnubroto, Pengelolaan Limbah NORM/TENORM dari kegiatan Industri non Nuklir, Seminar Aspek Keselamatan Radiasi dan Lingkungan pada Industri Non Nuklir, Jakarta, 18 Maret 2003. 6. IAEA, International Conference on Safety of Radioactive Waste Management, Cordoba, Spain, 13-17 March 2000. 6