BAB I PENDAHULUAN Bab satu ini membahas tentang latar belakang permasalahan mengenai assesment afektif yang merupakan penilaian pada jenjang pendidikan selain penilaian kognitif dan psikomotor. Pada sub bab selanjutnya pun akan dibahas pula mengenai fokus penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis, dan adanya penegasan istilah yang berfungsi untuk memperjelas istilah pada permasalahan yang ada. A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 Pasal 63 ayat 1 penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan (c) penilaian oleh pemerintah, Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk mengetahui keberhasilan pada proses hasil belajar peserta didik dan memantau proses perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester atau ulangan kenaikan kelas. Penilaian digunakan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar pada mata pelajaran tertentu yang telah di capai oleh peserta didik dalam proses suatu pembelajaran. Sedangkan Suharsimi (2009) mengatakan penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk yang bersifat kualitatif. 1
Rumusan tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor, kognitif adalah ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Psikoomotor adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatan atau ketrampilan motorik, Sedangkan Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi, (Degeng, 2001). Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang, tapi memiliki perilaku baik. Hampir tidak ada peserta didik yang kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan melakukan pekerjaan rendah, dan perilaku kurang baik, karena setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat. Tuntutan pada kurikulum pada saat ini penilaian harus mengarah pada kompetensi siswa, kompetensi yang dimaksud pada kurikulum adalah kemampuan yang dapat dilakukan peserta didik yang mencakup pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan perilaku (afektif). Ketiga ranah tersebut hampir dimiliki oleh setiap mata pelajaran, oleh karena itu penilaian 2
harus mengacu pada pencapaian standar kompetensi siswa. Untuk mengetahui perkembangan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang di harapkan maka harus didukung oleh instrumen penilaian yang sesuai dengan karakteristik tujuan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di beberapa SMA menunjukkan bahwa penilaian hasil belajar lebih menitik beratkan pada aspek kognitif, terbukti dengan beberapa tes yang diselenggarakan di sekolah baik lisan maupun tulis lebih banyak pada pengungkapan kemampuan aspek kognitif saja sedangkan pada penilaian afektif tidak memperhatikan kreteria penilaian afektif, terbukti bahwa pendidik dalam memberi nilai pada aspek afektif dan aspek psikomotor sering disamakan dengan nilai pada aspek kognitif. Pendidik beranggapan bahwa apabila nilai kognitif siswa baik maka nilai afektifnya juga baik, padahal ketiga aspek penilaian tersebut mempunyai karakter dan bentuk penilaian yang sangat berbeda, ini menunjukkan bahwa penilaian pada aspek afektif dan aspek psikomotor dilakukan tanpa acuan yang jelas. Popham (1996) mengatakan ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Peserta didik yang berminat dalam suatu mata pelajaran akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal artinya ketiga ranah kognitif, psikomotor dan afektif tercapai. Sehingga semua pendidik harus mampu 3
membangkitkan minat peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat belajar yang tinggi untuk mencapai keberhasilan, semangat kebersamaan, rasa sosial, dan rasa tanggungjawab. Untuk itu dalam merencanakan program pembelajaran, satuan pendidikan harus selalu memperhatikan ranah afektif. Para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik melalui penilaian afektif. Menurut direktorat pembinaan SMA (2010:44) menyebutkan : Hasil supervisi dan evaluasi tentang keterlaksanaan KTSP tahun 2009 menunjukkan bahwa masih banyak pendidik yang kesulitan dalam menentukan model penilaian yang sesuai dengan tahapan berfikir ranah afektif dan menyiapkan perangkat penilaian ranah afektif serta melaksanakan penilaian secara objektif dan proporsioal. Di samping itu, panduan penilaian afektif yang diterbitkan oleh BSNP kurang operasional dan tidak dilengkapi dengan contoh-contoh, sehingga pendidik yang tidak mengikuti pelatihan khusus tidak dapat mengerjakan secara mandiri, dengan menggunakan panduan dimaksud. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan pendidik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penilaian afektif dan belum adanya panduan lain yang dilengkapi dengan petunjuk teknis dan contoh-contoh yang memadai. Masyarakat kita sekarang ini beranggapan bahawa ukuran pendidikan adalah nilai kognitif yang tinggi, nilai afektif dan psikomotor kurang dapat perhatian terbukti jika anaknya mendapat nilai matematika, fisika, kimia, biologi atau lainnya yang kurang mereka sibuk mencarikan tambahan pelajaran atau bimbingan belajar, padahal ukuran kecerdasan seseorang tidak hanya pada ranah kognitif. Pendidikan yang hanya menciptakan kemampuan kognitif tanpa membangkitkan hati nurani atau sikap (afektif) akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan 4
kehidupan. Sering terjadi penyimpangan dikalangan pelajar dalam bersosialisasi dengan masyarakat, banyak pelajar yang pandai, kreatif, kritis, dan inovatif tetapi cenderung egois, pemalas, kurang peduli sesama, tidak disiplin, dan cenderung anarkis padahal sangat diharapkan bahwa peserta didik natinya akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri kepribadian negara Indonesia. Komponen penilaian afektif yang tercantum dalam permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan meliputi : (1) Memiliki keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran agama masing-masing yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, (2) Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya, (3) Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam bidang pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan, (4) Menganalisis sikap positif terhadap penegakan hukum, peradilan nasional, dan tindakan anti korupsi, (5) Mengevaluasi sikap berpolitik dan bermasyarakat madani sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sikap cermat dan menghargai hak atas kekayaan intelektual, (6) Menunjukkan sikap toleran dan empati terhadap keberagaman budaya yang ada di masyarakat setempat dalam kaitannya dengan budaya nasional, (7) Menunjukkan sikap peduli terhadap bahasa dan dialek, (8) Menunjukkan sikap kompetitif, sportif, dan etos kerja untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam bidang iptek. Sedangkan menurut Benyamin Bloom komponen penilaian afektif meliputi aspek : (1) Kemauan menerima, (2) 5
Kemauan menanggapi, (3) Berkeyakinan, (4) Penerapan dalam kehidupan sehari-hari, (5) Ketekunan, ketelitian. Menilai adalah tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik, penilaian aspek afektif pada tiap mata pelajaran harus melihat pokok bahasan atau indikatornya kemudian merancang unsur-unsur yang akan dinilai dan membuat format penilaian yang sesuai dengan aspek ranah afektif sehingga penilaian afektif sesuai dengan harapan, tidak disamakan dengan nilai kognitif atau psikomotor. Pada proses penilaian afektif pada umumnya pendidik membuat rubrik penilaian kemudian melakukan pengamatan tiap individu tentang sikap dan emosi peserta didik pada saat proses belajar mengajar atau pada saat kegiatan tes. Penilaian di SMA Negeri 1 Kebomas mengarah pada kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik yang mencakup pengetahuan (kognitif), ketrampilan (psikomotor) dan perilaku (afektif). Untuk penilaian kognitif dengan melakukan tes berupa ulangan harian, ulangan tengan semester, ulangan semester, tugas individu dan tugas kelompok. Untuk penilaian psikomotor dilakukan pada saat praktek, karena tidak semua mata pelajaran memiliki aspek psikomotor maka untuk praktek hanya dilakukan oleh mata pelajaran tertentu. Penilaian aspek afektif beberapa pendidik melakukan dengan cara mengamati peserta didik pada saat proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar pengamatan, pengamatan yang dilakukan pendidik adalah dengan melihat kondisi peserta didik saat pelajaran berlangsung, jika 6
peserta didik duduk dengan tenang dan memperhatikan diberi nilai bagus, sedangkan siswa yang duduknya tidak tenang diberi nilai kurang, dan ada juga yang memberi nilai afektif disamakan dengan nilai kogbitif. Kondisi ini menunjukkan penilaian afektif dilakukan tidak menggunakan prosedur penilaian yang sebenarnya, sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Penilaian aspek afektif dalam penelitian ini dilakukan oleh peserta didik sendiri tidak oleh pendidik. Dengan mengamati dirinya sendiri dan bantuan lembar model penilaian afektif unsur kejujuran dan tanggung jawab pada peserta didik yang dikembangkan pada kurikulum pendidikan karakter bangsa akan lebih terlihat, apabila penilainan model ini dilakukan berulang maka peserta didik akan terbiasa dan akan muncul sifat-sifat kejujuran dan tanggungjawab yan dimiliki oleh siswa. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian tentang Pengembangan model assesment afektif yang berbasis self assesment dan peer assesment di SMA Negeri 1 Kebomas Gresik. B. Fokus Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas maka fokus penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penerapan asessmen afektif di SMA Negeri 1 Kebomas?. 2. Bagaimana penerapan self asessmen dan peer asessmen dalam penilaian afektif di SMA Negeri 1 Kebomas?. 3. Bagaimanakah pengembangan model asessmen afektif berbasis self asessmen dan peer asessmen di SMA Negeri 1 Kebomas?. 7
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian pengembangan ini adalah: 1. Mendiskripsikan asessmen afektif di SMA Negeri 1 Kebomas. 2. Menjelaskan self asessmen dan peer asessmen dalam penilaian afektif di SMA Negeri 1 Kebomas. 3. Mengembangkan model asessmen afektif berbasis self asessmen dan peer asessmen di SMA Negeri 1 Kebomas. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat di dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada pengembangan model penilaian, khususnya penilaian afektif berbasis karakter dan juga sebagai ide awal untuk mengembangkan model penilaian pada aspek yang lain. 2. Secara Praktis a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini sangat membantu dalam penilaian aspek afektif pada saat proses pembelajaran. b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman model asessmen afektif bagi pendidik di SMA Negeri 1 Kebomas, khususnya pada mata pelajaran matematika, karena model penilaian afektif ini lebih obyektif dan tidak tergantung dengan nilai kognitif dan psikomotor. c. Bagi dinas pendidikan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam melakukan perbaikan kurikulum terutama pada 8
penilaian, karena kurikulum saat ini adalah kurikulum yang berbasis karakter sehingga diperlukan model asessmen afektif berbasis self evaluation dan peer evaluation bagi siswa. E. Penegasan Istilah Beberapa istilah utama yang berkaitan dengan masalah penelitian ini didefinisikan secara operasional sebagai berikut : 1. Model Model yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bentuk spesifik yang merupakan representasi visual dari seperangkat prosedur yang disusun secara berurutan dengan tujuan untuk mewujudkan suatu proses dan hasil. Seperangkat prosedur diartikan sebagai sejumlah alat dan cara yang tergabung dalam suatu kesatuan model yang dimaksud yaitu model penilaian. 2. Assesment (Penilaian). Suharsimi (2009) mengatakan penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk yang bersifat kualitatif. Sedangkan Rusli (2000) penilaian termasuk pelaksanaan tes dan evaluasi. Asessment bertujuan untuk menyediakan informasi yang selanjutkan digunakan untuk keperluan informasi. Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka atau deskripsi verbal), analisis, dan interpretasi untuk mengambil keputusan. Sedangkan penilaian pendidikan adalah proses 9
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkahlangkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian dilaksanakan melalui berbagai bentuk antara lain: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri. 3. Afektif Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Sedangkan Djemari (2004:3) orang yang tidak memiliki minat pada mata pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan studi secara optimal. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif pelajaran akan merasa senang mempelajari pelajaran tersebut, sehingga diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran disekolah, motivasinya 10
yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap pendidik. 4. Self Assesment. Penilaian oleh peserta didik (self assesment) adalah sebuah teknik penilaian yang dilakukan oleh peserta didik (siswa) dalam menilai, menggali, menemukan dan mengemukakan tentang kelebihan dan kekurangan dirinya dalam berbagai hal, serta mampu untuk menyikapi dan memperbaiki atas segala kekurangan yang ada serta menguatkan dan mengembangkan lebih lanjut atas segala kekuatan dan kelebihan yang dimilikinya. Terdapat beberapa definisi mengenai penilaian diri di tingkat kelas. Tola (2006: 6) mengatakan penilaian diri di kelas adalah penilaian yang dilakukan sendiri oleh siswa atau guru yang bersangkutan untuk kepentingan pengelolaan kegiatan pembelajaran di kelas. Penilaian diri sendiri merupakan suatu proses penilian formatif selama siswa merefleksikan dan mengevaluasi kualitas pekerjaan dan belajarnya, menilai sejauh mana dia mencapai tujuan yang telah dinyatakan secara eksplisit atau kriteria, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam pekerjaannya Spiller (2009: 3). Jadi intinya bahwa penilaian diri adalah proses penilaian yang melibatkan siswa secara keseluruan dengan rasa tanggung jawab dan sikap jujur yang harus dimiliki oleh siswa untuk menilai kinerjanya sendiri meskipun hasilnya harus dikatakan dengan sebenarnya. 11
5. Peer Assesment. Ada beberapa pengertian tentang penilaian teman sejawat, tetapi intinya adalah suatu penilaian yang melibatkan siswa untuk menilai temannya mengenai kualitas kerja mereka. Penilaian teman sejawat memerlukan para siswa untuk memberikan nilai atau umpan balik pada teman mereka mengenai kinerja atau produk mereka berdasarkan suatu kriteia yang telah dibuat bersama mereka. Beberapa keuntungan penilaian teman sejawat antara lain: 1) Dapat meningkatkan hasil belajar, 2) Dapat meningkatkan kolaborasi belajar melalui umpan balik dari teman sejawat, 3) Siswa dapat membantu temanya dalam pemahaman dan belajar mereka dan merasa lebih nyaman dalam proses belajar, dan 4) Siswa dapat memberi komentar pada kinerja temannya. Terkait dengan penilaian diri dan teman sejawat cocok diterapkan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, Willey & Gardner (2007: 6) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penilaian diri dan teman sejawat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, yaitu dapat meningkatkan hasil belajar dan meningkatkan hasrat mereka untuk belajar. Dalam penelitian lainnya Willey & Gardner (2008; 9) juga menyimpulkan bahwa penilaian diri dan teman sejawat menjadi fasilitas mereka dalam menerima umpan balik yang menguntungan dari teman kelompok mereka, sebagai faktor penentu keberhasilan dalam belajar kelompok mereka. 12