AGENDA ITEM Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Studi Working Party. a. Deteksi pesan AIS dari satelit b. Penyiaran informasi keamanan dan keselamatan dari dan ke kapal dan pelabuhan

Agenda Item Tujuan dari agenda item ini adalah menentukan alokasi pada pita frekuensi 3 50 MHz untuk aplikasi radar kelautan.

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PEMANCAR&PENERIMA RADIO

Dasar- dasar Penyiaran

Kajian Implementasi Alokasi Frekuensi Komunikasi untuk Pelayaran Rakyat di Indonesia

Protokol Interchangeable Data pada VMeS (Vessel Messaging System) dan AIS (Automatic Identification System)

BAB IV KOMUNIKASI RADIO DALAM SISTEM TRANSMISI DATA DENGAN MENGGUNAKAN KABEL PILOT

II. TINJAUAN PUSTAKA. perang ataupun sebagai bagian dari sistem navigasi pada kapal [1].

TEKNOLOGI WiMAX untuk Komunikasi Digital Nirkabel Bidang

BAB III PERANCANGAN SFN

BAB I PENDAHULUAN. Sistem radio digital (Digital Audio Broadcasting, DAB, sekarang ini lazim

Teknik Multiple Akses FDMA, TDMA, CDMA

AGENDA ITEM NO ALOKASI PRIMER UNTUK RADIO LOCATION SERVICE (RLS) PADA PITA GHz

PITA FREKUENSI RADIO, MODE, DAN APLIKASI DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN AMATIR RADIO

PETA LOKASI KEGIATAN STRATEGIS PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DALAM RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERHUBUNGAN TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2016 tentang Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

BERITA NEGARA. No.1013, 2012 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2.3GHz. Layanan Wireless Broadband. Prosedur.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. secara langsung melalui jaringan kabel[1,2]. Implementasi jaringan dengan

4.1 ALOKASI PITA FREKUENSI BWA UNTUK TEKNOLOGI WIMAX

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ITU-R 1.6 : (WRC-07);

Dinas Bergerak Maritim-Satelit: Dinas Bergerak Penerbangan-Satelit (R): Dinas Bergerak Satelit : 5.353A

6.2. Time Division Multiple Access (TDMA)

PEDOMAN PENYELENGGARAAN DIKLAT KETERAMPILAN KHUSUS PELAUT PROFICIENCY IN GMDSS / GENERAL RADIO OPERATOR S COURSE

BAB II DASAR TEORI. Dasar teori yang mendukung untuk tugas akhir ini adalah teori tentang device atau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II SISTEM SIARAN TV DIGITAL TERESTRIAL 2.1 MODEL BISNIS SISTEM SIARAN TV DIGITAL TERESTRIAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tenta

I. PENDAHULUAN. telekomunikasi berkisar 300 KHz 30 GHz. Alokasi rentang frekuensi ini disebut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TEKNOLOGI VSAT. Rizky Yugho Saputra. Abstrak. ::

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengantar Jaringan Nirkabel (Wireless Networks)

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (CDMA) CDMA merupakan singkatan dari Code Division Multiple Access yaitu teknik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2005 TENTANG

4.2. Memonitor Sinyal Receive CPE/SU Full Scanning BAB V. PENUTUP Kesimpulan Saran...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AGENDA ITEM 1.8 PITA FREKUENSI LAYANAN FIXED WIRELESS ANTARA 71 GHz DAN 238 GHz

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

METODE PENGUJIAN ALAT DAN/ATAU PERANGKAT TELEKOMUNIKASI WIRELESS LOCAL AREA NETWORK

MAKALAH KOMUNIKASI DIGITAL

TUGAS MAKALAH KOMUNIKASI SATELIT. Teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT)

Dosen Pembimbing: Dr. Ir Achmad Affandi, DEA

KOMUNIKASI DATA SUSMINI INDRIANI LESTARININGATI, M.T

AGE DA 1.12* (WP-4 SCIE CE ISSUES)

JARINGAN KOMPUTER Chandra Hermawan, M.Kom

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

TEKNOLOGI & FREKUENSI PENYIARAN MUHAMMAD IRAWAN SAPUTRA, S.I.KOM., M.I.KOM

Analisa Interferensi Akibat Transmisi di Sisi Bumi pada Link Orbcomm

BAB II JARINGAN GSM. telekomunikasi selular untuk seluruh Eropa oleh ETSI (European

Designing WLAN based Metropolitan Area Network (MAN)

JARINGAN WIRELESS. Jurusan T-informatika STT-Harapan Medan T.A 2016/2017 Oleh : Tengku Mohd Diansyah, ST, M.Kom 30/05/2017 1

Teknologi Seluler. Pertemuan XIV

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara maju lainnya.

KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK DINAS BERGERAK

ELECTROMAGNETIC WAVE AND ITS CHARACTERISTICS

Kuliah 5 Pemrosesan Sinyal Untuk Komunikasi Digital

Latar Belakang Unmanned Aircraft Systems (UAS) terdiri dari Unmanned Aircraft (UA) dan Stasiun Kontrol (Control Station). Pesawat tak berawak yang mer

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN,

::

INTERFERENSI BLUETOOTH TERHADAP THROUGHPUT WLAN IEEE B

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Modulasi Modulasi adalah proses pencampuran dua sinyal menjadi satu sinyal. Biasanya sinyal yang dicampur adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Identifikasi Menggunakan RFID

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

Satelit. Pertemuan XI

STANDARISASI FREKUENSI

Menyebutkan prinsip umum sinyal bicara dan musik Mengetahui Distorsi Mengetahui tentang tranmisi informasi Mengetahui tentang kapasitas kanal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Alokasi frekuensi 2300 MHz di Indonesia [4]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pertemuan 3 Dedy hermanto/jaringan Komputer/2010

Emergency Radio. Yuli Purwanto dan Johnny H. Tumiwa. Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung Jl. Tandurusa Kotak Pos. 12 BTG/Bitung Sulawesi Utara

Teknologi Komunikasi Data Jaringan Nirkabel. Adri Priadana - ilkomadri.com

Dasar Sistem Telekomunikasi. Nyoman S, ST, CCNP

1. PENGERTIAN PEMANCAR RADIO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

NFC & RFID Nyoman Suryadipta,ST, CCNP

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 29/PER/M.KOMINFO/07/2009 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 297 / DIRJEN / 2004 TENTANG

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS. Konsep selular mulai muncul di akhir tahun 1940-an yang digagas oleh

KOMUNIKASI DATA JUFRIADIF NA`AM. 4. Komunikasi Disekitar Kita

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1

Transkripsi:

AGENDA ITEM 1.10 1. Latar Belakang Agenda item 1.10 bertujuan untuk mengkaji kebutuhan alokasi frekuensi dalam rangka mendukung pelaksanaan system keselamatan kapal dan pelabuhan serta bagian-bagian terkait sesuai dengan Resolusi 357 WRC 2007 dan hasil studi ITU-R. Agenda item 1.10 mengkaji kebutuhan alokasi frekuensi untuk system keamanan dan keselamatan kapal dan pelabuhan melalui Ship Security and Alerting System (SSAS) and Long-Range Identification dan Tracking of ships (LRIT). Komunitas global maritime menyepakati bahwa perlu ditingkatkannya identifikasi dan pelacakan kapal dan kargo serta keamanan dan keselamatan kapal dan pelabuhan. 2. Hasil studi Working Party a. Deteksi pesan AIS dari satelit Automatic Identification System (AIS) merupakan sistem pelacakan pada kapal dan Vessel Traffic Service (VTS) untuk mengidentifikasi dan menentukan lokasi kapal melalui pengiriman data dengan kapal dan VTS di sekitarnya. International Maritime Organization (IMO) mengharuskan AIS dipasang pada kapal dengan cakupan internasional dengan gross tonnage (GT) lebih dari 300 ton atau kapal penumpang berbagai ukuran. Pesan AIS dapat dideteksi dari satelit namun mengalami beberapa kendala antara lain pesan yang overlap (penerimaan tidak jelas) serta banyaknya pesan AIS yang diterima oleh satelit, sehingga pada penelitian ITU-R dilakukan peninjauan terhadap karakteristik teknis dan operasional AIS pada kapal serta kebutuhan dan pembatasan penerimaan pesan AIS pada satelit. Pembatasan tersebut yaitu : 1. Pembatasan panjang pesan AIS pada time slot (tidak tersedia jeda waktu yang cukup untuk range deteksi satelit) 2. Jumlah pesan pada footprint antena satelit (diluar penggunaan time slot pada VDL seperti yang dideteksi satelit) 3. Kesulitan satelit AIS untuk membedakan pesan AIS dan komunikasi dari servis terestrial pada footprint antena satelit (coverage patern). Dari penelitian terkait permasalahan ini didapatkan kemungkinan pemecahan sebagai berikut :

1) Pesan AIS dengan panjang tertentu (96 bit) yang dipakai untuk penerimaan satelit akan menyelesaikan permasalahan penerimaan pesan yang tidak jelas. 2) Interval pelaporan tertentu (diajukan sekitar 3 menit) diperlukan untuk pesan AIS satelit. 3) Kapal dalam jangkauan base station AIS harus menekan transmisi pesan AIS satelit. 4) Deteksi satelit terhadap AIS shipborne harus dibatasi ke dalam AIS kelas A (SOLAS) karena cakupan kelas B sudah terlalu banyak. 5) Frekuensi operasi yang terpisah selain AIS 1 dan AIS 2 diperlukan dan tidak disarankan untuk teresterial. 6) Frekuensi sebaiknya dipertimbangkan hanya dari Appendix 18 karena jangkauan tuning dari shipborne AIS terbatas dengan mempertimbangkan kemungkinan frekuensi AIS tambahan. Laporan ITU-R M.2084 menunjukkan gangguan yang ditimbulkan oleh servis yang sudah ada di band tersebut sehingga harus diperhitungkan apakah satelit AIS akan diberikan di band atau kanal tertentu karena besarnya overlap baik di darat maupun laut. 7) Pada RR Appendix 18 hanya terdiri dari 4 frekuensi (kanal 16, 70, 75 dan 76) yang khusus digunakan untuk maritime. Kanal 70 dan 16 tidak dapat digunakan karena sudah dipakai untuk distress dan calling. Sehingga hanya dapat menggunakan kanal 75 dan 76 namun dengan pembatasan power karena adjacent dengan kanal 16. 8) Diusulkan menggunakan message 27 untuk AIS satelit yang lebih pendek yaitu 17 ms dengan interval transmisinya lebih pendek yaitu 1 kali tiap 3 menit dengan daya 12.5 Watt bergantian pada kanal 75 dan 76. b. Penyiaran informasi keamanan dan keselamatan dari dan ke kapal dan pelabuhan Frekuensi maritime 500 KHz digunakan untuk komunikasi distress dan keselamatan kapal di laut melalui mode telegrafi. Namun tidak digunakan lagi sejak telegrafi Morse dihentikan. Dalam hal ini, ITU-R mengkaji secara teknis terkait penggunaan frekuensi ini untuk penyiaran digital antar komunitas maritim. Hal ini dikaji terkait kebutuhan dimasa datang akan informasi yang harus dikirimkan kepada kapal laut pada situasi urgen sehingga membutuhkan kapasitas lebih dari yang diberikan NAVTEX, SafetyNET atau pengumuman melalui suara yang sudah ada. Band 495 505 KHz digunakan untuk layanan bergerak maritime dengan bandwidth 10 KHz hanya dapat digunakan untuk alokasi static dengan propagasi gelombang permukaan sehingga mempunyai medan elektromagnetik yang stabil. Cakupan tiap transmitter sekitar 250-300 mile dengan power RF 1 KW. Modulasi yang digunakan adalah OFDM. Informasi yang dapat dikirima yaitu :

- Informasi keselamatan navigasi - Informasi cuaca - Informasi keamanan - Informasi keselamatan dan pencarian - Informasi pelabuhan dan kendali - File transfer - Informasi kartografi c. Identifikasi dan pelacakan kargo Sehubungan dengan semakin banyaknya kapal internasional dan kargo, diperlukan peningkatan dalam identifikasi, pelacakan dan pengawasannya. Beberapa administrasi seperti ISO mempelajari kebutuhan spectrum dan standarisasi dari label elektronik pada container untuk memberikan system transportasi internasional yang lebih aman yang menerapkan beberapa teknologi seperti FHSS, sensor frekuensi pasif dan peralatan frekuensi aktif. Terdapat 3 tag yang harus disertakan dalam container yaitu Container Identity, eseal dan Supply Chain Tag sehingga menimbulkan kendalakendala dari segi biaya dan regulasi karena menggunakan frekuensi dan perangkat yang banyak. Saat berada di transit point, ketiga tag ini harus dibaca secara bersamaan sehingga dibutuhkan tag RF dan pengkodenya yang komplek. Kendala lainnya adalah belum ada frekuensi yang digunakan untuk aplikasi identifikasi dan pelavakan container ini. Solusi dari permasalahan ini yaitu menggunakan tag tanpa battere yang dipasang pada kargo dan dapat dibaca pada jarak dan kecepatan tertentu. Tag ini dapat digunakan sebagai Container Security Devices (CSD) yang akan mengirimkan input sensor ke infrastruktur radio. Teknologi ini dapat memberikan peningkatan dalam keamanan, keselamatan dan pergerakan perdagangan yang efektif serta meningkatkan penggunan container. d. Maritime Mesh Network Konsep e-navigasi bertujuan untuk memberikan keamanan dan keselamatan pada pelabuhan kapal dengan menggunakan informasi hydrographical, meteorologi dan pelayaran serta memperlancar komunikasi termasuk pertukaran data antar kapal, kapal ke pelabuhan, pelabuhan ke kapal, antar pelabuhan dan lainnya. Semua ini dapat tercapai dengan menambah akses bandwidth seiring bertambah besarnya data yang dikirimkan. Teknologi jaringan mesh maritime dapat dikembangkan dengan menggunakan secara efektif system spectrum radio yang ada pada jalur-jalur pelayaran sehingga informasi dapat tersebar. Cakupannya berdasarkan jaringan radio yang terhubung antar kapal-kapal dan suar. Jaringan radio mesh ini akan terhubung ke jaringan teresterial melalui stasiun darat yang ditempatkan dalam interval tertentu sepanjang garis pantai. Setiap

kapal akan terkait dengan jaringan radio yang berkemampuan untuk mengalihkan frekuensi sesuai peraturan frekuensi negara yang dilewati. Hal ini dapat dicapai dengan operator multiband atau teknologi radio kognitif. Informasi lokasi yang diberikan GPS juga dapat digunakan pada radio mesh untuk membantu pemilihan frekuensi yang cocok sehingga radio dapat terhubung pada suatu area atau Negara. Band frekuensi operasional untuk jaringan mesh broadband maritime berkisar antara VHF/UHF sampai GHz dan harus disesuaikan dengan regulasi frekuensi regional dan Negara, spesifikasi standar, ketentuan dan spesifikasi datarate dan jarak dari operator. Frekuensi pada daerah dekat pantai dalam range GHz sedangkan daerah yang jauh dapat menggunakan band UHF/VHF. Penelitian ITU-R mempertimbangkan apabila jaringan mesh maritime menggunakan band frekuensi yang sama dengan mobile broadband wireless access. Hal ini dapat dilakukan melalui Rekomendasi atau Resolusi yang memaparkan spectrum yang ditetapkan di jalur perkapalan dan pelabuhan untuk menjamin interoperabilitas internasional dari jaringan mesh maritime. Gambar Konfigurasi Mesh Antar Kapal

3. Frekuensi a. Deteksi pesan AIS dari satelit 8 Notes From ship stations Transmitting frequencies (MHz) From coast stations Inter-ship Port operations and ship movement Single frequency 15 g) 156.750 156.750 x x 75 n) r) 156.775 156.775 x Two frequency 16 f ) 156.800 156.800 DISTRESS, SAFETY AND CALLING 76 n) r) 156.825 156.825 x Public corres-pondence Kanal 75 dan 76 akan digunakan untuk layanan satelit bergerak (Earth-to-space) sebagai penerimaan transmisi AIS dari kapal menggunakan message 27 Band frekuensi 130-160 MHz digunakan untuk dinas tetap bergerak maritime dan radio navigasi. Kanal 75 dan 76 akan digunakan untuk komunikasi antar kapal dan antara kapal dengan pelabuhan. b. Penyiaran informasi keamanan dan keselamatan dari dan ke kapal dan pelabuhan Band 495 505 KHz Band 495 505 KHz digunakan untuk layanan bergerak. c. Identifikasi dan pelacakan kargo 1) 433 MHz (ISO/IEC 18000-7) 2) 860 960 MHz (ISO/IEC 18000-6) 3) 2 450 MHz (ISO/IEC 24730-2) Pada band 433 dan 860-960 MHz sudah terlalu banyak penggunanya, sehingga disarankan untuk menggunakan frekuensi 2450 MHz untuk aplikasi ini. Frekuensi 433 MHz digunakan untuk bergerak maritime dan radio navigasi penerbangan. Frekuensi 860 960 MHz digunakan untuk penyiaran.

Frekuensi 2450 MHz digunakan untuk dinas tetap, bergerak dan penyiaran. d. Maritime Mesh Network Menggunakan frekuensi broadband wireless access. Band frekuensi 5725 5830 MHz digunakan untuk dinas tetap, bergerak dan amatir. Di Indonesia frekuensi ini digunakan untuk broadband wireless access. 4. Pandangan negara lain dari APG 2009 Malaysia Pada saat ini tidak merasa perlu adanya perubahan regulasi atau alokasi untuk dilaksanakan di WRC-11. Perubahan pada RR dan table alokasi spectrum tidak diharapkan untuk menjamin pendahuluan teknologi baru untuk keamanan dan keselamatan kapal dan pelabuhan. Penelitian lain terkait persoalan tersebut dapat dilakukan apabila tersedianya informasi mengenai kekurangan akan spectrum dan terbuktinya kebutuhan akan spectrum. Iran Iran menyampaikan 5 (lima) hal, yaitu : 1. Kesimpangsiuran antara Keselamatan dan Keamanan pada agenda item ini sebaiknya dijelaskan untuk menghilangkan interpretasi keduanya. 2. Iran mendukung amandemen yang dibutuhkan pada deteksi satelit dari pesan AIS. 3. Iran mendukung penelitian untuk menentukan kebutuhan spectrum pada Radio Frequency Identification Tags untuk keperluan maritime. 4. Berbagai perubahan pada agenda item ini sebaiknya tidak berpengaruh pada frekuensi yang digunakan GMDSS. 5. Dilakukkannya penelitian terhadap identifikasi frekuensi satelit berdasar AIS pada band frekuensi 156-162.025 MHz serta penggunaan guard band kanal 16 dan kemungkinan interferensi terhadap kanal tersebut. Australia Australia mendukung penelitian untuk mengkaji kebutuhan alokasi frekuensi dan regulasi yang terkait dengan melihat pada operasi dari system keselamatan untuk kapal dan pelabuhan, sesuai dengan Resolusi 357 (WRC-07) khususnya pada sharing dan kompatibiltitas dengan layanan yang sudah ada.

New Zealand New Zealand mendukung penelitian yang berlangsung dalam ITU-R serta mempertimbangkan pilihan atau rekomendasi lain berdasarkan prestasinya. Jepang Jepang mendukung penelitian ITU-R WP5B mengenai deteksi satelit dari pesan AIS, penyiaran informasi keamanan dan keselamatan, identifikasi dan pelacakan kargo, pemantauan evolusi dari konsep e-navigasi, system data HF untuk mengirimkan peringatan keamanan dan informasi keselamatan dan system data VHF yang terkait dengan Resolusi 342 (WRC 2000).