PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1994 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1996 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DAN JASA KONSULTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. negara dengan selalu mengharapkan bantuan dari luar negeri tanpa adanya

PP 12/1994, PENETAPAN BESARNYA PERSENTASE NILAI JUAL KENA PAJAK PADA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG

Kasus : A. Pegawai Tetap


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang) 8. JUMLAH (6 + 7) 8

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.

BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21. I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

80 TAHUN 2010 TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJA

PRESIDEN R EP LJBLIK IND ONESIA TENTANG

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Ekonomi. Pajak Penghasilan. Pesangon. Langsung. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169)

Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Contoh perhitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS dan Para Pensiunan.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

MEMUTUSKAN : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Makalah Perpajakan. Perhitungan PPh 21

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perencanaan Pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 yang. diterima karyawan dengan menggunakan Metode Net

ATURAN UMUM PENENTUAN PAJAK TERUTANG

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Dokter

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Copyright (C) 2000 BPHN

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TARIF DAN PENERAPANNYA

LAMPIRAN. Universitas Kristen Marantha

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah:

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penghasilan Lainnya Bulan... Tahun... Biaya (Rp) Jumlah Bruto (Rp) (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DIRJEN PAS EDI WAHYUDI /

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

PANITIA SUMPAH PEMUDA KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2014

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

BAB II URAIAN TEORITIS

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

a. Peredaran kegiatan usaha dan/atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebas harus dicatat secara teratur dan kronologis menurut urutan waktu.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

Pertemuan 3 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + P)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

Transkripsi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, DAN PARA PENSIUNAN ATAS PENGHASILAN YANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN NEGARA ATAU KEUANGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan berupa gaji, uang pensiun, tunjangan dan honorarium serta penghasilan lainnya yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah yang diterima atau diperoleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan adalah objek Pajak Penghasilan; b. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1994, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah tidak termasuk sebagai Objek Pajak; c. bahwa dengan memperhatikan ketentuan tingkat penggajian dan uang pensiun yang berlaku serta untuk lebih memberikan kemudahan pemotongan pajak oleh Bendaharawan Pemerintah, dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan berupa gaji, uang pensiun, tunjangan dan honorarium serta penghasilan lainnya yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567); MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, DAN PARA PENSIUNAN ATAS PENGHASILAN YANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN NEGARA ATAU KEUANGAN DAERAH. (1) Atas penghasilan yang diterima oleh: Pasal 1 a. Pejabat Negara berupa gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait atau imbalan tetap sejenisnya; b. Pegawai Negeri Sipil dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji; c. Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya berupa uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan uang pensiun; yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung pemerintah. (2) Atas penghasilan yang diterima Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah selain penghasilan sebagaimana disebut pada ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II/d kebawah dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Satu kebawah. Pasal 2 (1) Atas penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dihitung Pajak Penghasilan yang terutang dan ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dengan menerapkan tarif Pasal 17 undang-undang tersebut. (2) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh Bendaharawan Pemerintah sebesar 15% (lima belas persen), dan bersifat final. Pasal 3

(1) Dalam hal Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anakanaknya menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, maka penghasilan lain tersebut ditambah dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang bersangkutan. (2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal 5 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1985 tentang Tunjangan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan Berupa Gaji, Honorarium, Uang Pensiun, dan Tunjangan-Tunjangan Lainnya yang Dibebankan kepada Keuangan Negara, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Desember 1994 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Desember 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEHARTO MOERDIONO PENJELASAN

ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, DAN PARA PENSIUNAN ATAS PENGHASILAN YANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN NEGARA ATAU KEUANGAN DAERAH UMUM Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan berupa gaji, upah, uang pensiun, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Namun mengingat bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka Pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1994 yang ditanggung pemerintah diberikan hanya kepada : a. Pejabat Negara atas gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji kehormatan atau imbalan tetap sejenisnya; b. Pegawai Negeri Sipil dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap

dan terkait dengan gaji; c. Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya atas uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan uang pensiun; baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah selaku pemberi kerja adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa gaji, uang pensiun, dan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan gaji dan uang pensiun tersebut yang dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1994. Apabila Pegawai Negeri Sipil atau anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pensiunan merangkap juga sebagai Pejabat Negara, maka penghasilan yang diterima baik berupa gaji atau uang pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil atau anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pensiunan, maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan lainnya selaku Pejabat Negara sebagaimana tersebut di atas, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang juga ditanggung pemerintah selaku pemberi kerja. Ayat (2) Adakalanya Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil atau anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pensiunan, disamping menerima penghasilan yang bersifat tetap seperti gaji kehormatan, gaji, dan tunjangan lainnya dan uang pensiun sebagaimana diuraikan di atas, menerima pula penghasilan yang sifatnya tidak tetap antara lain berupa honorarium, dan imbalan lain dengan nama apapun dari dana yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Oleh karena penghasilan-penghasilan yang sifatnya tidak tetap seperti honorarium dan imbalan lain tersebut hanya diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan tertentu saja, maka atas penghasilan dimaksud dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Namun demikian penghasilan serupa yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II/d kebawah dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Satu kebawah, Pajak Penghasilan

Pasal 21 yang terutang tidak dipotong pajaknya, oleh karena penghasilan berupa gaji ditambah honorarium dan sebagainya yang diterimanya dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah pada umumnya masih dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pasal 2 Pasal 3 Contoh : Ayat (1) Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, imbalan dalam bentuk kenikmatan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dari Pemerintah, tidak termasuk Objek Pajak Penghasilan. Oleh karena itu Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah atas penghasilan Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan merupakan kenikmatan bagi mereka dan tidak ditambahkan sebagai penghasilan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Ayat (2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang diterima Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Pensiunan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 15% (lima belas persen) dari penerimaan bruto, dan bersifat final. Ayat (1) dan ayat (2) Apabila Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya mempunyai penghasilan lain diluar penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pengenaan Pajak Penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan gunggungan penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) dan penghasilan lain dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) merupakan kredit pajak terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan dari Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil atau anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pensiunan tersebut. A seorang Pensiunan yang diangkat sebagai Pejabat Negara mempunyai seorang isteri

yang berusaha di bidang angkutan darat dalam kota, dan 2 (dua) orang anak yang masih merupakan tanggungan sepenuhnya. Penghasilan A dalam tahun 1995 adalah sebagai berikut : 1. Penerimaan uang pensiun dan tunjangan tetap lain yang terkait dengan uang pensiun Rp. 5.000.000,00 2. Gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan tetap lain yang terkait dengan gaji 3. kehormatan Penghasilan neto isteri dari usaha Rp. 48.000.000,00 4. swasta Penghasilan berupa honorarium Rp. 10.500.000,00 yang diterima dari Bendaharawan Pemerintah yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp. 2.000.000,00 Penghitungan pajak yang terutang oleh Pensiunan A dalam tahun 1995 adalah sebagai berikut: I. Pajak Penghasilan yang ditanggung pemerintah 1. Uang pensiun Rp 5.000.000,00 Biaya pensiun 5% x Rp 5.000.000,00 = Rp 250.000,00 maksimum diperkenankan Penghasilan neto Pensiunan Rp. Rp. 216.000,00 4.782.000,00 2. Gaji kehormatan Rp. 48.000.000,00 Biaya jabatan 5% x Rp. 48.000.000,00 = Rp 2.400.000,00 maksimum diperkenankan Rp. 648.000,00 Penghasilan neto sebagai Pejabat Negara Rp. 47.352.000,00 3. 4. Jumlah penghasilan neto (1 + 2) P T K P K/2 Rp. 52.134.000,00 Rp. 4.320.000,00 5. Penghasilan Kena Pajak dari penghasilan Pensiunan dan sebagai Pejabat 6. Negara Rp. 47.814.000,00 Pajak Penghasilan yang ditanggung pemerintah 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 15% x Rp 22.814.000,00 = Rp. 3.422.100,00 Rp 5.922.100,00 II. Pajak Penghasilan dari seluruh penghasilan (uang pensiun + gaji kehormatan + penghasilan lain dari usaha ) : 1. Penghasilan neto dari Pensiunan dan Pejabat Negara 2. (angka I butir 3) Penghasilan neto usaha isteri Rp. 52.134.000,00 Rp. 10.500.000,00 3. 4. Penghasilan neto seluruhnya P T K P K/2 Rp. 62.634.000,00 Rp. 4.320.000,00 5. 6. Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan Rp. 58.314.000,00

10% x Rp 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 15% x Rp 25.000.000,00 = Rp. 30% x Rp 8.314.000,00 = Rp. 3.750.000,00 2.494.200,00 Rp. 8.744.200,00 7. Kredit Pajak : a. PPh yang ditanggung pemerintah (angka I butir 6) Rp. 5.922.100,00 b. Kredit pajak lainnya Jumlah kredit pajak Rp. 5.922.100,00 8. Pajak Penghasilan dari penghasilan lain yang masih harus dibayar Rp. 2.822.100,00 =========== Sedangkan penghasilan berupa honorarium yang diterima A dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh Bendaharawan Pemerintah yang membayarkan honorarium tersebut sebesar 15% (lima belas persen) dari Rp. 2.000.000,00 = Rp 300.000,00 dan bersifat final, sehingga tidak digunggungkan lagi dengan penghasilan lainnya. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas -------------------------------- CATATAN Kutipan:LEMBAR LEPAS SEKNEG TAHUN 1994 Sumber:LN 1994/74; TLN NO. 3577