LAMPIRAN B. Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

dokumen-dokumen yang mirip
1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( )

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Pelaksanaan program Pamsimas menggunakan pendekatan

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

LAMPIRAN G. Indikator Strategi Pelaksanaan

LAMPIRAN E. Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA)

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

RANGKUMAN HASIL KONFERENSI

: [i] adanya inginan untuk meningkatkan kondisi air minum

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

30 DIMANA DILAKSANAKAN? 3 SAMBUTAN DAN KATA PENGANTAR 6 HIDUP SEHAT DAN SEJAHTERA DENGAN AIR MINUM DAN SANI- TASI BERKUALITAS

Perempuan dan Industri Rumahan

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA

Kelompok seperti inilah yang menjadi target grup program Pamsimas

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang.

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT REGIONAL PASIGALA SEBAGAI ANTISIPASI DEGRADASI KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN DI KOTA PALU

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI

BAB I PENDAHULUAN. Papua merupakan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengalami

Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan secara partisipatori dan sosial

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROGRAM PENGUATAN KEBERLANJUTAN UNTUK STBM KABUPATEN/KOTA DAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N

Terms of Reference Proyek Peningkatan Akses Air Minum dan Sanitasi

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Disampaikan oleh: MENTERI KESEHATAN RI pada SEMINAR dan LAUNCHING INDONESIAN WOMEN for WATER, SANITATION and HYGIENE Jakarta, 18 Februari 2015

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO-UNICEF dalam joint monitoring 2004, perihal kinerja sektor Air Minum dan Sanitasi.

BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. Mengelola penyampaian bantuan

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012)

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

PEREMPUAN DALAM PEMANFAATAN AIR SUNGAI KAPUAS KOTA PONTIANAK TUGAS AKHIR

BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

& KELEBIHAN KOPERASI dalam Melindungi Petani & Usahawan Kecil Pedesaan

KODE UNIT O JUDUL UNIT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAM BM) 1. Pedoman umum

Tabel 1.1 Target RPJMN, RPJMD Provinsi dan kondisi Kota Depok. Jawa Barat. Cakupan pelayanan air limbah domestic pada tahun 2013 sebesar 67-72%

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID)

BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN. 1. Tersedianya dokumen perencanaan pengelolaan air limbah

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Kata Pengantar. Kerja Keras Kerja Lebih Keras Kerja Lebih Keras Lagi 1

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

R a a t f. Sistem Informasi Pedesaan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA

VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Pelajaran-pelajaran berikut ini diambil dari berbagai sumber, terutama dari berbagai pihak yang terlibat secara langsung dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia. Lampiran B ini dibagi dalam dua kelompok besar; bagian pertama, berupa pengalaman internasional yang relevan, sedangkan bagian kedua adalah pelajaran-pelajaran yang berlaku khusus di Indonesia. 1. Pelajaran Internasional yang Sesuai untuk Indonesia Keberlanjutan pelayanan serta penyediaan prasarana dan sarana AMPL yang dapat memberikan manfaat besar bagi pengguna menjadi perhatian utama. Pengalaman menunjukan bahwa investasi yang sangat besar untuk pembangunan sarana AMPL telah ditanamkan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, perlu adanya perubahan dalam fokus pembangunan yang memiliki implikasi pada semua aspek, mulai dari penetapan tujuan pembangunan sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil akhir, khususnya dalam pengembangan pendekatan pelaksanaan yang dapat mendorong terwujudnya keberlanjutan pelayanan AMPL permukiman. Konferensi internasional di Rio de Janeiro pada tahun 1992 1 yang dihadiri oleh para pakar air minum telah menghasilkan kesepakatan untuk menerapkan prinsip Dublin dalam upaya pembangunan sektor air minum, yang kemudian dikenal dengan Prinsip Dublin-Rio. Prinsip Dublin-Rio yang dihasilkan dari konferensi internasional di dua kota tersebut memiliki komponen sebagai berikut: Air adalah sumber daya yang terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan lingkungan Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan Perempuan memainkan peran utama dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air 1 Rangkaian konperensi internasional dalam bidang air bersih dan sanitasi telah dilakukan sejak dekade 70an. Dimulai dengan First UN Water Conference di Mar del Plata 1977, kemudian beberapa konperensi, sampai akhirnya diselenggarakan International Conference on Water and Environment di Dublin 1992 yang menghasilkan 4 prinsip dalam manajemen sumber daya air. Konferensi ini ditindaklanjuti dengan konferensi lain di Rio de Janiero oleh United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) juga tahun 1992 yang mempromosikan pengelolaan sumber daya air terintegrasi berdasar persepsi air sebagai bagian integral dari ekosistem, sumber daya alam, dan barang sosial ekonomi. Dari dua konperensi terakhir lahirlah prinsip Dublin-Rio yang telah disepakati secara internasional sebagai prinsip untuk mencapai keberlanjutan pelayanan air bersih. Lampiran B - 1 -

Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi Dalam kaitannya dengan pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia, makna dari prinsip-prinsip tersebut adalah: Perlu adanya penekanan bahwa penyehatan lingkungan sangat penting bagi manusia. Disamping itu, perlu ditekankan pula bahwa aspek teknis dan sosial (perangkat keras dan lunak) adalah sama pentingnya. Air tidak boleh dipandang hanya sebagai barang cuma-cuma atau barang yang tuna nilai. Air mempunyai nilai, untuk memilikinya orang harus menyumbangkan sesuatu. Perencanaan, konstruksi, operasi dan pengelolaan air memiliki implikasi yang luas. Oleh karena itu, keputusan akhir sebaiknya dibuat oleh para pengguna secara partisipatif. Semakin besar keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, semakin terjamin kelestarian pelayanan air. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lainnya, tidak akan cukup untuk membangun prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Sehubungan dengan itu terdapat dua isu penting yang perlu disadari bersama, yaitu: Sumber dana, perlunya diciptakan mekanisme alternatif untuk memenuhi kebutuhan biaya konstruksi, biaya operasional dan pemeliharaan, serta Sumberdaya manusia, perlunya pemberdayaan kemampuan di semua tingkatan. Selain itu, perlu diusahakan agar masyarakat atau keluarga mampu bertanggung jawab dalam upaya peningkatan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Di kalangan mereka harus dibangkitkan adanya kebutuhan akan perubahan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari perbaikan pelayanan AMPL demi peningkatan kesehatan. Perlu adanya perubahan perilaku hidup minum dan sehat (PHBS) di tingkat perorangan maupun tingkat keluarga karena motivasi untuk mendapatkan sarana penyehatan lingkungan sangat berbeda dan kompleks daripada motivasi untuk mendapatkan air minum. Tidak ada satu cara pun yang dapat menjamin keberhasilan untuk semua keadaan. Masalah yang ada di setiap kasus bersifat kompleks, pemecahannya perlu menggunakan sebuah pendekatan belajar sambil berjalan (learning approach) dimana semua pelajaran yang didapat perlu dikaji dan menjadi bahan perbaikan dalam proses pelaksanaan. Selain dari konperensi internasional diatas, hasil studi Bank Dunia terhadap 121 proyek air minum perdesaan di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga dan organisasi menyimpulkan bahwa peran aktif masyarakat dalam membuat keputusan dan menangani proyek secara langsung menghasilkan proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan. Pengalaman dari studi tersebut sekalgius mengoreksi beberapa mitos yang selama ini diyakini dalam pelaksanaan proyek air minum: Lampiran B - 2 -

Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mau dan tidak mampu membayar pelayan air minum; karena itu, pemerintah harus menyediakan air bagi mereka. Realita membuktikan bahwa masyarakat miskin membayar pelayanan air minum, bahkan sering lebih mahal daripada masyarakat yang lebih mampu; masyarakat miskin akan membayar jika mendapatkan pelayanan yang baik. Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mampu memecahkan atau mengelola masalah teknis; mereka tidak mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Realita membuktikan bahwa masyarakat miskin memiliki kreatifitas, mereka mampu membentuk sistem dan aturan dalam mengelola sumber daya alam. Mitos menyatakan bahwa untuk memberikan pelayanan secara adil cukup dengan menyediakan tingkat pelayanan minimal agar sumber air yang terbatas dapat didistribusikan sebanyak mungkin kepada masyarakat yang membutuhkan. Realita membuktikan bahwa jika tingkat pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan menggunakan sarana yang disediakan dan tidak mau membayar biaya pelayanan yang diminta. Mitos menyatakan bahwa jika masyarakat sudah dilibatkan dalam membuat keputusan, maka kepentingan perempuan sebagai pengelola utama penggunaan air minum rumah tangga sudah terpenuhi. Realita membuktikan bahwa karena faktor sosial-budaya sebagian besar kepentingan perempuan tidak pernah terpenuhi, kecuali bila perempuan secara khusus ditargetkan untuk dilibatkan dan ada strategi yang disusun untuk memberdayakan perempuan. Mitos menyatakan bahwa lembaga teknis dan sektoral harus menjadi pelaksana penyediaan sarana AMPL, karena tugas utamanya adalah membangun sarana dan indikator keberhasilannya adalah sarana yang terbangun. Realita membuktikan bahwa lembaga teknis dapat mencapai keberhasilan dengan memonitor dan memberikan bantuan teknis pada pihak lain (LSM, sektor swasta dan lembaga non-teknis lainnya). Tugas utamanya adalah membangun kemampuan masyarakat dalam mengelola sarana terbangun untuk mencapai keberlanjutan pelayanan. Mitos menyatakan bahwa dibutuhkan rencana umum yang disusun berdasarkan pengumpulan data yang lengkap sebelum program dilaksanakan agar ada keseragaman pendekatan. Realita membuktikan bahwa pembakuan dokumen rencana umum menghambat pengembangan program partisipatif; tidak diperlukan pengumpulan data yang lengkap sebelum pelaksanaan program, hanya data spesifik yang betul-betul diperlukan untuk dikumpulkan secara menerus sepanjang pelaksanaan program. Standarisasi yang terlalu dini pada prosedur pelaksanaan mengarah pada kegagalan program. Mitos menyatakan bahwa pengambilan keputusan oleh masyarakat pengguna merupakan hal penting; namun kendali atas pelaksanaan program harus tetap berada pada manajer proyek. Realita membuktikan bahwa hakikat proses partisipatif adalah memberi pilihan dan kesempatan menyampaikan aspirasi pada masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat dihidup-matikan oleh pihak luar; proses partisipatif adalah memberikan kendali pada masyarakat. Lampiran B - 3 -

Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatif memerlukan waktu lama. Realita membuktikan bahwa ketika proyek tanggap terhadap kebutuhan, masyarakat dapat bertindak dan mengorganisir diri dengan cepat. Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatori sulit direplikasi dalam skala besar karena membutuhkan pemimpin yang karismatik, LSM dan orang yang berbakat melaksanakannya. Realita membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dapat direplikasi. Pemimpin karismatik berperan untuk memulai proses, namum kepemimpinan dalam arti luas dapat menjaga kelangsungan proses. LSM sering berhasil menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dan merupakan mediator yang efektif. Seperti ketrampilan teknis lainnya, kemampuan dalam mendisain dan melaksanakan program partisipatif merupakan proses bekerja sambil belajar. Mitos menyatakan bahwa partisipasi merupakan proses yang tidak pasti sehingga sulit untuk ditentukan batasannya dan diukur. Sasaran peningkatan sumber daya manusia melalui pengambilan keputusan yang partisipatif adalah penting tapi tidak praktis. Realita membuktikan bahwa konsep partisipatori dapat dilaksanakan dan diukur dengan mudah. Mengukur, memonitor dan mengevaluasi partisipasi masyarakat mempermudah lembaga terkait dalam mempertanggungjawabkan upayanya mendukung peningkatan sumber daya manusia. Analisis terhadap hasil pelaksanaan seluruh proyek air minum tersebut menyimpulkan bahwa dari 121 proyek, 20 diantaranya merupakan proyek yang sangat efektif. Indikator keberhasilan dari setiap proyek bervariasi, namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: Masyarakat merasa puas dengan kualitas dan kuantitas air minum dari sarana yang dibangun. Tidak ada sarana yang diabaikan, tidak ada disain dan kualitas konstruksi yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagian besar sistem berfungsi secara efektif 10 tahun sejak pekerjaan konstruksi selesai. Sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik secara berkelanjutan oleh masyarakat. Masyarakat memperlihatkan rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar terhadap sarana serta mampu untuk melestarikannya. Perempuan mendapat manfaat langsung dari pelayanan sarana berupa kemudahan dan penghematan waktu dalam mendapatkan air minum yang selanjutnya menghasilkan beberapa keuntungan ekonomis seperti tersedianya lebih banyak waktu untuk mengurus anak, kebun dan juga kegiatan yang bersifat kerajinan tangan. Berkurangnya penyakit yang disebabkan oleh air. Meningkatnya penggunaan jamban. Masyarakat memberikan konstribusi untuk biaya konstruksi. Lebih berdayanya lembaga masyarakat dalam pengelolaan sarana termasuk berperannya perempuan dalam kegiatan, walaupun masih sedikit dalam pengambilan keputusan. Terbentuknya kerjasama yang sangat baik dengan pemerintah daerah setempat. Lampiran B - 4 -

Dari kedua puluh proyek dengan tingkat efektivitas tinggi, dua diantaranya berada di Indonesia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti: Swaziland, Ethiopia, Panama, Ecuador, India, Kenya, Malawi, Togo, Mali, Haiti, Yemen Arab Republic, Rwanda, dan Peru. 2. Pelajaran Khusus dari Indonesia Keberhasilan maupun kekurangan pelaksanaan program pembangunan prasarana dan sarana AMPL yang telah berjalan selama tiga dekade di Indonesia dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penyusunan kebijakan yang baru. Beberapa dari pengalaman tersebut diuraikan dibawah ini: 2.1 Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL Dua proyek pembangunan air minum di Indonesia, dari 20 puluh proyek di dunia, yang dinyatakan berhasil dengan tingkat efektivitas tinggi ditangani oleh sebuah LSM dengan cara melibatkan masyarakat pengguna pada setiap tahap pembangunan. Strategi yang digunakan adalah dengan membentuk lembaga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat; menggunakan pendekatan partisipatori dalam memecahkan masalah; memberi pelatihan dalam aspek pengelolaan, disain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta pelatihan PHBS. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang selama ini digunakan dalam program pemerintah perlu diubah. Pada hakekatnya pembangunan sarana adalah untuk masyarakat, tanpa upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Indikator keberhasilan dari kedua proyek tersebut adalah: Desain sarana yang tepat guna, yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan, dengan sistem sederhana namun cukup handal. Proyek dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memotivasi mereka berpartisipasi secara aktif termasuk dalam aspek keuangan. Masyarakat termotivasi dan mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana Masyarakat membayar pelayanan air minum sesuai dengan tarif yang disepakati Perempuan terlibat dalam setiap tahapan proyek, namun masih sedikit pada tahap pengambilan keputusan Penghematan waktu bagi perempuan sehingga dapat melakukan kegiatan lain Perempuan aktif menjadi kelompok pengguna air Masyarakat membiayai pembangunan jamban secara mandiri, dan tingkat penggunaan jamban tinggi Perempuan aktif menjadi anggota kelompok kesehatan Studi mengenai hubungan antara pendekatan partisipatif, tanggap pada kebutuhan, jender dengan dampak dan keberlanjutan pembangunan sarana AMPL dalam pelaksanaan proyek WSSLIC (Water Lampiran B - 5 -

Supply and Sanitation for Low Income Communities Project) dan FLOWS (Flores Water Supply Project) 2 menyimpulkan bahwa: Pembangunan sarana air minum yang memenuhi kebutuhan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih realistis menghasilkan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Semakin terorganisasikannya pengelola operasi dan pemeliharaan sarana, semakin baik pembayaran oleh pengguna sehingga menciptakan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Pengelolaan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam kelembagaan dan dalam pengambilan keputusan menghasilkan partisipasi yang lebih tinggi dari mereka pada operasi dan pemeliharaan. Keterlibatan aktif dari perempuan dalam pengambilan keputusan, operasi dan pemeliharaan menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana yang lebih tinggi. Keterlibatan yang adil dari masyarakat miskin maupun kaya dalam pengambilan keputusan menghasilkan pelayanan yang lebih berkelanjutan. Semakin mudah penggunaan sarana umum air minum, semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana. Tersedianya alternatif sumber air yang lain di suatu desa dan rumitnya penggunaan sarana umum yang dibangun melalui proyek, menyebabkan masyarakat beralih ke sumber lain. Pendekatan untuk melaksanakan program penyehatan lingkungan sebaiknya dibedakan dari pendekatan program penyediaan air minum. Aspek terpenting dari pelaksanaan program penyehatan lingkungan adalah bagaimana membuat masyarakat sadar bahwa buang air besar di tempat terbuka berdampak tidak hanya terhadap kesehatan pribadi dan keluarga, tetapi juga untuk kesehatan umum. Manfaat yang kurang dirasakan oleh pengguna dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan menyebabkan turunnya tingkat penggunaan sarana penyehatan lingkungan yang dibangun. Pelajaran yang dapat diambil dari proyek WSSLIC 3 yang bertujuan untuk menyediakan air minum dan penyehatan lingkungan yang aman, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan mudah dicapai serta mendukung pendidikan higienis/kesehatan bagi masyarakat miskin di perdesaan yang belum atau 2 Participation, Gender & Demand Responsiveness: Making the Link with Impact and Sustainability of Water Supply & Sanitation Investments, Institute for Research of University of Indonesia in partnership with UNDP/World Bank Water and Sanitation Program and IRC-International Water and Sanitation Center, 1999. 3 Proyek ini diharapkan dapat melayani sekitar 2 juta orang yang tinggal di wilayah terpilih enam propinsi, yaitu: Jawa Tengah; Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Utara; Maluku; dan Nusa Tenggara Timur, dimana tingkat kemiskinan masih dominan. Desa-desa proyek dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti tingkat kemiskinan, kejadian penyakit yang disebabkan oleh air, kelangkaan air, kualitas air, kematian bayi, dan kemauan untuk membayar biaya operasional dan perawatan. Proyek ini memiliki enam komponen yaitu: air bersih; penyehatan lingkungan; pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat; pelatihan dan pengembangan masyarakat; bantuan teknis; serta manajemen proyek. Dengan adanya perbaikan penyehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, proyek ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang langsung berpengaruh pada derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Lampiran B - 6 -

tidak terlayani serta masyarakat di wilayah dengan kepadatan tinggi melalui keberlanjutan dan pengaturan berbasis masyarakat, adalah sebagai berikut: Keterlibatan masyarakat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program, efektivitas penggunaan, dan keberlanjutan akan tercapai jika pilihan pelayanan dan konsekuensi biaya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga; kontribusi masyarakat untuk pembangunan sarana ditentukan berdasarkan jenis pelayanan yang ditawarkan; dan pembentukan unit pengelola sarana dilakukan secara demokratis. Masyarakat pengguna sebaiknya diberi kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana yang berasal dari kontribusi masyarakat dan kualitas serta jadwal pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk. Pengguna sarana AMPL sangat peduli pada kualitas prasarana dan sarana serta bersedia membayar lebih asalkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Keputusan untuk membatasi opsi pelayanan berdasarkan biaya serta tingkat pelayanan minimal menghasilkan sarana dengan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan, menyebabkan masyarakat pengguna tidak termotivasi untuk melestarikannya. Dengan upaya yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat pengguna, proyek pembangunan prasarana dan sarana AMPL dapat meningkatkan kontribusi dalam pembiayaan, sehingga mampu menjamin pendanaan yang lebih efektif dan keberlanjutan investasi. Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan permukiman yang dilaksanakan oleh UNICEF 4 selama Pelita V di Indonesia adalah: Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL dapat dicapai dengan melibatkan masyarakat sedini dan seefektif mungkin, dengan demikian masyarakat mendapatkan pelayanan AMPL yang sesuai dengan kebutuhan. Semakin banyak opsi pelayanan yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan yang diberikan pada masyarakat untuk berperan dalam pengambilan keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan sarana memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, oleh sebab itu sarana digunakan secara efektif dan berkelanjutan. Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL tidak dapat tercapai hanya dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan. Jika pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam situasi seperti itu, pengguna hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk mengorganisir diri dalam mengelola sarana dan tidak merasa bertanggung jawab untuk melestarikannya. 4 Study of Community-based Approaches digunakan pada UNICEF s Water and Environmental Sanitation (WES) Program in Indonesia, UNDP-World Bank Water and Sanitation Program, 1999. Lampiran B - 7 -

Uji coba lapangan WASPOLA-UNICEF tahap 2 5 merupakan studi komparatif yang bertujuan untuk memperlihatkan penerapan dan menguji dampak dari berbagai pendekatan dan metodologi yang berbeda yang dapat menghadirkan kemungkinan perubahan dalam kebijakan AMPL, menemukan bahwa: Kerelaan untuk berkontribusi harus dibangun; masyarakat yang motivasi untuk berkontribusinya telah terbangun sebelum pembangunan sarana dan prasarana mempunyai tingkat penyerapan bantuan yang lebih baik. Kerelaan untuk berkontribusi tidak bisa diukur langsung dari nilai nominal kontribusi, nilai nominal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ekonomi masyarakat. Proses fasilitasi menggunakan metode MPA membantu pencapaian tujuan program dan juga meningkatkan keberfungsian, penggunaan, pemeliharaan, dan kualitas teknik; dari temuan di lapangan rata-rata nilai keseluruhan parameter di desa intervensi lebih besar daripada di desa non-intervensi. Desa yang mendapatkan dukungan intensif dari fasilitator mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap program dan aktivitas program lebih tersosialisasi. Proses fasilitasi juga meningkatkan akses bagi masyarakat miskin, hasil lapangan menunjukkan proporsi pendistribusian bantuan kepada kelompok miskin di desa intervensi lebih tinggi. Tingkat kepuasan pengguna berkorelasi positif dengan pemahaman pengguna itu sendiri, walaupun kualitas jamban lebih baik tetapi tingkat kepuasan di desa intervensi justru lebih rendah, hal ini mungkin diakibatkan karena sebagian besar masyarakat di desa intervensi telah mendapatkan penjelasan mengenai adanya rentang pilihan jamban serta mengetahui fungsi utama jamban dalam memutuskan jalur penularan penyakit. Peningkatan kemampuan fasilitator (melalui pelatihan) berkorelasi positif dengan aspek keberlanjutan dan penggunaan efektif, hasil lapangan menunjukkan desa intervensi pada umumnya memiliki total nilai indikator keberlanjutan dan penggunaan efektif lebih tinggi. Hasil yang didapat dari studi kasus komparatif 6 terhadap dua pendekatan evaluasi (metode konvensional dan metode partisipatif) di Wonosobo adalah sebagai berikut: Studi kasus ini menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut menghasilkan keluaran yang serupa maupun yang berbeda. Namun demikian, jelas bahwa kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan keluaran yang sebanding jika perencanaan dan proses pelaksanaannya diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama yang menyangkut pemilihan sampel dan pembuatan daftar pertanyaan. Proses pemilihan sampel merupakan sebab utama perbedaan dalam hasil penelitian. Metoda partisipatif sangat peka terhadap keterwakilan kaum lelaki-kaum perempuan dan kelompok 5 Pada uji coba tahap 2 ini terdapat 3 topik yang diujicobakan WASPOLA di desa intervensi yaitu (i) pilihan sanitasi, (ii) kemauan untuk membayar, (iii) pelatihan fasilitator tingkat desa; sebagai pembanding dipilih beberapa desa yang mendapat program serupa dari UNICEF tetapi tidak mendapat intervensi dari WASPOLA dan disebut sebagai desa nonintervensi. 6 Sanitasi di Wonosobo: Membandingkan Dua Pendekatan Evaluasi Program, Field Note Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific, April 2002. Lampiran B - 8 -

miskin-kelompok kaya dari masing-masing masyarakat. Metoda konvensional peka terhadap jumlah responden agar dapat mewakili kondisi desa sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, jika selama proses perencanaan sampel telah terjadi penyingkiran atas variasi-variasi yang terdapat tingkat desa, ada kemungkinan hasil penelitian akan bias sehingga menjadi condong kearah kelompok tertentu saja. Metode partisipatif mendorong warga desa untuk menyuarakan pendapat, pandangan, masalah mereka, dan menyumbangkan pengetahuan setempat kedalam kategori jawaban, sehingga menghasilkan gambaran yang lebih luas mengenai keadaan sanitasi di desa mereka. Metoda konvensional mencakup serangkaian kategori jawaban yang telah ditentukan sehingga pilihan responden menjadi terbatas. Secara teori, masalah yang terdapat dalam teknik survai konvensional ini dapat diatasi dengan mengadakan pengujian lapangan atas kuisioner survai. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukannya sehingga hasilnya memberikan gambaran keadaan desa yang kurang akurat. Jumlah keseluruhan biaya metode partisipatif sebanding dengan biaya survai konvensional. Metode konvensional mempekerjakan lebih banyak tenaga pencacah (enumerator) yang gajinya lebih rendah, sedangkan metode partisipatif menggunakan tenaga fasilitator yang lebih terlatih, namun jumlahnya lebih sedikit. Metode partisipatif memerlukan waktu pelaksanaan yang lebih singkat dan lebih mudah dikelola karena dilaksanakan hanya sekali untuk menilai keadaan desa sebelum maupun sesudah masuknya proyek, sedangkan pendekatan konvensional memerlukan dua kali survai (dasar dan penilaian) untuk mengukur dan mengkaji keadaan sebelum dan sesudah adanya proyek. Studi Flores yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi sarana air minum dan sanitasi lingkungan termasuk mengetahui perspektif dari pengguna sarana, mendapatkan hasil sebagai berikut: Kesetaraan perlu diangkat sebagai isu spesifik di semua tingkatan pembangunan (kesetaraan bukanlah kesamaan; menyamakan kontribusi seringkali tidak menguntungkan kaum miskin). Pendekatan yang sensitif gender dan sosial adalah kunci untuk untuk pelayanan yang berkelanjutan. Semua aspek keberlanjutan (teknis, biaya, sosial, lembaga, lingkungan) berhubungan satu sama lain dan sama pentingnya. Semua proyek Flores telah menerapkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam kebijakan tetapi prakteknya seringkali penerapannya tidak sesuai, ketika penerapannya sesuai biasanya hasilnya lebih baik (hasil berkolerasi secara statistik). Penerima manfaat biasanya tidak termasuk dalam monitoring maupun laporan, sehingga pengelola dan institusi terkait tidak mendapatkan informasi tentang mereka. Pelaksana pembangunan harus mengerti dan mempunyai prinsip dasar kebijakan, dapat menerapkannya secara fleksibel, serta meletakkan pengambil keputusan di tangan pemilik yang utama (masyarakat). Lampiran B - 9 -

Adopsi kebijakan ke dalam hal praktis membutuhkan lebih dari sekedar arahan, yang lebih dibutuhkan adalah perubahan paradigma. Secara historis, komunikasi dan koordinasi antar proyek pembangunan selalu berada di titik yang paling rendah. Oleh karena itu, uji coba dengan tema koordinasi 7 antar proyek dilakukan dengan tujuan untuk mengenali dan mendemonstrasikan metode koordinasi yang memungkinkan proyek untuk meningkatkan fungsi dan pelayanan, pelajaran yang diperoleh adalah sebagai berikut: Mitos menyatakan bahwa koordinasi antar proyek sulit dilakukan, realita membuktikan bahwa koordinasi antar proyek bisa dilakukan. Mitos menyatakan bahwa jika tidak ada dana, koordinasi tidak akan berjalan, realita membuktikan bahwa dana bukan penghalang untuk berkoordinasi, sebagai contoh, hasil dari uji coba ini para pelaku proyek sepakat untuk menjadi tuan rumah pertemuan forum koordinasi secara bergiliran untuk menyiasati keterbatasan dana. Mitos menyatakan bahwa formalitas (legalisasi, birokrasi, dan lainnya) adalah penentu keberhasilan, realita membuktikan bahwa formalitas bukan penentu utama bahkan bisa menjadi penghambat. Mitos menyatakan bahwa perbedaan skema proyek (aturan, sumber dana, sektor, dan lainlain) menghambat koordinasi, realita membuktikan bahwa perbedaan tidak menutup peluang untuk berkoordinasi. Mitos menyatakan bahwa selama ini terdapat kultur yang menghambat kerja sama antar proyek, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi tumbuh keinginan untuk berkolaborasi (integrasi perencanaan/pelaksanaan). Mitos menyatakan bahwa penggagas koordinasi lintas proyek terpatok pada instansi tertentu, realita membuktikan bahwa penggagas koordinasi bisa dari unsur mana saja, bahkan LSM. Mitos menyatakan bahwa biasanya proyek berakhir maka program akan terhenti, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi program dapat ditransfer ke proyek lain. Mitos menyatakan bahwa sumber daya manusia daerah terbatas/lemah, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi potensi sumber daya manusia lokal termanfaatkan secara optimal. 2.2 Pelajaran bagi Penyusunan Kebijakan Pelajaran yang dapat dipetik sebagai input terhadap perbaikan dan penyempurnaan kebijakan diambil dari berbagai proses yang diadakan dalam rangka penyusunan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan seperti lokakarya, seminar, studi banding, uji coba, dan lain-lain. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan prasarana dan sarana AMPL, seperti: 7 WASPOLA dan WSLIC2 secara bersama telah merumuskan topik untuk dilaksanakan sebagai uji coba lapangan. Topik pertama, dengan tema koordinasi antar proyek, akan menguji dan mendemonstrasikan bagaimana proyek-proyek berbasis pemberdayaan masyarakat (termasuk proyek-proyek AMPL) yang dikelola oleh bilateral, multilateral, dan organisasi non-pemerintah serta proyek-proyek lain yang berkait dengan prasarana dan sarana AMPL atau infrastruktur, dapat saling berkoordinasi untuk lebih meningkatkan pelayanan pada masyarakat pemanfaat proyek. Lampiran B - 10 - -

Adanya pernyataan yang tulus bahwa pendekatan yang digunakan di masa lalu dan sekarang perlu perbaikan. Berbagai pendekatan yang dipelajari perlu menjadi umpan balik dalam kebijakan yang diperbaharui. Agar kebijakan dan kerangka peraturan yang ditetapkan dapat diberlakukannya secara efektif perlu ada dukungan dari semua pihak dan adanya kesediaan untuk melaksanakannya. Komitmen untuk berubah dan menerjemahkan kebijakan dalam bentuk kegiatan nyata perlu tercermin dalam proses pembentukan kesepakatan yang dilakukan melalui partisipasi yang tulus dan semangat kerjasama dalam perubahan. Menciptakan rasa memilki dan komitmen melalui proses partisipasi semua pihak terkait, memang memerlukan waktu. Pola kebijakan hendaknya cukup lentur sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi maupun kebutuhan sektor, dan cukup peka untuk menggabungkannya dengan pengalaman baru. Menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat sasaran pada tahapan pembangunan maka perubahan pendekatan yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan AMPL merupakan salah satu pendukung keberhasilan. Dalam upaya melaksanakan pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan (PTK) ada beberapa kendala yang selama ini dihadapi, yaitu: Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati bersama oleh pihak terkait termasuk pemerintah pusat dan daerah, negara dan lembaga pemberi pinjaman, serta LSM dalam menerapkan PTK; Adanya penolakan baik langsung maupun tidak langsung dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga pemberi pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK; Kurangnya pemahaman, informasi dan kemampuan teknis serta keuangan di setiap tingkatan pemerintahan maupun lembaga swadaya masyarakat; Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK; Dalam pelaksanaannya PTK membutuhkan waktu yang lama dan dana yang memadai, apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban masyarakat untuk berkontribusi dalam mengekspresikan kebutuhannya. Dalam upaya implementasi sesuai dengan tema Moving from Policy to Practice (dari kebijakan ke pelaksanaan) dan menghadapi kendala yang muncul dalam pelaksanaan PTK, diperlukan beberapa langkah untuk mempercepat penerapan PTK dalam setiap kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat. Langkah-langkah tersebut dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu aspek kebijakan beserta pelaksanaannya, dan aspek pendanaan. Aspek Kebijakan, langkah yang perlu dijalankan antara lain: Lampiran B - 11 - -

- Mengklarifikasi dan menciptakan suatu kebijaksanaan dan mekanisme pelaksanaan PTK yang disepakati oleh semua pihak terkait. Diharapkan melalui dokumen ini, kebijakan pembangunan AMPL berbasis pemberdayaan masyarakat menjadi lebih jelas dan dapat dipergunakan secara menyeluruh di Indonesia; - Melaksanakan kampanye terhadap strategi yang disepakati tersebut dan mengupayakan untuk melembagakan PTK menjadi suatu pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan oleh kabupaten maupun kota dalam melaksanakan kegiatannya; - Mengkaji ulang secara keseluruhan penyusunan kelembagaan pengelola air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat untuk mendukung PTK dan memungkinkan LSM dan dunia usaha berpartisipasi dalam PTK; - Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan sekaligus meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota melaksanakan PTK. Aspek Pendanaan, langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut: - Mengembangkan suatu mekanisme pembiayaan yang dapat menciptakan rangsangan untuk pengumpulan dana. Melalui WSSLIC, Indonesia telah menciptakan suatu mode insentif pengumpulan dana oleh masyarakat dalam pembiayaan proyek. Hal ini perlu dilanjutkan secara konsisten dan dievaluasi berbagai kelemahan dan keunggulannya sehingga dapat dilaksanakan pada proyek/kegiatan pembangunan prasarana dan sarana AMPL berbasis pemberdayaan masyarakat lainnya; - Mengembangkan suatu mekanisme yang mendukung kemampuan mesyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri. Proyek P3DT telah melakukan beberapa inovasi dalam mengembangkan mekanisme kontrol dan pengelolaan keuangan oleh masyarakat. Walaupun tidak diarahkan untuk merangsang masyarakat dalam pengumpulan dana, terobosan baru dalam model penyaluran dana pemerintah langsung kepada masyarakat perlu dijadikan acuan dalam proyek-proyek selanjutnya. - Menyelaraskan metode pengelolaan keuangan antara donor dan pemerintah dan menggabungkannya dengan pendekatan pembangunan sektor lainnya yang saling terkait. Banyak negara maupun lembaga donor yang tidak dapat secara fleksibel menyalurkan dananya kepada pemerintah sehingga sering mengganggu proses PTK secara keseluruhan. - Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong semua pihak terkait untuk berpartisipasi dalam pembiayaan dan pengelolaan keuangan melalui PTK. Dalam rangka menggali masukan dari pemerintah daerah untuk perbaikan kebijakan nasional AMPL dilakukan uji coba kebijakan di 4 daerah (Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumba Timur), hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: Metode partisipatif yang dilakukan dalam proses uji coba telah mampu mendorong partisipasi pemegang andil dalam membangun kebijakan daerah. Lampiran B - 12 - -

Kegiatan dengan rangka identifikasi permasalahan atau isu pengelolaan AMPL di daerah dan pendalaman terhadap substansi pokok kebijakan lebih efektif dilakukan dengan metode partisipatif. Adopsi dan adaptasi tujuan kebijakan nasional AMPL berbeda di setiap daerah disesuaikan dengan karakteristik dan masalah yang ada, begitu juga dengan kegiatan tindak lanjut dari isu atau permasalahan AMPL di daerah. Peran fasilitator cukup penting dalam proses fasilitasi lintas pelaku daerah untuk melaksanakan kegiatan uji coba kebijakan. Lampiran B - 13 - -