coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN KEBERADAAN HUTAN MANGROVE: PERAN, DAMPAK KERUSAKAN DAN USAHA KONSERVASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN HUTAN MANGROVE DI KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

Inventarisasi Vegetasi Mangrove Di Pantai Marosi Kabupaten Sumba Barat. Ni Kade Ayu Dewi Aryani ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

VI. SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

Transkripsi:

1.1. Latar Belakang Hutan mangrove dikenal dengan berbagai istilah seperti tidal forest, coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga dikenal dengan istilah hutan payau. Kusmana dkk (2003) mendefinisikan hutan mangrove secara ringkas sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai) yang tergenang saat pasang dan bebas dari genangan saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Begitu besar peranan hutan mangrove bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove telah terbukti berperan dalam keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, melindungi pantai dan tebing sungai dari erosi. Sistem perakarannya mampu menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. 1

Mati hidupnya ekosistem hutan mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Dengan masuknya teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga kedudukan ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis. Beberapa ahli berpendapat agar dalam mengelola hutan mangrove, tidak hanya melihat ekonominya saja tanpa melihat kerugian jangka panjang, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Selama ini perubahan penggunaan lahan hutan mangrove dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan keberadaan hutan mangrove di sekitarnya. Pemikiran ini lebih melihat kepada nilai ekonomis yang dirasa lebih menguntungkan, seperti dengan merubah kawasan mangrove menjadi peruntukan lain tanpa mempertimbangkan analisis dampak lingkungan. Sehingga fungsi hutan mangrove yang sangat penting menjadi terabaikan. Seringkali kerusakan hutan mangrove terjadi karena kurangnya informasi mengenai fungsi dan manfaat hutan mangrove. Sebagian masyarakat masih menilai hutan mangrove hanya dari segi pemenuhan kebutuhan hidup yang dapat diukur secara ekonomi, seperti hasil kayu, buah-buahan, obat-obatan. Sedangkan fungsi ekologi kadang terabaikan. Padahal jika dilakukan penilaian terhadap semua komponen hayati dan fungsi ekologi bagi kehidupan di sekitarnya, maka hutan mangrove tidak ternilai harganya. Upaya pengelolaan hutan mangrove harus didukung oleh pengetahuan yang cukup mengenai ekologi hutan mangrove. Pemahaman akan ekologi mangrove sangat penting agar kebijakan yang akan diambil terhadap hutan mangrove menjadi berarti dan berjalan dengan baik. Sehingga upaya pelestarian dan rehabilitasi hutan mangrove memiliki arah yang jelas dan terencana dengan baik. Pengelolaan hutan mangrove yang terarah dan terkendali memerlukan kematangan dalam perencanaan, pelaksanaan, kegiatan monitoring dan evaluasi. Data dan informasi tentunya merupakan hal penting yang harus dipenuhi dalam kegiatan tersebut. Sehingga manusia mengetahui dengan baik karakteristik hutan mangrove tersebut dan kelangsungan keberadaan beserta fungsinya hingga masa yang akan datang. Dengan begitu besarnya peranannya bagi kehidupan manusia, hutan mangrove memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus diputuskan dengan cermat. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi tentang keberadaan dan fungsi hutan 2

mangrove kepada masyarakat luas serta mempertahankan hutan mangrove yang menjadi kawasan lindung dan merehabilitasi areal yang mengalami kerusakan. Informasi mengenai keberadaan hutan mangrove dan kondisinya di lapangan sangat penting bagi keberhasilan suatu pengelolaan. Informasi tersebut dapat berupa luas hutan mangrove, fungsi kawasan hutan mangrove, kondisi rusak tidaknya hutan mangrove serta perubahan luasan hutan mangrove pada suatu kawasan. Perhatian serius perlu diberikan bagi terlaksananya upaya rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Serta setiap kebijakan yang diambil terhadap hutan mangrove harus diputuskan dengan cermat. 1.2. Tujuan Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui dan memahami ekologi hutan mangrove serta memberikan gambaran mengenai keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984). Hadipurnomo (1995) menjelaskan bahwa jajaran tegakan mangrove yang tumbuh di pantai, melindungi pemukiman nelayan di sebelahnya (ke arah daratan) dari hembusan angin laut yang kencang. Angin laut yang meniup kencang ke arah daratan, ditahan oleh mangrove dan dibelokkan ke arah atas. Dengan demikian pemukiman di belakangnya menjadi terletak di belakang bayangan angin (leeward area). Pemukiman terlindung dari hembusan angin yang kencang. Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya. Secara fisik hutan mangrove menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya dan mencegah intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, misalnya sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan, 3

udang dan biota air lainnya, tempat bersarangnya berbagai jenis burung dan habitat berbagai jenis fauna. Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Kusmana dkk (2003) membagi fungsi mangrove kedalam tiga macam fungsi sebagai berikut: a. Fungsi fisik - menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil - mempercepat perluasan lahan - mengendalikan intrusi air laur - melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang - mengolah limbah organik b. Fungsi biologis/ekologis - tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya - tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung - sumber plasma nutfah c. Fungsi ekonomis - hasil hutan berupa kayu - hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin dan lain-lain - lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain Vegetasi payau didominasi oleh jenis bakau, api-api, Sonneratia, Bruguiera dan lainnya (Bratamihardja, 1991). Soerianegara (1987) menyebutkan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. 4

Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi yang dimulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah (Kusmana dkk (2003): (1) Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table), dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan. (2) Tipe tanah yang secara tidak langsung memnentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase. (3) Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi species terhadap kadar garam. (4) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Flora mangrove dapat dikelompokkan kedalam dua kategori (Chapman, 1984 dalam Kusmana dkk (2003)), yaitu: (1). Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove, yakni : Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, Smythea dan Dolichandrone. (2). Flora mangrove peripheral (pinggiran), yakni flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lain, yakni: Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Tomlison (1984) dalam Kusmana dkk (2003) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni: (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya 5

adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. (2) Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. (3) Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-lain. Menurut Hutching dan Saenger (198) telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri atas 30 genus yang anggotanya kurang lebih 80 species. Di Indonesia, jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri dari atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993) (Kusmana dkk, 2003). Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan (Atmawidjaja, 1987). Hutan mangrove merupakan tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Indonesia memiliki kekayaan hayati yang unik pada hutan-hutannya yang luasnya menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Salah satunya adalah hutan mangrove yang terluas di dunia yang luasnya diperkirakan sebesar 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an (FWI/GFW, 2001). Sangat disayangkan bahwa luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti. Lokasi umumnya telah diketahui, namun berbagai badan dan organisasi menyatakan luas hutan yang berbeda. FAO (1994) menyebutkan luas hutan mangrove di dunia adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan Amerika 5.831.000 ha. Direktorat Jenderal dan Tata Guna Hutan (1991) 6

menyebutkan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000 km, dimana diperkirakan luas hutan mangrove Indonesia sebesar 3.735.250 ha (Kusmana dkk, 2003). Estimasi terhadap luas hutan mangrove di Indonesia dipenuhi ketidakpastian dan sudah kadaluwarsa. Menurut World Mangrove Atlas, estimasi paling dapat diandalkan berasal dari tahun 1993, ketika itu luasnya mencapai 4,25 juta ha. Estimasi tersebut didasarkan hasil survei RePPProT pada tahun 1985 yang telah diperbaharui dengan peta-peta yang dipersiapkan oleh Asian Wetlands Bureau bagi World Conservation Monitoring Centre. Untuk pertengahan tahun 1980-an diestimasikan luasnya hanya 3,8 juta ha, atau bahkan 2,2 juta ha(fwi/gfw, 2001). Penyebaran hutan mangrove dibagi ke dalam dua kategori kawasan, yaitu kawasan hutan dan luar (non) kawasan hutan. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Informasi mengenai luas dan kondisi hutan mangrove di Indonesia disarikan dari data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan (2002) yang merupakan data tahun 1998/1999. Hutan mangrove dalam kawasan hutan diketahui sebesar 3.875.896,65 ha, dan dalam non kawasan hutan sebesar 4.812.649,20 ha. Sehingga luas total hutan mangrove tahun 1998/1999 adalah sebesar 8.688.545,85 ha. Dari luas total tersebut, 68% hutan mangrove diketahui mengalami kerusakan, yaitu sebesar 5.901.975,5 ha yang tersebar di semua propinsi di Indonesia. Kondisi Hutan Mangrove Indonesia 2,786,570.35 32% 5,901,975.50 68% Tidak Rusak Rusak Gambar 1. Kondisi hutan mangrove di Indonesia 7

Hutan mangrove dalam kawasan hutan mengalami kerusakan sebesar 44% dari total luasnya sebesar 3.875.896,65 ha. Sedangkan pada kategori non kawasan kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 87% dari luas totalnya 4.812.649,20 ha. 4000000 Kondisi hutan mangrove pada kawasan dan non kawasan hutan di Indonesia 2000000 Tidak rusak Rusak 0 Dalam kawasan luar kawasan Tidak rusak 2,163,433.78 623,136.57 Rusak 1,712,462.87 4,189,512.63 Lokasi Hutan Mangrove Gambar 2. Kondisi hutan mangrove pada kawasan dan non kawasan hutan 5.1. Penyebaran hutan mangrove per propinsi Penyebaran hutan mangrove dalam kategori kawasan hutan di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikutnya. Hutan mangrove terluas dalam kawasan hutan diketahui berada di Irian Jaya, kemudian diikuti oleh, Riau dan. Hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi di Indonesia 1200000.00 1000000.00 800000.00 600000.00 400000.00 200000.00 0.00 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Barat Nusa Maluku Irian Jaya Gambar 3. Hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi 8

Hutan mangrove di 26 propinsi di Indonesia 1,800,000.00 1,600,000.00 1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Barat Nusa Maluku Irian Jaya Dalam kawasan Luar kawasan Gambar 4. Hutan mangrove di 26 propinsi di Indonesia Pada Gambar 4, kita dapat melihat bahwa hutan mangrove terluas berada di luar kawasan (non kawasan) hutan, yaitu di, diikuti oleh hutan mangrove dalam kawasan hutan di Irian Jaya. 5.2. Kondisi hutan mangrove di Indonesia Kerusakan hutan mangrove baik dalam kawasan maupun luar kawasan pada masing-masing propinsi dapat dilihat pada gambar berikut. Kawasan Hutan Mangrove Rusak di 26 di Indonesia 1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Barat Nusa Timur Maluku Irian Jaya Dalam Kawasan Luar Kawasan Gambar 5. Hutan mangrove rusak pada kawasan dan non kawasan hutan 9

Kerusakan hutan mangrove dengan luas terbesar berada di pada non kawasan hutan, diikuti Riau dan. Sedangkan pada kawasan hutan, kerusakan paling luas terjadi di Riau, diikuti dan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagaimana kerusakan hutan mangrove dalam kategori kawasan hutan di setiap propinsi. Kondisi kerusakan mangrove dapat dilihat pada gambar berikut. Kerusakan hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi di Indonesia 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Barat Nusa Timur Maluku Irian Jaya Tidak rusak Rusak Gambar 6. Kerusakan hutan mangrove dalam kawasan hutan Gambar 6 menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan hutan mangrove di Irian Jaya, (seluruh propinsi), Nusa Timur dan Maluku. Kerusakan hutan mangrove terbesar terjadi di Riau, diikuti oleh, dan Barat. 5.3. Penyebaran dan kondisi hutan mangrove di wilayah barat Indonesia Data penyebaran dan kondisi hutan mangrove dibagi kedalam dua wilayah, yaitu wilayah barat dan timur Indonesia. Di wilayah barat Indonesia, luas hutan mangrove terbesar berada di Riau, diikuti dan Barat. Perbedaan luas dari lain tidak begitu mencolok seperti pada tiga propinsi dengan luas terbesar. 10

Penyebaran Hutan Mangrove Wilayah Barat 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Gambar 7. Penyebaran hutan mangrove di wilayah barat Kondisi Kawasan Hutan Mangrove Wilayah Barat 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Tidak Rusak Rusak Gambar 8. Kondisi hutan mangrove wilayah barat Kerusakan hutan mangrove terbesar di wilayah barat Indonesia terlihat pada Riau, dikuti dan Barat. Namun dibandingkan propinsi lain, masih memiliki hutan mangrove yang masih baik yang paling besar luasannya. Data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan (2002) menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi sebagai tahap uji coba. Gambar 9 menunjukkan realisasi rehabilitasi di wilayah barat Indonesia yang masih sedikit cakupan luasnya dibandingkan luas kerusakannya. 11

Realisasi Rehabilitasi Hutan Mangrove Wilayah Barat 1,500 1,000 500 0 DI Aceh Utara Riau Barat Jambi Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa DI Yogyakarta Barat Gambar 9. Realisasi rehabilitasi hutan mangrove wilayah barat 5.4. Penyebaran dan kondisi hutan mangrove di wilayah timur Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di wilayah timur Indonesia, yang diikuti oleh Irian Jaya dan Timur. Penyebaran Hutan Mangrove Wilayah Timur 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 0.00 Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Barat Nusa Timur Maluku Irian Jaya Gambar 10. Penyebaran hutan mangrove wilayah timur Kerusakan hutan mangrove tertinggi pada wilayah timur Indonesia terdapat di, diikuti Timur, dan Jawa Timur. Dan tidak ditemukan kerusakan hutan mangrove pada 12

Irian Jaya, (semua propinsi), Nusa Timur dan Maluku. Kondisi Kawasan Hutan Mangrove Wilayah Timur 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0 Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Nusa Maluku Irian Jaya Tidak Rusak Rusak Gambar 11. Kondisi hutan mangrove wilayah timur Baik di dalam maupun luar kawasan hutan wilayah timur, kerusakan terbesar terjadi di. Hutan mangrove di Jawa Timur dan semua dalam keadaan rusak. Hutan Mangrove Rusak Wilayah Timur 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Nusa Maluku Irian Jaya Dalam Kawasan Luar Kawasan Gambar 12. Hutan mangrove rusak di wilayah timur Dalam kawasan hutan, kerusakan hutan mangrove tertinggi terjadi di diikuti oleh dan Timur. Ternyata hutan mangrove dalam kawasan hutan untuk wilayah timur, pada Jawa TImur dan semua dalam keadaan rusak. 13

Sedangkan pada Irian Jaya, (semua propinsi), Nusa Timur dan Maluku, semua dalam keadaan tidak rusak. Kerusakan hutan mangrove di luar kawasan hutan tertinggi berada di, diikuti Timur, dan Jawa Timur. Pada Irian Jaya, Nusa Timur, Maluku dan semua propinsi di tidak ada mangrove di luar kawasan hutan. Realisasi Rehabilitasi Hutan Mangrove Wilayah Timur 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Jawa Timur Kalimatan Timur Utara Bali Nusa Nusa Maluku Irian Jaya Gambar 13. Realisasi rehabilitasi hutan mangrove wilayah timur Data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan (2002) menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi sebagai tahap uji coba. Realisasi rehabilitasi di wilayah timur Indonesia yang masih sedikit cakupan luasnya dibandingkan luas kerusakannya. Dimana yang terbesar dilakukan adalah di seluas 3.550 ha. Bappenas (1993) dalam FWI/GFW (2001) mengatakan laporan Pemerintah Indonesia bahwa sekitar 1 juta ha mangrove lenyap antara tahun 1969 dan 1980. Hal ini terutama akibat dikonversi menjadi sawah, tambak dan pemanfaatan pertanian lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebab-sebab penurunan luas hutan mangrove lainnya adalah pengembangan tambak, kegiatan penebangan hutan dan eksploitasi hutan mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Konversi besar-besaran menjadi tambak khususnya terjadi di Jawa Timur, 14

dan. Juga semakin meningkatnya produksi kayu serpih dan pulp, seperti di, dan Irian Jaya. Kusmana (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Rencana pengelolaan yang tidak jelas seperti kebijakan pengelolaan yang tumpang tindih dan konflik kepentingan antar instansi sering membuat hutan mangrove terbengkalai (Kusmana, 2003). Kerusakan hutan mangrove disamping disebabkan oleh faktor fisik lingkungan, diduga pula disebabkan oleh faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Parameter yang digunakan untuk mengetahui faktor tersebut adalah jumlah/kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove (Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan, 2002). Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai karena lenyapnya pohon-pohon mangrove. Berkurangnya pantai pesisir meninggalkan pantai sempit yang terdiri dari pasir dan kolam-kolam asin tak dapat dihuni. Pusat-pusat pemukiman pantai menjadi makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995). Darsidi (1984) mengatakan gangguan-gangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota. Naamin (1988) mengatakan bahwa pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut. Hutan mangrove telah terbukti memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove tak luput dari masalah kerusakan lingkungan seperti halnya sumberdaya alam yang lain. 15

Penurunan luas hutan dan kerusakan hutan terjadi terutama karena campur tangan manusia, seperti konversi hutan mangrove menjadi sawah, tambak dan pemanfaatan pertanian lainnya, penebangan liar, pertambangan, pencemaran dan lain-lain. Upaya pengelolaan hutan mangrove harus didukung oleh pengetahuan yang cukup mengenai ekologi hutan mangrove. Pemahaman akan ekologi mangrove sangat penting agar kebijakan yang akan diambil terhadap hutan mangrove menjadi berarti dan berjalan dengan baik. Sehingga upaya pelestarian dan rehabilitasi hutan mangrove memiliki arah yang jelas dan terencana dengan baik. Dengan masih simpang siurnya luas mangrove secara keseluruhan di Indonesia, Pemerintah sebaiknya melaksanakan kegiatan terpadu melibatkan berbagai pihak untuk melaksanakan pemetaan dan inventarisasi kawasan mangrove secara akurat. Format data untuk penyebaran hutan mangrove sebaiknya seragam dan konsisten di seluruh Indonesia. Abdullah, A. 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Bratamihardja, M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Jawa dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia LIPI. Jakarta. Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan. 2002. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Departemen Kehutanan. Jakarta. FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch. Bogor. Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai (Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta. 16

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naamin, N. 1988. Masalah Pengelolaan Perikanan Laut di Pantai Timur dalam kaitannya dengan Perubahan Lingkungan dalam Coastal Zone Environmental Planning in the Strait of Malacca, Lokakarya perairan Pantai Perencanaan Lingkungan Lingkungan untuk Selat Malaka, Palembang, Indonesia 7-9 Juni 1998. F. Sjarkowi, W., J.M. Verheught dan H.J. Dirschl (ed.). Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Development of Environmental Study (DESC) Project UNDP/IBRD/GOI. Palembang. Nugroho, S.G., A. Setiawan, S.P Harianto. 1991. Coupled Ecosystem Sylvo- Fishery Bentuk pengelolaan hutan mangrove-tambak yang saling mendkung dan melindungi dalam prosiding seminar IV ekosistem mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. 17