I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

dokumen-dokumen yang mirip
permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

PENEGAKAN HUKUM ATAS PENEBANGAN LIAR DI CAGAR ALAM DURIAN LUNCUK I

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tujuan Negara Indonesia yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PROBOLINGGO NO. 179/PID.B/PN.PBL TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

I. PENDAHULUAN. Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

I. PENDAHULUAN. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

Institute for Criminal Justice Reform

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU LINTAS KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan alam yang tidak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional, hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Secara nyata manfaat dari hutan adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain itu pula hutan juga mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan rasa keindahan dan lain sebagainya. Kedudukan hutan juga sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga mempunyai keterkaitan dengan internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dijadikan dasar bagi penyelenggaraan kehutanan yang dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung jawab.

2 Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi umat manusia maka perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana dibidang kehutanan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, contohnya pencurian kayu, perambahan hutan, pembalakan liar, pembakaran hutan dan eksploitasi hasil hutan secara terus menerus oleh oknum yang diberi izin oleh pemerintah. Untuk menjaga kelestarian hutan pemerintah melakukan berbagai upaya, baik dari sarana ekonomi, sosial budaya dan penegakan hukum, untuk itu menanggulangi pelanggaran dibidang kehutanan, maka perlu dilakukan pengenaan sanksi pidana yang berat bagi pelanggaran hukum dibidang kehutanan. Rusaknya kawasan hutan terjadi karena perambahan, pencurian kayu dan eksploitasi yang berlebihan dengan menggunakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang tidak sesuai. Walaupun telah banyak pelaku tindak pidana perambahan dan pencurian kayu yang ditangkap, diproses dan dijatuhi hukuman, tetapi perusakan dan eksploitasi hasil hutan khususnya penebangan pohon masih tetap saja terjadi, karena pelaku berdalih mempunyai izin pengusahaan hutan dari pemerintah, selain itu keterlibatan oknum pemerintah dan petugas juga mewarnai terjadinya perusakan hutan. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang khusus dan intensif untuk menjaga kelestarian hutan. Pencurian kayu dan pengelolaan hasil hutan tanpa izin merupakan suatu perbuatan yang tercela, karena dapat merugikan bahkan membahayakan

3 kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencurian kayu tersebut apabila dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada rusaknya hutan. Kerusakan ini tentu dapat mengganggu fungsi hutan sebagai penyangga utama kelangsungan lingkungan makhluk hidup. Apabila hutan tersebut khususnya hutan lindung yang karena sifat alamnya diperuntukan bagi pengaturan tata air juga sebagai pencegah banjir, erosi, tanah longsor terjadi kerusakan maka makhluk hidup yang ada dimuka bumi ini secara perlahan akan musnah. Berbagai motif pencurian kayu yang terjadi di hutan dewasa ini banyak sekali yang menjadi faktor penyebabnya. Faktor penyebab timbulnya kejahatan secara umum akan memperlihatkan banyaknya variasi serta bermacam-macam aspek yang mendukung sehingga terjadinya suatu kejahatan contohnya pada tindak pidana pencurian kayu dihutan, perambahan hutan dan penyalahgunaan Surat Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Hal semacam ini merupakan tantangan yang berat dalam upaya mengembalikan fungsi hutan tersebut, karena pada akhirnya pemerintah dan masyarakat yang harus memikul tanggungjawab pemulihan dan merasakan dampaknya. Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan (Selanjutnya dapat juga disebut Undang-Undang Kehutanan), juncto Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan bertanggung jawab atas perlindungan hutan, penegakan

4 hukum dibidang kehutanan mengharapkan para pengusaha hutan dan warga masyarakat dan aparat yang terkait bersikap sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, tetapi sebaliknya apabila ada pelanggaran hukum dibidang kehutanan ini maka pelanggar tersebut diproses berdasarkan hukum yang berlaku ditindak atau dikenakan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya. Pelaku tindak pidana penyalahgunaan atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan Surat Keteragan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dapat diancam dengan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) dan (15) Undang-Undang Kehutanan. Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengangkut, menguasai dan memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Untuk merealisasikan ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h tersebut, maka dalam Pasal 78 Undang-Undang Kehutanan mengatur mengenai ketentuan sanksi hukumnya, yaitu dalam ayat (7) barangsiapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00,- (Sepuluh Milyar Rupiah). Sedangkan dalam ayat (15) menyatakan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

5 Peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan tersebut dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum dan menjatuhkan hukum sanksi pidana bagi pelaku yang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Penjatuhan sanksi pidana tersebut bertujuan dengan tepat dan proporsional dalam rangka upaya penanggulangan kejahatan dibidang kehutanan, maka petugas dalam penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku harus mempertimbangkan berbagai aspek substansi sanksi pidana dari peraturan tersebut. Disini dapat lihat adannya proses sistem peradilan pidana dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam sistem peradilan pidana penjatuhan sanksi dilakukan oleh Majelis Hakim yang mempunyai kebebasan dalam menjatuhkan sanksi pidana yaitu terdapat pada setiap keputusannya. Penjatuhan sanksi pidana oleh Majelis Hakim terkadang tidaklah memberikan suatu sifat yang preventif terhadap pengelolaan, pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan hutan. Sebagai contoh Putusan Perkara Nomor 150/Pid.B/2007/PN.Kld, Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan 6 (enam) bulan.

6 Berdasarkan contoh pada perkara pidana diatas Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa masih dirasakan ringan, sehingga hal tersebut tidak membuat jera bagi palaku lain untuk melakukan tindak pidana, padahal dalam Pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Kehutanan telah dengan jelas disebutkan bahwa pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00,- (sepuluh milyar rupiah) Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana dibidang Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), merupakan salah satu upaya penanggulangan tindak pidana. Berdasarkan kenyataan yang ada untuk menanggulangi tindak pidana dibidang kehutanan, maka para pelaku harus dikenai atau dijatuhi sanksi yang berat supaya para pelaku menjadi jera atas perbuatannya, serta sebagai terapi agar perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan pihak lain. Pemberian sanksi pidana oleh Majelis Hakim yang diangap terlalu ringan akan memberikan dampak negatif yaitu munculnya pelaku-pelaku yang lain untuk melakukan pemalsuan dan penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dalam pengelolaan hasil hutan, karena penjatuhan sanksi yang relatif ringan. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana mempunyai kebebasan dan pedoman pemidanaan, tidak hanya menegakkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, selain itu pula mempertimbangkan tujuan dan kemanfaatan sosial pemidanaan tersebut.

7 Hakim dalam memutuskan perkara tersebut mempunyai kebebebasan untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana yang terdapat dalam setiap keputusannya, namun kebenarannya ini tidak berarti bahwa hukum boleh menjatuhkan pidana menurut kehendaknya sendiri. Dalam rangka pengelolaan hutan perlu dilakukan upaya yang lebih intensif supaya pelestarian lingkungan hidup dapat terpelihara sampai pada generasi yang akan datang. Penegakan hukum yang telah dilakukan oleh aparat memiliki berbagai hambatan baik dari segi peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, fasilitas (sarana dan prasarana) yang kurang mendukung, kurangnya kesadaran hukum masyarakat mengenai fungsi dan manfaat hutan bagi kelangsungan lingkungan hidup. Berbagai faktor penghambat tersebut, praktik penebangan liar ataul illegal logging dapat terus berlangsung karena ada tiga pihak yang terkait yaitu pelaku dilapangan, penadah kayu curian, dan oknum aparat yang menyalahi kewenangannya melindungi pelaku dengan memberikan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) palsu demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Berdasarkan uraian tersebut upaya hukum penanganan terhadap pelaku harus diproses secara dan dikenakan sanksi pidana dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berdasarkan alasan-alasan diatas peneliti tertarik untuk menjelaskan secara rinci dan sistematis melalui penelitian dan analisis terutama mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan

8 Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penyalahgunaan SKSHH dengan melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul : Pertanggung Jawaban Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Pada Pengadilan Negeri Kalianda). B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka dalam penelitian ini permasalahan yang dirumuskan dan di cari permasalahan nya secara ilmiah. Beberapa permasalahan adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH)? b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)? 2. Ruang Lingkup Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan, sedangkan ruang lingkup materi penelitian yang akan dikaji meliputi: a. Pertanggung jawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

9 b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya hasil Hutan (SKSHH). C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk menganalisis pertanggung jawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). b. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna secara teoritis maupun secara praktis. a. Secara teoritis Penelitian ini berguna sebagai peningkatan kompetensi dalam kegiatan pengembangan ilmu atau proses pembelajaran, terutama dalam hal studi pustaka dan pengembangan kemampuan menulis, meneliti dan analisis permasalahan yang timbul pada upaya pertanggung jawaban dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

10 b. Secara Praktis 1. Sebagai sumbangan pikiran dari peneliti bagi penegak hukum dan pemerintah dalam pengelolaan hasil hutan 2. Sumber bacaan bagi yang berminat pada kajian hukum pidana khususnya dibidang kehutanan. 3. Karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan pihak lain sebagai bahan penyuluhan dan pengayaan dibidang kehutanan D. Kerangka Teoritas dan Konseptual 1. Kerangka Teoritas Teori yang dipakai untuk menjadi acuan dalam menjawab masalah dalam penelitian diatas dikaji secara hakiki berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Hal ini berarti teori pertanggung jawaban pidana digunakan dalam menganalisis bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku. Perbuatan yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schute hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Menjawab permasalahan yang timbul maka dapat dipakai sebagai acuan teori pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut

11 hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) unsur : ( Andi Hamzah, azas-azas hukum pidana: 1994:130). a. Pembuat, dapat dipertanggung jawabkan - Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. - Kelakuan yang sengaja b. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealfaan : culva, schute in enge zin) c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat unsur (toerekenbaar heid). Pertanggung jawaban pidana adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukan, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang harus ada kesalahan. Dalam hukum pidana ada dua macam kesalahan yaitu sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (culfa) a. Kesengajaan (dolus / opzet) Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana yaitu: 1. Kesengajaan untuk mencapai sesuatu kesengajaan yang dimaksud / tujuan / dolus directus. 2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (kesengajaan dengan kepastian)

12 3. Kesengajaan seperti sub diatas, tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian, bahwa suatu akibat akan terjadi (kesengajaan dengan kemungkinan) b. Kurang Hati-hati (kealpaan / culfa) Kurang hati-hati / kealpaan (culfa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi. (Wirjono Projodikoro Azas-azas pidana Indonesia: 1981 : 61). Sistem peradilan pidana merupakan proses pidana atau proses pemberian sanksi pidana bagi yang melanggar aturan hukum pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kesalahan yaitu suatu perbuatan yang melanggar norma (hukum) dimana tidak adanya unsur pemaaf dan pembenar. Sedangkan untuk dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan pada orang tersebut artinya secara yuridis tidak ada alasan pemaaf seperti yang diatur dalam Pasal 44 dan 48 KUHP, maupun alasan pembenar seperti yang diisyaratkan Pasal 49, 50 dan 51 KUHP. Menurut D. Simon ( 1990: 40) starfbaar feit atau tindak pidana adalah: a. Perbuatan manusia, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan, (positif atau negatif) b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteid) c. Melawan hukum (on rechmatig)

13 d. Dilakukan dengan kesalahan (met shuld inverband stand) e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekening vatbaar persoon) Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Ketentuan pidana Pasal 50 ayat (3) huruf h, juga terdapat dalam Pasal 78 Undang- Undang Kehutanan yang mengatur mengenai ketentuan sanksi hukumnya pada ayat (6) barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000, 00 (sepuluh milyar rupiah). Sedangkan dalam ayat (14) menyatakan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. 2. Konseptual Konseptual memberikan pengertian,memudahkan dan menjaga supaya tidak terjadinya kesimpangsiuran penafsiran terhadap judul penelitian ini, maka dikemukakan penjelasan batasan istilah yang dipakai, yaitu : a. Analisis Yuridis adalah tipe kajian yang paling berbobot dari segi akademik dan teknik perundang-undangan karena kondisi objektif dan

14 nyata dilapangan dijadikan bahan analisis dan pembahasan. (Abdulkadir Muhammad : 2004 : 43) b. Pertanggung jawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukan. c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa melanggar larangan tersebut. d. Penjatuhan sanksi adalah tindakan hukum yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu kajahatan atau pelanggaran. (Moelyatno: 1993 : 04) e. Sanksi pidana adalah alat pemaksa dalam menegakan hukum. (R. Subekti : 1993 : 101) f. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Undang-Undang Kehutanan ) g. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan. h. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen yang berisi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sesuai dengan keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volumenya dan dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang.

15 E. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini disusun secara keseluruhan dengan tujuan mempermudah dalam mempelajarinya, sehingga ditentukan sistematika penulisan. Maka tulisannya disusun ke dalam Lima (V) bab dengan sistematika Sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah dan ruang Lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teroris dan konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian SKSHH, tindak pidana SKSHH, hak-hak Pelaku dalam sidang di Pengadilan. Sidang Pengadilan SKSHH dan macam-macam sanksi hukum yang Diberikan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan SKSHH yang melakukan tindak Pidana. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini diuraikan mengenai jenis penelitian, pendekatan masalah, sumber dan jenis data SKSHH. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hak-hak Terdakwa SKSHH dalam Sidang Pengadilan

16 1. Kasus posisi perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld Atas nama terdakwah Mr. X. 2. Hak-hak terdakwa dalam sidang Pengadilan Kalianda dalam perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld 3. Putusan Pengadilan dalam perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld B. Faktor-faktor penghambat hak-hak terdakwa dalam sidang Pengadilan. Bab V Penutup Yang berisikan Kesimpulan dan Saran Sebagai bab penutup penulisan tesis ini dikemukakan tentang bseberapa pokok kesimpulan dari bab-bab terdahulu, sehingga akan tampak jelas bentuk penulisan tesis ini, dan selanjutnya penulis memberikan saran-saran dalam penulisan tesis ini.