KONTRIBUSI PAJAK PENGHASILAN DALAM APBN SERTA POTENSI DAN PERMASALAHANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
OPTIMALISASSI PENERIMAAN PPh MIGAS

KINERJA PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PERTIMBANGAN APBN-P 2010

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah

PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

PENERIMAAN DAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN TAHUN Rata-rata pertumbuhan PDB 5 tahun terakhir = 19,79% sedangkan Rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu. yang berguna bagi kepentingan bersama Waluyo (2008:2).

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Monica (2013), menyatakan bahwa dalam rangka

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN TAHUN PAJAK PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA MIGAS

Kajian Potensi Penerimaan Perpajakan Berdasarkan Pendekatan Makro. Ringkasan eksekutif

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu negara akan berkembang dan berjalan dengan lancar

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. maju dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengamatan perpajakan Center Taxation analysis (CITA)

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2013

EVALUASI PENGENAAN KEBIJAKAN PPH FINAL PADA UMKM. Abstrak. Berdasarkan Skema ketentuan mengenai PPh Final dalam PP 46 dan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah),

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah. membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

257/PMK.011/2011 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAK

Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan

2015 PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI

BAB I PENDAHULUAN. kenyataannya Indonesia tidak bisa memanfaatkan berbagai potensi itu. Bisa dilihat

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah juga terus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Panama papers yang merupakan fenomena bocornya kumpulan 11,5 juta

Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

TINJAUAN PERENCANAAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN REALISASINYA D R A F T I. Oleh : Kelompok II. M. Yus Iqbal Eny Sulistiowati Ikawati Martiasih Nursanti

Jogjakarta, 7 Agustus 2017

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat telah menganggap pajak sebagai

BAB 4 EVALUASI DAN PEMBAHASAN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari adanya pajak. Pajak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2017 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia, menjadikan penerimaan dari sektor perpajakan sebagai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan melihat semakin bertambahnya jumlah penduduk. perpajakan, Indonesia menganut system self assessment yang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Realisasi Penerimaan Negara ( Milyar rupiah ) Tahun Sumber Penerimaan. Penerimaan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Pembayar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

SEKILAS TENTANG PEREKONOMIAN DAN FISKAL INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia memiliki berbagai permasalahan perpajakan yang umumnya

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah Rp ,00 (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

LATAR BELAKANG MODERASI PERTUMBUHAN EKONOMI GLOBAL

Kebijakan Perpajakan Terkait Importasi Barang Migas KKKS

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013,

dasar hukum Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. Berbudaya dan Terintegrasikannya sistem e-government menuju smart. regency (kabupaten cerdas) pada tahun 2021.

Transkripsi:

KONTRIBUSI PAJAK PENGHASILAN DALAM APBN SERTA POTENSI DAN PERMASALAHANNYA Dalam proyeksi RAPBN 2014 total pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp1.749,9 Triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan 1.364,3 Triliun, Pendapatan Negara Bukan Pajak 383,7 Triliun dan penerimaan hibah sebesar 1,8 Triliun. Ini berarti penerimaan pajak dalam RAPBN 2014 ditargetkan meningkat sebesar 171 Triliun dari APBN 2013. Dalam lima tahun terakhir realisasi penerimaan pajak memang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam grafik 1 berikut ini : Milyar Rupiah 1,200,000.0 1,000,000.0 800,000.0 600,000.0 400,000.0 200,000.0 Grafik 1 Target dan Realisasi Penerimaan Perpajakan, 2007 2013 0.0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 APBN 509,462.0 591,978.4 725,843.0 742,738.0 850,255.5 1,032,570. 1,192,994. APBNP 492,010.9 609,227.5 651,654.8 743,325.9 878,685.2 1,016,237. Realisasi 490,988.6 658,700.8 619,922.2 723,306.7 873,874.0 980,199.0 Sumber : Data Pokok APBN, Kementerian Keuangan, diolah Dari berbagai macam jenis pajak, pajak penghasilan merupakan sumber penerimaan pajak yang terbesar. Proporsi pajak penghasilan terhadap total penerimaan perpajakan dapat dilihat pada tabel 1. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 16

Tabel 1 Proporsi Pajak Penghasilan terhadap Total Penerimaan Perpajakan Tahun Pajak Penghasilan Pajak pajak Lainnya 2007 48.56% 51.44% 2008 49.72% 50.28% 2009 51.23% 48.77% 2010 49.36% 50.64% 2011 49.33% 50.67% 2012 50.54% 49.46% 2013 49.03% 50.97% Sumber : Data Pokok APBN, Kementerian Keuangan, diolah Hampir separuh dari total penerimaan pajak bersumber dari pajak penghasilan dengan kontribusi ratarata sepanjang tahun 2007 2013 mencapai 49,68%. Untuk itu perlu dianalisis potensi pajak penghasilan serta permasalahan permasalahan yang ada di dalamnya guna optimalisasi penerimaan pajak penghasilan. Pajak penghasilan dalam APBN terdiri atas pajak penghasilan migas dan pajak penghasilan non migas. A. Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) Dasar penerimaan migas adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Dalam KKS diatur bahwa Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26). Total pembayaran pajak pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) kontraktor menjadi Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Sepanjang tahun 2007 2013 pertumbuhan rata rata PPh Migas adalah 13,31% pertumbuhan tertingi dicapai pada tahun 2008 karena booming harga minyak internasional, perusahaan migas banyak mendapat windfall profit. 100,000.0 80,000.0 60,000.0 40,000.0 20,000.0 0.0 Garfik 2 Perkembangan PPh Migas, 2007 2013 (dalam Triliun Rupiah) 44,000.5 77,018.9 50,043.7 58,872.7 73,095.5 67,916.7 LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBNP APBN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 71,381.5 Pph migas terdiri dari dari pph minyak bumi, pph gas alam dan pph migas lainnya sebagian besar pph migas berasal dari Pph minyak bumi. Faktor faktor yang mempengaruhi pph migas adalah asumsi ICP, nilai tukar rupiah dan lifting minyak serta cost recovery. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 17

Perkembangan Rincian PPh migas sepanjang tahun 2007 2013 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Uraian Tabel 2 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2007 2013 (triliun rupiah) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Real. Real. Real. Real. Real. APBNP Outlook APBN PPh Minyak Bumi 16.3 29.6 18.4 22.8 25.9 27.6 27.6 24.0 PPh Gas Bumi 27.3 47.4 31.7 36.0 47.2 40.4 49.0 47.4 PPh Migas Lainnya 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 44.0 77.0 50.1 58.8 73.1 68.0 76.6 71.4 Permasalahan dan Potensi : Cost recovery hingga saat ini masih menjadi persoalan dalam perhitungan penerimaan Pph migas meski sudah ada PP Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu. Dalam PP tersebut memang sudah ditentukan komponen komponen biaya apa saja yang dapat maupun tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa syarat cost recovery adalah bahwa biaya yang dikeluarkan memang benar benar digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang tidak terkait hubungan istimewa, sehingga biaya yang terjadi merupakan harga wajar. Melalui PP ini pemerintah juga dapat mengontrol cost recovery dengan menetapkan batas maksimal atas biaya pengeluaran oleh kantor pusat serta remunerasi untuk tenaga kerja asing. Selain itu, pemerintah juga telah menentukan batas maksimal biaya modal dan biaya bukan modal yang dapat dapat diganti sebagai cost recovery yaitu sebesar 2%. Perkembangan cost recovery dapat dilihat pada grafik 3 berikut ini : Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 18

COST RECOVERY 2007-2010 Juta US$ 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 APBN P Real. APBN P Real. APBN P Real. APBN P Real. APBN P Real Sd Tw.3 *) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Minyak Bumi 5,395 4,426 5,821 5,159 5,747 5,773 7,198 6390 6,163 4,324 8,018 Gas 3,657 3,685 4,560 3,551 4,725 3,566 3,852 3719 6,026 2,979 4,313 Total 9,051 8,112 10,381 8,710 10,473 9,339 11,050 10,109 12,189 7,303 12,330 Sumber : Kementerian Keuangan, Penerimaan Sumber Daya Alam dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas Namun PP tersebut berlaku hanya bagi kontrak kerja sama yang baru, kontrak kerja sama yang lama tetap mengacu pada ketentuan sebelumnya. Besar kecilnya cost recovery ini menentukan besar kecilnya penghasilan yang akan dibagikan (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor. Untuk minyak bumi, bagian pemerintah adalah 85% sedangkan kontraktor 15%. Dari bagian kontraktor tersebut akan dikurangi kembali dengan kewajiban DMO dan kewajiban PPh migas. Persentase bagi hasil 85% berbanding 15% ini berlaku selama kontrak berjalan. Hanya masalahnya hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Dengan demikian untuk mempertahankan perhitungan 85% dan 15% tersebut, maka perhitungan tarif pajak juga telah dipatok tetap dan berlaku tetap selama jangka waktu kontrak, yaitu tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar 35% dan tarif Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) sebesar 20%. Dengan tidak tercantumnya secara ekplisit persentase bagi hasil 85% dibanding 15% dalam kontrak hanya gentlemen agreement maka penggunaan tarif pajak lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty antara negara asal kontraktor dan Indonesia menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak kontraktor 1. APBN 10 1 Budi, Chandra : Mengakhiri Polemik Pajak Migas http://www.pajak.go.id/content/mengakhiri-polemik-pajakmigas diakses tangal 10 Mei 2013. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 19

Selain cost recovery, Penerapan tax treaty oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga menjadi permasalahan tersendiri dalam perhitungan PPh migas dan sudah menjadi perhatian intansi BPK. Menurut BPK, regulasi mengharuskan KKKS menggunakan tarif pajak sesuai dengan kontrak bagi hasil (PSC). Namun KKKS memilih tarif tax treaty yang lebih kecil dari PSC 2. Padahal banyak perusahaan asing yang meneken kontrak minyak dan gas sebelum 2004 membayar pajak tidak sesuai ketentuan akibat aturan tax treaty. Aturan tersebut dibuat sekitar 1983 di mana Indonesia menyepakati perjanjian pajak dengan 60 negara, termasuk dengan negara asal perusahaan minyak dan gas. Menurut aturan tax treaty tersebut, KKKS Migas asing tidak dikenai pajak berganda. Namun, ujungnya berdampak banyak sengketa (dispute) antara pemerintah dan KKKS soal penghitungan pajak di industri migas. Sejak 2011 silam, tunggakan 14 perusahaan migas asing juga belum jelas akhirnya. Padahal, nilai tunggakannya mencapai Rp 1,6 triliun 3. Perbedaan perhitungan tersebut disebabkan adanya ketidaksamaan pandangan antara kontraktor dengan pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak dimana kontaktor memberlakukan tax treaty dan royalty sebagai komponen pengurangan pajak dengan alasan kedua item tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery 4. Dengan kondisi tersebut di atas tentunya dapat berpotensi merugikan keuangan negara karena kontraktor membayar pajak migas yang lebih rendah dari seharusnya. Dengan adanya PP 79 Tahun 2010 ini sebenarnya juga merupakan peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak. Meningkatnya kewenangan pemerintah untuk menentukan biaya baiaya yang dapat dijadikan cost recovery serta perluasan akses penentuan batas maksimal remunerasi tenaga kerja asing dan batasan maksimal biaya modal dan bukan modal untuk dijadikan cost recovery diharapkan mampu menekan cost recovery. Dengan demikian bagian yang harus dibagi (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor juga semakin besar dan hal ini berpelauang untuk meningkatkan pph migas. Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi transaksi yang terjadi. Yang sudah diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar 20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam pengalihan hak atau participating interest. Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan sub 2 http://firdausilyas.wordpress.com/2011/08/03/tersangkut-traktat-pajak/#more-220 diakses tanggal 13 Mei 2013 3 Kejar Tunggakan Pajak Migas http://shnews.co/detile 15824 kejar tunggakan pajak migas.html Diakses tanggal 10 Mei 2013 4 opcit Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 20

kontraktor. Yang pasti, aturan migas yang bias ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar 5. Potensi tersebut tentunya berpeluang untuk meningkatkan pajak penghasilan migas. Namun, di awal 2013 ini Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 70/PMK.011/2013 pada 2 April 2013 telah membebaskan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dari bea masuk impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hal itu untuk mendorong peningkatan kegiatan eksplorasi dalam rangka menambah cadangan dan kegiatan eksploitasi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dalam jangka panjang tentunya hal ini berdampak pada peningkatan PPh migas namun jangka pendek pembebasan tersebut tentunya dapat menurunkan penerimaan pajak yang lain yaitu bea impor, PPN dan PPnBM. B. Pajak Penghasilan Non Migas (PPh Non Migas) Pajak penghasilan non migas merupakan penyumbang terbesar penerimaan perpajakan. Pada tahun 2013 sebanyak 43, 03% dari total penerimaan perpajakan. Pajak penghasilan non migas bersumber dari pajak atas penghasilan baik orang pribadi maupun badan baik Indonesia maupun asing. PPh non migas secara keseluruhan tiap tahun mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada grafik berikut. Pertumbuhan rata rata PPh Non migas sepanjang tahun 2007 2013 adalah 17,81% Pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2008 karena Adapun faktor yang mempengaruhi penerimaan PPh non migas adalah pertumbuhan ekonomi. 5 Chandra Budi, Potensi Pajak Migas http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita kemigasan/detil/267001/potensi- Pajak-Migas diakses tanggal 14 Mei 2013. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 21

Grafik 4 Perkembangan PPh Non Migas 2007 2013 (dalam triliun rupiah) 600,000.0 500,000.0 400,000.0 300,000.0 200,000.0 100,000.0 0.0 LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBNP APBN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Perkembangan rincian PPh Non Migas dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3 PERKEMBANGAN PPh NON MIGAS, 2007 2013 (triliun rupiah) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Uraian Real. Real. Real. Real Real APBNP Outlook APBN PPh Pasal 21 39.4 51.7 52.1 55.3 66.8 89.2 90.6 103.7 PPh Pasal 22 4 5 4.4 4.7 4.9 7.9 4.3 5.2 PPh Pasal 22 Impor 16.6 25.1 19.2 23.6 28.3 38.2 33.5 42.8 PPh Pasal 23 15.7 18.1 16 16.3 18.7 28.5 19.4 23.6 PPh Pasal 25/29 Pribadi 1.6 3.6 3.3 3.6 3.3 5.6 5.7 6.8 PPh Pasal 25/29 Badan 80.8 106.4 120.3 131.5 157.9 191.1 190.8 230.5 PPh Pasal 26 14.6 14.9 18.4 23 27.2 29.8 22.9 33.3 PPh Final dan Fiskal 21.6 25.2 33.8 40.1 50.8 55.4 55.3 67.5 PPh Non Migas Lainnya 0.01 0.02 0.02 0 0.04 0.04 0.02 0.04 Total 194.3 250.0 267.5 298.1 357.9 445.7 422.5 513.5 Sumber : NK APBN 2013, Kementerian Keuangan Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa hampir lima puluh persen penerimaan pajak penghasilan berasal dari PPh Badan, dua puluh persen berasal dari PPh 21 (orang pribadi). Nilai tersebut tentunya akan lebih besar lagi mengingat masih banyak potensi pajak orang pribadi maupun badan usaha yang belum tergali. Sebagai perbandingan bahwa dengan jumlah penduduk mencapai 240 Juta jiwa, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi per April 2012 hanya sebesar 22 Juta, padahal dengan asumsi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 24,3 Juta/ Tahun, maka jumlah yang bisa terjaring akan lebih dari itu, ini selaras dengan standar Bank Dunia mengenai garis Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 22

kemiskinan yang ditetapkan di angka Rp 6,12 Juta/ Tahun dan disandingkan dengan Pendapatan Per Kapita tahun 2012 Republik Indonesia sebesar Rp 31,80 Juta/ Tahun 6. Sementara itu dari sisi badan usaha Menteri Keuangan pernah menyatakan bahwa dari 22,6 juta badan usaha di Indonesia, hanya sekitar 500 ribu perusahaan saja yang membayar pajak atau 2%. Jelas ini kondisi yang cukup memprihatinkan. 7 Fakta fakta di atas menunjukkan bahwa masih ada permasalahan permasahan sehubungan dengan upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan. Potensi PPh Non Migas : - Peningkatan PTKP Pemerintah telah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak dari Rp 1.320.000, perbulan atau Rp 15.840.000, pertahun menjadi Rp 2.000.000, perbulan atau setara Rp 24.000.000, per tahun. Diharapkan dengan kenaikan PTKP ini akan mendorong daya beli masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan pajak penghasilan namun di sisi lain berdampak pada upaya penambahan jumlah wajib pajak semakin berat. - Pajak Properti Industri properti merupakan salah satu sektor riil yang saat ini mengalami pertumbuhan yang pesat dibandingkan sektor lainnya. Sektor keuangan,real estate dan jasa perusahaan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,7 persen (yoy) menjadi 6,8 persen (yoy) di tahun 2011. Namun hal ini juga perlu diwaspadai jika masyarakat membeli properti untuk tujuan spekulatif mendapat capital gain. Pada 2011, dari sejumlah unit properti yang terjual, tingkat okupansi nya hanya 80% untuk daerah Jakarta. Di Tanggerang hanya 84% dari 94% properti yang ditawarkan. Bogor dan Depok juga memiliki tingkat yang rendah. Untuk penjualan unit apartment, di Jakarta saja terjual 8,400 unit. Padahal pada tahun sebelum nya, tidak lebih dari 4,000 unit. Artinya, sejak 2010, 2011 dan pada tahun tahun mendatang kecendrungan penjualan properti akan sangat pesat pertumbuhannya 8. Dikhawatirkan hal ini dapat memicu terjadinya bubble properti. 6 Erikson Wijaya, http://www.pajak.go.id/content/article/mengapresiasi kinerja ditjen pajak kiprah tantangan dan arahkebijakan 7 Tantangan Target Pajak, Rabu, 21 November 2012 http://www.investor.co.id/home/tantangan-target-pajak/49160 8 Bubble Industri Properti, Ancaman Serius Ekonomi Nasional, 21 May 2012 http://hadidalaydrus.wordpress.com/2012/05/21/buble industri properti ancaman serius ekonominasional/ diakses tanggal 27 Mei 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 23

Sayangnya pertumbuhan sektor properti tersebut tidak diimbangi dengan penerimaan pajak yang seharusnya. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menyatakan negara dirugikan akibat selisih harga jual properti dengan nilai jual obyek pajak NJOP sebesar Rp 30 triliun. Yang wajib dilaporkan adalah harga jual sebenarnya bukan sesuai NJOP. Padahal harga tanah dan bangunan properti naik cukup pesat sehingga nilainya melebihi NJOP Dia mengatakan banyak wajib pajak yang tidak memahami hal tersebut 9. - Potensi dari Transfer Pricing 10 Terdapat praktek praktek usaha mengindari pajak, baik oleh WP Orang Pribadi maupun WP Perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Salah satu praktek tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari pajak oleh perusahan perusahaan multinasional, dengan melakukan proses transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha. Menyadari masih adanya hambatan dan kendala, seperti : a) Koordinasi antar lembaga, dalam usaha sinkronisasi dan penggadaan data dalam usaha intensifikasi pajak. b) Proporsi aparatur pajak yang masih minim, berbanding jumlah wajib pajaknya. c) Kualitas aparatur pajak dalam pengetahuan pengetahuan teknis perpajakan, khususnya mengenai transfer pricing perlu ditingkatkan - Optimaisasi pemanfaatan e KTP untuk pajak e KTP merupakan tindak lanjut dari undang undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam undang undang ini dikatakan bahwa, setiap pendudukan akan memiliki sebuah NIK atau Nomor Induk Kependudukan yang bersifat tunggal dan berlaku selamanya. Dengan e KTP inilah setiap orang akan memiliki NIK nya masing masing. Dengan begitu, pencatatan kependudukan, paspor, SIM, catatan pajak, asuransi, serta berbagai dokumen lainnya akan terintegrasi sehingga kesalahan pencatatan akan bisa dikurangi. Lebih jauh, data ini bisa juga diintegrasikan dengan data catatan kesehatan setiap individu. Jika e KTP ini dimanfaatkansecara optimal untuk kepentingan pajak maka tidak mungkin hal ini berpotensi untuk meningkatakn penerimaan pajak. Permasalahan Pph Non Migas : - Kurangnya data Ditjen Pajak terkait rendahnya PPh psl 25/29 OP 9 http://koran.tempo.co/konten/2013/05/23/310849/selisih Pajak Properti Negara Rugi Rp 30 Triliun, diakses tanggal 27 Mei 2013. 10 Laporan Pelaksaan Diskusi Internal Bagian Analisa APBN dengan DJP tanggal 23 Mei 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 24

Sesuai dengan PPh pasal 25/29 OP, wajib pajak OP adalah wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan atau eceran barang barang konsumsi melalui tempat usaha/outlet yang tersebar di beberapa lokasi. Faktor utama rendahnya penerimaan PPh OP karena Ditjen Pajak belum memiliki data yang akurat terkait berapa jumlah tempat usaha/gerai outlet wajib pajak. kendala di lapangan adalah kesulitan mengenai data jumlah outlet yang tersebar di Indonesia. Selain itu, lokasinya cenderung nomaden dan berubah ubah 11. - Perluasan basis pajak kepada UKM Kebijakan ini merupakan salah satu pokok pokok kebijakan perpajakan 2014 yang sebenarnya sudah dimulai pada 2013. Pemerintah harus hati hati dalam mengambil keputusan sebab UKM menempati posisi strategis dalam perekonomian di Indonesia. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sekitar 90% bekerja pada sektor usaha kecil menengah 12. Namun di sisi lain UKM masih menghadapi berbagai permasalahan seperti terbatasnya akses terhadap perbankan, pemasaran serta teknologi. Jika pemerintah menjadikan UKM sebagai salah satu perluasan basis pajak dikhawatirkan hal tersebut akan semakin mempersulit UKM. Sebaliknya Pemerintah sebaiknya melakukan terobosan untuk mendorong dunia usaha dengan melakukan kebijakan yang bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi serta bisa menambah pendapatan negara misalnya insentif fiskal kepada dunia usaha dan pengampunan pajak kepada UKM. - Struktur pajak penghasilan badan Terjadi ketidakseimbangan sebaran umlah wajib pajak menurut kelompok besarnya omset dengan besarnya kontribusi per kelompok tersebut pada penerimaan pajak. Wajib pajak yang mempunyai omsetnya dilaporkan lebih dari Rp100 Miliar jumlahnya hanya sebesar 0,35% dari seluruh jumlah wajib pajak yang terdaftar tetapi menyumbang 75,32% dari total pajak yang diterima. Sedangkan wajib pajak yang omsetnya dilaporkan tidak lebih dari Rp1 Juta jumlahnya mencapai 74,85% dari semua wajib pajak yang ada dan memberikan masukan pajak sebesar 8,85% dari pajak yang diterima. Kondisi ini mengkhawatirkan bila kelompok wajib pajak dengan omset besar mengalihkan investasinya ke negara lain akibat dibebani pajak yang semakin besar dan berakibat pada penerimaan pajak akan merosot (Edi Pambudi : 2010) Dalam catatan evaluasi SPT Tahunan tahun 2011 dari 12,9 Juta badan usaha, baru sekitar 500 ribu yang membayar pajak dan menyerahkan SPT Tahunan, dan dari 500 ribu WP Badan yang melaporkan SPT Tahunan, hanya 100 ribu WP Badan yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Bisa kita bayangkan, Penerimaan pajak negara ini hanya ditopang oleh 100 ribu WP badan dan jumlah nya mencapai 11 Realisasi PPh Pribadi Rp 3,7 Triliun http://www.investor.co.id/home/realisasi-pph-pribadi-rp-37-triliun/51690 12 http://bisnisukm.com/posisi strategis ukm dalam perekonomian negara.html Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 25

500 trilyun. Bayangkan apabila kegiatan Sensus Pajak Nasional ini berhasil dengan menambah setidaknya 2 juta hingga 5 juta WP Badan yang membayar dan melaporkan SPT Tahunan nya, mungkin target penerimaan Rp 1.000 trilyun bisa dengan mudah dicapai oleh Direktorat Jendral Pajak. Selain itu belum lagi dengan kegiatan Sensus Pajak Nasional ini juga akan menambah potensi penerimaan pajak baru dengan menindaklanjuti data Sensus Pajak Nasional yang ada, bagi pengusahapengusaha yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bisa didaftarkan menjadi Wajib Pajak baru. 13 - Masyarakat masih banyak yang belum memiliki NPWP Hal ini bukan karena mereka tidak tahu akan kewajiban memiliki NPWP tapi justru karena mereka takut akan kewajiban kewajiban setelah memilki NPWP disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat. Mereka khawatir dengan memiliki NPWP akan dikenakan kewajiban membayar pajak kemabali padahal penghasilan mereka sudah dipotong pajak oleh perusahaan, selain itu mereka enggan dengan pengisian SPT yang dinilai ribet dan susah serta ada ketakutan membayar denda jika perhitungannya salah. - Kepercayaan Masyarakat Banyaknya kasus yang melibatkan oknum aparat pajak secara tidak langsung turut mempengaruhi persepsi publik terhadap manfaat membayar pajak. Padahal di sisi lain ini juga mencerminkan komitmen Ditjen Pajak untuk melakukan penegakan hukum terhadap para pengemplang pajak baik masyarakat maupun oknum aparat pajak. C. Elastisitas Pajak Penghasilan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Elastisitas pajak atau tax buoyancy merupakan salah satu indikator kinerja penerimaan pajak yang dihitung berdasarkan perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak dengan persentase perubahan pendapatan nasional. Hal ini menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan pajak jika PDB berubah satu persen. Dari tabel 4 di bawah terlihat bahwa Pajak Penghasilan Non Migas dan Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang lebih elastis dibandingkan jenis jenis pajak lainnya, artinya setiap peningkatan 1% pertumbuhan ekonomi maka PPh dan PPN akan bertambah lebih dari satu persen bahkan mendekati 2%. 13 Tommy K. Darwis, Dampak Kenaikan PTKP dan Strategi DJP http://www.pajak.go.id/content/article/dampakkenaikan ptkp dan strategi djp Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 26

Tabel 4 Elastisitas Per Jenis Pajak Elastisitas 2008 2009 2010 2011 2012 PPH migas 2.97 2.64 1.18 1.60 0.64 PPH non migas 1.14 0.51 0.76 1.33 2.22 PPN 1.41 0.60 1.30 1.35 1.90 PBB 0.27 0.32 1.18 0.30 0.06 BPHTB 0.25 1.20 1.61 6.61 0.00 Cukai 0.58 0.80 1.11 1.08 0.74 Bea masuk 1.44 1.54 0.70 1.73 0.19 Bea keluar 8.73 7.21 98.35 14.82 1.77 Total Pajak 1.35 0.44 1.11 1.38 1.48 Sumber : Kementerian Keuangan & BPS, diolah Hal tersebut sesuai dengan studi sebelumnya yang mengatakan bahwa trend PPh non migas serta PPN yang sejalan dengan trend PDB. Determinan terbesar dari PDB adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mencapai rata rata 70% dari total PDB sedangkan determinan paling dominan adalah Pajak Penghasilan Non Migas dan Pajak Pertambahan Nilai yang rata rata proporsinya sama dengan determinan penentu PDB yaitu sebesar 70% (Edi Pambudi : 2010 ) D. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan : 1. Pajak penghasilan berperan besar dalam APBN, hal ini dilihat dari kontribusi pajak penghasilan yang mencapai 49,68 % dari total penerimaan perpajakan. 2. Upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan migas dihadapkan pada kendala cost recovery serta tax treaty. 3. Upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan dihadapkan pada berbagai kendala antara lain struktur pajak yang tidak seimbang, peningkatan PTKP, serta keengganan masyarakat untuk memiliki NPWP. 4. Namun dibalik semua kendala ataupun permasalahan yang ada masih ada peluang atau potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan antara lain berasal dari sektor properti, pemanfaatan e KTP sebagai SIN, maupun potensi potensi lainnya. 5. Pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan hal ini dilihat dari elastisitas pajak penghasilan baik migas maupun non migas. Selain itu pola pertumbuhan PDB juga sejalan dengan pola pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan khususnya pajak penghasilan non migas. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 27

Saran : 1. Perlu dikaji kembali kembali kebijakan tax treaty 2. Kebijakan perluasan basis bajak kepada UKM sebaiknya dikaji kembali mengingat peran strategis UKM dalam perekonomian. Pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif fiskal kepada pelaku UKM misalnya dengan memberikan pengampunan pajak atas utang pajak UKM. 3. Pemerintah sebaiknya memberi peringatan kepada pengembang properti untuk melaporkan nilai jualnya dan menagih atas kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya. 4. Pemerintah sebaiknya juga berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan potensi potensi pajak yang ada khususnya dari PPh perorangan. 5. Pemerintahhruas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena ini berpengaruh pada peningkatan penerimaan pajak. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI 28