PAPUA DAN PAPUA BARAT: REDD+ dan ancaman terhadap masyarakat adat

dokumen-dokumen yang mirip
ACEH: Proyek Uji Coba REDD+ Ulu Masen

Perkembangan terbaru nasional seputar REDD+ di Indonesia

SULAWESI TENGAH: Provinsi Uji Coba UN-REDD Indonesia

KALIMANTAN TENGAH: REDD+ dan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP)

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

West Kalimantan Community Carbon Pools

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Papua Province Indonesia

Surat Pernyataan Pers: Wujudkan Kedaulatan Pangan Rakyat: Hentikan Proyek MIFEE di Papua

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

STRATEGI TINDAK LANJUT

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

PEMERINTAH KABUPATEN FAKFAK

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELUANG PENGELOLAAN HUTAN OLEH MUKIM DAN PENYIAPAN MASYARAKAT ADAT UNTUK MENGANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

Kerangka Acuan LOKAKARYA PERAN INVESTASI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI TANAH PAPUA DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN RENDAH KARBON

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global.

BUPATI INDRAGIRI HILIR

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

Pertemuan Koordinasi GCF

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PER

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

Rangkuman dari isu isu yang dijabarkan dalam laporan studi tersebut dalam kaitannya dengan komitmen kebijakan FCP APP adalah:

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

Assalamu alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, Salam Sejahtera Untuk Kita Semua,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2010 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

FPIC DAN REDD. Oleh : Ahmad Zazali

Pembangunan Kehutanan

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

Perlindungan Hutan Tropis Berbasis Kearifan Lokal. Inisiatif Hutan Desa di Kabupaten Merangin

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

Transkripsi:

Seri briefing hak-hak, hutan dan iklim Oktober 2011 PAPUA DAN PAPUA BARAT: REDD+ dan ancaman terhadap masyarakat adat Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia menempati setengah bagian barat dari pulau Nugini. Keduanya merupakan provinsi yang paling banyak ditumbuhi hutan dan yang memiliki keanekaragaman budaya paling tinggi di seluruh Indonesia, dihuni oleh lebih dari 300 ethnolinguistik. hutan rawa gambut di Papua digolongkan sebagai hutan konversi. Jika seluruh kawasan ini dikonversi menjadi lahan pertanian, emisi CO2 yang dihasilkan akan mencapai lebih dari satu miliar ton. Menurut sensus tahun 2010, jumlah penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing adalah 2.851.999 jiwa dan 760.855 jiwa. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik menempatkan Papua dan Papua Barat di urutan terbawah pada Indeks Pembangunan Manusia dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kesehatan, pendidikan, harapan hidup, keamanan, pendapatan dan keberlangsungan kehidupan di kedua provinsi tersebut lebih rendah daripada provinsi lain di negara ini. Proporsi penduduk miskin di Papua dan Papua Barat adalah yang tertinggi di negara ini, dengan lebih dari 35% dari populasinya tergolong miskin menurut kriteria resmi. Hutan Papua meliputi kawasan seluas 405.443 km 2 yang terdiri dari hutan lindung seluas 106.191 km 2, hutan konversi seluas 80.258 km 2, hutan produksi terbatas seluas 20.541 km 2, hutan produksi tetap seluas 105.832 km 2 dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 92.621 km 2. Dinas Kehutanan propinsi di Papua dan Papua Barat memperkirakan tingkat deforestasi gabungan di dua provinsi tersebut sebesar 130.000 ha per tahun. Hutan rawa gambut meliputi kawasan seluas delapan juta hektar, yang mewakili sepertiga dari seluruh hutan rawa gambut Indonesia. Seperempat Peta Papua REDD+ di Papua Setelah puluhan tahun praktek manajemen operasi kehutanan yang bersifat top-down oleh pemerintah, dengan sedikit konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak, banyak masyarakat adat di Papua dan Papua Barat yang tidak mengetahui dengan jelas akan hak-hak legal mereka atas tanah dan sumber daya alam. Sebanyak 80% dari masyarakat adat berada di daerah pedesaan dan 70% di antara mereka secara resmi tergolong miskin, dengan hanya sedikit akses ke informasi tentang rencana pemerintah untuk sumber daya alam mereka. Dalam Green Governors Gala COP 13 (2007) di Bali, di depan para

pemimpin politik dan bisnis dunia, Gubernur Papua dan Papua Barat menyatakan dukungan mereka untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, atau REDD+. Inisiatif untuk mitigasi perubahan iklim tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Beberapa inisiatif REDD+ berbasis pasar sukarela telah teridentifikasi di Papua, tetapi sampai saat ini, satu pun belum membuat kemajuan melampaui tahap perencanaan awal. Pada tahun 2008, New Forest (Australia) dan PT. Emerald Planet menandatangani Nota Kesepahaman dengan Gubernur Papua untuk mengembangkan rencana untuk mengurangi emisi dari deforestasi pada hutan seluas 265.000 ha di Mamberamo dan Mimika. Namun, para pengembang proyek tidak mampu memperoleh semua izin yang diperlukan untuk mengembangkan proyek tersebut. Gubernur Papua Barat telah menyetujui perjanjian layanan dengan pengembang proyek Carbon Strategic Pty Ltd. (Australia), yang kini tengah tidak aktif. Saat ini, Asia Pacific Carbon yang berpusat di Australia sedang melakukan penilaian dan survei untuk terlibat dalam perdagangan karbon dan konservasi keanekaragaman hayati hutan di Papua Barat. New Forest telah mengajukan rencananya kepada Satuan Tugas REDD+ di Papua Barat. Carbon Conservation dan beberapa NGO internasional lainnya seperti Flora and Fauna International (FFI), Conservation International (CI) dan World Wildlife Fund (WWF) juga mendukung inisiatif pemerintah Papua. Sampai saat ini, belum ada kemajuan signifikan yang telah dibuat pada tahap persiapan proyek-proyek ini. Informasi, konsep dan isi kesepakatan belum disosialisasikan kepada publik oleh pemerintah provinsi, baik secara resmi maupun tidak resmi. Salah satu perkembangan yang penting adalah telah diterbitkannya Surat Keputusan oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu pada bulan Oktober 2010, untuk Pembentukan Satuan Tugas untuk Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu pe ran Satuan Tugas ini adalah untuk menjamin kepastian hukum untuk melindungi hak masyarakat sesuai dengan prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC). Sebuah kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat, Abram Atururi, pada bulan Maret 2011. Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 tentang Hak Ulayat/Adat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No. 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, yang keduanya mengakui hak-hak masyarakat Papua, dapat memperkuat posisi masyarakat yang terkena dampak dari rencana REDD+. Sampai saat ini, kendati demikian, belum ada pemerintah kabupaten maupun instansi pemerintahan terkait manapun yang mengeluarkan kebijakan atau program untuk mengimplementasikan regulasi tentang hak-hak dan undangundang adat masyarakat. Pada tingkat nasional, Departemen Kehutanan Indonesia pada tahun 2009 mengeluarkan sebuah surat keputusan tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Regulasi tentang REDD+ ini berpotensi mengizinkan hutan masyarakat untuk dikelola sebagai lokasi REDD+, jika masyarakat memperoleh izin dari Menteri Kehutanan. Namun, secara umum, regulasi-regulasi REDD+ nasional gagal untuk sepenuhnya mengakui dan melindungi tanah adat dan hak masyarakat adat atas sumber daya. Sementara itu, masyarakat adat di Papua belum diberitahu tentang regulasi REDD+ nasional atau fakta bahwa proyekproyek REDD+ mungkin akan dilaksanakan di wilayah adat mereka. Mereka juga tidak aktif dilibatkan dalam pengembangan kebijakan dan peraturan yang mempengaruhi hutan dan ruang hidup mereka. Sebaliknya, pemerintah nasional telah menetapkan bahwa hutan di mana masyarakat adat ini tinggal merupakan hutan negara yang akan digunakan untuk kepentingan pembangunan dan proyek perdagangan karbon tanpa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat. Berdasarkan pada regulasi nasional yang cacat ini, pembangunan REDD+ dan proyek perdagangan karbon akan terancam atau harus dilaksanakan secara paksa jika mereka tidak mengakui dan melindungi hak masyarakat adat Papua. Negara tidak pernah membantu leluhur saya untuk membuat kebun sagu kami di luar sana. Bagaimana mungkin semua tanah ini menjadi milik negara? Egenius Beljai dari Desa Kweel, Kecamatan Eligobel, Kabupaten Merauke, Papua, Indonesia, pada bulan Juni 2011. Ancaman Masyarakat di tiga lokasi yang dikunjungi oleh Pusaka dan Forest Peoples Programme secara berkala di Papua dan Papua Barat belum mempertimbangkan implikasi dari usulan inisiatif mitigasi perubahan iklim terhadap hak-hak mereka atas tanah dan hutan. Ketika proyek-proyek REDD+ dilaksanakan, akankah proyek-proyek tersebut mempengaruhi akses masyarakat ke hutan-hutan mereka? Terlepas dari adanya norma-norma dan standar-standar internasional untuk REDD+ tentang perlunya mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat di lokasi proyek, belum ada kejelasan informasi yang diberikan oleh pemerintah nasional ataupun daerah kepada masyarakat

mengenai kebijakan-kebijakan atau praktek-praktek yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kurangnya kejelasan mengenai hak-hak masyarakat ini dapat dilihat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 30/2009 tentang REDD+, yang menyatakan bahwa hutan adat merupakan salah satu kawasan di mana REDD+ dapat dilaksanakan. Namun, belum ada undangundang yang dikeluarkan atau regulasi yang ditetapkan pada tingkat nasional yang memberikan pengakuan hukum secara nyata bagi masyarakat adat dan hutan adat. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat adat menjadi terpinggirkan dari sistem-sistem produksi pertanian atau kehutanan modern adalah bahwa sistem-sistem ini memerlukan pekerja atau pengelola dengan tingkat pengetahuan dan keahlian tertentu yang biasanya tidak dimiliki oleh anggota masyarakat pedesaan. Hal ini diperparah dengan kurangnya pengakuan dan pertimbangan yang layak untuk sistem pengetahuan adat dan penggunaan sumber daya alam yang telah ada sebelumnya, yang dikembangkan oleh masyarakat adat secara turun temurun. Investasi besar terus antre untuk dikembangkan di kedua provinsi tersebut. CEVRON, sebuah perusahaan tambang misalnya, akan masuk di Fak-Fak. Sementara itu sengketa perihal tanah antara masyarakat dan perusahaan maupun negara belum juga diselesaikan dengan memuaskan. Ganti rugi untuk tanah bagi lokasi transmigrasi masih meninggalkan tuntutan yang belum dipenuhi, sementara akuisisi tanah masyarakat terus berlangsung. Di Fak-Fak misalnya, masyarakat melaporkan bahwa 200.000 ha tanah masyarakat telah diakuisisi untuk berbagai proyek termasuk agropolitan; sementara pelepasan 500.000 ha untuk lahan bandara pun belum beres penyelesaiannya sampai saat ini. Proyek-proyek di bidang kehutanan pun masih terus menimbulkan pertanyaan dari masyrakat. Reboisasi di Ransisi, Papua Barat misalnya dipertanyakan masyarakat mengapa dilakukan terutama sepanjang pinggir jalan dan bukannya di tempat-tempat yang keadaannya kritis? Di sisi lain, masyarakat adat Papua yang tinggal di pedesaan masih tergantung pada perburuan, pengumpulan dan pemanenan tanaman obat. Makanan pokok mereka, yaitu sagu, biasanya diperoleh dari hutan rawa sagu yang banyak ditemukan di wilayah-wilayah adat. Sama halnya, kebutuhan lain seperti protein hewani diperoleh dari berburu dan menangkap ikan di hutan dan perairan di dalam wilayah adat. Konsep lokal hak-hak atas tanah umumnya didasarkan pada hak-hak marga atau hak petuanan. Di bawah hak marga, yang biasanya dipegang oleh kepala marga, hak-hak masyarakat menjadi rentan terhadap manipulasi melalui sistem perwakilan mereka, karena para kepala marga tidak selalu terlibat dengan masyarakat mereka untuk memberitahu tentang rencana pembangunan dan proyek yang tengah dibahas dengan kepentingan luar. Hak-hak suatu kelompok adat atas tanah leluhur mereka dapat diperoleh di atas kertas oleh orang luar hanya melalui tanda tangan atau cap jempol sang kepala marga. Upaya Kecil bagi Masyarakat Adat Papua Sejak tahun 2008, Pusaka dan Forest Peoples Programme, bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), telah me ndampingi masyarakat adat di desa-desa di wilayah berikut: suku Oadate di Oadate (Kabupaten Waropen), suku Bauzi di Kasonaweja dan Mamberamo Hilir (Kabupaten Mamberamo Raya), suku Kamoro di Iwaka dan Nayaro (Kabupaten Mimika) dan suku Marind (Merauke), Provinsi Papua dan masyarakat adat Wawiyai di Friwen (Raja Ampat), Shywa (Maybrat), suku Mpur di Mubrani, Senopi dan Kebar (Manokwari) dan suku Arfak di Sidey dan Prafi (Manokwari). Kerjasama dengan masyarakat-masyarakat ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas mereka untuk memahami dan melindungi hak-hak mereka. Kegiatannya meliputi diskusi hakhak atas tanah berdasarkan hukum daerah, provinsi, nasional dan internasional; pemetaan partisipatif; dialog dengan pejabat pemerintah dan pe ngambil kebijakan daerah serta provinsi, dan diskusi dengan NGO Papua dan pengembang proyek REDD+. Kegiatan-kegiatan utamanya berhubungan dengan permasalahan sekitar hak-hak masyarakat atas tanah, FPIC, dan rencana inisiatif mitigasi perubahan iklim. Tujuan kerja lapangan yang dilakukan oleh Pusaka dan FPP adalah untuk memperkuat kapasitas masyarakat untuk memahami dan menegaskan hakhak mereka dan mempengaruhi para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan, berdasarkan kesadaran mereka akan hak-hak mereka sebagaimana ditetapkan dalam hukum nasional maupun internasional. Hak masyarakat a tas FPIC dan hukum yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia merupakan topik utama yang dibahas di dalam pelatihan, pertemuan desa dan lokakarya yang diselenggarakan oleh Pusaka dan FPP. Kami juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi lokal, termasuk: YPLHPMSP (Yayasan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Pelayanan Masyarakat Sipil Papua), JASOIL (Jaringan Advokasi Sosial dan Lingkungan), YALI Papua, FOKER-LSM Papua, Jaringan Perempuan Mimika, SKP Mimika dan SKP Merauke dan KOMALI. Lokakarya dan pelatihan juga melibatkan pejabat pemerintah daerah sebagai narasumber atau peserta.

Desa di Merauke Tanggapan dari Masyarakat dan Pemerintah Daerah Contoh hasil lokakarya dan pelatihan yang telah diadakan oleh Pusaka dan FPP adalah berupa tanggapan-tanggapan dari anggota masyarakat di Waropen dan perwakilan Dinas Kehutanan Waropen yang menghadiri lokakarya de ngan Pusaka di Waropen pada tanggal 11-12 November 2009 berikut ini. sebidang tanah adat di sana, yang akan terkena dampak dari rencana tersebut. Disebutkan bahwa jalan tersebut akan memiliki lebar lima belas meter. Bupati mengatakan bahwa tanah di sana merupakan tanah adat. Saya meminta agar Departemen Kehutanan mengeluarkan peraturan yang mengacu pada pengaturan adat yang berlaku di Papua. Masyarakat Adat: Kami ingin memetakan wilayah adat kami. Tolong, sampaikan permintaan ini kepada Menteri, Departemen Kehutanan. Cabut izin penebangan yang diberikan kepada PT. IRMA SULINDO, yang melanggar batas ke dalam hutan lindung Kabupaten Waropen, dan PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER, yang melakukan penebangan di dekat mata air kami. Di Papua (Amberbaken), ada dua proyek cagar alam, satu oleh WWF dan satu lagi oleh pemerintah (Dinas Kehutanan), yang saling tumpang tindih dengan hutan dan lahan kami. Mengenai penebangan di kawasan Raja Ampat, terutama di Waigeo Selatan, ada rencana untuk membuka sebagian daerah hutan untuk jalan lingkar Waigeo. Ada empat suku yang tinggal di bagian hutan tersebut dan saya juga memiliki Ada kesepakatan tentang pengelolaan hutan dan REDD+ di Papua; kami berharap kesepakatan tersebut akan dilaksanakan, terutama di Papua Barat. Provinsi ini memiliki banyak potensi sumber daya alam, tetapi izin selalu berasal dari Gubernur, bukan dari masyarakat adat selaku pemilik sah sumber daya alam tersebut. Batas-batas tanah marga telah ditempatkan, tetapi batas-batas tersebut tidak diakui oleh pemerintah. Apakah diperlukan suatu surat keputusan untuk memperjelas prosesnya? Menurut kami, adalah penting bagi pemerintah nasional dan daerah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat secara jujur dan adil. Perwakilan Dinas Kehutanan Waropen:: Saya pikir slogan tidak ada REDD tanpa (pemenuhan) hak semestinya diganti dengan tidak ada REDD tanpa wewenang masyarakat adat. Undang-undang Otonomi

Khusus Papua tentang Hukum Adat menyatakan bahwa penebangan liar merupakan suatu kejahatan hutan dan dapat dikenai sanksi adat, tapi penegakannya tidak ada. Kami semua mempertimbangkan status adat dan ke lestarian hutan dan lingkungan di Papua. Sengketa adat pada kenyataannya sulit untuk diselesaikan dan telah menjadi suatu unsur yang berkelanjutan dalam sejarah pengelolaan hutan. Departemen Kehutanan telah belajar dari pengalamanpengalamannya dan terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terus menerus, kami melihat bahwa kami bebas untuk berbicara dan gerakan-gerakan masyarakat tengah mendorong pemerintah untuk berubah. Departemen Kehutanan bukan hanya mulai menghargai hutan, tetapi juga menghargai peran masyarakat dalam melindungi hutanhutan ini. Departemen Kehutanan sendiri tidak menyetujui pembukaan hutan skala besar sebagai pendekatan pembangunan. Pemerintah tengah mengalami perubahan besar karena kewenangan tidak lagi terpusat. Merupakan hal yang baik jika adat dapat membentuk akar FPIC, karena adat merupakan landasan pertama komunikasi di dalam suatu masyarakat. Masyarakat peserta lokakarya Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Pusaka dan Huma di Merauke, Papua, pada bulan Juni 2011. Hutan di Merauke

Hasil dari Upaya Advokasi Rangkaian kegiatan yang dilakukan, antara lain oleh Pusaka dan FPP, telah memperoleh dukungan dari Organisasi Masyarakat Sipil lokal serta pemerintah daerah, dan terutama dari masyarakat adat yang telah bekerjasama dengan kami: Di Mamberamo dan Waropen, Bupati menghadiri lokakarya dan mengungkapkan komitmen pemerintah kabupaten mereka untuk mendukung pengakuan hak-hak masyarakat adat. Anggota masyarakat adat yang menghadiri pelatihan FPIC, dan hukum dan hak-hak asasi manusia telah meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses-proses di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten sehubungan dengan perumusan kebijakan dan pengembangan rencana pemantauan proyek. Julianus Kowela, seorang tokoh adat Waropen, misalnya, telah mulai terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan ini hingga ke tingkat nasional. Masyarakat adat telah mulai merencanakan dan me nawarkan kerjasama dengan NGO untuk mendukung rencana mere ka untuk memetakan wilayah adat. Masyarakat adat telah mulai mengumumkan dan menyiarkan cerita-cerita dan laporan-laporan tentang masalah mereka melalui media cetak dan elektronik lokal. Rekomendasi Upaya mitigasi perubahan iklim di Papua perlu memberikan perhatian khusus pada hak-hak dan kebutuhan masyarakat adat yang akan terkena dampak dari upaya tersebut. Langkahlangkah untuk memberitahu dan bekerjasama dengan masyarakat lokal harus menghormati hak-hak masyarakat atas FPIC dan harus dilakukan dengan perencanaan partisipatif yang secara efektif melibatkan seluruh masyarakat adat yang akan terkena dampak. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan melalui: Pertemuan desa yang melibatkan seluruh masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dengan menggunakan proses yang menghormati hak masyarakat untuk memberikan atau tidak memberikan FPIC mereka. Pejabat pemerintah daerah dan kabupaten yang mensosialisasikan rencana pembangunan kepada masyarakat adat sebelum rencana tersebut difinalisasi, sehingga masyarakat dapat memilih apakah dan bagaimana mereka ingin terlibat. Pemetaan partisipatif terhadap wilayah adat di seluruh Papua. Pemerintah kabupaten di Papua dan Papua Barat harus menerbitkan kebijakan-kebijakan afirmatif dan programprogram yang mendorong pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di pedesaan. Peningkatan kapasitas untuk tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga adat di tingkat kecamatan dan kabupaten. Forest Peoples Programme 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ UK Tel: +44 (0)1608 652893 info@forestpeoples.org www.forestpeoples.org Forest Peoples Programme adalah sebuah organisasi nirlaba berstatus hukum (company limited by guarantee) dengan nomor pendaftaran 3868836, dan alamat terdaftar seperti di atas. UK-registered Charity no. 1082158. Organisasi ini juga terdaftar sebagai sebuah Stichting nirlaba di Belanda. Organisasi ini mendapat Status Konsultatif Khusus Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Juli 2010.