1 TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELUARGA DENGAN ANAK BALITA YANG MENDERITA ISPA Ayu Puspita Sari 1, Poppy Fitriyani 2 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat 16424 Email: ayupuspita92@gmail.com Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan anak balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Penelitian ini melibatkan 92 ibu dengan anak balita ISPA sebagai responden yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap ISPA (63%), sikap yang negatif terhadap ISPA (54,3%), dan perilaku keluarga dalam merawat balita dengan ISPA yang tergolong baik (51,1%). Penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk lebih meningkatkan promosi kesehatan tentang ISPA kepada keluarga. Kata kunci: Balita, ISPA, keluarga, pengetahuan, perilaku, sikap Abstract This study purposed to describe knowledge level, attitude, and behavior s family with children who had suffer Acute Respiratory Infections (ARI) in working area of Puskesmas Pancoran Mas Depok. This study involved 92 mothers with children who had suffer ARI as respondents who were taken by using purposive sampling technique. Results showed that most families have a high knowledge of the ARI (63%), negative attitudes towards the ARI (54.3%), and the behavior of the family in caring for children with ARI are classified as good behaviour (51.1%). This research can be used as a basic data to enhance health promotions about ARI to family. Keywords: Children, ISPA, family, knowledge, behavior, attitude Pendahuluan ISPA masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat saat ini. ISPA termasuk salah satu masalah besar yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan angka kesakitan dan kematian akibat ISPA masih tinggi terutama pada balita. Salah satu jenis penyakit ISPA yang berbahaya adalah pneumonia. Pada tahun 2008, diperkirakan dari 8,8 juta kematian anak
didunia, 1,6 juta anak mengalami kematian akibat pneumonia (WHO, 2010). Menurut Riskesdas (2007), dari tahun ke tahun pneumonia selalu menempati peringkat atas yang menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia juga merupakan penyebab kematian kedua setelah diare. Rata-rata 83 balita meninggal setiap hari karena pneumonia (Kemenkes, 2010). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka kejadian ISPA di provinsi Jawa Barat sebesar 24,73%. Data ini menunjukkan bahwa masih tingginya kasus ISPA yang terjadi di Indonesia khususnya Jawa Barat. Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas Pancoran Mas tahun 2011, didapatkan angka kesakitan ISPA pada balita yaitu 9,68%. Hasil wawancara salah satu ibu dengan anak balita yang ISPA, mengatakan bahwa ISPA merupakan penyakit yang tidak berbahaya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang membawa anak balitanya ke puskesmas masih mempunyai pengetahuan yang rendah tentang bahaya ISPA. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu mengenai kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada anggota keluarga khususnya balita. Belum diketahui secara pasti tingkat pengetahuan, sikap, dan 2 perilaku keluarga pada anak balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Hal ini membuat peneliti ingin mengetahui lebih rinci bagaimana gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan balita mengenai ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survey deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan anak balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Sampel penelitian ini adalah ibu dengan anak balita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Perhitungan jumlah sampel penelitian menggunakan rumus didapatkan sebanyak 92 responden. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur penelitian berupa kuesioner. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan balita ISPA adalah analisis univariat. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata- rata usia responden adalah 29,66 tahun. Selain itu, hasil penelitian ini mendapatkan rata-rata usia
balita dengan ISPA adalah 28,36 bulan. Karakteristik lain responden dan balita dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1. Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok (n=92) Variabel Frekuensi Persentase (%) Suku Betawi 37 40,2 Jawa 23 25,0 Sunda 24 26,1 Lain-lain 8 8,7 Pekerjaan Pegawai swasta 5 5,4 Wiraswasta 4 4.3 Ibu rumah tangga 83 90,2 Penghasilan < UMR Depok 2013 68 73,9 UMR Depok 2013 24 26,1 Pendidikan SD 6 6,5 SMP 26 28,3 SMA 52 56,5 Perguruan Tinggi 8 8,7 Tabel 2. Karakteristik Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok (n=92) Variabel Frekuensi Persentase (%) Status Gizi Kurus sekali 5 5,4 Kurus 9 9,8 Normal 76 82,6 Gemuk 2 2,2 Status Imunisasi Mendapatkan imunisasi Tidak mendapatkan imunisasi 88 95,7 4 4,3 Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga mengenai ISPA dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok (n=92) Kategori Frekuensi Persentase (%) Pengetahuan Tinggi 58 63 Rendah 34 37 Sikap Sikap positif 42 45,7 Sikap negatif 50 54,3 Perilaku Perilaku baik 47 51,1 Perilaku kurang baik 45 48,9 Pembahasan Karakteristik keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata responden berusia 30 tahun atau masuk dalam kategori dewasa awal. Pada tahapan usia dewasa awal, kemampuan kognitif individu berada pada tahap yang maksimal dimana individu mudah mempelajari, melakukan penalaran logis, berpikir kreatif, dan belum terjadi penurunan ingatan (Potter & Perry, 2005). Beberapa penelitian tidak menyertakan data demografi suku. Dalam hal ini, tempat penelitian dapat menentukan karakteristik demografi suku yang dianut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dengan anak balita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok yang menjadi responden hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purwanti (2004) yang juga mendapatkan sebagian besar ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. 3
Pada dasarnya, ibu-ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mengurus anaknya dan merawat jika anaknya sakit. Martha (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ibu yang bekerja tidak mempunyai waktu untuk membawa balitanya yang sakit ke pelayanan kesehatan. Hal ini bisa disebabkan oleh kesibukannya dalam pekerjaan, sehingga tidak ada waktu untuk memberikan perawatan dan pencarian pengobatan pada balita yang ISPA. Penghasilan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Sebagian besar responden memiliki penghasilan dibawah UMR kota Depok tahun 2013 yaitu sebesar Rp 2.042.000. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki penghasilan yang rendah. Cabaraban (1998) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pendapatan keluarga sangat menentukan kejadian ISPA pada balita. Temuan Luque, Whiteford, and Tobin (2008), menyatakan ada hubungan antara produktifitas gaji yang diatas rata-rata dengan pola pencarian bantuan di pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan status sosial ekonomi keluarga dapat menentukan tingkat keparahan ISPA pada balita. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pendidikan responden adalah SMA. Pendidikan 4 SMA dapat digolongkan sebagai tingkat pendidikan yang cukup tinggi karena telah menyelesaikan pendidikan diatas 9 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hidayati (2011) yang juga mendapatkan sebagian besar keluarga di wilayah Puskesmas Pancoran Mas depok sudah memiliki tingkat pendidikan yang tinggi yaitu SMA dan perguruan tinggi. Hasil penelitian Hananto (2004) mendapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada balita. Hasil penelitian Martha (1996) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan keluarga, maka akan semakin besar kemungkinan menggunakan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini tingkat pendidikan mempengaruhi keluarga dalam memberikan penanganan tanggap pada balita dengan segera membawa balita ke pelayanan kesehatan. Sehingga kejadian ISPA dapat ditangani dengan cepat. Karakteristik Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia balita terbanyak yang menderita ISPA adalah 11 bulan. Anak usia di bawah 5 tahun merupakan kelompok umur yang rentan dan berisiko tinggi terhadap masalah ISPA (Cabaraban, 1998). Hal ini diperkuat oleh penelitian Said, dkk (1990) yang menyatakan bahwa penyakit infeksi pernapasan tertinggi terjadi pada umur 6-12
bulan, sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan lebih besar pada balita berusia dibawah 1 tahun. Menurut Wong, et al (2008), bayi dan anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 3 tahun lebih mudah terkena infeksi pernapasan akut dibandingkan anakanak yang lebih besar. Semakin muda usia balita, maka semakin mudah terserang ISPA dikarenakan imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang sempit (Sumargono, 1989). Oleh karena itu, usia mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh seseorang terhadap penyakit infeksi pernapasan. Hasil penelitian ini mendapatkan angka status gizi buruk-kurang yang lebih kecil dari penelitian Suyadi (2009) di wilayah Puskesmas Pancoran Mas Depok. Hasil penelitian ini juga lebih kecil bila dibandingkan dengan prevalensi gizi buruk-kurang nasional (Depkes, 2011). Hasil penelitian Rahmawati (2004) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA, semakin baik status gizi balita maka semakin besar peluang tidak menderita ISPA. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar balita sudah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai tahapan usia. Penelitian yang dilakukan oleh Sievert (1993), menyatakan bahwa 5 imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA. Imunisasi merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menurunkan angka kesakitan akibat pneumonia (Depkes, 2000). Oleh karena itu, salah satu pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian balita akibat ISPA adalah dengan pemberian imunisasi. Tingkat Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang ISPA. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Gobel (2003) yang mendapatkan sebagian besar keluarga sudah mempunyai pengetahuan yang baik terhadap perawatan balita dengan ISPA. Temuan Rhiza dan Shobur (2008) juga mendapatkan hasil yang sama yaitu sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik tentang pneumonia. Namun, hasil penelitian berbeda dari temuan Mudrikatin (2012) yang mendapatkan sebagian besar responden berpengetahuan kurang tentang ISPA. Tingkat pengetahuan ibu tentang kesehatan khususnya ISPA sangat menentukan status kesehatan anggota keluarganya (Cabaraban, 1998). Hal ini menunjukkan sangat pentingnya pengetahuan tentang kesehatan bagi ibu dalam keluarga.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, dan penghasilan. Faktorfaktor tersebut menyebabkan perbedaan pengetahuan individu yang satu dengan yang lain. Usia responden rata-rata berada pada rentang usia dewasa awal yaitu 30 tahun, dimana kemampuan kognitif individu berada pada tahap yang maksimal pada usia ini. Selain itu, hal ini didukung oleh sebagian besar responden yang berpendidikan menengah keatas. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan refleksi dari pendidikan yang diterima seseorang, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka pola pikir dan pemahaman seseorang dalam menerima informasi akan semakin baik. Menurut hasil wawancara, beberapa responden sering mendapatkan informasi kesehatan (penyuluhan) yang dilakukan oleh petugas kesehatan di puskesmas atau melalui media informasi lain seperti televisi, koran, majalah, dan radio. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan responden. Berdasarkan hasil penelitian Purwanti (2004), masyarakat yang mempunyai pengetahuan rendah berisiko untuk tidak mencari pengobatan pertama ke fasilitas kesehatan 3,59 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi. Hal ini 6 menunjukkan bahwa masyarakat yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang suatu penyakit dan gejalanya. Keluarga seharusnya mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang baik terhadap cara-cara mengenal ISPA dan penyebabnya, mampu mencegah ISPA, mampu meningkatkan kesehatan, dan mampu mencari pengobatan yang sesuai ke pelayanan kesehatan ketika anggota keluarga menderita ISPA. Dengan tingkat pengetahuan keluarga yang baik diharapkan angka kesakitan dan kematian balita akibat ISPA dapat menurun. Sikap Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden cenderung lebih banyak yang memiliki sikap negatif terhadap ISPA. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Mudrikatin (2012) yang mendapatkan bahwa sebagian besar responden berada pada kategori sikap negatif. Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses lanjutannya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek tersebut. Menurut Newcomb, et al (1981), sikap adalah efek yang dirasakan seseorang terhadap suatu objek yang bersifat positif maupun negatif. Sikap positif dalam penelitian ini adalah sikap
yang mendukung terhadap pernyataan yang diberikan dengan respon setuju dan tidak setuju. Sikap terhadap ISPA yaitu respon yang didasari oleh penilaian dan kecenderungan untuk bertindak dalam mencegah sampai merawat balita dengan ISPA. Beberapa studi menunjukkan persepsi keluarga berhubungan dengan peningkatan efektifitas intervensi yang diberikan pada anggota keluarga dengan ISPA (Mtango & Neuvians,1986; Gadomski et al, 1993; Kundi et al, 1993; Bang et al, 1994; Hudelson et al. 1995 dalam Holloway et al, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa sikap ibu akan berdampak pada perawatan yang diberikan kepada anggota keluarganya yang ISPA. Dengan kata lain, sikap keluarga akan menentukan pemberian perawatan yang tepat pada balita yang ISPA. Perilaku Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan anak balita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok memiliki perilaku yang baik terhadap ISPA walaupun hasilnya hampir sama antara perilaku baik dan kurang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan Gobel (2003) yang melakukan penelitian terhadap perilaku keluarga dalam merawat balita ISPA di desa Waru Jaya, Bogor. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan keluarga memiliki perilaku yang baik dalam merawat 7 balita dengan ISPA. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Riza dan Shobur (2008) tentang tindakan ibu terhadap kejadian pneumonia yang mendapatkan lebih banyak keluarga dengan kategori baik. Dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian juga mendapatkan sebagian besar keluarga yang sudah memiliki perilaku yang baik terhadap ISPA. Beberapa upaya agar masyarakat berperilaku baik atau mengadopsi perilaku kesehatan yang baik dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, atau memberikan kesadaran melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu dengan anak balita tentang besarnya masalah ISPA dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola makanan sehat, penurunan faktor risiko-lain seperti mencegah berat-badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah (Said, 2010). Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan: 1. Karakteristik keluarga menunjukkan bahwa ibu dengan anak balita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok paling banyak berusia 30 tahun (dewasa awal), berasal dari suku betawi, tidak bekerja, memiliki penghasilan dibawah UMR, dan berpendidikan SMA. 2. Balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok sebagian besar berusia 11 bulan, memiliki status gizi yang normal, dan sudah mendapatkan imunisasi sesuai usia. 3. Sebagian besar keluarga dengan anak balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang ISPA. 4. Keluarga dengan anak balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok lebih banyak yang memiliki sikap yang negatif terhadap ISPA. 5. Keluarga dengan anak balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok memiliki perilaku yang baik dan tidak baik terhadap ISPA dengan jumlah yang hampir sama. Penelitian ini dapat memberikan implikasi bagi pengembangan ilmu keperawatan melalui penyediaan data dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini mendapatkan tingkat pengetahuan keluarga 8 tentang ISPA sudah tinggi, namun sikap dan perilaku keluarga terhadap ISPA masih buruk. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan atau masukan dalam merancang program intervensi pada keluarga terkait ISPA. Penelitian ini hanya sebatas melihat gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan balita ISPA. Penelitian lain dapat mengembangkan dengan meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga dengan anak balita yang menderita ISPA. Ucapan Terima Kasih Poppy Fitriyani, S.Kp., M.Kep. Sp.Kep.Kom. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan. Orang tua tercinta dan semua pihak yang telah mendukung dan memotivasi selama proses penelitian. Referensi Cabaraban, M.C. (1998). Home management of acute respiratory infections: A challenge to the family and the community. The International Journal of Sociology and Social Policy,18, 102-126. Gobel, S. (2003). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga dalam merawat balita dengan ISPA dalam konteks pelayanan keperawatan komunitas di
Desa Waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia. Hananto, M. (2004). Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di 4 provinsi di Indonesia. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hidayati, R.N. (2011). Hubungan tugas kesehatan keluarga,karakteristik keluarga dan anak dengan status gizi balita di wilayah Puskesmas Pancoran Mas kota Depok. Tesis Progran Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Holloway, K.A, et al. (2009). Community intervention on treatment of acute respiratory infection in Nepal. Journal Tropical Medicine and International Health, 14(1), 101 110. Kementrian Kesehatan RI. (2010). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010. Luque, J. S., Whiteford, L. M., & Tobin, G. A. (2008). Maternal recognition and health careseeking behavior for acute respiratory infection in children in a rural ecuadorian county. Maternal and Child Health Journal, 12(3), 287-97. 9 Martha, E. (1996). Hubungan karakteristik sosial, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan ibu dengan perilaku penggunaan pelayanan kesehatan bagi balita sakit ISPA (Studi di Kabupaten Indramayu). Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Mudrikatin, S. (2012). Pengaruh tingkat pengetahuan keluarga terhadap penanggulangan infeksi saluran pernapasan bagian atas pada balita di Puskesamas Desa Jabon Jombang. Jurnal Sain Med, 4(1), 11-16. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pender, N.J., Murdaugh, C.L., and Parsons, M.A. (2006). Health promotion in nursing practice. New Jersey: Pearson Education Inc. Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik Vol.1/Ed.4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Purwanti, E,I. (2004). Hubungan pengetahuan dan sikap dengan pencarian pengobatan pertama penderita pneumonia pada balita di kabupaten Majalengka tahun 2003. Tesis
Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Rahmawati, D. (2008). Hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di URJ anak RSU dr. Soepomo Surabaya. Buletin Penelitian RSU Dr. Soetomo Vol 10, No 3. Sept 2008. Riza, M. dan Shobur, S. Hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu dengan kejadian pneumonia pada balita di IRNA anak RSMH Palembang tahun 2008. Jurnal Pembangunan Manusia 8(2). Said, M. (2010). Pengendalian pneumonia anak balita dalam rangka pencapaian MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi (3), 16-21. 10 Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Suyadi, E.S. (2009). Kejadian kurang energi protein balita dan faktor-faktor yang berhubungan di wilayah Kelurahan Pancoran Mas Kota Depok 2009. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Wong, et al. (2008). Keperawatan pediatrik. Vol.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. World Health Organization. (2010). World health statistics. Ge-neva: WHO. Sumargono, J. (1989). Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya ISPA di