KEBIJAKAN MONETER YANG OPTIMAL: PENERAPAN TARGET INFLASI (Sebuah Telaah Data Sekunder) 1. Nursini

dokumen-dokumen yang mirip
... Bank Indonesia: Langkah-langkah Penguatan Kebijakan Moneter dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga (Inflation Targeting Framework)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya pemulihan pasca krisis moneter , telah dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah

1. PENDAHULUAN. makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pada pertengahan tahun adalah awal dari krisis moneter kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran.

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap suatu perekonomian,

I. PENDAHULUAN. aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi negara terbuka. Keterbukaan ekonomi Indonesia akan membawa konsekuensi pada

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

I. PENDAHULUAN. berhasil menerapkan kebijakan dalam ekonomi. Pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

Masalah uang adalah masalah yang tidak sederhana. Uang berkaitan erat dengan hampir

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang dirumuskan

1. Tinjauan Umum

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

Tugas Bank Indonesia. Kebijakan Sistem Pembayaran. Kebijakan Moneter. Pengawasan Makroprudensial

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan antara lain melalui pendekatan jumlah uang yang beredar dan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter adalah merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter (monetary policy) merupakan komponen kunci kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya Undang-Undang No. 23 tahun 1999, kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara tahun 2008 sampai tahun 2010 kurang stabil (lihat tabel 1.1 dan

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi sudah banyak dilakukan. Untuk mengukur kondisi

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BABI PENDAHULU~ Jumlah uang beredar teramat penting karena peranannya sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. tentang Bank Indonesia, dikatakan bahwa untuk memelihara kesinambungan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3%

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan.

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan Bank Sentral,

PROPOSAL. KAUSALITAS ANTARA TINGKAT SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK UMUM TERHADAP JUMLAH UANG BEREDAR di INDONESIA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. Kebijaksanan moneter mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement), Fasilitas Diskonto,

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai Undang-undang (UU) No. 3 tahun 2004 Pasal 7, tugas Bank

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang

BAB I PENDAHULUAN. Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Permasalahan makro ekonomi yang begitu rumit menjadikan para pengambil

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN. Volatilitas (volatility)berasal dari kata dasar volatile(restiyanto, 2009).

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia.

BABI PENDAHULUAN. Fenomena yang sangat penting di perhatikan oleh pemerintah baik negara

BAB V. Simpulan dan Saran. sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Gambaran Tingkat Suku Bunga, Jumlah Uang Beredar dan Indeks

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan melalui laju pertumbuhan ekonomi, salah satunya ialah

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan

I. PENDAHULUAN. pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian ini menyajikan faktor faktor ekonomi yang mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

Penerapan Kebijakan Moneter dalam Kerangka Inflation Targeting di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. R Serfianto D. Purnomo et al. Buku Pintar Pasar Uang & Pasar Valas (Jakarta, Gramedia 2013), h. 98.

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stabilitas perekonomian suatu bangsa dapat digambarkan dengan stabilitas

Transkripsi:

1 KEBIJAKAN MONETER YANG OPTIMAL: PENERAPAN TARGET INFLASI (Sebuah Telaah Data Sekunder) 1 Nursini Abstract: There are three instrument anchors of monetary policy which have implemented by most countries to obtain their monetary policy objective namely; monetary aggregate (primary base), exchange rate and inflation targeting. Inflation targeting constitutes the new monetary policy instrument which has more advantage than other monetary policy anchors. Indonesia is one of the developing countries have been implemented inflation targeting policy. Based on secondary data analysis about inflation trend during the period 1997-2006, it could be concluded that Indonesia have chosen appropriately monetary policy through inflation targeting. Kata Kunci: Inflation Targeting Monetary Policy Instrumen kebijakan moneter dengan menggunakan intermediate target seperti aggregat moneter atau exchange rate pada umumnya tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Belajar dari ketidakberhasilan yang dilalui dan munculnya teori-teori ekonomi moneter baru, sejumlah negara-negara maju maupun negara sedang berkembang telah merubah paradigma instrumen kebijakan moneter menjadi kebijakan yang lebih diorientasikan pada pencapaian kestabilan harga melalui pengadopsian kerangka inflation targeting (IT). Indonesia sebagaimana halnya dengan negara berkembang lainnya, cukup beralasan untuk menggunakan inflation targeting karena secara kelembagaan telah memenuhi persyaratan yuridis dengan berlakunya Undang-Undang N0.23 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU. N0 3 Tahun 2004 terutama terungkap dalam pasal 7 (memelihara kestabilan nilai rupiah). Berdasarkan UU.N0.23/1999 yang telah diubah menjadi UU No.3 tahun 2004, maka sejak tahun 2000 pada dasarnya BI mengimplementasikan kerangka IT sebagai instrumen kebijakan moneter dengan menggunakan uang primer sebagai sasaran operasional. Kemudian pada Juli 2005 BI telah melakukan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru dan konsisten dengan kerangka IT antara lain; suku bunga rate menjadi sasaran operasional kebijakan moneter. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh BI dalam kerangka IT tersebut adalah cukup menggembirakan, namun tidak berarti bahwa ke depan kebijakan moneter tidak lagi menghadapi sejumlah tantangan yang memungkinkan kebijakan moneter menjadi semakin tidak efektif. IT sebagai alternatif kebijakan moneter perlu dicermati secara lebih arif dan hati-hati karena tidak menutup kemungkinan penerapan IT justru malah menyebabkan ketidakstabilan dari tujuan umum makroekonomi lainnya. Terdapat sejumlah Negara yang berhasil menurunkan tingkat inflasi dan stabil serta berkelanjutan namun tidak secara eksplisit menerapkan kerangka IT (Wang, 2000). Perlu tidaknya mengadopsi kerangka IT sebagaimana telah diterapkan di Negara-negara maju lainnya juga masih menjadi perdebatan di Amerika Serikat. New Zealand adalah Negara pertama yang menerapkan IT namun sampai sekarang masih belajar dan mencari kebijakan moneter yang fleksibel untuk tetap mempertahankan tingkat inflasi yang rendah dan berkelanjutan. Pertanyaan untuk Indonesia adalah Apakah IT merupakan opsi kebijakan moneter yang tepat?.

2 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan data sekunder. Variabel yang diteliti adalah perkembangan inflasi di Indonesia meliputi inflasi berdasarkan IHK, perbandingan antara target dan realisasi inflasi, SBI, dan pertumbuhan uang primer. Hasil telaahan melahirkan suatu pernyataan tentang ketepatan opsi kebijakan moneter tentang penerapan target inflasi. TINJAUAN PUSTAKA Orlowski (2000) menguraikan beberapa keunggulan rejim kebijakan moneter dengan kerangka IT yaitu; (1) dengan inflation targeting, kebijakan moneter mencermati perkembangan inflasi ke depan (forward looking). Berbeda dengan jangkar moneter lainnya seperti nilai tukar dan aggregat moneter yang cenderung backward-looking. (2) IT memberi peluang bagi transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas kebijakan moneter. (3) IT dapat berkontribusi pada pengembangan kelembagaan. Dalam aplikasinya, keberhasilan IT tergantung pada beberapa hal yaitu: Pertama, Bank sentral perlu memiliki pengetahuan yang banyak tentang faktor penyebab inflasi baik bersumber dari faktor internal maupun eksternal dalam setiap tahap pembangunan. Kedua, mekanisme transmisi kebijakan moneter perlu dipahami dengan baik. Pemahaman tentang mekanisme transmisi dapat memudahkan Bank sentral mengembangkan strategi ataupun teknik-teknik yang membantu pelaksanaan kebijakan moneter yang berdasar pada forward looking. Siklos (1998) mengatakan bahwa suatu target inflasi dapat mengatasi persoalan kredibilitas dengan beberapa alasan yakni: (1) target inflasi dapat membantu mengklarifikasi tugas Bank Sentral dan menjadikannya sebagai tujuan tunggal (2) mengadopsi status yang menjamin otonomi Bank Sentral dan tanggungjawab pencapaian target, (3) target inflasi dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi yang merupakan pusat perhatian dalam proses pembuatan keputusan bagi para pelaku ekonomi. Sementara Burhanuddin (2003) memberi tiga ciri IT yakni: (1) kebijakan moneter diarahkan secara eksplisit pada pencapaian target inflasi yang diumumkan secara eksplisit kepada publik. (2) kebijakan moneter dilakukan dengan merespon perkembangan inflasi ke depan (forward looking). (3) kebijakan moneter dilakukan secara transparan dengan akuntabilitas yang terukur. Ketiga ciri-ciri tersebut akan membawa dampak yang positif terhadap efektifitas kebijakan moneter yang tentu saja harus diiringi oleh komitmen yang kuat untuk mencapai target yang diumumkannya. Masson dkk (1998) mengemukakan bahwa terdapat empat proposisi utama mengenai IT yaitu; Pertama, suatu peningkatan jumlah uang beredar (money supply) adalah netral dalam jangka menengah dan panjang. Ini berarti jumlah uang beredar meningkat pada akhirnya hanya meningkatkan harga tanpa merubah output dan kesempatan kerja (employment). Kedua, inflasi yang tinggi dan berubah-ubah adalah mahal baik dalam hal alokasi sumber-sumber maupun pertumbuhan output dalam jangka panjang. Ketiga, uang tidak netral dalam jangka pendek. Dengan kata lain kebijakan moneter mempunyai efek transitori terhadap sejumlah variabel riil, meskipun masih ada pemahaman yang tidak sempurna mengenai ukuran efeknya dan frame waktunya. Keempat, kebijakan moneter mempengaruhi tingkat inflasi dengan lags yang tidak pasti dan selalu berubah-ubah. Keempat proposisi tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah ahli ekonomi untuk melihat dan setuju bahwa IT merupakan sebuah kerangka yang dapat memperbaiki penetapan, implementasi dan pengukuran kinerja kebijakan moneter dibandingkan dengan prosedur yang umum dipakai oleh Bank Sentral yang cenderung tidak transparan dan akuntabel.

3 Penerapan suatu target inflasi melalui mekanisme tingkat bunga untuk mencapai target yang ditetapkan mempunyai dua proposisi yang penting (Arestis dan Swayer, 2002) yaitu:(1) tingkat inflasi moderat berbahaya bagi efisiensi ekonomi dan pertumbuhan. Jadi inflasi yang rendah dan stabil sangat penting bagi pertumbuhan dan pencapaian tujuan ekonomi makro lainnya. (2) kebijakan moneter dan inflasi sangat berkaitan sehingga kebijakan moneter adalah satu-satunya kebijakan yang tersedia untuk mengontrol inflasi. Selanjutnya dikemukakan dalam teori bahwa IT lebih disukai daripada target uang primer sebagai pendekatan baru terhadap kebijakan moneter. Dalam kerangka IT, dikenal dua macam indeks harga konsumen (IHK) yaitu headline indeks IHK dan core (underlying) IHK. Perbedaannya terletak pada elemen-elemen dalam perhitungan IHK dan berbeda-beda antar negara. Misalnya perhitungan inflasi inti (core inflation) IHK untuk negara New Zealand adalah mengeluarkan pajak tidak langsung, pajak lokal, terms of trade, dan tingkat bunga dari IHK. Kanada mengeluarkan makanan, energi dan pajak dari IHK, dan Finlandia mengeluarkan tingkat bunga, pajak tidak langsung, subsidi dan harga real estate. Untuk Indonesia, perhitungan inflasi inti mengeluarkan administered prices dan atau berbagai gangguan sementara dari harga. Sedangkan headline IHK memasukkan administrated price (Alamsyah, 2003). Kedua jenis perhitungan tersebut yakni inflasi inti dan inflasi headline seringkali menjadi dasar bagi otoritas moneter untuk menetapkan target inflasi dengan tepat. Beberapa negara memilih inflasi inti sebagai target dengan alasan bahwa kebijakan moneter tidak menyentuh faktor-faktor non-moneter yang mempengaruhi harga. Beberapa negara lainnya, misalnya Korea memilih headline IHK sebagai target dengan alasan bahwa IHK dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan headline IHK digunakan sebagai perjanjian kontrak dalam penetapan upah (Hoffmaister, 2001). Sebagian mengadopsi keduanya dengan membedakan yang mana tepat dijadikan sebagai target akhir dan yang mana tepat dijadikan sasaran operasional (Siklos, 1998). Beberapa Negara telah berhasil menurunkan dan mempertahankan tingkat inflasi yang stabil melalui penerapan kerangka target inflasi misalnya, New Zealand kemudian diikuti oleh Kanada, United Kingdom, Finlandia, Swedia, dan Australia. Selain itu, sejumlah Negara-negara emerging market seperti Chili, Brazil, Czech Republik, Polandia, Afrika Selatan, Israil, Korea dan Thailand juga menerapkan IT. Walaupun Negara-negara tersebut sama-sama menerapkan target inflasi namun dalam aplikasi terutama dalam menentukan range tingkat inflasi, indeks harga, dan sasaran operasional tidak sama (Mason, Savastano dan Sharma 1997). Perlu dicatat bahwa Negara-negara yang menerapkan kerangka IT tidak semua berhasil menurunkan tingkat inflasi kearah yang rendah dan stabil. Bagi Indonesia perlu belajar dari pengalaman Negara-negara tersebut untuk berhasil dalam menerapkan IT. PEMBAHASAN Perkembangan Inflasi di Indonesia: 1997-2006 Jika dicermati perkembangan inflasi selama pasca krisis pada dasarnya telah membawa konsekuensi yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia. Pada saat itu, tuntutan peran kebijakan moneter dalam mengendalikan tingkat inflasi cukup besar. Tingkat inflasi pada tahun 1997 mencapai angka 11,1%, sudah melampaui rata-rata tingkat inflasi yang dicapai sebelum krisis 6,5% pada tahun 1996. Pertumbuhan ekonomi sempat mengalami pertumbuhan yang negatif, nilai tukar bergejolak, uang beredar bertumbuh hampir tidak terkendali akibat dari beberapa

4 perbankan yang dilanda rush. Semua hal di atas bermuara pada tingkat inflasi yang meningkat tajam sampai mencapai 77,63% (1998). Menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, BI menerapkan kebijakan uang ketat. Kebijakan uang ketat ini tercermin pada pertumbuhan tahunan uang primer yang harus ditekan dari 69,7% pada bulan September 1998 menjadi 11,2% pada Juni 1999. Pada saat yang sama, untuk menekan percepatan pertumbuhan jumlah uang beredar, BI menaikkan suku bunga deposito secara tajam. Kedua upaya ini berangsur-angsur dapat menurunkan pertumbuhan jumlah uang beredar dan akibatnya inflasi dapat ditekan hingga menjadi 1,9% (1999). Sangat disayangkan karena tingkat inflasi yang rendah ini tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2000 dan 2001 tingkat inflasi mengalami kenaikan terutama disebabkan oleh nilai tukar yang bergejolak akibat perubahan kondisi politik yang terjadi dan peningkatan harga BBM serta barang-barang yang dikendalikan oleh pemerintah sehubungan dengan pengurangan subsidi BBM. Pada tahun 2001, tingkat pertumbuhan tahunan narrow money rata-rata 17,9% hingga November tetapi pada bulan Desember tingkat pertumbuhan menurun tajam hingga 9,6%. Secara relatif akomodasi kebijakan moneter, dengan berlanjutnya pertumbuhan aggregat moneter yang cepat sejak pertengahan 1999 hingga akhir 2001 merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap tingginya tekanan inflasi. Seiring dengan membaiknya kondisi sosial politik, nilai tukar, dan money base yang terkontrol dengan baik, maka pada tahun 2002 inflasi IHK mengalami kecenderungan yang menurun tajam dari 12,5% (2001) menjadi 10,03% (2002) dan berlanjut hingga pada tahun 2004 menjadi 6,4%. Kinerja inflasi tersebut cukup menggembirakan dibandingkan dengan kinerja inflasi pada periode sebelumnya. Pada dasarnya penurunan tingkat inflasi yang dicapai selama ini adalah merupakan salah satu tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai rupiah. Tetapi pertanyaan yang masih perlu digali adalah apakah kinerja inflasi tersebut sudah merupakan penerapan target inflasi yang sesungguhnya? Enam tahun penerapan target inflasi yang terhitung mulai tahun 2000 hingga 2005 ternyata masih menunjukkan terdapatnya perbedaan antara target dan realisasi (table 1). Perbedaan tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh kegagalan mekanisme kebijakan moneter, tetapi juga oleh pengaruh intervensi pemerintah atau kebijakan fiskal terutama yang berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM yang telah menyebabkan kenaikan harga BBM. Akibatnya adalah pada tahun 2001 dan 2002 realisasi inflasi sangat jauh melampaui target. Kebijakan pemerintah dan gangguan dari sisi penawaran terus mempengaruhi tekanan inflasi hingga tahun 2005. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa otoritas moneter menghadapi kesulitan untuk mengontrol tingkat inflasi karena kebijakan fiskal lebih mendominasi fluktuasi inflasi yang terjadi selama ini. Kegagalan pemerintah (kebijakan fiskal) untuk mengendalikan tekanan inflasi akan memperburuk kinerja kebijakan moneter. Lonjakan inflasi pada tahun 2005 terjadi pada triwulan IV yang mencapai 17,10% (Gambar 2). Namun yang menarik adalah inflasi tahun 2006 dimana realisasinya 6,6% (7%) lebih rendah daripada target (8%). Hal ini memberi indikasi bahwa penerapan target inflasi sudah memperlihatkan sinyal yang positif. Mulai pada tahun 2000 BI mengumumkan target inflasi sebagai sasaran akhir, namun mencermati kerangka kebijakan moneter yang ditempuh kelihatannya belum digolongkan dalam kerangka target inflasi.

5 Target Realisasi 12% 10% 8% 6% 4% 3% 5.93% 4% 8.73% 10.03% 9% 9% 9.08% 6.40% 5.50% 6% 7.30% 8% 7% 2% 0% 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia, Perkembangan Moneter dan Perbankan berbagai edisi. Gambar 1 Perkembangan Target dan Realisasi Inflasi IHK 2000-2006 Hal ini terutama disebabkan oleh masih adanya patokan nominal lainnya dan berbagai kendala struktural seperti sistem keuangan dan fiskal yang masih relatif lemah seringkali menyebabkan kesulitan kebijakan moneter menjaga keseimbangan antara tujuan inflasi disatu sisi dan stabilitas keuangan pada sisi lainnya. Target inflasi yang diterapkan belum sepenuhnya mencirikan BI transparan dan akuntabel karena belum sepenuhnya sepakat untuk mencapai target inflasi yang diumumkan. Stone (2003) menggolongkan kerangka kebijakan moneter Indonesia selama pasca krisis sebagai inflation targeting lite (ITL). Dengan adanya UU No.3 Tahun 2004, BI telah berusaha mengarah kepada penerapan target inflasi secara penuh. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa langkah yang mulai diterapkan pada bulan Mei 2005 dan penetapan target inflasi diserahkan kepada pemerintah. Perlu dipahami bahwa tidak efektifnya kebijakan moneter selama masa krisis erat kaitannya dengan penerapan sasaran antara (sasaran operasional) kebijakan moneter. Selama pasca krisis BI menggunakan sasaran antara (intermediate target) yaitu uang primer. Ada dua asumsi dasar yaitu (1) BI dapat mengendalikan uang primer dengan instrumen yang dimiliki dan permintaan masyarakat terhadap uang primer dapat diprediksi dengan baik dan (2) hubungan antara uang primer dengan inflasi stabil, sehingga dengan menargetkan uang primer berarti BI dapat menargetkan inflasi. Namun dalam kenyataan yang terjadi nampaknya uang primer sulit untuk dikendalikan sehingga hubungan antara uang primer dengan inflasi menjadi tidak stabil lagi. Pertumbuhan uang primer pada tahun 2000 dan 2001 masing-masing sebesar 18,48% dan 17,81% jauh melampaui target base yang ditetapkan, sementara tahun 2002 pertumbuhan uang primer sebesar 8,97% jauh dibawah target. Kemudian pada tahun 2004 mengalami peningkatan hingga mencapai 15,14%. Pelaksanaan kebijakan moneter melalui intermediate target uang primer menjadi kurang efektif, terutama karena transmisi kebijakan moneter masih terus berubah dan hubungan antara uang primer dengan inflasi selalu berubah-ubah (Alamsyah, 2003). Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi dan perbankan, maka penggunaan uang primer sebagai sasaran antara dirasakan semakin tidak sejalan dengan penerapan kebijakan moneter dengan inflation targeting. Ada beberapa alasan: (1) hubungan antara uang primer dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semakin tidak stabil dan mengalami hubungan terbalik, antara lain karena ketidakstabilan permintaan uang dan ketidakpastian perilaku money multiplier dan

6 money velocity. (2) sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan masyarakat kurang efektif, tidak saja karena tidak mudah menjelaskan uang primer tetapi juga karena tidak jelasnya jangkar nominal yang dipergunakan (antara uang primer dan sasaran inflasi). (3) respon kebijakan moneter cenderung mengarah ke belakang (backward looking) dan lebih sulit dilakukan karena kebijakan moneter tidak hanya merespon perkembangan inflasi tetapi juga perkembangan uang primer itu sendiri. (4) permintaan uang kartal masyarakat di Indonesia sulit diprediksi karena adanya teknologi keuangan seperti penggunaan ATM sehingga BI kesulitan dalam mengontrol besarnya jumlah uang beredar. Atas dasar itu, maka mulai Juli 2005 BI mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru konsisten dengan kerangka IT, yang mencakup empat elemen mendasar (Laporan Perekonomian Indonesia, 2004) yaitu: (1) penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional, (2) proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, (3) strategi komunikasi yang lebih transparan, dan (4) penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah dimaksud tersebut terutama bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan tata kelola kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi IHK 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2004- Trw I 2004- Trw II 2004- Trw III 2004- Trw IV 2005- Trw I 2005- Trw II 2005- Trw III 2005- Trw IV Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia, Perkembangan Moneter dan Perbankan berbagai edisi. Gambar 2 Perkembangan Inflasi IHK per Triwulan 2004-2005 Meskipun target inflasi belum tercapai pada level 4-5 % seperti yang ditargetkan BI, namun upaya yang telah dilakukan selama ini telah memperlihatkan kinerja yang cukup berhasil yakni telah berhasil menekan inflasi dari 2 digit hingga menjadi 1 digit. Selama periode 2000-2005 ada satu hal yang menarik untuk dicatat yaitu perkembangan suku bunga riil yang nampaknya cenderung menurun setiap tahun (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa peluang bagi investor untuk melakukan ekspansi usaha semakin besar. Upaya BI untuk mencapai kestabilan harga melalui kerangka kebijakan IT adalah penggunaan suku bunga BI rate. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2006, perkembangan BI rate cukup menggembirakan yakni cenderung mengalami penurunan yakni dari 12,75 pada bulan April 2005 hingga menjadi 10, 25 pada November 2006. Upaya ini semakin membantu sektor riil untuk mengembangkan volume usahanya.

7 SUKU BUNGA SBI 1bln INFLASI IHK yoy SUKU BUNGA RILL 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0-2 14.5 9.3 5.2 17.6 12.5 5.1 13.02 10.03 2.99 8.3 5.06 3.24 7.4 6.4 1 8.33 8.75 2000 2001 2002 2003 2004 2005* -0.42 Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia, Perkembangan Moneter dan Perbankan berbagai edisi. Gambar 3 Perkembangan SBI, Inflasi IHK dan Suku Bunga Riil Satu hal yang perlu dicatat bahwa secara keseluruhan kinerja inflasi di Indonesia menunjukkan trend yang relatif menurun dengan kisaran dibawah dari 2 digit yang relatif sama dengan kinerja inflasi pada periode sebelum krisis. Meskipun telah menunjukkan trend yang membaik, namun disadari dan diakui bahwa kinerja inflasi yang telah dicapai tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang dicapai oleh negara lain, baik yang tergolong sebagai negara maju (yang menerapkan IT) maupun negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Pilipina. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh baik pihak otoritas moneter maupun pihak pemerintah melalui perbaikan mekanisme transmisi kebijakan moneter dan pilihan instrumen kebijakan yang tepat, perubahan struktur, dan penguatan kelembagaan serta koordinasi yang mantap. KESIMPULAN Dengan memperhatikan berbagai ulasan yang telah disebutkan sebelumnya termasuk keunggulan-keunggulan IT dan kinerja inflasi yang dicapai selama ini, maka upaya BI untuk menggeser paradigma kebijakan moneter ke arah pencapaian stabilitas harga melalui kerangka IT merupakan sebuah alternatif kebijakan moneter yang tepat, namun ada beberapa poin yang masih perlu didiskusikan lebih jauh yaitu: (1) Apakah betul dalam realisasi/implementasi kestabilan harga merupakan satusatunya tujuan akhir? (2) Sejauh ini, tekanan inflasi di Indonesia lebih dominan disebabkan oleh gejala non-moneter seperti administrated price dan beberapa bentuk kebijakan lainnya sehingga Bank Indonesia sulit untuk mengendalikan kestabilan harga. Campur tangan pemerintah (kebijakan fiskal) akan memperburuk efektifitas kebijakan moneter. (3) Bagi negara yang menganut sistem perekonomian terbuka sebagaimana halnya Indonesia, maka pengaruh faktor-faktor eksternal merupakan salah satu faktor penyebab berfluktuasinya inflasi melalui mekanisme transmisi kebijakan moneter. Keberhasilan penerapan target inflasi sangat ditentukan oleh sistem nilai tukar yang berlaku. Oleh karena itu, BI harus mempunyai pengetahuan yang banyak tentang bekerjanya mekanisme nilai tukar yang nantinya akan memberi informasi yang sangat berguna ketika tingkat inflasi berhasil ditekan di bawah 4%- 5%. (4) Dalam penerapan IT perlu dikaji lebih cermat mengenai ketepatan dalam penggunaan inflasi IHK apakah headline atau core inflation. Selama ini data memperlihatkan bahwa inflasi IHK (headline) berfluktuasi lebih tinggi daripada

8 inflasi inti. Untuk memperoleh kredibilitas yang tinggi sebaiknya pilihan inflasi inti untuk diumumkan kepada publik lebih relevan dibanding inflasi IHK. Beberapa negara memilih inflasi inti sebagai targetnya antara lain; New Zealand, United Kingdom, dan Finlandia. (5) Ketepatan penetapan time horizon dan target inflasi. Kedua poin tersebut sangat tidak mudah ditetapkan.oleh karena itu, penetapannya harus didasarkan pada perhitungan yang sangat matang karena menyangkut tentang transparansi, akuntabel dan kredibilitas. Pertanyaan untuk Indonesia adalah apakah range waktu 3-5 tahun sudah merupakan range waktu yang tepat untuk mencapai target yang diumumkan oleh pemerintah? (6) Terakhir dan terpenting adalah implementasi. Komitmen yang kuat dari pihak pemerintah dan otoritas moneter (BI) sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam pencapaian kerangka inflation targeting sebagai sebuah kebijakan moneter yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Halim Alamsyah dkk (2003) Perubahan Struktural dan kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrospek dan Framework ke depan,. makalah Arestis, Philips and Sawyer, Malcolm., (2002) Can Monetary Policy Affect The Real Economy? Proceeding Federal Reserve Bank of New York Economic Review, 8(1) Bank Indonesia: Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Juni 2005. ------------------; Laporan Perekonomian Indonesia 2003 dan 2004. Burhanuddin Abdullah (2003) Strategi Kebijakan Moneter dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan. Makalah Halim Alamsyah dkk (2003) Perubahan Struktural dan kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrospek dan Framework ke depan,. makalah Hoffmaister, Alexander W. (2001). Inflation Targeting in Korea: An Empirical Exploration. IMF Staff Paper Vol.48 (2). Masson, Paul R dkk (1998) Can Inflation targeting Be a Framework for Monetary Policy in Developing Countries? Finance and Development March Orlowski, Lucjan T (2000). A Dynamic Approach To Inflation Targeting In Transition Economies. Zei. Working Paper B 11. Siklos, Pierre L (1998). Inflation Target Design, Changing Inflation Performance and Persistence in Industrial Countries. Wang, Jennifer (2000). Inflation Targeting. Federal Reserve.

9