BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab XXV : Perbuatan Curang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab XII : Pemalsuan Surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KARENA KELALAIANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA PADA KECELAKAAN LALU-LINTAS.

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PN DEMAK No. 62/Pid.Sus/2014/PN Dmk DALAM KASUS TABRAKAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193]

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

RechtsVinding Online

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare. Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK. Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN [LN 2004/96, TLN 4420]

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG PRAKTEK KEDOKTERAN DALAM PENANGANAN MALPRAKTEK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA Semakin maraknya kasus malapraktek medik yang terjadi akhir-akhir ini semakin membuat masyarakat resah, sehingga mendorong masyarakat lebih kritis dan ingin lebih mengetahui serta menuntut hak-haknya sebagai seorang pasien. Banyaknya kasus-kasus malapraktek medik yang sering terjadi membuat masyarakat kesal dan berusaha menuntut atau meminta pertanggungjawaban secara hukum. Keinginan masyarakat ini agaknya dapat dimaklumi karena kasuskasus malapraktek medis seringkali tidak terselesaikan bahkan cenderung menguap begitu saja. Sudah sepantasnya bagi masyarakat umum untuk lebih mengetahui segala pengaturan atas akibat hukum yang timbul atas terjadinya malapraktek medik tersebut. Di dalam penulisan ini, penulis lebih memilih untuk meninjau akibat hukum yang ditimbulkan dari aspek pidana yang pastinya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disamping itu, penulis tidak melupakan untuk meninjau mengenai pengaturan mengenai kasuskasus malapraktek dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang sudah mulai berlaku sejak Oktober 2005, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

1. Malapraktek Kedokteran Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan banyaknya pengaduan mengenai kasus-kasus malapraktek medis yang ada belakangan ini, tidak banyak yang menggugat atau melaporkan kasus malapraktek dengan menggunakan jalur hukum pidana. Para korban malapraktek medik ini lebih condong untuk memakai jalur hukum perdata, dimana mereka meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami. Aspek pidana dari malapraktek kedokteran dapat bersandarkan pada beberapa pasal KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana). Tindak Pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam Hukum Pidana, terjadinya peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 23 : a. Harus ada suatu perbuatan manusia b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan d. Perbuatan itu harus melawan hukum e. Terhadap perbuatan tersebut harus tersedia ancaman hukumannya di dalam Undang-Undang. Untuk memidana seseorang, disamping orang tersebut melakukan perbuatan terlarang, dikenal pula asas Geen straf zonder schuld (tiada pidana 23 Mr. R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, Djakarta, PT.Tiara Limited, 1989, hlm.28.

tanpa kesalahan). Asas ini merupakan hukum yang tidak tertulis, tetapi berlaku di masyarakat dan juga berlaku dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), misalnya Pasal 44 KUHP tidak memberlakukan pemidanaan bagi perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggungjawab, Pasal 48 KUHP tidak memberikan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu, untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban hukum pidana haruslah memenuhi 3 (tiga) unsur 24, yaitu: a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada petindak, artinya keadaan jiwa petindak harus normal. b. Adanya hubungan bathin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). c. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf. Dalam kaitannya dengan ketiga unsur diatas, apabila dihubungkan dengan tindakan malapraktek kedokteran maka yang merupakan unsur-unsur tindak pidana ialah adanya tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh dokter atau pekerja medis, yang dapat berupa menyuntik, mengoperasi, memberi obat, dan lain-lainnya; ada kesalahan, yang dapat berupa kealpaan (kurang hati-hati, teledor, dan sebagainya) dalam melakukan tindakan; dan ada akibat yang terlarang (pasien 24 H. Sapriyanto Refa, SH. MH, Tinjauan Aspek Hukum Perdata dan Pidana Terhadap Malapraktek, Kelalaian dan Kegagalan Medis, Op.cit., hlm.5.

luka/ meninggal/ atau penyakitnya bertambah parah, tertinggalnya alat-alat/ sarana operasi didalam tubuh pasien, dan lain-lainnya). Berbagai penyimpangan atas praktek kedokteran yang berada dibawah standard profesi dapat disebabkan oleh 2 (dua) unsur 25, yakni kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Penjelasan mengenai 2 (dua) hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Kesengajaan (dolus) Seringkali kita menyaksikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesamanya dimana perbuatan itu ada yang terjadi tanpa disengaja. Dari kata sengaja itu diambil suatu kesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan mengetahui sejauh mana akibat yang dapat timbul dengan dilakukannya perbuatan itu. Kesengajaan ini jika dilihat didalam kepustakaan terdapat 2 (dua) teori, yaitu: 1) Teori kehendak, maksudnya bahwa perbuatan itu beserta akibat yang terjadi sudah merupakan kehendak daripada si pelaku. 2) Teori pengetahuan, maksudnya bahwa sejauh mana yang dapat dibayangkan si pelaku ketika melakukan perbuatan itu, terhadap akibat yang terjadi. Dalam kasus kedokteran, dapat kita lihat apabila seorang dokter menggugurkan kandungan seorang wanita dengan motif memperoleh 25 Dr. Danny Wiradharma, S.H., M.S. Jm., Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Op.cit., hlm.96-102.

uang, ini berarti penggugurean tersebut dilakukan dengan kesengajaan; dokter tersebut memang menghendaki terjadinya pengguguran tersebut. b. Kelalaian (culpa) Kelalaian berarti suatu bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, berarti tidak teliti dan tidak berhati-hati. Disini sikap bathin pelaku adalah tidak menghendaki atau tidak menyetujui timbulnya hal yang terlarang itu. Akan tetapi karena kesalahannya, terjadi kekeliruan yang mengakibatkan terjadinya hal yang dilarang tersebut. Jadi dalam kelalaian ini tidak ada niatan jahat dari pelaku. Walaupun demikian, kelalaian yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain tetap harus dipidanakan. Van Hamel dan Simon, mengatakan bahwa kelalaian mengandung 2 (dua) syarat yaitu dengan tidak mengadakan penduga-duga, serta tidak mengadakan penghati-hati, sebagaimana diharuskan oleh hukum. Contohnya kasus dengan tidak mengadakan penduga-duga ialah apabila seorang dokter memberi suntikan penisilin kepada pasiennya dan pasien tersebut meninggal karena anaphylactic shock. Suntikan penisilin mungkin dapat digantikan dengan obat dari jenis yang sama tetapi dengan cara diminum bukan disuntikan, karena akibat buruk yang mungkin timbul bisa lebih ringan atau tidak ada. Setiap dokter seharusnya tahu bahwa penisilin apalagi dalam bentuk injeksi sering menimbulkan anaphylactic shock, tetapi mungkin karena hal-hal lain dokter tersebut tetap menggunakannya.

Hal itu dapat disebut kelalaian yang disadari. Kelalaian (culpa) dapat dilihat dalam gradasi yang ringan dan berat. Kelalaian berat (culpa lata) yaitu suatu kesalahan yang disebabkan karena terdapat ketidak hati-hatian yang mencolok, dan sebagai ukuran untuk menentukan apakah seseorang melakukan kelalaian berat dengan membandingkan perbuatan si pelaku terhadap perbuatan rata-rata orang segolongan dengannya, apakah orangorang tersebut dalam keadaan yang sama akan berbuat lain atau tidak. Sedangkan untuk menentukan apakah seseorang melakukan kelalaian ringan (culpa levis) adalah dengan membandingkan perbuatan si pelaku dengan perbuatan orang yang ahli dari golongan si pelaku. Apakah ia dalam hal yang sama dengan si pelaku akan berbuat lain, jika orang yang lebih ahli berbuat lain maka si pelaku dianggap melakukan kelalaian ringan. Dokter sebagai orang yang memiliki ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam memberikan pelayanan medis/mengobati pasien atau orang yang terluka, apabila dalam memberikan pelayanan medis/pengobatan membuat orang lain menjadi luka, cacat, atau meninggal tentunya dapat dikenai hukuman pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 26 terdapat beberapa pasal yang dapat menjerat tindakan dokter tersebut antara lain: a. Pasal 267 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi: 26 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, hlm. 198-268.

(1) Tabib yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya suatu penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. (2) Kalau keterangan itu diberikan dengan maksud supaya memasukan seseorang kedalam rumah sakit ingatan atau supaya ditahan disana, maka dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya delapan tehun enam bulan. b. Pasal 304 KUHP, berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tehun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500. c. Pasal 306 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi: (1) Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 dan 305 menyebabkan luka berat, maka sitersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun enam bulan. (2) Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. d. Pasal 344 KUHP, berbunyi: Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguhsungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. e. Pasal 347 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi: (1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. (2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, ia dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. f. Pasal 348 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. g. Pasal 349 KUHP, berbunyi: Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang tersebut dalam pasal 346, atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu. h. Pasal 350 KUHP, berbunyi: Pada waktu menjatuhkan hukuman karena makar mati, (doodslag) pembunuhan direncanakan (moord) atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 344,347,348, dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-5. i. Pasal 359 KUHP, berbunyi: Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. j. Pasal 360 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi: (1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4500. k. Pasal 361 KUHP, berbunyi:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. l. Pasal 386 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi: (1) Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang-barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. (2) Barang makanan atau minuman atau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang, sebab sudah dicampuri dengan zat-zat lain. 2. Malapraktek Kedokteran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ini, dokter yang diduga melakukan tindakan malapraktek tidak lagi diperiksa oleh MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran), akan tetapi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI inilah nantinya yang akan menerima pengaduan, memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pelanggaran disiplin dokter. Walaupun demikian, sebagaimana diatur didalam pasal 66 ayat 3 Undang-Undang Praktek Kedokteran, pengaduan setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktek/malapraktek kepada MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada

pihak berwenang atau dengan kata lain menggugat ke pengadilan. Sayangnya Undang-Undang tentang Praktek Kedokteran ini tidak mengatur secara jelas mengenai sanksi dokter yang melakukan tindakan malapraktek bahkan tidak memuat sama sekali ketentuan malapraktek. Undang-Undang ini hanya mengatur dengan jelas mengenai sanksi pidana bagi para pesaing yaitu dokter yang bekerja tanpa memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktek, dan juga sanksi pidana bagi dokter asing tanpa izin praktek. Mengenai sanksi pidana yang dikenakan kepada para dokter pesaing yang melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi diatur didalam pasal 75 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dimana akan dipidana 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan pada ayat berikutnya disebutkan bahwa bagi setiap dokter atau dokter gigi asing yang melakukan praktek tanpa memiliki surat registrasi sementara, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dan pada pasal 75 ayat 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran diatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap dokter atau dokter gigi asing yang melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat, dimana akan dikenakan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selanjutnya didalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran diatur mengenai sanksi pidana bagi setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat izin praktek, dimana sanksi yang dikenakan adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran tidaklah diatur mengenai sanksi pidana bagi para dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi serta surat izin praktek tetapi melakukan tindakan merugikan pasien atau malapraktek. Didalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ini diatur mengenai hak dan kewajiban pasien sebagaimana terdapat pada pasal 52 dan 53, yang mana didalam pasal 52 disebutkan bahwa hak dari pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran adalah: a. mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis b. meminta pandapat dari dokter atau dokter gigi lain c. mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. menolak tindakan medis; dan e. mendapat isi rekam medis. Dan pada pasal 53 disebutkan mengenai kewajiban pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran yang berupa: a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi c. memenuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Akan tetapi didalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran sama sekali tidak diatur mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan apabila hak pasien tersebut dilanggar oleh dokter. Yang diatur hanyalah sanksi pidana yang akan dikenakan pada dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis dan juga bagi dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur didalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Oleh karena itu maka dokter atau dokter gigi akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), hal ini diatur didalam pasal 79 huruf b dan c Undang- Undang Praktek Kedokteran. Pada pasal 51 Undang-Undang Praktek Kedokteran disebutkan mengenai kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran, yang berupa: a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standard profesi dan standard prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Disatu pihak, pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran mengatakan bahwa Undang-Undang ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien (sebagaimana disebutkan didalam pasal 3 huruf a), dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi (pasal 3 huruf c). Tapi, di pasal berikutnya tidak ada pasal yang mengatur perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. 3. Malapraktek Kedokteran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Persoalan mengenai Kesehatan di negara kita diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebaai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai malapraktek serta akibat hukum yang ditimbulkan bagi pelaku malapraktek medis didalam Undang-Undang Kesehatan ini 27, dapat dilihat dari pasal: 27 Praktek Kedokteran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Bandung, Penerbit: Fokusmedia, 2004, hlm. 82-83.

a. Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. b. Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: 1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. 2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Berdasarkan kententuan penutup yang terdapat pada pasal 85 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, maka pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi dinyatakan tidak berlaku lagi. c. Pasal 55 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: 1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mempermasalahkan seorang dokter dan perawatnya karena pasien meninggal akibat kelalaian dalam memberikan dosis obat yang terlalu tinggi. Dalam hal ini pengadilan akan berpendapat bahwa dokter tersebut bersikap kurang hati-hati dan kurang mengadakan kontrol. Dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, dimuat dalam Pasal 80 Pasal 82: a. Pasal 80 ayat 3 (tiga) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). b. Pasal 81 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a. melakukan transplantansi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1); b. melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1); c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000 (seratus empat puluh juta rupiah). c. Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) b. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)

d. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) e. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).