BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB LIMA PENUTUP. sebelumnya. Dalam bab ini juga, pengkaji akan mengutarakan beberapa langkah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr


P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PENETAPAN Nomor : 09/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan

PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh)

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG

BAB II KAJIAN TEORI. dibahas lebih rinci sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB II AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB II PERKAWINAN DALAM ATURAN HUKUM INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

P U T U S A N. Nomor : 24/Pdt.G/2011/PA.Ktb. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 005/Pdt.P/2012/PA.Skh. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU

P E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh:

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

Transkripsi:

BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA 3.0 Pendahuluan Perkahwinan adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua umat manusia dalam melangsungkan kehidupannya dan memperolehi keturunan. Islam menganjurkan untuk melaksanakan perkahwinan sebagaimana yang dinyatakan dalam pelbagai ungkapan dalam al-quran dan al-hadis. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahawa perkawinan miithaaqan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1 Dalam bab tiga ini beberapa aspek akan dibincangkan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, pengertian perkahwinan, tujuan perkahwinan, syarat-syarat sahnya suatu perkahwinan menurut Undangundang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia dan syarat-syarat sahnya perkahwinan menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia. 1 Tim Redaksi Pustaka Yudistia, Undang undang Republik Indonesia Nombor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dankompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), 51. 63

3.1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia 3.1.1 Pengertian Perkahwinan Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkahwinan, pasal 1 dengan tegas menyebutkan pengertian perkahwinan. Pasal tersebut menegaskan bahawa: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Sedangkan menurut kompilasi hukum Islam pengertian perkahwinan seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahawa perkawinan miitsaaqan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 3 Menurut Sajuti Thalib, perkahwinan iaitu suatu perjanjian yang kuat dan kukuh untuk hidup bersama secara sah antara seorang lelaki dengan perempuan membentuk keluarga yang kekal, sayang menyayangi, kasihmengasihi, tenteram, dan bahagia. 4 Dari tiga pengertian di atas dapat difahami bahawa perkahwinan adalah bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 2 Ibid., 7. 3 Ibid., 51. 4 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No I Tahun 1974 (Jakarta: Bumi Aksara,1996), 2. 64

Dengan kata lain perkahwinan ialah perjanjian perikatan antara pihak seorang lelaki dengan pihak seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suamiisteri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. Jadi tujuan perkahwinan adalah membentuk keluarga yang memiliki rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang menyayangi antara anggota keluarga. 3.1.2 Tujuan Perkahwinan Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkahwinan adalah Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 5. Membentuk keluarga ertinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia dan rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkahwinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajipan kedua orang tua. Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anak-anak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang diperoleh bukanlah yang sifatnya sementara tetapi kebahagiaan yang kekal, kerananya perkahwinan yang diharapkan adalah perkahwinan yang kekal, yang boleh berakhir dengan kematian salah satu pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dipisahkan menurut kehendak pihak-pihak. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahawa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila yang pertama iaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, 5 Tim Redaksi Yustisia, Undang -undang Republik Indonesia, 7. 65

maka perkahwinan mempunyai hubungan yang kuat dengan agama/kepercayaan 6 sehingga perkahwinan bukan sahaja mempunyai unsur zahir/jasmani tetapi unsur batin/rohani yang mempunyai peranan yang penting. Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandungi makna bahawa selain dari perkahwinannya harus dilaksanakan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengamalan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3.1.3 Syarat-syarat Sahnya Perkahwinan 3.1.3.1 Syarat-syarat Sahnya Perkahwinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkahwinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya asas kebebasan kata sepakat antara calon suami isteri. Hal ini menunjukkan bahawa adanya sifat tidak dipaksakan, iaitu persetujuan perkahwinan harus lahir oleh kerana adanya persamaan kehendak. Kekuatan mengikat dari persetujuan perkahwinan adalah lebih luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab perkahwinan harus diindahkan oleh setiap orang. Sifat perkahwinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkahwinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkahwinan (pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974), maka sifat tersebut adalah logik dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan zahir dan batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun juga. 6 Ibid. 66

Jadi adanya persamaan kehendak merupakan dasar harapan terwujudnya tujuan dari perkahwinan. 7 Adapun syarat-syarat sahnya suatu perkahwinan yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada BAB II pasal 6 ayat (1) bahawa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 8.Adapun maksud daripada calon mempelai dalam pasal ini iaitu calon pengantin. Kemudian lebih dijelaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 sebagai berikut: 1. Sebelum berlangsungnya perkahwinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. 2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan. 3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wcara atau tuna rungu harus dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. 9 Adapun pengertian dari pasal di atas tentang tuna wicara atau tuna rungu iaitu calon pengantin yang tidak boleh bercakap atau tidak boleh mendengar maka boleh menggunakan tulisan atau isyarat yang boleh difahami. Dalam hal ini para Imam Mazhab sepakat bahawa tidak melangsungkan perkahwinan kecuali Imam Abu Hanifah yang membolehkan perkahwinan dengan paksaan 10. 7 F.X Suhardana, S.H., Hukum Perdata I (Jakarta: PT. Prenhallindo, 1990), 91-92. 8 Tim Redaksi Pustaka Yudistia, Undang-undang Republik Indonesia, 9. 9 Ibid., 56. 67

Syeikh Murtada al-ansari dari mazhab Imamiyah, sesudah menyatakan bahawa kehendak sendiri itu merupakan syarat sahnya akad, mengatakan dalam kitabnya yang bertajuk al-makasib, bahawa pandangan yang popular di kalangan ulama mazhab Imamiyah mutakhir adalah bahawa apabila orang yang dijodohkan dan dipaksa untuk kahwin itu bersetuju dan reda maka sahlah perkahwinannya 11. Dr. Wahbah al-zuhayli dalam kitabnya al-fiqh al-islami wa Adillatuh menjelaskan bahawa perkahwinan berdasarkan keredaan dari kedua belah pihak calon pengantin dan tidak ada paksaan merupakan syarat sahnya suatu perkahwinan. Ini adalah pendapat jumhur ulama selain Hanafiah. Perkahwinan tidak sah apabila tidak ada keredhaan dari kedua calon pengantin. Apabila salah satu dari calon pengantin dipaksa untuk kahwin dengan ancaman bunuh, pukul keras atau penjara dalam waktu lama maka perkahwinan itu rosak 12. Maksudnya adalah tidak memiliki hak untuk memaksa mengahwinkan perempuan dengan orang yang tidak ia sukai kerana keredaan adalah syarat dari sahnya suatu perkahwinan dan paksaan boleh menghilangkan rasa reda. Oleh sebab itu, perkahwinan tidak sah apabila dilakukan kerana paksaan kerana saling meredai merupakan perkara utama/asas dalam semua akad, termasuk akad nikah atau perkahwinan. Bersetujunya kedua calon pengantin sangat dititik beratkan dalam perkahwinan, seperti akad dalam jual beli yang harus sama-sama reda dan bersetuju untuk melakukan jual beli. Para ulama Hanafiah berkata, hakikat reda bukan merupakan syarat sahnya perkahwinan. Perkahwinan dan talak sah dilakukan dengan paksaan dan gurauan, kerana orang yang terpaksa tersebut memang melaksanakan akad nikah akan tetap ia 10 Muhammad Jawad Mughniyah,al Fiqhu alā Mazāhib al khamsah (Taheran: Muassasah al ṣadiq, 1998), 350. 11 Ibid., 317 12 Wahbah al-zuhayli, al-fiqh al-islami, 80. 68

tidak reda dengan hukum yang akan menjadi akibat dari perbuatannya, itu sama halnya dengan gurauan 13. Daripada penjelasan di atas, dapat difahami bahawa menurut mazhab Hanafi paksaan dan gurauan tidak menghalangi sahnya perkahwinan, jadi boleh mengahwinkan dengan cara perjodohan, paksaan dan gurauan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 telah menentukan secara tegas bahawa suatu perkahwinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) dan tiap-tiap perkahwinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkahwinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: 14 1. Adanya persetujuan kedua pengantin. Syarat perkahwinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahawa: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Berdasarkan penjelasannya disebutkan bahawa: Oleh kerana perkahwinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkahwinan harus 13 Ibid. 14 Tim Redaksi Yustisia, Undang-undang Republik Indonesia, 9. 69

dipersetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkahwinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak yang mana pun. Syarat perkahwinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi perkahwinan paksa dalam masyarakat. Ketentuan ini sudah selayaknya diterapkan, mengingat masalah perkahwinan merupakan urusan peribadi seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Oleh kerana itu, seharusnya urusan perkahwinan itu lebih banyak diserahkan kepada keinginan peribadi masing-masing untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. 2. Adanya izin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun. Syarat perkahwinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6), iaitu: (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksudkan ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 70

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkahwinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari orang yang bersangkutan tidak menentukan lain. Ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mensyaratkan adanya keizinan dari kedua orang tua/wali untuk melangsungkan perkahwinan bagi yang belum berusia 21 tahun ini memang sudah selayaknya dan ini sesuai dengan tatakrama masyarakat. Suatu perkahwinan memang dipandang dan diakui sebagai urusan peribadi, tetapi masyarakat Indonesia mempunyai rasa kekeluargaan yang masih kuat terutama dalam hal hubungan antara anak dengan orang tuanya. Yang dimaksudkan dengan izin dari kedua orang tua dalam hal ini adalah izin kedua orang tua/wali 71

sebagai realisasi dari adanya doa restu mereka terhadap perkahwinan yang akan dilangsungkan. 3. Usia calon pengantin lelaki sudah mencapai 19 tahun dan usia calon pengantin perempuan sudah mencapai 16 tahun. Syarat perkahwinan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahawa: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. 15 Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkahwinan anak-anak yang masih di bawah umur, dengan tujuan agar calon suami isteri yang akan melangsungkan perkahwinan sudah matang jiwa dan raganya sehingga dapat membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sihat. Selain itu, dimaksudkan juga untuk menjaga kesihatan suami isteri serta sebagai pengendalian angka kelahiran. Seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum bilangan 4 sub Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahawa: perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahawa had umur yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kahwin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan had umur untuk berkahwin baik bagi lelaki 15 Ibid., 10. 72

mahupun perempuan, iaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan. 4. Antara calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak dibenarkan berkahwin. Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh berkahwin menurut Undangundang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 8 adalah sebagai berikut 16 : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seseorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Adapun kata bibi dan paman dalam pasal di atas mempunyai arti mak cik dan pak cik dalam hubungan darah yang mengakibatkan dilarangnya untuk melangsungkan perkahwinan antara lelaki dan perempuan. 16 Ibid., 11. 73

Pada dasarnya, larangan untuk melangsungkan perkahwinan kerana hubungan darah/keluarga yang dekat seperti yang disebut dalam Pasal 8 di atas, terdapat juga dalam sistem hukum lain, seperti hukum Islam. Akan tetapi, kerana dalam Pasal 8 tersebut dinyatakan bahawa hubungan yang dilarang berkahwin juga adalah hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku untuk larangan berkahwin, maka larangan berkahwin dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut mungkin akan bertambah dengan larangan-larangan berkahwin menurut hukum agama atau peraturan lain. 5. Tidak berada pada ikatan perkahwinan dengan pihak lain. Syarat untuk melangsungkan perkahwinan ini diatur dalam Pasal 9 Undangundang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahawa: Seorang yang masih terikat tali perkahwinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini. 17 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahawa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki dari pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 huruf (c) yang menyatakan bahawa: Hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan, kerana hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkahwinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh 17 Ibid. 74

pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai pensyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, kini poligami tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dengan kehendak hati atau asalkan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja, tetapi poligami hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari pengadilan. Untuk itu yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan secara bertulis kepada pengadilan di daerah tempat tinggal pemohon. Pengadilan atau mahkamah hanya memberi izin kepada seorang suami untuk melakukan poligami apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh suami untuk melakukan poligami telah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, iaitu: 18 a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, iaitu: 18 Ibid., 8. 75

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahawa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Syarat perkahwinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 10, yang menyatakan bahawa: Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 19 Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan bahawa: Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami mahupun istri benarbenar saling menghargai satu sama lain. 19 Ibid., 12. 76

Dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan bahawa: 1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2.Tenggang waktu/jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. 20 Dalam penjelasan pasal di atas bahawa perempuan yang telah putus perkahwinannya atau bercerai, tidak boleh begitu sahaja berkahwin lagi dengan lelaki lain tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu habis. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkahwinan, maka sahnya suatu perkahwinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan. Apabila suatu perkahwinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing bererti perkahwinan tersebut tidak sah. Perkahwinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau di Mahkamah Syariah apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu bererti tidak sah. 3.1.3.2 Syarat-syarat Sahnya Perkahwinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disusun mengenai rukun dan syarat-syarat perkahwinan dalam Pasal 14 KHI iaitu untuk melaksanakan perkawinan harus ada 21 : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Hal ini sangat selari dengan hukum fiqh Islam yang sudah disepakati oleh para ulama (Syafi iyah, Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiah). 22 20 Ibid. 21 Tim Redaksi Yustisia, Undang-undang Republik Indonesia, 55. 22 Wahbah Zuhayli, al-fiqh al-islami, 54-93, dan Abu Malik Kamal, Sahih Fiqih Sunnah,183-210. 77

Mengenai calon pengantin sama ada calon suami dan calon isteri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana berikut: Pasal 15 KHI iaitu 23 : (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon pengantin yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun. (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. Dari kedua ayat dari pasal di atas sangat sesuai sekali dengan ketentuan syariat, di mana syarat berkahwin itu harus berakal dan baligh. 24 Pasal 16 KHI iaitu 25 : (1) Perkawinan didasarkan persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. Pasal 17 KHI iaitu 26 : (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah. 23 Tim Redaksi Yustisia, Undang-undang, 55. 24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih, 315. 25 Tim Redaksi Yustisia, Undang-undang, 55. 26 Ibid., 56. 78

(2) Bila ternyata perkahinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Dari pasal di atas juga sudah sesuai dengan ketentuan syariat di mana perkahwinan wajib dilakukan dengan ikhlas dan kehendak sendiri. Dalam hal ini seluruh para imam mazhab bersepakat. 27 Namun dalam syariat hanya dianjurkan adanya kesepadanan (kekufuan) iaitu hendaklah bagi seorang lelaki (calon suami) itu sama darjatnya dengan perempuan (yang akan menjadi isterinya). Adapun yang dimaksudkan dengan sekufu ini menurut Hanafiyah, Syafi iyah dan Hanabilah meliputi agamanya, merdeka, keahlian dan nasab. 28 (3) Bagi calon mempelai yang menderita tunawicara atau tunarungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 18 KHI iaitu: 29 : Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI. Mengenai wali nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 19 KHI iaitu: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya 30. 27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, 317. 28 Ibid., 349-350. 29 Tim Redaksi Yustisia, Undang-undang, 56. 79

Pasal 20 KHI iaitu 31 : (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam iaitu: Muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari a. wali nasab b. wali hakim Pasal 21 KHI iaitu 32 : (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara lakilaki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. 30 Ibid. 31 Ibid., 57. 32 Ibid. 80

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni samasama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 KHI iaitu 33 : Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena wali itu menderita bisu, tuli atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikut. Pasal 23 KHI iaitu 34 : (1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. berikut: Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai 33 Ibid., 58. 34 Ibid. 81

Pasal 24 KHI iaitu 35 : (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 KHI iaitu: Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang lakilaki Muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. 36 Pasal 26 KHI iaitu: Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad Nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan. 37 Mengenai ijab kabul yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam seperti berikut: Pasal 27 KHI iaitu: Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu 38. Pasal 28 KHI iaitu: Akad nikah dilaksanakan sendiri secara peribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain 39. Pasal 29 KHI iaitu 40 : 35 Ibid., 59. 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid. 40 Ibid., 60. 82

(1) Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara peribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberikan kuasa yang tegas secara tertulis. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Dari penjelasan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam serta beberapa pendapat ulama mengenai perkahwinan yang dijodohkan di atas difahami bahawa apabila orang tua yang akan mengahwinkan anaknya haruslah berdasarkan persetujuan anak atau calon pengantin dan tidak boleh dipaksa oleh siapa pun, apabila dipaksa maka perkahwinan itu dianggap tidak sah, orang tua boleh sahaja menjodohkan anak mereka tetapi harus mendapat persetujuan dari anak, sama ada anak menjawab dengan tegas ataupun diam tetapi ia bersetuju. Dan sebelum dilaksanakannya perkahwinan dan ijab qabul haruslah ditanyakan lagi kepada calon pengantin oleh orang yang akan mengahwinkan atau oleh petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) di hadapan dua orang saksi, setelah adanya kesepakatan maka barulah boleh dilaksanakan ijab qabul dan mengahwinkan kedua calon pengantin. 83