PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Institute for Criminal Justice Reform

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

SURAT TERBUKA KEPADA KETUA PANSUS RUU TERORISME DPR RI TENTANG RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

digunakan untuk mengenyampingkan dan atau mengabaikan hak-hak asasi lainnya yang harus dipenuhi negara, sebagaimana ketentuan hukum

MAKALAH. Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Transkripsi:

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003 Pasal 1 (8) Pasal Potensi Pelanggaran HAM Kerangka hukum yang bertabrakan Tidak ada Indikator jelas mengenai keras atau ekstrem. Deradikalisasi adalah proses tindakan yang dilakukan dengan tujuan agar orang perseorangan atau kelompok orang yang tidak melakukan perbuatan atau pemikiran yang menuntut suatu perubahan yang diungkapkan secara keras atau ekstrim yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme. Perbuatan dan pemikiran yang keras atau ekstrem dalam hal ini memerlukan indikator yang jelas. Penafsiran atas pemikiran keras ini dapat melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi dan mengarah pada tindakan negara untuk melakukan penangkapan secara sewenang-wenang. Akan muncul subjektivitas pada aparat penegak hukum di lapangan dalam mengidentifikasi keras atau ekstrem. Bertentangan dengan pasal 28E dan 28I UUD 1945 yang menjamin kebebasan menyatakan pikiran, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18 dan 19 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 18 dan 19 mengenai kebebasan berpikir, pendapat, dan berekspresi Peraturan juga berpotensi melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. Pasal 6 Dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun Pasal 14 Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 10A, 12, 12A, 12B dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati Ada potensi pelanggaran hak atas hidup sebagaimana yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya Pasal 6(1) Pasal 6(2) sebagaimana yang dikutip: Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Konsiderasi ini kemudian akan bertabrakan dengan: 1. Pasal 6(4) ICCPR kemungkinan untuk mendapatkan pengampunan dan grasi dari Presiden 2. Pasal 6(5) ICCPR hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun dan perempuan yang sedang mengandung 3. Pasal 6(6) ICCPR moratorium hukuman mati. 1

Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. Pasal 12 B Selain pidana pokok, setiap warga negara Indonesia yang merupakan pelaku Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan paspor. Pasal 13 A Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. Pencabutan Paspor tidak tepat, melanggar hak kewarganegaraan dan berpotensi disalahgunakan. Potensi pelanggaran hak individu dalam hal ini adalah hak untuk berpindah tempat serta hak untuk mendapatkan pengakuan kebangsaan atau kewarganegaraan. Berpotensi multitafsir pada kategori tindakan anarkisme atau merugikan kelompok tertentu Potensi pelanggaran hak ini dapat terjadi karena ada subjektivitas hukum aparat penegak hukum di lapangan seperti pada serangkaian aksi massa untuk menuntut haknya seperti kelompok buruh atau kelompok masyarakat yang ditujukan pada kelompok tertentu seperti korporasi atau pejabat pemerintahan. Mereka dapat dikategorikan oleh negara sebagai kelompok yang merendahkan harkat dan martabat sehingga bisa dijerat UU Anti Teror Pencabutan kewarganegaraan atau kebangsaan bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 15, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD) Pasal 5, konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Pasal 9. Masalah kebangsaan juga diatur dalam Convention on the Reduction of Statelessness oleh UNHCR tahun 1961. Selain itu dapat melanggar hak seseorang untuk berpindah tempat yang diatur dalam DUHAM Pasal 13. Bertentangan dengan DUHAM pasal 18, 19, 20 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pasal 18, 19, dan 21 mengenai kebebasan berpikir, pendapat, berekspresi, dan berkumpul. Peraturan juga berpotensi melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. 2

Pasal ini juga multitafsir pada pengaturan negara atas penegakan hukum untuk ujaran kebencian yang derajatnya belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, meskipun telah memenuhi prasyarat pidana. Khusus pada Pasal 20(2) ICCPR pelarangan atas segala tindakan yang menganjurkan kebencian dan hasutan untuk diskriminasi dilarang oleh hukum; namun tidak serta merta masuk sebagai unsur tindak pidana terorisme Ujaran kebencian yang dimasukkan ke dalam revisi UU anti-terorisme rentan disalahtafsirkan sebagaimana yang terjadi pada UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 28 yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasikan individu yang menggunakan hak kebebasan berpendapat dan berekspresinya. Pasal 16A Penambahan vonis ½ (setengah) dari yang diancamkan Saat ini meskipun aturan hukum masih amat terbatas untuk menindak para pelaku penyebar kebencian dan hasutan, namun kepolisian secara internal telah memiliki Surat Edaran No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang bisa diselaraskan dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Selain itu, penting juga untuk segera merevisi KUHP dalam mendorong fungsi penegakan dan penindakan hukum terkait dengan ujaran kebencian dan hasutan yang belakangan ini marak terjadi. Mencabut penambahan vonis ½ dari yang diancamkan, karena hal tersebut bertentangan dengan Komentar Umum No. 3

Dalam hal pelaku tindak pidana terorisme melibatkan anak, pidana yang dijatuhkan ditambahkan ½ (setengah) dari pidana yang diancamkan. Ancaman kepada beberapa instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia: 1. Konvensi Hak Anak (CRC) 2. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia 8 CRC mewajibkan perlindungan atas martabat dan integritas fisik dari setiap anak di depan hukum (Para. 2). Prinsip untuk menggunakan kekuatan paling minimum kepada anak-anak (Para. 15). Komentar Umum No. 13 CRC kekerasan terhadap anak atas vonis yang terlalu berat. Pasal 25 (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari (3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh penutut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. (4) Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (5) Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. (6) Potensi tinggi penyiksaan, penyalahgunaan wewenang, dan pengabaian hak tahanan selama proses penahanan Penambahan waktu penahanan yang jauh berlebihan dari standar waktu yang diatur di KUHAP. Pada draf RUU ini, masa penahanan dari tahap penyidikan sampai perpanjangan penahanan oleh hakim adalah 300 hari. Sangat merugikan tersangka atas haknya untuk disidang dalam suatu peradilan yg cepat dan sederhana. Wewenang ini juga berpotensi tinggi melanggar hak asasi manusia mengingat masih terdapatnya praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum Indonesia. Wewenang ini sendiri telah berseberangan dengan asas accusatoir yang dalam hal ini mengenal prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent). Masa penahanan dalam tahap penyidikan yang diatur dalam Pasal 25 Ayat 2, 3, 4, 5, dan 6, terlalu lama jika dibandingkan dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Masa penahanan dalam KUHAP pada tahap penyidikan adalah 20 hari dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 30 hari. Masa penuntutan, masa penahanan yang diatur dalam KUHAP adalah 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari lagi. Total masa penahanan dalam KUHAP adalah 170 hari atau sekitar kurang dari 6 bulan. Hal ini juga bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. 4

Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, jangka waktu penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. Pasal 28 Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Potensi tinggi penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang selama proses penangkapan. Penambahan waktu penangkapan jauh berlebihan dari standar waktu yang diatur di KUHAP, yaitu 30 hari. Lamanya penangkapan tidak tepat dan berpotensi tinggi melanggar hak asasi manusia mengingat masih terdapatnya praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum Indonesia. Masa penahanan dalam tahap penyidikan yang diatur dalam Pasal 19 terlalu lama jika dibandingkan dengan masa penangkapan yang diatur dalam KUHAP. Masa penangkapan dalam KUHAP hanya selama 1x24 jam. Masa penangkapan yang tidak manusiawi ini dapat melanggar Pasal 5 dan 9 DUHAM mengenai penyiksaan, penangkapan dan perlakuan dihukum secara tidak manusiawi dan sewenang-wenang. Termasuk juga bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. Pasal 31 (1) Berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah, penyidik berwenang: a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk Penyadapan tanpa pengaturan jelas berpotensi penyalahgunaan wewenang. Wewenang penyadapan yang diatur dalam draft RUU ini bertentangan dengan pernyataan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menilai perlu ada Undang- Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang Sebelumnya telah ada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 5/PUU-VIII/2010 yang membatalkan bentuk penyadapan pada UU ITE dimana tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Mahkamah Konstitusi bahkan telah mengusulkan untuk dibentuknya UU yang 5

mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme Pasal 43A (1) Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan. (2) Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: c. deradikalisasi (4) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap: g. orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya. Potensi penyalahgunaan Deradikalisasi sebagai bentuk penyekapan. Tidak ada ukuran dan penjelasan jelas mengenai deradikalisasi. Kemudian program/metode deradikalisasi itu sendiri tidak jelas apakah nantinya akan berbentuk seperti fasilitas rehabilitasi pengguna narkoba atau dalam bentuk lain. Mengenai program ini juga tidak ada diatur tata cara menempatkan seseorang yang akan ditempatkan untuk deradikalisasi, seperti kesepakatan secara sadar dengan calon orang yang dituju. Termasuk belum ada rekam jejak yang jelas terhadap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk program deradikaliasi yang rentan disalahgunakan untuk menyekap individu tertentu untuk kepentingan politik. Tindakan ini berpeluang untuk menciptakan model pusat-pusat mengatur perihal penyadapan di Indonesia. Langkah ini belum mendapatkan tindak lanjut baik dari pihak eksekutif dan legislatif. Penyadapan juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 atas hak privasi. Bertentangan dengan pasal 28E dan 28I UUD 1945 yang menjamin kebebasan menyatakan pikiran, DUHAM pasal 18 dan 19 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pasal 18 dan 19 mengenai kebebasan berpikir, pendapat, dan berekspresi. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. Selain itu, program ini dapat melanggar hak seseorang untuk bergerak dan berpindah tempat yang diatur dalam Pasal 13 DUHAM dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. 6

penahanan yang rentan untuk disalahgunakan dan tidak terkontrol khususnya atas penerapan tindakan tidak manusiawi dan penyiksaan, sebagaimana yang terjadi pada Guantanamo Bay. Pasal 43B (1) Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme (2) Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia Mempertegas keterlibatan TNI yang semakin jauh dari pendekatan penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme Rencana peraturan baru ini membuka ruang keterlibatan TNI dalam penanganan operasi selain perang (OMSP) yang telah diatur oleh UU No. 34/2004 tentang TNI. Namun demikian, keterlibatan TNI tidak serta merta melibatkan mereka dalam ruang penegakan hukum; dengan kewenangan yang sama dengan kepolisian untuk melakukan fungsi penyidikan interogasi dan lain sebagainya. Untuk melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme telah ada Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI; di mana terdapat unsur keputusan politik yang datang dari Presiden dan DPR RI untuk setiap operasi militer selain perang yang melibatkan TNI. RUU ini tidak menyantumkan perihal ruang pengawasan pada fungsi anti-teror, terlebih yang melibatkan model operasi lintas institusi keamanan. Fungsi dan keterlibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dicantumkan pada Pasal 43A (5) untuk kepentingan kebijakan dan strategi nasional. Patut diingat bahwa BNPT bukanlah Dewan Keamanan Nasional yang berhak memutuskan pola, strategi dan kebijakan keamanan, termasuk anti-teror di Indonesia. Badan ini hanyalah mengkoordinasikan penanganan anti-teror, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan nasional Penanggulangan Terorisme. 7

Fungsi pengawasan kelak akan memberikan standar akuntabilitas, transparasi dan evaluasi atas pelaksanaan operasi anti-teror. Jika terdapat kesalahan wewenang, prosedur, pelanggaran hukum maka harus dibentuk suatu tim kerja yang bisa memberikan rekomendasi mengikat kepada para pengambil keputusan dan kebijakan untuk segera mengambil langkah koreksi yang tepat dan juga bisa diukur oleh publik. RUU ini juga tidak menyantumkan perihal fungsi pemulihan. Di Indonesia sendiri ada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP untuk Korban Salah Tangkap (PP Ganti Rugi). Apabila fungsi pengawasan menemukan adanya ruang pelanggaran HAM yang melibatkan jatuhnya korban pelanggaran HAM (termasuk mereka yang ditangkap sewenang-wenang, korban pembunuhan kilat, proses penindakan hukum yang salah dan lain sebagainya) maka baik UU dan PP tersebut harus menjadi rujukan dari berjalannya fungsi pemulihan pada tindak pidana terorisme. Sampai hari ini di Indonesia belum dikenal peraturan mengenai tugas perbantuan TNI kepada fungsi kepolisian. Tugas perbantuan TNI kepada kepolisian harus diatur secara jelas, sebagaimana dimandatkan dalam TAP MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menegaskan ruang perbantuan antara TNI dengan Polri akan menjembatani ruang abu-abu atas kedua institusi itu. Selain itu, jika terjadi penyalahan prosedur dalam operasi keamanan yang melibatkan prajurit TNI, KontraS memandang penting untuk segera memprioritaskan amandemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. UU ini masih kerap dijadikan dalih oleh prajurit TNI dilapangan yang bersinggungan dengan isu-isu sensitif antara lain tindak pidana dan pelanggaran HAM untuk mangkir dari kewajiban hukumnya. Menempatkan standar HAM pada UU Peradilan Militer, termasuk melibatkan fungsi penegakan hukum (baik Polri dan Kejaksaan) sebagai tim penyidik adalah krusial guna memperkuat fungsi akuntabilitas dan pengawasan TNI. Khusus terkait dengan ruang koordinasi dalam isu terorisme, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang juga menegaskan peran utama kepolisian dalam isu terorisme. 8