Etik-kah Seorang Dokter Menuntut Pasien yang Seharusnya Ditolong? Oleh Dr. Ferryal Basbeth,SpF Rabu, 10 Juni :30

dokumen-dokumen yang mirip
Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA RS X TAHUN 2015 JL.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

PANDUAN TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HAK DAN TANGGUNG JAWAB PASIEN DI RSUD Dr. M. ZEINPAINAN

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:

Hubungan Kemitraan Antara Pasien dan Dokter. Indah Suksmaningsih Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HAJI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkatkan kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan

PELAKSANAAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien BPJS Kesehatan dalam Mendapatkan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN

Inilah Isi Surat Curhat Prita Rabu, 03 Juni :09

RELEVANSI Skm gatra

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia,

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, PERAWAT, RUMAH SAKIT DASAR HUKUM

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang aktifitas sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi

tindakan pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Sememi dr. Lolita Riamawati NIP

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

I. PENDAHULUAN. maupun tenaga kesehatan yang ada di tempat-tempat tersebut belum memadai

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

BAB II PELAYANAN BEDAH OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

ASPEK LEGAL DAN ETIK DALAM DOKUMENTASI KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Definisi

Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

LILIK SUKESI DIVISI GUNJAL HIPERTENSI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM R.S. HASAN SADIKIN / FK UNPAD BANDUNG

PEDOMAN PELAYANAN REKAM MEDIS

vii DAFTAR WAWANCARA

KARAKTERISTIK INFORMAN

BAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT GAWAT DARURAT

I. PENDAHULUAN. dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,

CURICULUM VITAE Nama : Sagung Putri M.E.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah memajukan kesejahteraan bangsa. Salah satunya adalah dalam bidang

RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia dan

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR PT. RUMAH SAKIT...No. T E N T A N G KEBIJAKAN HAK PASIEN DAN KELUARGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditunaikannya dimana ia berkewajiban untuk menangani hal-hal yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

No. Dokumen No. Revisi Halaman 1 dari 2

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS By: Raden Sanjoyo D3 Rekam Medis FMIPA Universitas Gadjah Mada

PANDUAN PENOLAKAN PELAYANAN ATAU PENGOBATAN RSIA NUN SURABAYA 1. LATAR BELAKANG

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK [ INFORMED CONSENT ]

BAB III TINJAUAN TEORITIS

Bab 2 Etika, Privasi

GAMBARAN SIKAP PASIEN TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional hendak digeser menjadi

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK CITRA INSANI SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR NO /SK-DIR/RSIA-CI/VIII/2014 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 44 tahun 2009 Rumah Sakit merupakan sarana pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BERSALIN ASIH NOMOR : 096/SK-Dir/RSB-A/II/2016

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban

-1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN

teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Cyber

BAB I PENDAHULUAN. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan. kesejahteraan diri serta keluarganya (KKI, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah

yang disampaikan perawat dapat diterima dengan baik oleh pasien (Alex, 2010). Sasongko (2010), dalam penelitiannya yang berjudul perbedaan tingkat

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK. Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK

Kata kunci : tingkat pengetahuan hak dan kewajiban pasien atas informasi medis. Kepustakaan : 17 ( )

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

PERATURAN DIREKTUR RS ROYAL PROGRESS NOMOR /2012 TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

Pendapat Hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam Kasus Ravio Patra dengan Pelapor Wempy Dyocta Koto

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN - DOKTER

INFORMED CONSENT. dr. Meivy Isnoviana,S.H

Prospek Implementasi UU SJSN dan UU BPJS Dalam Perlindungan Konsumen

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

Apa yang perlu dokter ketahui agar tidak masuk penjara? Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F PIT IDI Tangerang 11 Februari 2018

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

Aspek Hukum Hubungan Profesional Tenaga Kesehatan -Pasien. Drg. Suryono, SH, Ph.D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TAKE HOME TEST MATA KULIAH ETIKA PROFESI TIK

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT PRASETYA BUNDA NOMOR : SK/KEH/RSPB/I/2014 TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE ETIK DAN HUKUM RUMAH SAKIT PRASETYA BUNDA

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

Transkripsi:

Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diterapkan, sudah memakan 'korban' dan membawa kasus ini sebagai kasus yang memperoleh perhatian luar biasa mulai dari kelompok wartawan, ibu-ibu rumah tangga, kelompok pemuda, remaja bahkan ketiga bakal capres, semuanya memberikan komentar dan opini sehingga menjadikan kasus ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian publik dari segala lapisan. Kali ini terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional berang dan marah, dan merasa dicemarkan. Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Kejaksaan Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak selama 21 hari karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Beberapa pakar hukum menilai: bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu. Kasus ini juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan penjara hingga enam tahun. Banyak masyarakat kemudian mulai ketakutan mengemukakan pendapat dan tulisan mereka di dunia maya, karena pada kasus Prita Mulyasari ini yang semula niatnya hanya curhat malah kemudian digugat. Padahal setiap warga Negara berhak berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat diatur dalam UUD 45, dan sebagai konsumen dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun demikian tidak banyak yang membicarakan tentang kedalaman perspektif etik dan hukum kesehatan kasus Prita Mulyasari ini. Apakah ada perspektif yang lain bila kasus ini dibedah dari kacamata etik dan hukum kesehatan? Hubungan antara dokter sebagai professional dengan pasien sebagai klien, dari pendekatan hukum adalah hubungan kontraktual dimana keterikatannya dinamakan kontrak terapetik atau kontrak medis. Dalam kontrak terapetik ini medikpun tidak tertulis dokter berjanji akan memberikan asuhan 1 / 5

medis kepada pasiennya dan pasien akan berjanji mematuhi instruksi medis dari dokter. Kontrak terapetik ini membawa konsekwensi pengakuan hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing pihak oleh pihak yang lain. Di Indonesia hak-hak pasien ditetapkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang itu berbunyi " Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien". Penjelasan pasal itu mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan hak pasien adalah: hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua. Dokter mempunyai kewajiban hukum untuk membuka informasi kepada pasiennya, sehingga pihak pasien dapat melakukan pilihan pengobatan dan persetujuan yang tepat. Hubungan dokter pasien sekarang ini sudah mulai mengalami pergeseran. Sejak awal pertengahan kedua abad ke-20, mulai terjadi banyak perubahan dalam pola hubungan dokter pasien. Paternalisme dokter mulai menurun, sedangkan sebaliknya otonomi pasien makin meningkat. Otonomi pasien adalah hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri tentang masalah yang menyangkut kesehatannya sehingga pasien mempunyai hak memperoleh informasi yang sejujur-jujurnya dari dokter yang merawat. Dalam hal memberikan informasi kepada pasien terdapat standar umum yang dapat digunakan oleh dokter untuk menentukan seberapa jauh suatu informasi wajib dibuka kepada pasiennya misalnya berdasarkan pada standar professional yaitu apa yang sebenarnya ingin dokter sampaikan kepada pasien, kedua adalah standar objektif yaitu apa yang pasien ingin ketahui tentang penyakitnya, dan ketiga adalah standar subjektif yaitu apa yang orang banyak ingin ketahui tentang penyakit tersebut. Pada kasus Prita Mulyasari ini pasien merasa tidak mendapat informasi yang jelas dan jujur dari dokter yang merawatnya, ini dilihat ketika Prita Mulyasari meminta hasil laboratorium tentang trombosit yang dikatakan oleh dokter sebanyak 27.000 tersebut, yang pada kenyataannya hasil tersebut tidak pernah ada karena tidak pernah di print out, sedangkan dokter jaga sudah terlanjur melepas hasil tersebut kepada pasien walaupun belum diperoleh hasil yang sebenarnya. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa darah Prita menggumpal sehingga hasil laboratorium trombositnya tidak valid, sehingga keesokan harinya diulang kembali dan didapatkan hasil trombosit 118.000. Masalahnya rumah sakit tidak pernah jujur dan terbuka dalam memberikan informasi kepada pasiennya hingga disalahartikan oleh pasien bahwa rumah sakit tidak mau memberikan hasil laboratorium darahnya, seperti diketahui bahwa hasil laboratorium yang berasal dari cairan biologis pasien adalah hak pasien 100% dan pasien berhak memperoleh hasilnya. Keesokan harinya, dokter berinisial H yang merawat Prita menginformasikan ada revisi hasil laboratorium. Yaitu jumlah trombosit 181 ribu, bukan 27 ribu. Prita kaget dan menanyakan soal revisi. Tapi, dokter malah menginstruksikan perawat memberi sejumlah suntikan. Selama beberapa hari diberi berbagai suntikan, badan prita membengkak. Prita akhirnya diberitahu terkena virus udara dan kembali disuntik meski kedua tangannya bengkak. Tapi, pihak rumah sakit tak juga menjelaskan nama penyakit yang diderita Prita. Prita pun kesal dan menceritakan pengalaman buruknya itu pada temannya di milis dan kemudian menyebar dengan cepat dan terbaca oleh 2 / 5

pihak rumah sakit yang merawatnya, sementara pihak rumah sakit beserta dokter menganggap bahwa keluhan prita sebagai pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang Penghinaan, ditambah lagi dengan adanya UU ITE maka Prita Mulyasari dijerat dengan pasal 27 ayat 3 sebagaimana tertulis diatas. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya Complainning Handling Management di rumah sakit Omni International? Apakah keluhan pasien ditanggapi positif untuk kemajuan dan perbaikan rumah sakit tersebut? Apakah sudah ada departemen khusus yang menangani keluhan pasien? Apakah keluhan pasien kemudian disampaikan ke dokter yang bersangkutan? Apakah ada pembelaan dari pihak dokter? Apakah ada rapat khusus tentang keluhan ini? Apakah ada batas waktu berapa lama keluhan tersebut harus ditanggapi? Apakah kemudian pasien diberi tahu bahwa keluhannya sudah di tanggapi? Apakah semua terdokumentasi dengan baik. Dari pihak rumah sakit mengatakan bahwa semua terdokumentasi dan Prita Mulyasari sudah pernah dipanggil pihak rumah sakit untuk mendapat penjelasan tentang ini sehingga pihak rumah sakit merasa berang ketika Prita Mulyasari melayangkan keluhannya melalui milis yang menulis agar berhati-hati berobat dengan dokter yang pernah merawatnya ini kemudian yang membuat dokter yang merawat nya menuntut balik pasien dengan pasal pencemaran nama baik. Kembali ke pokok permasalahan tentang hubungan dokter pasien, apakah ketika Prita Mulyasari dipanggil dan diberi penjelasan tentang keluhannya terjadi komunikasi yang baik antara dokter dan pasien? Siapa sebenarnya yang menerangkan kepada pasien bahwa keluhannya sudah ditanggapi? Dokter yang bersangkutan atau dari pihak humas rumah sakit, dan apakah kemudian informasi yang diberikan sudah sejujur-jujurnya dan telah membuat pasien merasa puas? Maka timbul pertanyaan lagi bila pasien merasa puas mengapa harus menulis keluhannya di milis? Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada gap yang lebar antara hubungan dokter dan pasien terutama dalam pelepasan informasi yang menjadi hak pasien dan adanya kesalahan dalam manajemen keluhan pelanggan dalam hal ini adalah pasien, sehingga keluhan pasien yang seharusnya ditanggapi dengan positif malah dianggap sebagi pencemaran nama baik. Dengan kata lain RS Omni International gagal menangani keluhan pasiennya dengan elegan. Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah staf medis kepada pasien. Dalam PERMENKES NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan tindakan kedokteran dalam pasal 1 ditulis bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Sedangkan di dalam pasal 3 ayat 1, setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, dan ayat 2, tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. Juga pasal 7 ayat 1, penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Memang tidak ada ketentuan pemberian informed consent harus dilakukan secara tertulis tetapi 3 / 5

sekali lagi dikatakan bahwa keberhasilan terapi berawal dari komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien. Seandainya dokter atau perawat menerangkan terlebih dahulu tentang tindakan terapi yang akan dilakukan terhadap Prita Mulyasari dengan jelas apakah mengenai tujuannya, efek sampingnya apabila terapi itu dilakukan dan apa yang terjadi bila terapi itu tidak dilakukan, alternative terapi lainnya dan apa efek samping dari terapi alternative seperti apa yang tercantum dalam pasal 7 Kepmenkes No 290 tahun 2008 Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c.altematif tindakan lain, dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e.prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f.perkiraan pembiayaan. Bila semua itu dilakukan dan informasi diberikan dengan jelas, detail dan terbuka maka kasus Prita Mulyasari ini tidak akan terjadi. Sayangnya rumah sakit dalam memberikan tindakan medis baik apakah itu obat oral, infuse atau injeksi tidak pernah menerangkan kepada Prita Mulyasari untuk apa terapi itu diberikan, tidak salah bila timbul pertanyaan besar dikepala Prita Mulyasari obat apa yang sebenarnya diberikan kepadanya, infuse apa yang diberikan dan mengapa dia diberi injeksi dan mengapa timbul reaksi allergi walaupun menurut ilmu kedokteran pasien dengan reaksi allergi maka dokter tidak dapat dipersalahkan tetapi apakah semua efek samping yang akan terjadi sudah di informasikan sebelumnya? Patient Safety atau Keselamatan Pasien adalah visi dan misi dari banyak rumah sakit yang ada sekarang ini. Keselamatan pasien ini mempunyai fokus mendorong terbentuknya kepemimpinan dan budaya RS yang mencakup keselamatan pasien dan peningkatan mutu pelayanan, mengembangkan standar pedoman keselamatan pasien berbasis riset dan pengetahuan, dan bekerja sama dengan berbagai lembaga yang bertujuan meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan RS. Secara mudah dikatakan bahwa bila dokter atau rumah sakit ingin selamat maka pasien harus diselamatkan lebih dahulu. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan 180.000 pasien meninggal setiap tahunnya sebagai akibat medical errors, ini setara dengan 3 pesawat Jumbo jet mengalami kecelakaan setiap tahunnya. Data dokter yang lalai dan menyebabkan kerugian digugat sebanyak 3 dari 100 orang dokter sedangkan dokter yang tidak lalai dan digugat adalah 113 dari 10.000 orang. Menurut data 28% dikarenakan diagnose yang salah, 27 % adalah surgical errors dan 26% untuk penanganan perawatan medis (obat reaksi, kesalahan anestesi, kelahiran cedera), hampir semua kesalahan ini disebabkan oleh hubungan dokter pasien yang tidak baik. Kasus Prita Mulyasari bukanlah kasus dimana pasien menuntut dokter akan tetapi adalah kasus pertama di Indonesia dimana dokter menuntut kepada pasiennya. Masalah yang timbul adalah apakah etik seorang dokter menuntut pasien yang seharusnya ditolong? Apakah ada problem etik dan disiplin pada kasus ini? Seperti diketahui Pasal 2 KODEKI: Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi, Pasal 7 KODEKI: Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yg telah dibuktikan kebenarannya, maka pada kasus Prita Mulyasari ini dimana dokter memberikan hasil laboratorium yang belum pasti itu dapat dikenakan pelanggaran KODEKI pasal 2, dan 7. Apa kemudian dampaknya bila kasus ini dimenangkan oleh pihak dokter dan rumah sakit? 4 / 5

Maka rumah sakit hanya menang di mata pengadilan dan akan kalah dimata publik sehingga pasien tidak akan berobat ke rumah sakit yang akan memenjarakan pasiennya. Seharusnya keluhan pasien ini ditanggapi positif dan diselesaikan secara bijak oleh dokter dan rumah sakit dengan cerdas hukum dan pendekatan yang baik kepada pasien. Bisa dibayangkan bila semua rumah sakit di Indonesia seperti RS Omni International ini maka tidak dapat disalahkan bila pasien kita berobat ke Ponari, Singapore atau Malaysia. Dr. Ferryal Basbeth,SpF Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas YARSI basbethf@gmail.com 5 / 5