Kendangan Matut. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. patalon. Unsur yang menjadi ciri khas dari penyajian gending patalon adalah

Deskripsi Karawitan Tari Iringan Tari Blantek, Golek Ayun-Ayun, dan Padang Ulan Pada Oratorium Kala Kali Produksi ISI Dps

BAB IV PENUTUP. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa latar belakang proses

GARAP KENDHANGAN GENDING PATALON LAMBANGSARI LARAS SLENDRO PATET MANYURA VERSI KARAWITAN NGRIPTO LARAS

BAB IV PENUTUP. pelestarian dan keberlangsungan seni karawitan. Pada gending tengahan dan

BAB IV PENUTUP. Yogyakarta khususnya gending-gending soran, agar terus dikaji dan digali, baik oleh

BAB IV KESIMPULAN. menyajikan salah satu tafsir garap rebab Gending Peksi Bayak laras slendro

GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN LADRANG LANGEN SUKA LARAS SLENDRO PATHET SANGA

KONSEP KENDANGAN PEMATUT KARAWITAN JAWA GAYA SURAKARTA

GARAP GENDING NGLENTHUNG, GLOMPONG, LAYUNG SETA DAN AYAK-AYAK BAGELEN

PERKEMBANGAN GARAP GENDING JANGKUNG KUNING

GARAP REBAB GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN LADRANG LANGEN SUKA LARAS SLENDRO PATET SANGA

GENDHING. IMBAL: SEBUAH IDE PENCIPTAAN KOMPOSISI MUSIK DALAM PERANGKAT CALUNG Hadi Boediono. ANEKA GARAP LADRANG PANGKUR Sugimin

BAB IV PENUTUP. sesuai untuk penggalian gending-gending tradisi Gaya Yogyakarta. Bagi

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.

GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, tentang gending Gaya Yogyakarta yang diangkat sebagai materi

GENDHING KARAWITAN: KAJIAN FUNGSI DAN GARAP KARAWITAN GAYA SURAKARTA

JURNAL KARAWITAN TARI SARASWATI ISI YOGYAKARTA KARYA SUNYATA

GARAP KENDHANG: SAMBUL LARAS, KLENTHUNG WINANGUN, SANGAPATI, THUKUL, KARAWITAN, ANGLIR MENDHUNG

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

ARTIKEL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PENINGKATAN KETERAMPILANMEMAINKAN MUSIK KARAWITAN BAGI ANAK-ANAK PADA SANGGAR NOGO KAYUNGYUN

BAB IV PENUTUP. Komposisi karawitan yang berjudul lakuku merupakan sebuah karya yang. dalam mewujudkan karya komposisi karawitan dengan judul Lakuku.

Analisis Tekstual Gending Kethuk 2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga, Bagian II Kiriman I Nyoman Kariasa, Dosen PS Seni MKarawitan

BAB IV KESIMPULAN. didapat beberapa kesimpulan mengenai pancer. Tabuhan pancer yang selama ini

BAB IV PENUTUP. Adapun rangkaian struktur komposisi yang disajikan yaitu Lagon Wetah laras

GARAP GENDING LONTHANG, JATIKUSUMA, RENYEP DAN LUNG GADHUNG

KOMPOSISI IRINGAN TARI SUMUNARING ABHAYAGIRI (SENDRATARI BOKO)

PENGARUH RESONATOR TERHADAP BUNYI NADA 3 SLENTHEM BERDASARKAN SOUND ENVELOPE. Agung Ardiansyah

GARAP KENDHANGAN GENDING PATALON LAMBANGSARI LARAS SLENDRO PATET MANYURA VERSI KARAWITAN NGRIPTO LARAS. Skripsi

BAB IV PENUTUP. disimpulkan bahwa gending-gending bentuk lancaran karya Ki Tjokrowasito

GARAP BONANG BARUNG GENDING BEDHAYA LARAS PELOG PATHET BARANG KENDHANGAN MAWUR

Gamelan, Orkestra a la Jawa

RICIKAN STRUKTURAL SALAH SATU INDIKATOR PADA PEMBENTUKAN GENDING DALAM KARAWITAN JAWA

DASAR-DASAR PENGETAHUAN BELAJAR KARAWITAN UNTUK ANAK SD

14 Alat Musik Tradisional Jawa Tengah, Gambar dan Penjelasannya

BAB IV PENUTUP. Sejak diciptakan pada tahun 2008, keberadaan. Saraswati dalam Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta. Hal ini memberikan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA (MANDIRI)

GARAP LADRANG ELING-ELING PIKUKUH KARYA KI NARTOSABDO

TABUHAN PANCER PADA KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: SEBUAH KAJIAN MUSIKAL

PERMAINAN RICIKAN KENONG DALAM KARAWITAN JAWA GAYA SURAKARTA

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta KENDHANGAN TARI GOLEK LAMBANGSARI

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan)

TIGA KONSEP PENTING: VARIASI, PENGOLAHAN DAN KAIT-MENGAIT Variasi

PADA KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: SUATU KAJIAN MUSIKAL

BAB IV KESIMPULAN. memiliki cengkok sindhenan yang unik terdapat pada cengkok sindhenan

PANGKUR JENGGLENG AYOM-AYEM DI TVRI YOGYAKARTA: SUATU TINJAUAN PENYAJIAN KARAWITAN. Skripsi

Analisis Pola Tangga Nada Gendhing Lancaran Menggunakan Algoritma Apriori

BAB IV PENUTUP. dengan penyajian karawitan mandiri atau uyon-uyon. Tidak hanya penyajian

KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT JUM AT KLIWONAN DI PENDAPA KABUPATEN GROBOGAN

JURNAL IRINGAN KESENIAN THÈTHÈLAN DENGAN CERITA SEDUMUK BATHUK SENYARI BUMI DI TAMAN BUDAYA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA: KAJIAN GARAP KARAWITAN.

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta. Komparasi Gending Ganggong dan Miyanggong Laras pelog patet nem. Susanti 1

ANALISIS GARAP GENDING DOLANAN EMPLÈK-EMPLÈK KETEPU LARAS SLENDRO PATET MANYURA ARANSEMEN TRUSTHO. Skripsi

JURNAL KRUMPYUNG LARAS WISMA DI KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO: KELANGSUNGAN DAN PERUBAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

Diktat Kuliah. Drs. Suwardi, M. Hum. FBS Universitas Negeri Yogyakarta

Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kota Surakarta. PDSPK, Kemendikbud

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho

PEMBINAAN KARAWITAN KELOMPOK KARAWITAN NGESTI LARAS, PAGUYUBAN NGEKSI GONDO DIBAWAH NAUNGAN YAYASAN ADI BUDAYA DENPASAR TAHUN 2009

BAB IV KESIMPULAN. mengakibatkan perubahan teknik tabuhan pada beberapa instrument bonang

DESKRIPSI TUGAS AKHIR KARYA SENI

Petunjuk Teknis Pelaksanaan AKSARA 2017

KRUMPYUNG LARAS WISMA DI KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO: KELANGSUNGAN DAN PERUBAHANNYA. Skripsi

Catharsis: Journal of Arts Education

UCAPAN TERIMA KASIH...

Seni Musik Tradisional Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat

KARAWITAN. Apa itu KARAWITAN?

PANCER DALAM KARAWITAN GAYA SURAKARTA

DAFTAR ISI BAB 2 SEKOLAH MUSIK KARAWITAN LOKANANTA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pesatnya perkembangan Gong Kebyar di Bali, hampir-hampir di setiap Desa atau

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta MRAYUNG. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

ANALISIS INSTRUMEN KENDANG DALAM KARAWITAN JAWA DI TINJAU DARI NILAI LUHUR TAMANSISWA

IRINGAN KESENIAN THÈTHÈLAN DENGAN CERITA SEDUMUK BATHUK SENYARI BUMI DI TAMAN BUDAYA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA: KAJIAN GARAP KARAWITAN.

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan)

Identifikasi Pola Pasangan Notasi Gending Lancaran Berbasis Kemiripan Atribut

BAB IV PENUTUP. Kesenian Incling Krumpyung Laras Wisma di Kecamatan Kokap

SUWUK GROPAK DALAM KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA

UKDW LATAR BELAKANG. Sebagai tempat wisata dan edukasi tentang alat musik tradisional jawa. Museum Alat Musik Tradisional Jawa di Yogyakarta.

BAB IV KESIMPULAN. tahun 2012 lomba karawitan se-kabupaten klaten.

GARAP GREGET-URIP DALAM KARAWITAN JAWA: STUDI KASUS GARAP LELAGON CAMPURSARI DALAM LOMBA GENDING DOLANAN RRI SURAKARTA

FUNGSI SENI KARAWITAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA. Oleh : Drs. KARTIMAN, M. Sn. WIDYAISWARA PPPPTK SENI DAN BUDAYA YOGYAKARTA.

BAGAIMANA BERMAIN GAMELAN

BAB V KESIMPULAN. Campursari karya Manthous dapat hidup menjadi musik. industri karena adanya kreativitas dari Manthous sebagai pencipta

JURNAL TABUHAN SLENTHO

DIKTAT MATERI PERKULIAHAN MUSIK TARI

PENGEMBANGAN KONSTRUK INSTRUMEN HASIL PEMBELAJARAN PRAKTIK KARAWITAN JAWA

BAB I PENDAHULUAN. proses pembaharuan atau inovasi yang ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan baru dalam

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta MRAYUNG. Oleh: Wahyu Widodo

SUSUNAN MUSIK: PERANAN GONG DALAM ENSAMBEL Peranan Ritmis dan Struktural Pemegang Mat

PERAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KARAWITAN JAWA UNTUK MENANAMKAN NILAI CINTA BUDAYA PADA ANAK DI SD ANTONIUS 01 SEMARANG

Struktur Tabuh Lelambatan I Oleh: I Gede Yudartha, Dosen PS Seni Karawitan - Pangawit Pangawit berasal dari kata dasar yaitu ngawit/kawit yang

Pyang Pyung: Sebuah Komposisi Karawitan

PADA GAMELAN KYAI KANCILBELIK KERATON SURAKARTA

BAB IV PENUTUP. tentang penyimpangan terhadap pola musikal karawitan konvensional.

1. Kendang. Kendang. 2. Rebab

KAJIAN GARAP KENDANG

G L O S A R I 121 GLOSARI

ANALISIS FREKUENSI PADA GONG LARAS SLENDRO

Transkripsi:

Kendangan Matut Latar Belakang Karawitan Jawa merupakan bentuk musik yang didalamnya penuh dengan garap ricikan atau instrumen gamelan. Garap sendiri merupakan elemen yang harus hadir didalam sajian karawitan, dan merupakan kerja dari setiap seniman atau pengrawit pada saat menyajikan sebuah gendhing. Garap menuntut kreativitas para senimannya didalam mengolah balungan gendhing, ritme dan tempo. Sehingga garap sendiri merupakan bentuk kreatifitas kerja seniman di dalam karawitan untuk mewujudkan bentuk, karakter dan rasa dari sajian gendhing. Sedangkan karakter sendiri merupakan hasil hayatan seorang penghayat. Rahayu Supanggah menyebutkan bahwa karakter karawitan merupakan hasil hayatan karawitan yang menyangkut watak, kualitas, kesan atau rasa musikal tertentu yang tertangkap dan/atau tercena dalam sanubari penghayat ketika sedang atau setelah menikmati sajian gendhing atau tetembangan karawitan oleh pengrawit dan/atau vokalis dalam konteks, ruang, tempat, waktu, keperluan dan tujuan tertentu 1. Hampir semua ricikan dalam gamelan melakukan garap sesuai dengan peran masing-masing ricikan seperti ricikan rebab, kendang, gender barung, gender penerus, bonang barung, gambang, siter, suling. Selain tentunya ricikan saron wayang yang akan memberi warna tersendiri pada saat sajian gendhing pakeliran. Semua ricikan inilah yang nantinya akan melakukan garap pada setiap sajian gendhing berdasar peran ricikan dan tingkat kreativitas masing-masing pengrawit. Dalam kaitannya dengan garap ricikan, kami akan menyoroti garap ricikan pada kendang karena kami lebih familier dengan garap kendangan. Garap kendang pada sajian karawitan Jawa, memiliki beberapa macam yaitu, garap kendang setunggal (kendang ageng), garap kendang kalih (kendang ageng dan ketipung) dan garap kendang ciblon serta garap kendang sabet untuk pakeliran. Dalam fungsinya kendang merupakan salah satu ricikan garap yang ikut andil didalam menentukan hidup dan matinya sajian sebuah gendhing. Disinilah peran kendang sangat penting ketika sebuah gendhing disajikan. Jalannya sajian sebuah gendhing akan 1 Rahayu Supanggah: Botekan Karawitan II

tergantung pada kendang, karena ia yang akan menentukan setiap perubahan laya, peralihan irama, peralihan ke bentuk lain. Kapan sebuah gendhing harus mandheg (berhenti sementara), berapa rambahan (pengulangan sajian) gendhing disajikan, kapan gendhing disajikan seseg (tempo cepat) atau tamban (tempo lambat), kapan gendhing harus suwuk (berhenti untuk sajian selesai), semua ini ditentukan oleh kendang sebagai pemimpin dari sajian gendhing. Melalui pola-pola sekaran serta ater (tanda berupa bunyi kendangan yang telah disepakati bagi pengrawit lain) kendang akan melakukan perubahan-perubahan dinamika tempo, perpindahan irama dan sebagainya. Dari sekian ragam garap kendangan yang ada, salah satunya adalah garap kendang ciblon, dan tentunya didalamnya memiliki ragam garap kendang ciblonan. Dari gotek yang kami terima, ciblonan ini merupakan bentuk baru dari yang sebelumnya belum ada. Garap kendangan sebelumnya adalah garap kendang setunggal (dengan berbagai bentuk dan garap) dan garap kendang kalih (mulai dari bentuk lancaran sampai bentuk ladrang dengan tingkatan irama yang berbeda-beda). dengan perubahan garap, maka berbeda pula karakter dan rasa gendhing yang dihasilkan. Dalam garap kendangan ciblon, rasa dan karakter gendhing yang disajikan akan lebih riang, senang, gumyak, prenes. Karena dalam garap kendang ciblon rasa yang dihasilkan secara keseluruhan adalah riang. Walaupun lebih lanjut garap ciblonan memiliki beberapa karakter yang dihasilkan dari wiledan kendangan itu sendiri. Sehingga seorang pengendang akan memilih wiledan berdasarkan pada karakter gending yang akan disajikan. Melalui sekaran inilah, pengendang dapat meng imajinasi kan gerakan-gerakan tubuh seorang penari, seperti gerakan-gerakan tubuh dan tangan dengan tidak berpindah tempat atau berjalan yang selanjutnya biasa disebut dengan sekaran mandheg. Serta gerakan-gerakan tubuh dan tangan dengan berpindah tempat atau berjalan yang selanjutnya biasa disebut dengan sekaran mlaku. Sedangkan singgetan adalah satu pola kendangan yang berfungsi sebagai penyambung antara sekaran dengan sekaran. Dalam konvensi tradisi, gendhing dengan garap ciblonan akan dibentuk melalui struktur garap ciblonan yang berisi sekaran dan singgetan. Pola sekaran mlaku dan sekaran mandheg merupakan pola sekaran kendang ciblon yang ada pada ciblonan gambyong. Ciblonan gambyong merupakan garap ciblonan dimana susunan sekaran yang digunakan mengikuti susunan sekaran pada tari gambyong. Sekaran yang dimaksud adalah batangan (sekaran

mlaku), pilesan (sekaran mandheg), laku telu (sekaran mlaku), ukel pakis (sekaran mandheg), tumpang tali (sekaran mlaku), tatapan (sekaran mandheg) dan sebagainya beserta singgetannya. Pola kendangan sekaran tersebut yang selanjutnya disepakati sebagai pola ciblon gambyong yang terdiri pola sekaran mlaku dan sekaran mandheg serta disajikan bergantian, dimulai dari batangan (sekaran mlaku). Selain pola ciblon gambyong, kita mengenal juga pola ciblon golek, penamaan ini didasar dari pola sekaran yang didapat pada sekaran-sekaran tari golek. Susunan sekaran pada tari golek tidak memiliki urutan sekaran seperti halnya urutan sekaran pada tari gambyong dengan pola sekaran mlaku dan mandheg. Sekaran pada tari golek yang menurut gotek bentuk tari ini berasal dari Yogyakarta pola sekarannya lebih banyak pola sekaran mlaku, sedangkan dalam tari gambyong pola sekarannya terdiri dari sekaran mlaku dan sekaran mandheg. Tari gambyong merupakan bentuk tari yang berasal dari Surakarta dan diangkat dari gerak-gerak ledhekan 2, pola sekaran-sekaran inilah yang selanjutnya menjadi pola-pola sekaran dalam sekaran kendang ciblon. Dalam sajian klenengan seorang pengendang memiliki hak untuk menentukan sekaran apa yang akan ia sajikan. Makin banyak ragam yang disajikan, makin tinggi martabat pengendang tersebut. Selain menyajikan pola-pola sekaran gambyongan dan golekan dalam garap kendangan ciblon, seorang pengendang juga harus mampu menyajikan pola kendangan sekaran pamatut atau matut. Matut mempunyai makna pantas, cocok, mungguh (jawa). Ada istilah dalam bahasa Jawa dipatut patut, atau di-pantas-pantas-kan, ada upaya agar bisa lebih cocok. Dari sekian pengertian yang ada, kata mungguh inilah yang cocok untuk memaknai kata matut. Sehingga kendangan matut memiliki pengertian satu pola yang mungguh disajikan sesuai dengan lagu gerongan, lagu sindhenan, melodi balungan, gerak dalam tari serta bentuk dan karakter gendhing. Disinilah peran seorang pengendang, karena harus menentukan dan memilih sekaran serta struktur sekaran atau biasa disebut oleh kalangan pengrawit dengan istilah skema. Setiap pengendang akan memiliki skema kendangan yang berbeda-beda ketika menyajikan kendangan matut. Pada sajian matut, pengendang dituntut memiliki kreativitas yang tinggi. Bagaimana tidak, karena harus menentukan pola sekaran dan skema yang mungguh dengan sajian gendhing serta kaya akan wiledan, dan sudah semestinya karena inilah salah satu tuntutan seorang pengrawit. 2 Dari kata ledhek, yaitu sebutan seorang sindhen dimana dalam menyajikannya dia sambil menari.

Dengan kata lain matut kami sejajarkan dengan improvisasi (dalam istilah musik Jazz), sehingga kami ibaratkan dengan seorang pendekar yang akan maju bertanding atau berperang, harus memiliki banyak jurus sehingga mampu mempertahankan diri dari musuh. Artinya improvisasi, matut adalah satu pilihan bagi seseorang yang memiliki tingkatan tinggi, sehingga hasil dari improvisasi dan matut adalah hasil yang bisa dipertanggung jawabkan (bukan sekedar ngawur). Pengertian ngawur disini adalah satu tindakan yang tidak didasari atas kemampuan. Sedangkan kemampuan itu sendiri meliputi teknik yang tercapai, kaya akan sekaran berikut wiledannya dan memiliki interpretasi yang tinggi. Ada satu kasus dimana seorang pengrawit tidak memiliki teknik yang bagus, namun dia kaya akan sekaran dan wiledannya serta memiliki interpretasi yang tinggi, maka dia salah satu contoh yang kami ambil sebagai pengendang yang mampu melakukan kendangan matut. Pada garap kendang, matut dibedakan menjadi dua, yaitu matut sekaran dan matut skema atau struktur, namun kalau matut skema biasanya terdapat juga matut sekaran. Akan tetapi kalau matut sekaran belum tentu matut skema (karena bentuk dan skemanya sudah jelas dan pasti). Selanjutnya kapan seorang pengendang menentukan matut sekaran dan atau skema dalam sajian gending garap matut serta apa saja yang bisa digarap matut, kita lihat satu persatu. Dalam garap karawitan, kendangan matut dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu: matut untuk bentuk lancaran (lagu dolanan), bentuk sprepeg dan sampak, bentuk jineman, kebar gecul, bentuk palaran, ayak-ayak, serta matut lagu yang biasanya sering kita jumpai pada lagu sindhenan. Dari sekian bentuk tersebut masing-masing memiliki cak-cakan yang berbeda-beda, lain pengendang juga lain cak-cakan. Inilah kiranya yang disebut matut, seberapa tebal seorang pengendang didalam pengekspresikan kebebasannya untuk menyajikan matut. Sajian matut dari masing-masing pengendang dapat juga akan membentuk satu pola sekaran yang dapat disajikan secara berulangulang. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pola matut yang disajikan pengendang sifatnya hanya sesaat, karena bukan merupakan bentuk pengulangan. Bentuk Lancaran: Bentuk ini merupakan bentuk terkecil dari bentuk gendhing yang ada, dilihat dari bentuknya dalam satu gong memiliki 16 sabetan (16 tabuhan balungan) atau 4 gatra.

Banyak gendhing-gendhing dolanan yang menggunakan bentuk lancaran, selain bentuk lain yaitu srepegan. Oleh karenanya banyak gendhing dolanan yang berbentuk lancaran yang disajikan oleh anak-anak. Hal ini mungkin dengan pertimbangan bahwa bentuk ini merupakan bentuk yang sederhana, pola tabuhan banyak yang menggunakan pola-pola dasar. Artinya bahwa sajian bentuk lancaran bisa disajikan dengan garap yang paling sederhana (dilihat dari pola tabuhannya). Gendhing dolanan yang berbentuk lancaran dan lancaran yang disertai vokal gerongan ataupun bentuk lancaran yang tidak menggunakan vokal gerongan, bisa disajikan garap kendangan matut. Pada bentuk lancaran, ketika seorang pengendang menyajikan kendangan matut, maka yang dia lakukan adalah menentukan skema (membentuk struktur), karena tidak ada skema dan struktur kendangan ciblon untuk bentuk lancaran. Skema dan struktur pada bentuk lancaran akan terbentuk dengan sendirinya ketika seorang pengendang menyajikan sekaran-sekaran yang disesuaikan dengan lagu dolanan atau bukan lagu dolanan dan disertai singgetan. Sebuah skema dan struktur kendangan akan dapat terbentuk ketika pengendang menempatkan pola-pola singgetan. Melalui singgetan inilah maka skema kendangan akan terbentuk. Dimana dia menempatkan kenser, kapan dia melakukan ngaplak dan seterusnya. Selain membentuk skema dan struktur, pengendang juga harus menentukan sekaran yang digunakan. Pola-pola sekaran matut biasanya akan mengikuti lagu yang disajikan. Pola-pola tersebut bisa berbentuk sekaran mlaku atau sekaran mandheg. Penggambaran dari lagu tersebut dapat melahirkan inspirasi bagi pengendang untuk membuat sekaran. Sebagai contoh, lagu dolanan Kupu kuwi, penggambaran tentang keindahan kupu-kupu yang sedang beterbangan dan hinggap ke satu tanaman ke tanaman yang lain, dari bunga ke bunga, akan lahir ke dalam pola-pola sekaran matut. Bagaimana seorang pengendang mengekspresikan serta meng-imajinasi-kan gerakan-gerakan kupu atau barangkali memberi penekanan dalam bentuk pola kendangan pada gerakan tari yang menggambarkan gerak gerik kupu-kupu. Atau dalam contoh lagu dolanan Menthog-menthog, penggambaran tentang gerik gerik menthog ketika sedang berjalan dengan badannya yang lenggak-lenggok. Selain bentuk lancaran, lagu dolanan juga ada yang berbentuk srepegan, biasanya lagu dolanan yang memiliki rasa seleh gong tidak ajeg atau rasa pola tabuhan srepeg. Dalam arti, kalau berbentuk lancaran, maka pada setiap 16 sabetan balungan akan seleh gong. Sedangkan pada srepeg setiap gong tidak

memiliki jumlah sabetan balungan yang sama. Lebih lanjut, kadang para seniman didalam menyusun lagu dolanan tidak berlandaskan pada bentuk lancaran, sehingga memiliki kebebasan kapan memberi seleh gong dan seterusnya. Dengan demikian ketika pengendang menyajikan matut lagu dolanan pada bentuk srepeg, maka harus memperhatikan setiap seleh pada lagu tersebut. Karena pada lagu dolanan yang berbentuk srepeg masing-masing memiliki struktur yang berbeda-beda. Seperti lagu dolanan Kuning-kuning, Pendisil, Buta-buta galak dan masih banyak lagi lagu dolanan yang masing-masing memiliki struktur dan karakter lagu yang berbeda-beda. Oleh karenanya pada lagu dolanan pengendang harus betul-betul mencermati setiap seleh pada lagu tersebut, dengan demikian akan dapat membuat struktur atau skema kendangan selain juga membuat pola-pola sekaran kendang dan pengendang bisa dikatakan nguripke gendhing. Pada kendangan matut bentuk lancaran yang tidak terkait dengan lagu dolanan, pengendang dapat juga berimajinasi seakan-akan sedang menyajikan kendangan tari. Pola-pola yang dipilih dapat diambil dari pola-pola kiprahan atau pola-pola gerakan tari lainnya, seperti pola sembahan, sabetan (pola kendangan kawahan), lumaksana, trecet dan tawing taweng. Pengalaman pengendang ketika menyajikan kendangan tari dapat menjadikan referensi yang kemudian akan tercurah pada sajian ini. Bentuk Srepeg dan Sampak. Seperti telah disebut diatas, bahwa struktur pada bentuk srepeg dan sampak berbeda dengan struktur bentuk lancaran. Jumlah gatra pada setiap gongnya bisa berbedabeda, sehingga hal inilah yang akan membentuk skema dan struktur bagi masing-masing pengendang. Pada bentuk srepeg dan sampak, pengendang lebih banyak mengaplikasikan polapola kendangan wayang, atau bisa juga pengendang menggunakan pola-pola kendangan tari seperti sembahan, lumaksana dan sebagainya. Ada perbedaan sedikit tentang kendangan kawahan untuk pola sembahan dan sabetan (dalam gerak tari) antara bentuk lancaran dengan bentuk srepeg dan sampak. Karena jumlah gatra pada masing-masing gong tidak sama antara bentuk srepeg dan sampak dengan lancaran, maka pola kendangan sembahan dan sabetan akan mengalami sedikit perbedaan. Pada bentuk

lancaran karena jumlah gatra pada setiap gong sama, maka pola kawahan pertama sampai ketiga adalah sama 3, (contoh kawahan: ). Sedangkan pada bentuk srepeg dan sampak, pola kawahan pertama seperti contoh diatas, kawahan kedua, serta ketiga berbeda dengan kawahan pertama. Yaitu seperti pada contoh berikut ini digunakan untuk pola kawahan kedua dan ketiga, (dalam konvensi kalangan ISI dan pada umum nya menggunakan istilah colongan 4 ). Pola kendangan colongan ini dapat disajikan pada bentuk srepeg ataupun sampak. Selain pola gerak tari sembahan dan sabetan yang menggunakan pola kawahan berbeda, perbedaan juga terdapat pada pola kendangan lumaksana, karena pola kendangan lumaksana seperti : yang dilanjutkan ke pola kendangan ombak banyu tidak dapat disajikan pada bentuk srepeg dan sampak, melainkan hanya disajikan pada bentuk lancaran. Untuk bentuk sampak dan srepeg dalam garap kendangan wayang, hampir setiap seleh gong pengendang menandai dengan menyajikan pola ater-ater seperti berikut ini:, atau menggunakan kendangan ater-ater dengan wiledan yang berbeda. Selain pola kawahan tersebut, juga disajikan pola isen-isen, seperti:, atau pola ini memiliki kesan rasa ritme ¾ dimana dalam satu pola kendangan berisi 6 kethukan. Sehingga dalam pengulangannya akan terjadi pergeseran seleh yang dikarenakan jumlah kethukan pada pola kendangan tidak sejajar dengan jumlah kethukan pada sabetan balungan dalam gatra. Untuk mensejajarkan pola kendangan dengan balungan dalam gatra, maka harus ada pengulangan yang tidak ajeg, berikut contoh pengulangan yang dilanjutkan pola kawahan (dalam srepeg manyura), pada balungan: 3232 5353 2121, 2121 3232 5616 atau 1616 5353 6532 maka akan terlihat sebagai berikut: Pola-pola tersebut merupakan pola pengulangan dalam batas tertentu yang disambung 3 Pola kendangan sembahan dan sabetan terdiri dari 3 kali pola kawahan. 4 Pengertian colongan adalah satu pola kendangan (kawahan) yang jumlah sabetannya berkurang. Jika dalam pola kawahan memiliki 8 sabetan kendangan, maka pada pola colongan, hanya terdiri 6 sabetan kendangan. Pada pola gerak tari sembahan dan sabetan, pola colongan terdiri dari kawahan pertama (8 sabetan), kedua (6 sabetan) dan ketiga (6 sabetan).

dengan pola kendangan ater-ater untuk menuju gong. Batas tertentu yang kami maksud adalah panjang pendek bentuk pengulangan tidak sama. Imajinasi seorang pengendang terhadap kendangan wayang (gerakan -gerakan wayang) sangat diperlukan sekali dalam rangka membentuk kendangan matut pada srepegan atau sampak. Bentuk Jineman Pola kendangan matut pada bentuk ini adalah matut sekaran dan matut skema atau struktur. Sebagaimana telah disebutkan di depan, bahwa apabila menyajikan matut skema, maka akan terjadi matut sekaran. Pola matut pada bentuk jineman, kasusnya hampir sama dengan matut pada srepeg. Artinya bahwa pada masing-masing bentuk jineman strukturnya tidak sama. Sehingga seleh gong mengikuti alur lagu jineman dan jumlah gatra serta jumlah masing-masing sabetan pada tiap-tiap gatra juga sangat bervariasi. Dengan bervariasinya jumlah gatra dan jumlah sabetan, maka sangatlah penting peran kendang didalam membentuk struktur dan skema kendangan. Kasus pada bentuk jineman sama dengan kasus lagu dolanan, pengendang harus betul-betul mengenal terlebih dahulu jineman yang akan disajikan. Bagaimana lagu sindhenannya, bagaimana strukturnya, sehingga dalam ngendangi tidak akan terjerumus karena ada kesan tidak hafal atau bahkan tidak mengenal jineman yang disajikan. Ada beberapa jineman yang memiliki bentuk seperti ketawang, yang dalam 1 gongan berisi 4 gatra atau 16 sabetan balungan dan 2 kenong serta dengan menggunakan irama dadi. Ada juga jineman yang tidak memiliki struktur seperti halnya bentuk ketawang dan tidak hanya menggunakan irama dadi, namun irama srepegan karena menggunakan pola tabuhan srepeg. Kasus seperti ini dapat kita lihat pada jineman Glathik Glindhing. Dengan melihat struktur yang demikian, maka seorang pengendang harus sudah bisa menafsir dalam rangka untuk dapat ngendangi jineman tersebut. Pola tabuhan srepeg pada jineman Glathik Glindhing, bukan berarti pola kendangan matut sama dengan matut pada bentuk srepeg. Pola tabuhan srepeg tersebut hanya untuk memberi penegasan, memberi penguatan pada lagu jineman bagian tersebut (bagian tabuhan srepeg).

Pola kendangan matut yang digunakan pada bentuk jineman adalah berkisar pada pola-pola sekaran mlaku seperti sekaran malik, sekaran tumpang tali pola golekan, mlaku nacah seperti pada jineman Glathik Glindhing bagian srepegan. Untuk pola sekaran mandheg dapat juga digunakan sebagai sekaran matut seperti sekaran kawilan, sekaran tatapan kadang juga banyak yang menggunakan sebagai sekaran matut pada bentuk jineman. Dalam sajiannya, kadang pengendang akan meramu pola-pola tersebut dalam satu bentuk sekaran. Dengan pengolahan wiledan, setiap pengendang biasanya melahirkan pola-pola sekaran matut yang tentunya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan cak-cakan dalam membuat wiledan. Bentuk Palaran: Berbeda pada bentuk-bentuk sebelumnya, kendangan matut untuk bentuk palaran adalah memberi isian dari batas gong ke gong berikutnya. Sesuai dengan pengertian palaran yang berarti mulur mungkret, maka panjang dan pendeknya pada isian tersebut mengikuti alur lagu palaran yang disajikan. Dalam bentuk palaran kita mengenal satu pola kendangan yang sudah ada sebelumnya dan pola ini merupakan pola yang sepertinya telah disepakati oleh kalangan pengrawit. Sehingga dengan demikian timbul satu pertanyaan, kapan seorang pengendang menyajikan pola kendangan matut pada bentuk palaran?. Dalam konsep karawitan menganut sistem pengulangan pola, cengkok, sekaran dan sajian atau biasa disebut rambahan. Oleh karenanya dengan adanya pengulangan tersebut, setiap pengrawit ricikan garap sangat dituntut memiliki keberagaman dalam menyajikan pola, sekaran dan cengkok. Itulah kiranya didalam sajian palaran, pengendang menyajikan pola-pola matut sebagai isian selain menyajikan pola-pola kendangan palaran yang sudah ada.