REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

Psl. 119 BW jo. Psl. 124 BW

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perempuan. Sebelum diturunkannya al-quran perempuan kedudukannya

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Dalam era globalisasi ini, Indonesia mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera, tuntutan tersebut

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB I PENDAHULUAN. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang. atau hala-hal yang tidak diinginkan terjadi.

polus yang artinya banyak, dan gamein atau gamous, yang berarti kawin atau perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek

BAB I PENDAHULUAN. TLN No. 3019, ps.1.

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAN 1

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

Transkripsi:

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: HERU SUSETYO Dosen Fakultas Hukum UIEU heru.susetyo@indonusa.ac.id ABSTRAK Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 lahir antara lain dari perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia yang sejak era kemerdekaan berjuang untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hak-hak kaum perempuan di wilayah hukum perkawinan. Tetapi setelah 32 tahun implementasinya, Undang-Undang ini banyak menuai kritik. Salah satu kritik yang mendasar yaitu Undang-Undang ini dianggap mencampuri urusan private warganegaranya terlalu jauh. Hal ini bisa dilihat dari Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 31, dan Pasal 34. Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tersebut harus direvisi ataupun diamandemen untuk beberapa bagian saja, mengingat masih banyak bagian dari Undang-Undang tersebut masih layak dipertahankan. Kata Kunci: Hak Perempuan, Undang-Undang Perkawinan, Revisi Undang-Undang Perkawinan Pendahuluan Satu persoalan yang menyeruak ketika masyarakat Indonesia sibuk berdebat tentang poligami beberapa pekan terakhir ini adalah tentang revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan No. 1 tahun 1974. Beberapa kalangan, apakah akademisi, aktivis LSM, legislatif hingga eksekutif bersikap bahwa sudah semestinya Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 direvisi, utamanya yang terkait dengan masalah poligami (baca:poligini/ polygny). Di sisi lain, Undang-Undang Perkawinan lahir antara lain dari perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia yang sejak era kemerdekaan berjuang untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hak-hak kaum perempuan di wilayah hukum perkawinan. Mengingat, sebelum Undang-Undang ini lahir begitu mudah perempuan Indonesia diceraikan oleh pasangannya dan terzhalimi hak-haknya pascaperceraian. Maka, perlukah kini Undang- Undang Perkawinan kembali direvisi? Apakah kritik terhadap praktek poligami belakangan ini cukup menjadi dasar untuk revisi Undang-Undang ini ataukah ada persoalan-persoalan lain yang lebih signifikan? Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 70

Tinjauan Teori Lahirnya UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 Tidak dipungkiri, lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya. Bahkan, perjuangan ini bisa dirunut sejak zaman R.A. Kartini, dimana beliau melalui surat-suratnya menceritakan kegelisahan terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Oleh karena itu, bukan tanpa sebab bahwa RUU Perkawinan kemudian disetujui DPR RI pada tanggal 22 Desember 1973, dengan maksud sebagai hadiah bagi kaum Ibu Indonesia (di hari Ibu). Persetujuan ini kemudian dikukuhkan oleh presiden RI pada tanggal 2 Januari 1974 dan jadilah Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Namun, perjuangan ke arah lahirnya Undang-Undang ini tak mulus. Sempat terjadi aksi walk out salah satu fraksi di DPR RI dan keberatan dari kelompokkelompok tertentu dengan dalih bahwa Undang-Undang ini agak terpengaruh kepentingan agama tertentu dan mencampuri masalah private warga negaranya terlalu jauh. Hingga kini, Undang-Undang ini belum pernah direvisi. Sebaliknya, dalam kurun waktu ini lahir berbagai peraturan perundang-undangan pendukung seperti PP No. 9 tahun 1975, PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang ijin menikah Pegawai Negeri Sipil (PNS), Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Kritik terhadap Undang-Undang Perkawinan Memasuki usia 32 tahun implementasinya, Undang-Undang ini tak pelak telah menuai sejumlah kritik. Kendati, banyak juga kalangan yang memujinya karena menciptakan kepastian hukum di wilayah hukum perkawinan. Salah satu kritik mendasar adalah bahwa Undang-Undang ini dianggap mencampuri urusan private warganegaranya terlalu jauh. Memang, hukum perkawinan termasuk dalam bidang hukum keluarga yang merupakan bagian dari hukum private yang bersifat sensitif. Sama halnya dengan hukum kewarisan, perceraian, dan hukum kekeluargaan/perorangan lainnya. Maka, ketika Negara mengatur masalah perkawinan terlalu jauh, tak pelak ada sejumlah pihak yang keberatan. 71 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

Adapun pasal-pasal yang dianggap mencampuri urusan private dan bermasalah adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Beberapa kalangan yang berkeberatan dengan pasal ini berdalih bahwa pasal ini cenderung membatasi perkawinan dan hak individu untuk memilih pasangan yang disukainya. Sebagai contoh, bagi seorang muslim tentunya perkawinan dia dianggap sah ketika berlangsung sesuai dengan hukum perkawinan Islam. Maka, perkawinan campuran berbeda agama tentunya tak dimungkinkan menurut pasal ini (kendati pada prakteknya banyak terjadi). Undang-Undang ini juga memang mengartikan perkawinan campuran dalam arti perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan vide Pasal 57 Undang-Undang ini yang berbunyi: yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Keberatan kedua adalah terhadap keharusan mencatatkan perkawinan (pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo PP No. 9 tahun 1975). Peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa perkawinan masyarakat muslim dicatat oleh KUA (Kantor Urusan Agama) dan masyarakat non muslim pada KCS (Kantor Catatan Sipil). Permasalahannya adalah, paling tidak hingga era reformasi, Negara Indonesia membatasi agama yang sah dan diakui di Indonesia hanya pada beberapa agama saja, minus Kong Hucu, aliran kepercayaan, dan agamaagama lainnya. Otomatis, karena eksistensi mereka tidak/ belum diakui di wilayah hukum perkawinan, tidak jarang dari penganut agama dan aliran kepercayaan tersebut mengaku sebagai penganut agama lain yang diakui di Indonesia untuk kebutuhan pencatatan perkawinan mereka di KUA maupun di KCS. Hal ini tentunya merugikan kepentingan dan hak-hak sipil mereka. Keberatan selanjutnya adalah pada pasal yang mengatur tentang poligami, yaitu pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Berdasarkan pasal 3 ayat (1) Undang- Undang ini disebutkan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 72

apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan menikah lagi tercantum pada pasal 4 (syarat-syarat alternatif) dan pada pasal 5 (syarat-syarat alternatif). Maka, sikap Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sudah jelas, bahwa ia menganut asas/ prinsip monogami terbuka. Sejatinya perkawinan adalah monogami, namun poligami (poligini) dimungkinkan sepanjang ada penetapan pengadilan dan terpenuhinya syaratsyarat alternatif maupun kumulatif. Kendati syarat terjadinya poligami menurut Undang-Undang ini cukup berat dan cenderung bersifat eksepsional. tak urung banyak kalangan yang berkeberatan. Keberatannya adalah karena pasal-pasal tersebut dianggap memberi landasan hukum untuk berlangsungnya poligami. Karena ada juga kalangan yang tak setuju dengan poligami dalam segala bentuknya. Keberatan kedua adalah, tak sedikit praktek poligami yang terjadi di Indonesia tidak berlangsung menurut kaidah yang ditetapkan oleh Undang- Undang ini. Alias, terjadi tanpa ijin/ penetapan dari Pengadilan Agama dan tak memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif yang ditetapkan Undang- Undang Perkawinan. Poligami yang berlangsung di luar kaidah Undang-Undang ini biasanya berlangsung di bawah tangan (perkawinan di bawah tangan), alias tidak dilangsungkan di hadapan petugas pencatat pernikahan (KUA). Karena biasanya petugas KUA akan mempertanyakan ada tidak ijin ataupun penetapan dari pengadilan yang mengijinkan sang calon suami untuk menikah lagi. Perkawinan di bawah tangan ini bisa jadi sah menurut hukum Islam, selama syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinannya dipenuhi. Namun, tidak berkekuatan hukum di hadapan hukum negara Indonesia. Karena perkawinan tersebut tak tercatat, otomatis kedua mempelai tak memiliki surat nikah. Karena tak memiliki surat nikah, anak yang akan dilahirkan nantinya terancam tak memiliki akta kelahiran, karena perkawinan kedua orang tuanya tak tercatat dalam dokumen negara. Karena tak memiliki akta kelahiran, maka sang anak akan sulit mendapatkan dokumendokumen pribadi lainnya yang amat dibutuhkan di kemudian hari. Permasalahan berikutnya adalah tentang pembagian harta waris. Ketika sang suami/ ayah meninggal dunia, maka tanpa adanya surat nikah dan akta kelahiran, sang istri kedua dan anakanak yang dilahirkan akan kesulitan untuk mengklaim bagian dari harta 73 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

waris yang semestinya mereka dapatkan. Karena ketiadaan bukti otentik bahwa mereka adalah juga istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Inilah salah satu keberatan terhadap praktek poligami selama ini, yaitu di wilayah perlindungan hak-hak perempuan (istri) dan hak anak-anak yang dilahirkan. Pasal berikutnya yang juga mengundang masalah adalah pasal 31 dan 34 Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Disebutkan dalam kedua pasal itu bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Sampai sini barangkali belum timbul masalah. Namun pada ayat berikutnya terkesan ada pembakuan peran sebagai berikut (pasal 31 ayat 3) : suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. dan pasal 34 ayat (1) dan (2): suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya. Keberatan dari kalangan perempuan, pasal 31 dan 34 di atas cenderung membakukan peran istri dan suami. Suami ditempatkan di wilayah publik dan isteri di wilayah private. Timbul kesan bahwa perempuan dimarginalkan pada posisi tertentu sesuai dengan peran gendernya. Yang diinginkan, negara tak mesti mengatur peran suami dan isteri terlalu jauh. Kembalikanlah pada masing-masing suami dan isteri. Berikan mereka kebebasan untuk memilih sesuai dengan kesadaran agama, sosial, dan hak-hak individunya. Kalaupun mereka memilih ingin di wilayah private, publik, ataupun keduanya, itu harus berlangsung atas kesadaran dan pilihan mereka sendiri dan bukan karena peran yang dibakukan hukum negara. Permasalahan Apakah perlu untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan? Apabila dirasa perlu, apa yang harus direvisi? Pembahasan Melihat sejumlah besar permasalahan di atas, tak bisa tidak, Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memang harus direvisi ataupun diamandemen untuk beberapa bagian. Disebut beberapa bagian, karena masih banyak bagian dari Undang-Undang Perkawinan yang masih layak dipertahankan. Alias, penyimpangan terhadapnya terjadi bukan karena rumusan normatif pasalpasalnya yang menyimpang tapi lebih karena praktek dalam masyarakat (law in action) yang memang sejak sebelum Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 74

lahirnya ataupun setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan- pun tetap tidak membaca dan kalaupun membaca tetap tidak peduli dengan aturan dalam Undang-Undang ini. Aturan yang mesti direvisi adalah pembatasan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil untuk agama-agama tertentu saja (pasal 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo PP No. 9 tahun 1975), yang menegasikan agama-agama lain dan aliran kepercayaan yang eksis di Indonesia. Konstitusi Indonesia (UUD 45) dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menjamin kebebasan penduduk untuk menganut dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka, apa agama dan kepercayaan yang dianut penduduk adalah di luar wilayah yang bisa diintervensi negara. Lagipula, pencatatan perkawinan masih berada di wilayah hukum antar pribadi (perdata/ private). Pasal berikutnya yang mesti direvisi adalah pasal 31 dan 34 Undang- Undang No. 1 tahun 1974 yang membakukan peran suami dan isteri pada posisi-posisi tertentu. Undang-Undang perkawinan semestinya cukup mengatur bahwa suami dan isteri memiliki kedudukan dan hak-hak yang seimbang dalam hukum perkawinan. Akan halnya mengenai tugas dan perannya dalam keluarga, kembalikan saja pada kesadaran dan pilihan masing-masing sesuai dengan tingkat kesadaran keagamaan, kepercayaan, sosial dan kesadaran hakhak individunya. Tak perlu dieksplisitkan dalam klausula tertentu. Akan halnya rumusan mengenai poligami/ poligini dalam Undang- Undang Perkawinan ini menurut hemat kami sudah cukup kompromistis. Karena untuk melarang poligami sama sekali juga tak bijak. Karena akan mencederai aturan agama tertentu yang memang mengijinkan berlakunya poligami dalam kondisi-kondisi tertentu. Namun, untuk melepaskannya secara terbuka juga tak dimungkinkan, karena memang cukup banyak praktek poligami yang berlangsung dengan menegasikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Asas monogami terbuka, yang membolehkan terjadinya poligami dalam kondisi yang sangat eksepsional, adalah suatu jalan keluar yang cukup kompromistis di tengah kemajemukan bangsa ini. Penutup Kesimpulan Di luar kontroversi tentang poligami dan revisi Undang-Undang Perkawinan, pertanyaan yang lebih mendasar adalah masih perlukah negara Indonesia memiliki Undang-Undang 75 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

Perkawinan yang mengatur perkawinan warganegaranya yang majemuk secara agama, suku, ras, golongan, hukum, adat, dan nilai-nilai budaya? atau, cukup kembalikan saja kepada ajaran agama, kepercayaan, dan keyakinan masingmasing? Unifikasi hukum perkawinan seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (sebagaimana hukum kekeluargaan yang lain) adalah suatu tantangan di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Karena bagaimanapun negera ini bukanlah negara sekular yang melepaskan sama sekali pengaruh agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, negara ini juga bukan negara agama yang dapat memaksakan hukum agama tertentu untuk diberlakukan pada seluruh rakyatnya. Rumusan negara Indonesia sebagai negara yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa, sekali lagi adalah rumusan yang cukup kompromistis dalam konteks keindonesiaan. Keserasian dan kompromikompromi seperti di atas perlu dipikirkan ketika akan merevisi hukum perkawinan nasional. Bagaimana mengakomodasi kepentingan semua pihak untuk melahirkan kepastian hukum dan juga keadilan dalam masalah perkawinan. Juga, tantangan berikutnya adalah bagaimana menyerasikan rumusan dalam hukum agama/ kepercayaan dengan perlindungan terhadap hak-hak kelompok tertentu dalam hubungan perkawinan yang selama ini rentan kedudukannya, yaitu kaum perempuan dan anak-anak. Kita meyakini bahwa hampir semua agama dan kepercayaan adalah melindungi dan memiliki perhatian terhadap kelompok perempuan dan anak-anak. Namun, ketika memasuki wilayah formulasi dan unifikasi hukum, yang mesti mengkompromikan semua kepentingan dan aspirasi semua golongan masalahnya menjadi tidak sederhana, dan juga tidak mudah. Namun disinilah tantangan sebenarnya dalam revisi hukum perkawinan nasional. Daftar Pustaka Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 76