HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR DAN USIA PEMBERIAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH PADA BALITA DI DESA DUKUHMULYO KECAMATAN JAKENAN

dokumen-dokumen yang mirip
ARTIKEL ILMIAH. Oleh Ulfa Syahriah Nim a020

PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP BERAT BADAN BAYI UMUR 4 6 BULAN (Di Wilayah Kerja Puskesmas Plumpang Kabupaten Tuban)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BILU BANJARMASIN

STUDI KOMPARATIF PENAMBAHAN BERAT BADAN BAYI UMUR 0-6 BULAN YANG DIBERI MP-ASI DAN TANPA DIBERI MP-ASI

Yelli Yani Rusyani 1 INTISARI

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BINTUHAN KABUPATEN KAUR

ARTIKEL ILMIAH. Disusun Oleh : TERANG AYUDANI J

E-Jurnal Obstretika. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Makanan Bergizi Dengan Pemberian Makanan Pendamping Asi

Reni Halimah Program Studi Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Lampung


HUBUNGAN POLA ASUH MAKAN DENGAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA BULAN DI DESA JENGGRIK KABUPATEN NGAWI TAHUN 2015

Ardina Nur Rahma 1, Mulyo Wiharto 2. Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul 2

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan, perubahan sirkulasi darah, serta organ-organ tubuh mulai berfungsi,

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK BAYI USIA 0-6 BULAN ANTARA YANG DIBERI ASI DENGAN YANG DIBERI PASI DI DESA GLAGAH JATINOM KLATEN

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DINI DENGAN PERTUMBUHAN BAYI DI DESA PAKIJANGAN KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

BAB II LANDASAN TEORI

Hubungan Frekuensi Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dengan Berat Badan Anak Usia di Bawah Dua Tahun

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) PADA BAYI DI PUSKESMAS BITUNG BARAT KOTA BITUNG.

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun oleh : AGUSTINA ITRIANI J

JUMAKiA Vol 3. No 1 Agustus 2106 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. faltering yaitu membandingkan kurva pertumbuhan berat badan (kurva weight for

HUBUNGAN PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MP-ASI DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA BULAN DI DESA TAMANMARTANI KALASAN SLEMAN YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

Artikel Pola Asuh Gizi Pada Bayi Anak Makalah Pengertian Contoh

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6-24 BULAN DI KELURAHAN SETABELAN KOTA SURAKARTA TAHUN 2015 KARYA TULIS ILMIAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. setelah bayi berusia 6 bulan. Selain MP-ASI, ASI harus tetap diberikan kepada

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI KURANG PADA BALITA TERHADAP KEJADIAN GIZI KURANG DI DESA PENUSUPAN TAHUN 2013

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein Dan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care Dengan Taksiran Berat Janin

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

HUBUNGAN ANEMIA DAN KEK PADA IBU HAMIL AKHIR TRIMESTER III DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember)

Hubungan Antara Jenis Dan Frekuensi Makan Dengan Status Gizi (Bb) Pada Anak Usia Bulan (Studi 5 Posyandu Di Desa Remen Kecamatan Jenu - Tuban)

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan

ARTIKEL GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BURUK PADA BALITA DI DESA LEYANGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG

PERBEDAAN. NASKAH an. Diajukan oleh : J FAKULTAS

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2025 adalah

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BAYI DI KELURAHAN BIRA KOTA MAKASSAR TAHUN 2010

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI, BODY IMAGE, DAN PERILAKU MAKAN DENGAN STATUS GIZI SISWI SMAN 6 KOTA JAMBI TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN JARAK KELAHIRAN DAN JUMLAH BALITA DENGAN STATUS GIZI DI RW 07 WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIJERAH KOTA BANDUNG

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan

BAB I PENDAHULUAN. saja sampai usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI esklusif (DepKes, 2005). bulan telah ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No.

PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN KEPATUHAN IBU HAMIL MENGKONSUMSI TABLET BESI

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014

HUBUNGAN LINGKAR LENGAN ATAS (LILA) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) DENGAN BERAT BAYI LAHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

HUBUNGAN PERSEPSI DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 0-6 BULAN DI KABUPATEN KAMPAR RIAU

Jurnal Darul Azhar Vol 5, No.1 Februari 2018 Juli 2018 : 17-22

PERBEDAAN STATUS GIZI ANTARA BAYI YANG DIBERI ASI DENGAN BAYI YANG DIBERI PASI PADA BAYI KURANG DARI 6 BULAN DI DESA KATEGUHAN KECAMATAN SAWIT

HUBUNGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DENGAN KEMATIAN NEONATAL DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makanan yang terbaik untuk bayi usia 0-6 bulan adalah ASI. Air susu ibu (ASI) merupakan sumber energi

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) DINI DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA BAYI DIBAWAH UMUR 6 BULAN

Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Balita DI Puskesmas Plaju Palembang Tahun 2014

HUBUNGAN PERILAKU IBU TENTANG PEMBERIAN MAKANAN SEIMBANG DENGAN PERUBAHAN BERAT BADAN BALITA DI POSYANDU LOTUS YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

Anemia adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (HB) atau

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DENGAN STATUS GIZI PADA BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA GOGIK KECAMATAN UNGARAN BARAT

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Bungus Tahun 2014

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

ARTIKEL. Oleh SILVIA ROKANA ALVIDA. NIM a030 PROGRAM STUDI ILMU GIZI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG GIZI DENGAN KEJADIAN KEK PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BRINGIN KABUPATEN SEMARANG ARTIKEL

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEAKTIFAN IBU BALITA DALAM KEGIATAN POSYANDU DI POSYANDU NUSA INDAH DESA JENAR KECAMATAN JENAR KABUPATEN SRAGEN

HUBUNGAN ASUPAN SUSU SAPI DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda dari orang dewasa (Soetjiningsih, 2004). Gizi merupakan

Catur Saptaning Wilujeng*, Yuseva Sariati**, Ranthy Pratiwi** Abstrak

PERBANDINGAN STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDEXS ANTROPOMETRI BB/ U DAN BB/TB PADA POSYANDU DI WILAYAH BINAAN POLTEKKES SURAKARTA

EFEKTIVITAS PROGRAM PMT PEMULIHAN TERHADAP KENAIKAN BERAT BADAN PADA BALITA STATUS GIZI BURUK DI KABUPATEN BANYUMAS

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA KETERATURAN MENGKONSUMSI TABLET ZAT BESI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS JETIS II BANTUL YOGYAKARTA

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELAS XI DI SMK N 2 YOGYAKARTA

Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dan untuk memproduksi ASI bagi bayi yang akan dilahirkannya (Francin, 2005).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

Oleh : Seksi Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI KELAS VIII SMP II KARANGMOJO GUNUNGKIDUL

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

KEBIASAAN MINUM TABLET FE SAAT MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI KELAS XI DI SMA MUHAMMADIYAH 7 YOGYAKARTA TAHUN 2016

GAMBARAN KETIDAKBERHASILAN IBU DALAM PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAPURAN RAYA

BAB I PENDAHULUAN. emosional yang sangat besar bagi setiap wanita (Rusli, 2011). Kehamilan dan

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Rina Harwati Wahyuningsih Akademi Kebidanan Giri Satria Husada Wonogiri ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan sumber daya

Ika Sedya Pertiwi*)., Vivi Yosafianti**), Purnomo**)

Volume 08 No. 02. November 2015 ISSN :

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

ABSTRAK. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Ibu Hamil Trimester I di RSIA Pertiwi Makassar

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR DAN USIA PEMBERIAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH PADA BALITA DI DESA DUKUHMULYO KECAMATAN JAKENAN KABUPATEN PATI ARTIKEL ILMIAH Oleh IKA ALFI AH NIM. 060110a014 PROGRAM STUDI ILMU GIZI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN MARET, 2015 i

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR DAN USIA PEMBERIAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH PADA BALITA DI DESA DUKUHMULYO KECAMATAN JAKENAN KABUPATEN PATI Ika Alfi ah*, Sugeng Maryanto*, Indri Mulyasari* E-mail: prodigizi.nw@gmail.com ABSTRAK Latar Belakang: Prevalensi kejadian bawah garis merah (BGM) di Indonesia masih tinggi yaitu 19,6%. Bahaya bawah garis merah (BGM) dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental, balita kelihatan pendek, kurus serta balita cenderung lebih rentan terkena penyakit infeksi. Berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian bawah garis merah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP- ASI dengan kejadian bawah garis merah. Metode: Jenis penelitian ini adalah studi korelasi dengan pendekatan cross-sectional dengan sampel 64 balita dengan teknik sampling proportional random sampling. Cara pengambilan data dacin atau timbangan injak dan kuesioner. Analisis data menggunakan program SPSS. Analisis bivariat menggunakan chi-square (α= 0,05). Hasil: Berat badan lahir balita sebagian besar kategori normal 95,30% (n=58), 4,70% (n=3) berat badan lahir rendah dan 4,70% (n=3) berat badan lahir lebih. Usia pemberian MP-ASI balita sebagian besar kategori dini 51,57% (n=33) dan 43% (n=31) usia pemberian MP-ASI tepat. Kejadian bawah garis merah balita sebagian besar kategori tidak BGM 65,63% (n=42) dan 34,37% (n=22) dengan kategori BGM. Ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah (p=0,037), dan ada hubungan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah (p=0,003). Simpulan: ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah dan ada hubungan antara usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah. Kata kunci: berat badan lahir, usia pemberian MP-ASI, BGM. Kepustakaan : 10 (2000-2010) *Program Studi Gizi STIKes Ngudi Waluyo, 1

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE BIRTH WEIGHT AND PERIOD OF GIVING COMPLEMENTARY FEEDING WITH THE CASES OF UNDER THE RED LINE IN CHILDREN UNDER FIVE IN DUKUHMULYO JAKENAN PATI Ika Alfi ah*, Sugeng Maryanto*, Indri Mulyasari* E-mail: prodigizi.nw@gmail.com ABSTRACT Background: The prevalence of the cases of under red line (BGM) in Indonesia is still high which is 19.6%. The danger of BGM is that it can inhibit the physical and mental growth, the childreen seem short, skinny and tend to be more susceptible to get infections. Birth weight and period of giving complementary feeding are the factors that can affect the case under the red line. This study aimed to determine the relationship between the birth weight and the period of giving complementary feeding with the cases under the red line. Method: This study was a correlation study with the cross-sectional using the samples of 64 children under five by proportional random sampling technique. The method of data collecting useg balance scales and questionnaires. Data analysis used SPSS. Bivariate analysis used chi-square (α = 0.05). Results: Most of the birth weight of infants was in normal category as many as 95.30% (n = 58) as many as, 4.70% (n = 3) low birth weight and as many as 4.70% (n = 3) over birth weight. Most of the period of giving complementary feeding was premature category as many as 51.57% (n = 33) and 43% (n = 31) had the appropriate period of giving complementary feeding. Most of BGM cases were in non-bgm category as many as 65.63% (n = 42) and 34.37% (n = 22) were in BGM category. There was a relationship between the birth weight and the cases under the red line (p = 0.037), as well as between period of giving complementary feeding and the cases under the red line (p = 0.003). Conclusion: There was a correlation between the birth weight and the cases under the red line and also between the period of giving complementary feeding and the cases under the red line. Keywords: Birth weight, period of giving complementary feeding, cases under the red line (BGM). Bibliographies: 10 (2000-2010) *Nutrition Study Program, Ngudi Waluyo School of Health, 2

PENDAHULUAN Status gizi balita merupakan hal yang penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Status gizi balita dapat menggambarkan kondisi balita baik atau tidak dinilai dengan usia, berat badan, lingkar kepala. Status gizi dapat mengajarkan ibu untuk melihat apakah tinggi badan balita bertambah, berat badan anak balita berkurang dan lingkar kepala balita yang tidak tampak besar. Status gizi balita dapat dipantau melalui Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diperoleh dari penimbangan dan pengukuran berkala di Posyandu dan Pukesmas. Ibu dapat mengetahui sejauh mana perkembangan balita terutama berat badan normal atau di bawah garis merah (Proverwati, 2010). Secara nasional prevalensi berat badan kurang pada tahun 2010 adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan 13,0 % gizi kurang. Angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 % tahun 2007 menjadi 4,9 % pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5 %, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar 13,0 %. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5 % maka prevalensi berat badan kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 % dalam periode 2011 sampai 2015. (Bappenas, 2012). Berdasarkan hasil wawancara di Pukesmas Jakenan terdapat balita yang mengalami bawah garis merah (gizi kurang dan gizi buruk) paling banyak di Desa Dukuhmulyo 34 balita (19%) mengalami bawah garis merah dengan jumlah 180 balita bulan September 2013 dengan berat badan lahir rendah 4 balita (16%) dan berat badan lahir normal 30 balita (84%). Usia pemberian MP-ASI di bawah usia 6 bulan 15 balita (9%), usia pemberian MP-ASI (Makanan pendamping ASI) usia 6 bulan 19 balita (11%). Berdasarkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada Balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati? Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Pati. Tujuan Khusus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berat badan lahir pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati, mendeskripsikan usia pemberian MP-ASI pada balita di Desa Pati, mendeskripsikan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati, menganalisis hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati dan menganalisis hubungan antara usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Pati. Manfaat penelitian ini adalah bagi mahasiswa yaitu Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penulis dalam memahami masalah yang terjadi di Pukesmas,dan mengkaitkannya dengan teori yang didapat sehingga diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk peningkatan kesehatan di masyarakat. Bagi masyarakat, memberikan masukan kepada masyarakat khususnya ibu-ibu yang memiliki anak balita agar lebih mengerti dan memperhatikan kecukupan gizi anaknya, anak selalu dalam kondisi status gizi baik dan terjaga kesehatannya. Bagi Petugas Kesehatan, sebagai informasi untuk bahan pertimbangan 3

bagi Pukesmas Jakenan guna menyusun strategi lebih lanjut sehingga dapat menurunkan kejadian bawah garis merah di Desa Pati. METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini adalah studi deskriptif korelasi yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek untuk dilihat apakah ada hubungan antara variabel bebas dan terikat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional yaitu mengukur variabelvariabel penelitian dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui Hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 64 balita. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Propotional Random Sampling. Adapun kriteria inklusi dalam pengambilan sampel penelitian ini yaitu Balita berusia 12-59 bulan, balita yang datang ke posyandu di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan kabupaten Pati pada saat pengambilan data dan Ibu balita yang bersedia untuk diwawancara. Kriteria ekslusi yaitu Balita yang datang ke posyandu selain dengan ibu (pengasuh). Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan program SPSS. Analisis univariat pada penelitian ini adalah berat badan lahir, usia pemberian MP- ASI dan kejadian bawah garis merah kemudian nantinya akan disajikan ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat untuk mengetahui ada hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah menggunakan teknik statistik kai kuadrat (chi square) dengan α = 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Badan Lahir Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Berat Badan Lahir f % Lebih (>4000 gram) 3 4,70 Normal (>2500-4000 gram) 58 95,30 Rendah ( 2500 gram) 3 4,70 Total 64 100,00 Berdasarkan hasil penelitian mengenai berat badan lahir pada balita di Desa Pati diperoleh data sebagian besar berat badan lahir normal 58 balita (95,3%), responden yang balitanya berat badan lahir lebih 3 balita (4,7%) dan berat badan lahir rendah 3 balita (4,7%). Berdasarkan hasil penelitian responden di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati yang memiliki berat badan lahir rendah 3 balita (4,70%). Berdasarkan hasil wawancara responden, Berat badan lahir rendah disebabkan oleh pemenuhan zat gizi selama ibu hamil tidak dapat terpenuhi dengan baik, yang selanjutnya akan berdampak terhadap janin itu sendiri, misalnya dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin, keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan, serta bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Selain itu, kurangnya pengetahuan ibu mengenai pemenuhan gizi dan pernikahan dini usia ibu < 20 tahun di Desa Dukuhmulyo juga merupakan penyebab dari bayi dengan BBLR. Begitu juga dengan jarak lahir yang pendek < 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik sehingga bayi lahir dengan BBLR. Mekanisme usia dini < 20 tahun berhubungan dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dikarenakan secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil, organ repoduksi belum matang dan mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang Mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat zat gizi selama kehamilannya. Kebutuhan untuk 4

pertumbuhan biologik ibu dan kebutuhan untuk janin dalam kandungannya di mana keadaan janin berada di pihak yang lemah. Hal inilah yang menyebabkan bayi lahir dengan kondisi berat badan yang rendah. (Amirrudin dan Wahyuddin, 2004). Jarak kelahiran < 2 tahun berhubungan dengan BBLR dikarenakan Seorang ibu memerlukan waktu 2 sampai 3 tahun antara kehamilan agar pulih secara fisiologis dan persalinan sebelumnyaa agar mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik (Behrman dalam Istiyarsi, 2000). Semakin pendek jarak antara dua kelahiran semakin besar risiko melahirkan BBLR, hal tersebut disebabkan karena seringnya terjadi komplikasi perdarahan waktu hamil pada trimerster III, dan anemia berat serta ketuban pecah dini (Istiyarsi, 2000). Usia pemberian MP-ASI Berdasarkan hasil penelitian mengenai Usia pemberian MP-ASI pada balita di Desa Pati sebagian besar responden dalam usia pemberian MP-ASI dini 33 balita (51,57%) dan responden dalam usia pemberian MP-ASI tepat waktu 31 balita (48,43%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Usia pemberian MP-ASI Usia pertama kali f % diberikan MP-ASI Dini ( usia < 6 bulan 33 51,57 Tepat (usia pemberian 6 31 48,43 bulan) Total 64 100,00 Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa para ibu di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati lebih banyak yang memberikan MP-ASI dini kepada bayinya. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang keliru para penduduk setempat. Kebiasaan keliru ini misalnya memberikan makanan selain ASI seperti pisang pada bayi sejak dini, mereka percaya bahwa memberikan makanan MP-ASI dini ini dapat melatih pencernaan bayi. Hal ini terbukti bahwa saat dilakukan wawancara pada ibu tentang kenapa memberikan MP-ASI dini banyak dari mereka yang menjawab sudah menjadi kebiasaan turun temurun dan sudah dilakukan oleh saudara atau tetangga dekat mereka yang sudah pernah memiliki bayi. Kebiasaan keliru yang lain adalah memberikan madu, air teh dan air gula pada bayi, yang menurut pendapat mereka bayi diberikan madu, air teh dan air gula tidak apa-apa, yang terpenting adalah bayi tidak lagi menangis padahal madu, air teh dan air gula memiliki kandungan tinggi energi dan tinggi karbohidrat yang menyebabkan anak diare atau BGM. Selain itu, pemberian MP-ASI dini dikarenakan ibu tersebut berpikiran bahwa produksi ASInya kurang dan tidak mencukupi, sehingga menurut ibu, anak tidak bisa kenyang hanya dengan mengkonsumsi ASI saja, untuk itu ibu memberikan makanan lain dengan harapan bayi bisa kenyang dan dapat terpenuhi gizinya. Menurut Donna L & Wong (2008) yang menyatakan bahwa rasa takut bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup dan kualitasnya buruk akan mengakibatkan ibu terlalu dini memberikan MP-ASI pada bayinya. Pengetahuan ibu tentang MP-ASI yang kurang juga turut serta mempengaruhi ibu dalam memberikan MP-ASI terlalu dini. Kurangnya pengetahuan ibu tentang MP-ASI tentu akan berakibat ibu dalam memberikan MP-ASI dengan cara yang tidak benar dan waktunya juga sering kali tidak tepat atau terlalu dini memberikannya. Ketidak tahuan ibu tentang waktu yang tepat dalam pemberian MP-ASI, frekuensi, porsi, pemilihan bahan makanan, cara pembuatan dan cara pemberian MP-ASI sehingga dapat mengakibatkan keadaan gizi bayi akan memburuk karena tidak memperoleh berbagai zat gizi dalam keadaan cukup sehingga balita mengalami diare atau BGM (Prabantini, 2010) Makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) merupakan makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan 5

kepada bayi atau anak usia 6 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Tujuan pemberian makanan pendamping ASI, untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Apabila setelah usia 6 bulan, berat badan anak tidak mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan zat-zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan karena asupan makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan kurang memenuhi syarat (Depkes RI, 2006). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini terhadap bayi sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti pemberian makanan berupa pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula dan makanan lain sebelum bayi berumur 4 atau 6 bulan (Azrul, 2003). Kejadian Bawah Garis Merah Tabel 3. Distribusi frekuensi kejadian bawah garis merah Kejadian Bawah Garis f % BGM 22 34,37 Tidak BGM 42 65,63 Total 64 100,00 Berdasarkan penelitian, menunjuk-kan bahwa sebagian besar balita di Desa Pati responden sebagian besar yang balitanya mengalami Tidak BGM 42 balita (65,63%) dan responden balitanya yang mengalami BGM 22 balita (34,37%). Berdasarkan hasil penelitian Kejadian balita di bawah garis merah di Desa Pati disebabkan oleh pola makan anak balita yang tidak baik, misalnya pola makan dengan asupan energi atau pola makan dengan asupan protein yang kurang, hal itu terbukti bahwa anak-anak lebih menyukai makanan yang manis seperti permen atau coklat dari pada makan nasi, sayur, dan lauk-pauk yang diberikan oleh ibunya. Kebiasaan tidak baik ini tentu akan berakibat pada kurangnya asupan energi dan protein pada anak. Kurangnya asupan energi akan menyebabkan hilangnya selera makan dan menurunnya aktivitas anak tersebut. Masa pertumbuhan anak balita dengan perolehan energi yang optimal akan memperlihatkan aktivitas fisik luar biasa yang menyebabkan naiknya berat badan pada anak. Hal itu lebih baik dari pada anak yang mengkonsumsi energi dalam jumlah yang cukup. Keadaan gizi atau status gizi masyarakat menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat zat gizi yang dikonsumsi balita. Anak yang BGM akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan anak BGM. Anak yang sering terkena infeksi dan BGM akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa. Menurut penelitian Fitri (2011) menemukan bahwa proporsi kejadian balita BGM tertinggi terjadi pada anak balita dengan asupan energi yang kurang. Berdasarkan penelitian Arnisam (2007) asupan energi yang kurang mempunyai risiko 2,9 kali lebih besar untuk mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan balita yang asupan energinya cukup. Sedangkan anak dengan asupan protein kurang akan menyebabkan pertumbuhan yang terhambat yang diawali dengan menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. 6

Hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Pati. Tabel 4. Tabulasi silang hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Pati. Kejadian BGM Berat badan lahir BGM Tidak BGM Total n % n % n % Normal lebih 19 31,1 42 68,9 61 Rendah 3 100 0 0 3 Total 22 34,4 42 65,6 64 100 p (value) 100 100 0,037 Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 61 balita yang mempunyai berat badan lahir normal dan lebih sebagian besar tidak mengalami BGM 42 balita (68,9%). Hal ini karena bayi dengan berat badan lahir normal dan lebih cenderung akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal dibandingkan bayi dengan berat lahir rendah, sehingga tidak mengherankan jika balita dengan berat lahir normal lebih cenderung tidak mengalami BGM. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan chi square didapatkan sel yang nilai expexted-nya < 5 ada 66,7%. Karena tidak memenuhi syarat uji chi square maka dilakukan penggabungan sel (normal + lebih ) menjadi kategori normal dan diuji kembali dengan menggunakan uji chi square. Dari analisis tersebut didapatkan nilai p (0,037) < 0,05 maka ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Berdasarkan hasil wawancara responden, penyebabnya adalah balita dengan berat badan lahir rendah karena adanya penurunan atau kelemahan refleks menghisap bayi sehingga bayi malas minum asi ekslusif oleh sebab itu kebutuhan energi tidak terpenuhi maka akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan bayi serta bayi cenderung memiliki penampilan intelektual yang lebih rendah dari pada bayi yang berat lahirnya normal. Selain itu bayi dengan berat badan lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang yang tentunya akan mengalami status gizi kurang atau mengalami bawah garis merah (BGM). Berdasarkan penelitian di Desa Pati didapatkan balita dengan berat badan lahir normal dan lebih tetapi mengalami BGM sejumlah 19 balita (31,1%). Hal ini berdasarkan hasil wawancara responden kejadian BGM dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya balita yang memiliki pola makan kurang baik mengakibatkan asupan protein dan energi kurang, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan mengalami hambatan, jadi meski balita tersebut memiliki berat badan lahir normal atau lebih, namun memiliki pola makan yang kurang atau tidak teratur dan lebih suka makan jajan atau chiki-chiki serta tidak mau makan sayur dan buah-buahan akan beresiko mengalami BGM. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Pati juga ditemukan balita yang memiliki berat badan lahir rendah semuanya mengalami BGM sejumlah 3 balita (100%). Berdasarkan hasil wawancara responden anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang kurang maka kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi akan berakibat pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat, sehingga bayi BBLR lebih cenderung mengalami BGM. Keadaan ini bertambah buruk jika bayi BBLR kurang 7

mendapat asupan energi dan zat gizi. Pada akhirnya bayi BBLR ini cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk. Berdasarkan hasil penelitian Rosmawati (2008) bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian BGM (Bawah Garis Merah) karena pada balita dengan berat badan lahir rendah memiliki saluran pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang cukup bulan, hal paling menonjol dalam sistem pencernaan ini yaitu kelemahan refleks bayi dalam menghisap dan menelan sehingga pemenuhan minum tidak efektif dan regurgitasi sering terjadi sampai usia gestasi 33 34 minggu sehingga kurangnya cadangan makanan seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein. ASI yang memiliki kandungan tinggi akan energi 77/100 grm ASI dan protein sebesar 1,1/100 grm ASI, Kandungan gizi pada ASI tidak akan terpenuhi pada bayi berat badan lahir rendah dengan tepat jika ibu tidak tahu tentang pemberian ASI yang benar pada bayi dengan berat badan lahir rendah karena pada bayi tersebut reflek menghisap dan menelan lemah, Oleh karena itu bayi dengan bebat badan lahir rendah akan mengalami KEP (kekurangan energi protein) sehingga beresiko dalam bawah garis merah (BGM) pada kartu KMS. Juga memberikan kesimpulan bahwa BBLR merupakan faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya gizi kurang pada anak usia 6-24 bulan. Hubungan antara usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada Balita di Desa Pati. Tabel 5. Tabulasi silang hubungan antara usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Pati. Usia pemberian MP-ASI Kejadian BGM BGM Tidak BGM Total p (value) n % n % n % Tepat Dini 5 17 16,1 51,5 26 16 83,9 48,5 31 33 100 100 0,003 Total 22 34,4 42 65,6 64 100 Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa balita yang mempunyai usia pemberian MP-ASI dengan kategori tepat sebagian besar tidak mengalami BGM sebanyak 26 balita (83,9%). Hal ini karena MP- ASI yang diberikan secara tepat waktu memberikan manfaat yang baik bagi fungsi saluran pencernaan balita. Fungsi saluran pencernaan dapat mencerna energi, lemak, dan protein secara optimal sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta memiliki status gizi normal atau tidak mengalami BGM. Balita dengan usia pemberian MP-ASI secara tepat yang mengalami BGM sejumlah 5 balita (16,1%). Berdasarkan hasil wawancara responden, disebabkan balita yang memiliki nafsu makan kurang atau pola asuh orang tua yang tidak baik dalam memberikan makanan pada balita. Jadi, meskipun MP-ASI diberikan pada usia yang tepat namun jika balita masih memiliki nafsu makan yang kurang atau pola asuh orang tua tidak baik maka balita tetap akan mengalami BGM atau status gizi kurang. Balita dengan kategori usia pemberian MP-ASI dini sebagian besar mengalami BGM sebanyak 17 balita (51,5%). Berdasarkan hasil wawancara responden, ini terjadi karena MP- ASI yang diberikan pada usia dini kebiasaan ibu memberikan MP-ASI terlalu dini kurang baik untuk dilakukan dan dibudayakan karena dapat mengurangi konsumsi dan produksi ASI, bayi mudah alergi terhadap zat makanan tertentu terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak dan gangguan pencernaan atau diare. Namun ada balita yang usia 8

pemberian MP-ASI dini tetapi tidak mengalami BGM sejumlah 16 balita (48,5%). Ini bisa terjadi karena ada faktor yang membuat balita tidak mengalami BGM misalnya anak memiliki nafsu makan yang baik dan didukung oleh orang tua yang selalu menyediakan makanan yang bergizi pada balita. Jadi, meskipun anak diberikan MP-ASI pada usia dini tidak menjadi masalah asalkan anak memiliki nafsu makan yang baik disertai dukungan orang tua maka anak tetap tidak akan mengalami BGM. Risiko Pemberian Makanan Pendamping ASI Terlalu Dini. Menurut Krisnatuti dan Yenrina tahun (2008), bayi belum siap menerima makanan semi padat sebelum berusia 6 bulan, selain itu makanan tersebut belum diperlukan sepanjang bayi tetap mendapatkan ASI, kecuali pada keadaan tertentu. Banyak risiko yang ditemukan pada jangka pendek maupun panjang jika bayi diberikan makanan pendamping terlalu dini antara lain: a. Resiko Jangka Pendek Salah satu resiko jangka pendek dari pemberian MP-ASI terlalu dini adalah penyakit diare, defisiensi besi dan anemia. Harus diperhatikan bahwa apabila makanan pendamping ASI sudah diberikan kepada bayi sejak dini (di bawah usia 6 bulan) maka asupan gizi yang diperoleh bayi tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain itu sistem pencernaan bayi akan mengalami gangguan dan tubuh tidak mengasobsi seperti sakit perut, sembelit (susah buang air besar) dan alergi (Arisman, 2004). b. Resiko Jangka Panjang dari usia pemberian MP-ASI dini antara lain obesitas (kegemukan), penyakit kronis, dan alergi terhadap makanan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi Square diperoleh p-value 0,004 < (0,05), maka ada hubungan antara usia pemberian MP- ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Pemberian MP-ASI pada usia dini dapat menyebabkan kejadian bawah garis merah pada balita karena pemberian MP-ASI secara dini yang sering dapat memberikan dampak secara langsung pada bayi. Dampak tersebut berupa gangguan pencernaan seperti diare, sulit BAB, muntah, serta bayi akan mengalami gangguan menyusu. Apabila bayi mengalami gangguan menyusu maka bayi kurang mendapat asupan gizi dari ASI, ini tentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Depkes RI (2010) menambahkan bahwa gangguan menyusu disebabkan karena pemberian MP-ASI terlalu banyak sehingga menyebabkan bayi kenyang dan keinginan untuk menyusu atau minum ASI berkurang. Asupan ASI yang kurang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada bayi karena didalam ASI banyak terkandung zat gizi yang sangat dibutuhkan bayi. Standar dinas kesehatan menyebutkan bahwa bayi umur 0-6 bulan hanya membutuhkan ASI saja karena mengandung protein, lemak, vitamin, mineral, air, dan enzim yang dibutuhkan oleh bayi. ASI memiliki beberapa manfaat, diantaranya mengurangi risiko berbagai jenis kekurangan gizi karena zat besi yang yang terkandung dalam ASI diserap secara lebih baik dari pada sumber zat besi lainnya, ASI mengandung faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat. SIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian Hubungan antara berat badan lahir dan usia pemberian MP-ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berat badan lahir balita dalam kategori normal sebagian besar sebanyak 95,30%, berat badan lahir lebih sebanyak 4,70% dan berat badan lahir rendah sebanyak 4,70%. 2. Usia pemberian MP-ASI balita dalam kategori dini sebagian besar sebanyak 9

51,57% dan usia pemberian MP-ASI tepat sebanyak 48,43%. 3. Kejadian bawah garis merah pada balita kategori tidak BGM sebagian besar sebanyak 65,63% dan kejadian bawah garis merah pada balita kategori BGM sebanyak 34,37%. 4. Ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. 5. Ada hubungan antara usia pemberian MP- ASI dengan kejadian bawah garis merah pada balita di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. DAFTAR PUSTAKA Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC: Jakarta Azwar, Azrul. 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta: JNPK-KR. Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Depkes RI : Bakti Husada. Donna L & Wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Jakarta : EGC. Istiyarsi. 2000. Menanti Buah Hati. Jakarta: Media Pressindo. Krisnatuti dan Yenrina. 2006. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Prabantini, D. 2010. Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta : ANDI. Proverawati, A. 2010. Status Gizi Balita. Yogyakarta : Nuha Medika. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung 10