BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN PENELITIAN EFISIENSI DAN KINERJA STRUKTUR RANGKA BREISING KONSENTRIK TIPE X-2 LANTAI. Nama Peneliti: Ir. Ida Bagus Dharma Giri, M.T.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

MODIFIKASI PERENCANAAN MENGGUNAKAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIS KHUSUS PADA GEDUNG APARTEMEN METROPOLIS

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN KINERJA STRUKTUR RANGKA BRESING V-TERBALIK EKSENTRIK DAN KONSENTRIK (215S)

EFISIENSI DAN KINERJA STRUKTUR RANGKA BREISING KONSENTRIK TIPE X-2 LANTAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa

Studi Assessment Kerentanan Gedung Beton Bertulang Terhadap Beban Gempa Dengan Menggunakan Metode Pushover Analysis

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI

MODIFIKASI PERENCANAAN GEDUNG FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MAKASAR MENGGUNAKAN STRUKTUR BAJA DENGAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIS KHUSUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KINERJA STRUKTUR RANGKA BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN BREISING BAJA TIPE X

BAB III METODE PENELITIAN

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Umum Beban Gempa Menurut SNI 1726: Perkuatan Struktur Bresing...

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI SNI 1726:2012 PASAL MENGENAI DISTRIBUSI GAYA LATERAL TERHADAP KEKAKUAN DAN KEKUATAN PADA SISTEM GANDA SRPMK DAN SRBKK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aman secara konstruksi maka struktur tersebut haruslah memenuhi persyaratan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Seismic Column Demand Pada Rangka Bresing Konsentrik Khusus

BAB III METODE ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pelat baja vertikal (infill plate) yang tersambung pada balok dan kolom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

T I N J A U A N P U S T A K A

) DAN ANALISIS PERKUATAN KAYU GLULAM BANGKIRAI DENGAN PELAT BAJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung

ANALISIS KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN VARIASI PENEMPATAN BRACING INVERTED V ABSTRAK

KATA KUNCI: gempa, sistem ganda, SRPMK, SRBKK, 25%, gaya lateral, kekakuan

EVALUASI KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN PUSHOVER ANALYSIS

Pengaruh Core terhadap Kinerja Seismik Gedung Bertingkat

II. KAJIAN LITERATUR. tahan gempa apabila memenuhi kriteria berikut: tanpa terjadinya kerusakan pada elemen struktural.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

ABSTRAK. Kata Kunci: perkuatan seismik, rangka beton bertulang, bresing baja, dinding pengisi berlubang sentris, perilaku, kinerja, pushover.

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Dengan Pushover Analysis Akibat Beban Gempa Padang

PERENCANAAN STRUKTUR BAJA BERDASARKAN KEKAKUAN DAN KEKUATAN SISTEM GANDA SRPMK DAN SRBE BENTUK DIAGONAL MENURUT SNI 1726:2012 PASAL

BAB 1 PENDAHULUAN. hingga tinggi, sehingga perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa. Hal ini dapat dilihat pada berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EVALUASI KINERJA STRUKTUR BAJA BERTINGKAT RENDAH DENGAN ANALISIS PUSHOVER ABSTRAK

PERBANDINGAN ANALISIS RESPON STRUKTUR GEDUNG ANTARA PORTAL BETON BERTULANG, STRUKTUR BAJA DAN STRUKTUR BAJA MENGGUNAKAN BRESING TERHADAP BEBAN GEMPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PBI 1983, pengertian dari beban-beban tersebut adalah seperti yang. yang tak terpisahkan dari gedung,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. gempa di kepulauan Alor (11 November, skala 7,5), gempa Aceh (26 Desember, skala

ANALISA KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN KOLOM YANG DIPERKUAT DENGAN LAPIS CARBON FIBER REINFORCED POLYMER (CFRP)

RESPON DINAMIS STRUKTUR PADA PORTAL TERBUKA, PORTAL DENGAN BRESING V DAN PORTAL DENGAN BRESING DIAGONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelat dasar kolom mempunyai dua fungsi dasar : 1. Mentransfer beban dari kolom menuju ke fondasi.

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM

Desain Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa

ANALISIS PERILAKU STRUKTUR PELAT DATAR ( FLAT PLATE ) SEBAGAI STRUKTUR RANGKA TAHAN GEMPA TUGAS AKHIR

BAB III METODE ANALISA STATIK NON LINIER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

BAB 1 PENDAHULUAN. yaitu di kepulauan Alor (11 Nov, skala 7.5), gempa Papua (26 Nov, skala 7.1),

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-6 1

BAB II LANDASAN TEORI. kestabilan struktur dalam menahan segala pembebanan yang dikenakan padanya,

BAB II STUDI PUSTAKA

STUDI KINERJA SENDI PLASTIS PADA GEDUNG DAKTAIL PARSIAL DENGAN ANALISIS BEBAN DORONG

Struktur Baja 2. Kolom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara

ANALISIS PELAT BUHUL STRUKTUR RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIK

BAB 1 PENDAHULUAN Umum

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

PERBANDINGAN PERILAKU DAN KINERJA STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN SISTEM BREISING KONSENTRIK TIPE-X DAN SISTEM BREISING EKSENTRIK V-TERBALIK

Gambar 2.1 Rangka dengan dinding pengisi

PERENCANAAN DAN EVALUASI KINERJA GEDUNG A RUSUNAWA GUNUNGSARI MENGGUNAKAN KONSTRUKSI BAJA BERBASIS KONSEP KINERJA DENGAN METODE PUSHOVER ANALYSIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRESENTASI TUGAS AKHIR

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BERATURAN TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING TAHAN GEMPA

PERENCANAAN GEDUNG YANG MEMPUNYAI KOLOM MIRING DENGAN PUSHOVER ANALYSIS

Pengaruh Bentuk Bracing terhadap Kinerja Seismik Struktur Beton Bertulang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DI WILAYAH GEMPA INDONESIA INTENSITAS TINGGI DENGAN KONDISI TANAH LUNAK

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

MODIFIKASI PERENCANAAN STRUKTUR BAJA KOMPOSIT PADA GEDUNG PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI JEMBER

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilewati oleh pertemuan

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

Sambungan diperlukan jika

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 1 (SeNaTS 1) Tahun 2015 Sanur - Bali, 25 April 2015

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Pengaku breising pada struktur berperilaku sebagai truss elemen yang hanya menerima gaya aksial baik tekan maupun tarik. Penambahan breising terbukti dapat mengefisienkan berat dari struktur dan kinerja yang lebih baik terhadap ketahanan gempa seperti pada Patung Liberty, Woolworth Tower, dan Empire State Building (Smith and Coull, 1991). 2.2 Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM) Struktur rangka pemikul momen (SRPM) adalah struktur yang memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul oleh rangka pemikul momen melalui mekanisme lentur. SRPM terdiri dari elemen vertikal berupa kolom dan elemen horizontal berupa balok yang terhubung secara kaku membentuk sebuah kotak planar yang mampu menahan gaya lateral berdasarkan kekakuan masing-masing elemen balok kolom. Berdasarkan SNI 03-1729-2002, rangka baja SRPM dapat diklasifikasikan menjadi, Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), Struktur Rangka Pemikul Momen Terbatas (SRPMT) dan Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB). SRPMK didesain untuk memiliki daktilitas yang lebih tinggi dan dapat berdeformasi inelastik pada saat gaya gempa terjadi. Deformasi inelastik akan meningkatkan redaman dan mengurangi kekakuan dari struktur, hal ini terjadi pada saat gempa ringan bekerja pada struktur. Dengan demikian, SRPMK didesain pada gaya gempa yang lebih ringan dibandingkan dengan gaya gempa yang bekerja pada SRPMT dan SRPMB. Pada SRPMB, struktur diharapkan dapat mengalami deformasi inelastik secara terbatas pada komponen struktur dan sambungansambungannya akibat gaya gempa rencana. Dengan demikian, pada SRMPB kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan kekakuan pada SRPMK namun SRPMB memiliki daktilitas lebih kecil dari SRPMK untuk beban gempa yang sama. 5

2.3 Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB) Berdasarkan SNI 1729:2002 pasal 15.9, SRPMB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara terbatas pada komponen struktur dan sambungan-sambungannya akibat gaya gempa rencana. SRPMB harus memenuhi persyaratan pada butir-butir di bawah ini. 1. Sambungan balok-ke-kolom Sambungan balok-ke-kolom harus menggunakan las atau baut mutu tinggi. Dapat digunakan sambungan kaku atau sambungan semi kaku sebagai berikut: a) Sambungan kaku yang merupakan bagian dari Sistem Pemikul Beban Gempa harus mempunyai kuat lentur perlu Mu yang besarnya paling tidak sama dengan yang terkecil dari: i. 1,1RyM p balok atau gelagar, atau ii. Momen terbesar yang dapat disalurkan oleh sistem rangka pada titik terebut. Untuk sambungan dengan sambungan pelat sayap yang dilas, pelapis las dan kelebihan las harus dibuang dan diperbaiki kecuali pelapis pelat sayap atas yang tetap diperbolehkan jika melekat pada pelat sayap kolom dengan las sudut menerus di bawah las tumpul sambungan penetrasi penuh. Las tumpul penetrasi sebagian dan las sudut tidak boleh digunakan untuk memikul gaya tarik pada sambungan; Sebagai alternatif, perencanaan dari semua sambungan balok ke kolom yang digunakan pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus didasarkan pada hasil-hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi inelastis sekurang-kurangnya 0,01 radian. b) Sambungan semi kaku diizinkan jika syarat-syarat di bawah ini dipenuhi: i. Sambungan tersebut harus memenuhi kekuatan φrn Ru; ii. Kuat lentur nominal sambungan melebihi nilai yang lebih kecil daripada 50% M p balok atau kolom yang disambungkan; iii. Harus mempunyai kapasitas rotasi yang dibuktikan dengan uji beban siklik sebesar yang dibutuhkan untuk mencapai simpangan antar lantai; iv. Kekakuan dan kekuatan sambungan semi kaku ini harus diperhitungkan dalam perencanaan, termasuk dalam perhitungan stabilitas rangka secara keseluruhan. 6

2. Pelat terusan Jika sambungan momen penuh dibuat dengan melas pelat sayap balok atau pelat sambungan untuk sayap balok secara langsung ke pelat sayap kolom maka harus digunakan pelat terusan untuk meneruskan gaya dari pelat sayap balok ke pelat badan kolom. Pelat ini harus mempunyai ketebalan minimum sebesar tebal pelat sayap balok atau pelat sambungan sayap balok. Sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom harus dilakukan dengan las tumpul penetrasi penuh, atau las tumpul penetrasi sebagian dari kedua sisi yang diperkuat dengan las sudut, atau las sudut di kedua sisi dan harus mempunyai kekuatan sama dengan kuat rencana luas bidang kontak antara pelat terusan dengan pelat sayap kolom. Sambungan pelat terusan ke pelat badan kolom harus mempunyai kuat geser rencana sama dengan yang terkecil dari persyaratan berikut: a) Jumlah kuat rencana dari sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom; b) Kuat geser rencana bidang kontak pelat terusan dengan pelat badan kolom; c) Kuat rencana geser daerah panel; d) Gaya sesungguhnya yang diteruskan oleh pengaku. Pelat terusan tidak diperlukan jika model uji sambungan menunjukkan bahwa rotasi plastis yang direncanakan dapat dicapai tanpa menggunakan pelat terusan tersebut. 2.4 Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK) Mekanisme keruntuhan direncanakan terjadi pada elemen breising dan pelat buhul sambungan bresing ke balok dan kolom. Pada saat terjadi gempa besar, diharapkan terjadi tekuk pada batang bresing (akibat beban aksial yang diterimanya) sehingga terjadi putaran sudut pada ujung bresing yang kemudian menyebabkan pelat buhul pada sambungan ujung bresing leleh (terjadi sendi plastis). Struktur rangka breising konsentrik (SRBK) merupakan sistem struktur yang elemen breising diagonalnya bertemu disatu titik. SRBK dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu struktur rangka breising konsentrik biasa (SRBKB) dan struktur rangka breising konsentrik khusus (SRBKK). Rangka 7

breising konsentrik memiliki beberapa tipe seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 (SNI 1729:2002). Gambar 2.1 Tipe-tipe breising konsentrik (AISC, 2010) Pada breising konsentrik tipe x-2 lantai merupakan rangka breising x yang dipasang untuk ketinggian 2 lantai seperti terlihat pada Gambar 2.1 (e). Rangka breising ini dapat menjadi pilihan yang baik bila dibandingkan dengan rangka breising tipe v atau v-terbalik, bila terjadi tekuk pada batang tekan breising, balok akan mengalami defleksi kebawah sebagai akibat dari adanya gaya-gaya yang tidak seimbang pada balok. Defleksi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pelat lantai diatas sambungan tersebut. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya defleksi kebawah pada balok maka diperlukan konfigurasi breising yang mencegah terbentuknya gaya-gaya yang tidak seimbang tersebut dan mendistribusikannya menuju lantai lain yang tidak mengalami defleksi tersebut (Utomo, 2011). Perbandingan mengenai perilaku antara rangka breising konsentrik tipe x-2 lantai dengan tipe v-terbalik ditunjukkan oleh Hewitt, et al, (2009) melalui sebuah skema yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. (a). V-terbalik (b). X-2 lantai Gambar 2.2 Perbandingan perilaku rangka breising konsentrik tipe v-terbalik dan x-2 lantai (Hewitt, Sabelli, dan Bray, 2009) 8

Dapat dilihat pada Gambar 2.2 bahwa pada struktur rangka breising tipe x- 2 lantai, gaya-gaya tidak seimbang pada balok didistribusikan melalui batang tarik breising yang berada dilantai atasnya. Hal ini akan mencegah terjadinya defleksi ke bawah pada balok sehingga dapat mencegah kerusakan pada pelat lantai. 2.5 Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK) Berdasarkan SNI 03 1729:2002, Sistem Rangka Bresing Konsentris Khusus (SRBKK) direncanakan pada bangunan baja yang berada di wilayah gempa menengah hingga besar. Bresing yang digunakan sebagai komponen penahan lateral harus memenuhi parameter sebagai berikut : Kelangsingan Batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan yaitu kc L r 2625 fy Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi ϕnc Perbandingan lebar terhadap tebal penampang bresing tekan yang berperilaku ataupun yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut ini : 1. Batang bresing harus bersifat kompak, yaitu (λ<λp). Perbandingan lebar terhadap tebal untuk penampang siku tidak boleh lebih dari 135 fy. 2. Penampang bulat berongga harus mempunyai perbandingan diameter luar terhadap tebal dinding, kecuali dinding penampang tersebut diberi pengaku 3. Penampang persegi berongga harus mempunyai perbandingan lebar terhadap tebal dinding kecuali dinding penampang tersebut diberi pengaku. Berdasarkan SNI 03-1729-2012 Pasal 15.11.4.1, Sistem rangka yang menggunakan Bresing tipe V dan tipe V terbalik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus menerus dari kolom ke kolom. 2. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh semua beban mati dan hidup berdasarkan kombinasi pembebanan dengan menganggap bahwa batang bresing tidak ada. 9

3. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh kombinasi pembebanan kecuali bahwa Qb harus disubtitusikan pada suku E. Qb harus dihitung dengan menggunakan minimum sebesar Ny untuk bresing dalam tarik dan maksimum sebesar 0,3 ϕ Nc untuk bresing tekan. 4. Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan dengan batang bresing harus direncanakan mampu memikul gaya lateral yang besarnya sama dengan 2% kuat nominal sayap balok fy bf tbf Kolom pada SRBKK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Perbandingan Lebar terhadap Tebal Perbandingan lebar terhadap tebal penampang kolom dalam tekan yang diberi pengaku ataupun yang tidak diberi pengaku, harus memenuhi persyaratan untuk batang bresing pada penjelasan Perbandingan lebar terhadap tebal sebelumnya Penyambungan Penyambungan kolom pada SRBKK juga harus direncanakan untuk mampu memikul minimal kuat geser nominal dari kolom terkecil yang disambung dari 50% kuat lentur nominal penampang terkecil yang disambung.penyambungan harus ditempatkan di daerah 1/3 tinggi bersih kolom yang di tengah. 2.6 Kombinasi Beban Berdasarkan SNI 1727:2013, kombinasi beban dipilih yang menghasilkan efek yang paling tidak baik di dalam bangunan gedung, fondasi, atau komponen struktural yang diperhitungkan. Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja harus dipertimbangkan. desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor dalam kombinasi berikut: 1. 1,4D 2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lratau S atau R) 3. 1,2D + 1,6 (Lratau S atau R) + (L atau 0,5W) 4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R) 5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S 6. 0,9D + 1,0W 7. 0,9D + 1,0E 10

dimana: D = beban mati E = beban gempa L = beban hidup Lr = beban hidup atap R = beban hujan W = beban angin 2.7 Sambungan Sederhana Berdasarkan SNI 1729:2015, sambungan sederhana mengabaikan adanya momen. Pada analisis struktur, sambungan sederhana dianggap memungkinkan terjadinya rotasi relatif tidak terkekang antara elemen yang tersambung bercabang. Sambungan sederhana harus memiliki kapasitas rotasi yang cukup untuk mengakomodasi rotasi perlu yang ditentukan melalui analisis struktur. Sambungan sederhana atau sambungan sendi biasanya digunakan pada sambungan balok anak ke balok induk, sambungan breising ke balok kolom, dan sambungan pada dudukan kolom baja. Pada sambungan sederhana, momen yang terjadi sama dengan nol, sehingga baut hanya memikul geser. Ilustrasi sambungan sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.3, pada gambar dapat dilihat bahwa sambungan hanya menggunakan baut dan pelat siku sederhana tanpa perlu dilakukan pengelasan. Sambungan baut dilakukan di kedua elemen struktur yang akan disambungkan, jika pada balok anak maka pada bagian web balok anak dan bagian flange balok induk yang dipasangkan bolt dengan dihubungkan oleh pelat siku. 11

Gambar 2.3 Jenis-jenis sambungan sendi (McCormac and Csernak, 2011) 12

2.8 Sambungan Momen Pada Gambar 2.4 dapat dilihat jenis-jenis sambungan momen. Pada sambungan momen, balok kolom terhubung secara rigid yang tidak memungkinkan terjadi rotasi. Kebutuhan akan baut lebih banyak dibandingkan pada sambungan sederhana. Gambar 2.4 Jenis-jenis sambungan momen (McCormac and Csernak, 2011) 13

Berdasarkan SNI 1729:2015, terdapat dua tipe sambungan momen yang boleh digunakan yaitu Tertahan Penuh (TP) dan Tertahan Sebagian (TS) seperti disyaratkan di bawah ini. a) Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP) Sambungan momen tertahan penuh (TP) menyalurkan momen dengan rotasi yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang tersambung. Pada analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak memungkinkan terjadinya rotasi relatif. Suatu sambungan TP harus memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut antara komponen struktur yang tersambung pada kondisi batas kekuatan. b) Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS) Sambungan momen tertahan sebagian (TS) mampu menyalurkan momen, tetapi rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh diabaikan. Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respons gaya-deformasi sambungan. Karakteristik respons sambungan TS harus terdokumentasi dalam literatur teknis atau ditetapkan dengan analisis atau merupakan hasil rata-rata eksperimental. Elemen komponen sambungan TS harus memiliki kekuatan, kekakuan dan kapasitas deformasi yang cukup pada kondisi batas kekuatan. 2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja Menurut Dewobroto (2006), konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan, sehingga bisa diketahui kemampuan suatu struktur dalam menerima beban gempa (kapasitas) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh struktur tersebut (demand), maka dari itu akan bisa direncanakan suatu stuktur tahan gempa yang ekonomis. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut seperti pada Gambar 2.5. Mengacu pada Federal Emergency Management Agency (FEMA)-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja, kategori level kinerja struktur, adalah: 14

a. Bangunan dapat dihuni, namun tidak dapat digunakan sepenuhnya, perlu dilakukan perbaikan dan pembersihan (IO = Immediate Occupancy), b. Bangunan masih aman saat terjadi gempa, namun tidak setelahnya (LS = Life-Safety), c. Bangunan diambang kehancuran, kemungkinan rugi total (CP = Collapse Prevention). Analisis pushover menghasilkan kurva pushover (Gambar 2.5), kurva yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik acuan pada atap (D). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58) (Sumber: FEMA 273, 1997) 2.10 Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover Analisa statik non-linier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku keruntuhan bangunan terhadap gempa. Analisa statik non-linier juga dikenal sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target 15

perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah titik pada struktur bagian atas. Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas yang terlihat pada Gambar 2.6, kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D). Pada proses pushover struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi distruktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya. Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam menggunakan analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh pertama (Vy) dan beban maksimum (Vd) langsung ditentukan melalui penarikan garis yang memotong kurva perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D). Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd) (Sumber: FEMA 440, 2005) 16

Tahapan utama dalam analisa pushover adalah: 1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover. 2. Membuat kurva pushover berdasarkan pola distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. 3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan). Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan. 4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh computer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP 2000, mengacu pada FEMA - 440). 2.11 Kurva Kapasitas Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai pada kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan (Gambar 2.7). Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Perubahan perilaku struktur dari linier menjadi non-linier berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada balok dan kolom. Sendi plastis akibat momen lentur terjadi pada struktur jika beban yang bekerja melebihi kapasitas momen lentur yang ditinjau. Semakin banyak sendi plastis yang terjadi berarti kinerja struktur semakin bagus karena semakin banyak 17

terjadi pemancaran energi melalui terbentuknya sendi plastis sebelum kapasitas struktur terlampaui. Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas (Dewobroto, 2005) Kurva kapasitas dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Pola pembebanan umumnya berupa respon ragam-1 struktur (atau dapat juga berupa beban statik ekivalen) berdasarkan asumsi bahwa ragam struktur yang dominan adalah ragam-1. Beban dorong statik lateral diberikan pada pusat massa sampai dicapai target perpindahan. Tujuan lain analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi, serta untuk memperoleh informasi letak bagian struktur yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya (Dewobroto, 2005). 2.12 Batas Kinerja Berdasarkan filosofi desain yang ada, tingkat kinerja struktur bangunan akibat gempa rencana adalah Life Safety, yaitu walaupun struktur bangunan mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah namun keselamatan penghuni tetap terjaga karena struktur bangunan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 2.8, respon linier dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan mulai terjadi pada titik B. Respon dari titik B ke titik C merupakan respon elastis plastis. Titik C merupakan titik yang menunjukkan puncak kekuatan komponen, dan nilai absisnya yang merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi kekuatan struktur (garis C-D). Pada titik D, respon komponen struktur secara substansial menghadapi 18

FORCE pengurangan kekuatan menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik E, kekuatan komponen struktur menjadi nol (FEMA 451, 2006). DEFORMATION Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan (Sumber: FEMA 356, 2000) Antara titik B dan C terdapat titik-titik yang merupakan level kinerja dari struktur bangunan. Level kinerja bangunan berdasarkan ATC-40, (1996) dibedakan menjadi: 1. Immediate Occupancy (IO) Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan struktur sangat terbatas. Sistem penahan beban vertikal dan lateral bangunan hamper sama dengan kondisi sebelum terjadinya gempa, dan resiko korban jiwa akibat keruntuhan struktur dapat diabaikan. 2. Life Safety (LS) Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan yang penting terhadap struktur terjadi. Komponen utama struktur tidak terdislokasi dan runtuh, sehingga risiko korban jiwa terhadap kerusakan struktur sangat rendah. 3. Structural Stability / Collapse Prevention (CP) Pada tingkatan ini, kondisi struktur setelah terjadinya gempa sangat parah, sehingga bangunan dapat mengalami keruntuhan struktur baik sebagian maupun total. Meskipun struktur masih bersifat stabil, kemungkinan terjadinya korban jiwa akibat kerusakan struktur besar. Dalam dokumen FEMA 273, kondisi structural stability dikenal dengan istilah Collapse Prevention (CP). 19