BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONDISI HIDROLOGIS DAS

dokumen-dokumen yang mirip
Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI.

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB IV ANALISIS DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DEBIT ANDALAN

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

Studi Kasus Penggunaan Sumber Daya Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Ketibung Kabupaten Lampung Selatan

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

Surface Runoff Flow Kuliah -3

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

Universitas Gadjah Mada

BAB III LANDASAN TEORI

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

Bab III TINJAUAN PUSTAKA

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehilangan air pada suatu sistem hidrologi. panjang, untuk suatu DAS atau badan air seperti waduk atau danau.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DAS ASAM-ASAM DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE MOCK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab V PENGELOLAAN MASALAH BANJIR DAN KEKERINGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lingkungan Masjid Al-Wasi i Universitas Lampung

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

DAERAH ALIRAN SUNGAI

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONDISI HIDROLOGIS DAS II.1. Siklus Hidrologi Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Secara khusus menurut SNI No. 1724-1989-F hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan, dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi rekayasa. Secara luas hidrologi meliputi pula pergerakan dan distribusi, berbagai bentuk air, termasuk transformasi antara keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfir, di atas, dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini. (Joyce, 1982). Daur atau siklus hidrologi adalah suatu siklus yang mensimulasikan keseimbangan air baik di lautan, atmosfer, maupun di badan air dan pergerakannya dari laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke laut kembali baik secara fisik maupun geografis. Siklus peristiwa tersebut sebenarnya tidaklah sesederharna yang kita bayangkan, karena: 1. Pertama, daur itu dapat berupa daur pendek, yaitu hujan yang segera dapat mengalir kembali ke laut. 2. Kedua, tidak adanya keseragaman waktu yang diperlukan oleh suatu daur. Selama musim kemarau kelihatannya daur seolah-olah berhenti, sedangkan dalam musim hujan berjalan kembali. 3. Ketiga, intensitas dan frekuensi daur tergantung pada letak geografi dari keadaan iklim suatu lokasi. Siklus ini berjalan karena adanya sinar matahari. Posisi matahari akan berubah setiap masa menurut meridiennya (meskipun pada dasarnya posisi bumi yang berubah). 4. Keempat, berbagai bagian daur dapat menjadi sangat kompleks, sehingga kita hanya dapat mengamati bagian akhir saja terhadap suatu curah hujan di atas permukaan tanah yang kemudian mencari jalannya untuk kembali ke laut. 13

Gambar II.1. Siklus hidrologi Air laut menguap karena radiasi matahari menjadi awan dan kemudian awan yang terjadi oleh penguapan air bergerak di atas daratan karena tertiup angin. Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir uap air akibat desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju. Presipitasi tersebut kemudian jatuh tertarik oleh gravitasi bumi dan jatuh ke tanah yang kemudian menimbulkan limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke laut. Dalam usahanya mengalir kembali ke laut beberapa di antaranya masuk kembali ke dalam tanah (infiltrasi) dan bergerak terus ke bawah (perkolasi) ke dalam daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat di bawah permukaan air tanah atau yang dinamakan permukaan freatik. Air dalam daerah ini bergerak perlahan-lahan melewati akuifer masuk ke sungai maupun langsung masuk ke laut. Air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi) memberi hidup kepada tumbuhan namun ada diantaranya naik ke atas lewat akuifer diserap akar dan batangnya sehingga terjadi transpirasi, yaitu evaporasi (penguapan) lewat tumbuh-tumbuhan, melalui bagian bawah daun (stomata). Air yang tertahan di permukaan tanah (surface detention) sebagian besar mengalir kembali masuk ke sungai-sungai sebagai limpasan permukaan (surface runoff) ke dalam palung sungai. 14

Permukaan sungai dan danau juga mengalami penguapan (evaporasi), sehingga masaih ada lagi air yang dipindahkan menjadi uap. Akhirnya, air yang tidak menguap ataupun mengalami infiltrasi tiba kembali ke laut melewati palungpalung sungai. Air tanah yang bergerak jauh lebih lambat mencapai laut dengan jalan melewati alur-alur masuk ke sungai atau langsung merembes ke pantaipantai, sehingga seluruh daur telah dijalani dan kemudian akan berulang kembali. Dengan demikian ada empat proses penting dalam daur hidrologi yang perlu difahami, yaitu: a). presipitasi, b). evaporasi, c). infiltrasi serta d). limpasan permukaan (surface runoff) dan limpasan air tanah (subsurface runoff). II.2. Komponen-Komponen Hidrologi Dalam model fisik hidrologi terdapat banyak komponen yang mempengaruhi siklus hidrologi, beberapa komponen tersebu adalah ;. II.2.1 Curah Hujan Hujan merupakan suatu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun, dan kabut. Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi, sebagian menguap kembali ketika jatuh melalui udara kering, sejenis presipitasi yang dikenali sebagai virga. Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya hujan ini adalah pendinginan udara yang datang sehingga batas jenuh uap air, pengembunan (perubahan uap air dalam bentuk awan) dimana dibutuhkan inti pembentukan, dan adanya penggabungan inti-inti air di awan atau kristal es menjadi partikel yang cukup besar untuk jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan atau salju. (Nelson, 2005). Hujan memainkan peranan penting dalam siklus hidrologi, dimana kelembaban dari laut menguap, bertukar menjadi awan, terkumpul menjadi awan, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi kembali daur ulang tersebut. Jumlah air hujan diukur menggunakan pengukur hujan dan dinyatakan sebagai kedalaman air yang terkumpul pada permukaan rata yang diukur kurang lebih setiap 0,25 mm. Biasanya hujan memiliki kadar asam ph 6. Hujan di bawah ph 5 6, dianggap sebagai hujan asam. Banyak orang menganggap bahwa bau yang dicium pada saat 15

hujan dianggap wangi atau menyenangkan. Sumber dari bau ini adalah petrichor, minyak yang diproduksi oleh tumbuhan, kemudian diserap oleh batuan dan tanah, dan kemudian dilepas ke udara pada saat hujan. Suatu presipitasi umumnya digolongkan berdasarkan faktor utama yang mempengaruhi pengangkatan (lifting) udara, sehingga terjadi proses pendinginan yang cukup untuk membentuk presipitasi. (Linsley, 1969). Hujan yang turun ke bumi tidak berlangsung merata di seluruh wilayah (geografis) maupun di setiap waktu, namun terdistribusi sesuai kedua kondisi tersebut. a. Distribusi geografis. Faktor-faktor yang menentukan besarnya curah hujan rata-rata tahunan di suatu daerah/tempat adalah latitude, suhu laut dan air laut, posisi dan luas daerah, efek geografis, jarak/sumber lembah, dan ketinggian. Latitude berhubungan dengan sirkulasi atmosfer. Umumnya curah hujan meningkat besarnya dari arah pantai ke pegunungan di daerah pedalaman. Curah hujan juga berubah dengan ketinggian lereng, meningkat sampai ketinggian tertentu (+ 900 meter) dan kemudian berkurang, karena kejenuhan kelembaban spesifik dan dengan itu juga banyaknya air maksimum di dalam suatu kolom di atas permukaan tanah berkurang. b. Distribusi menurut waktu. Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan siklus tertentu. Hanya kadang-kadang terjadi penyimpangan-penyimpangan pada pola tersebut. Namun biasanya pada waktu tertentu akan kembali pada pola yang teratur. Dalam suatu series data hujan terdapat fluktuasi-fluktuasi yang fasa dan amplitudonya tidak teratur. Dengan mengadakan perataan (smoothing) seperlunya maka kita bisa mendapatkan variasi yang nampaknya akan menyerupai variasi siklus. Meski demikian, data curah hujan yang tersedia tidak cukup panjang untuk menyatakan fluktuasi-fluktuasi jangka panjang sedangkan variasi-variasi jangka pendek biasanya tidak teratur sehingga bisa didapatkan banyak sekali siklus. Di antara variasi-variasi tersebut, terdapat yang kita kenal dengan variasi musiman. Distribusi hujan musiman ini biasanya terjadi sebagai hujan konvektif yang disebabkan oleh naiknya udara panas ke tempat yang lebih dingin atau hujan orografik yang disebabkan naiknya udara yang terpusatkan di suatu daerah atau sebagai 16

hujan siklonik, terjadi dari naiknya udara yang terpusatkan di suatu daerah yang tekanan rendah. Dan sebagian hujan di Indonesia terjadi sebagai hujan konvektif. Karena adanya infiltrasi, intersepsi dan tertahannya air hujan di bagian-bagian rendah maka besarnya aliran (debit) di dalam sungai tidak sama dengan banyaknya air hujan yang jatuh di daerah aliran. Banyaknya air hujan yang hilang sangat dipengaruhi oleh keadaan meteorologis di wilayah pengalirannya. Faktorfaktor meteorologis yang mempengaruhi banyaknya kehilangan air adalah: a. Hujan, Yaitu besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan, distribusi musiman dan di daerah yang juga terdapat salju juga proporsi dari salju dan hujan. Banjir besar terjadi jika hujan terjadi tidak merata di seluruh daerah aliran dengan intensitas yang tinggi serta lama waktu hujan yang panjang. Akan tetapi keadaan hujan yang demikian tersebut belum tentu menyebabkan terjadinya banjir yang maksimum di dalam sungai. b. Suhu udara. Besarnya evaporasi dan transpirasi sangat tergantung pada suhu udara, demikian pula kelembaban tanah dan adanya salju. Semakin tinggi suhu udara maka akan semakin besar pula tingkat evaporasi. c. Kelembaban relatif. Hal ini juga besar pengaruhnya pada evaporasi dan transpirasi. Semakin tingi kelembaban maka akan semakin kecil evaporasi. d. Angin. Mempengaruhi juga besarnya evaporasi. Semakin besar kecepatan angin, maka akan semakin cepat tingkat evaporasi. Sedangkan faktor daerah aliran yang mempengaruhi kehilangan air adalah: a. Luas dan bentuk daerahnya yang dihitung tiap km2. Debit sungai dengan daerah aliran sungai yang kecil biasanya lebih besar kehilangan air daripada debit sungai dengan daerah aliran yang lebih luas. Ini disebabkan karena pada daerah kecil, air hujan mudah mencapai sungai, selain itu biasanya pada daerah yang lebih besar banyak terdapat rawa, danau, dll. yang bisa menahan air hujan. b. Kepadatan drainase, yaitu panjang dari saluran-saluran per satuan luas daerahnya. Kepadatan drainase yang kecil menunjukkan bahwa secara relatif 17

pengaliran melalui permukaan tanah memerlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai sungai. c. Geologi. Sifat sifat tanah memiliki pengaruh pada banyaknya kehilangan air. Kerapatan dan tebalnya lapisan tanah yang kedap air sangat menentukan besarnya infiltrasi dan evaporasi. d. Keadaan topografi. Di daerah yang keadaan tanahnya miring terdapat aliran permukaan yang deras dan besar dan berpengaruh pada kecepatan meningkatnya banjir. e. Elevasi rata-rata. Hujan yang lebat umumnya lebih banyak terjadi pada daerah pegunungan dari pada di daerah yang datar. II.2.2 Evaporasi dan Transpirasi Evaporasi merupakan faktor penting dalam studi tentang pengelolaan dan pengembangan sumber daya air. Evaporasi sungai mempengaruhi debit sungai, besarnya kapasitas waduk, kapasitas pompa untuk irigasi, penggunaan konsumtif untuk tanaman dan lain-lain. Evaporasi adalah proses dimana air berubah menjadi uap atau gas. Evaporasi akan terjadi di permukaan air saat atmosfir di atasnya memiliki kelembaban relatif kurang dari 100%. Sumber energi utama evaporasi adalah radiasi matahari. Jumlah evaporasi dipengaruhi oleh radiasi matahari, kecepatan angin, kelembaban relatif, suhu, dan tingkat turbulensi udara di atas permukaan evaporasi, sebagaimana oleh perbedaan tekanan uap air antara permukaan air dan udara tidak jenuh di atasnya. Di daerah yang beriklim sedang hingga lembab, kehilangan air melalui evaporasi bebas dapat mencapai 60 cm/tahun dan kira-kira 45 cm lewat evaporasi permukaan tanah. Di daerah beriklim kering seperti Irak dan Saudi Arabia, angka tersebut dapat menjadi 200 cm dan 10 cm. (Soemarto, 1995) Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya. Dan masingmasing tanaman berbeda tingkat kebutuhan airnya. Namun demikian hanya sebagian kecil air saja yang tertinggal di dalam tubuh tumbuhan, sedangkan sisanya diserap oleh akar-akar dan dahan-dahan untuk kemudian ditranspirasikan 18

melalui daun. Transpirasi adalah proses dimana air mengalir (merambat) melalui tumbuhan untuk kemudian lepas ke atmosfer sebagai uap air hasil metabolisme tumbuhan. Transpirasi tumbuhan selama musim tumbuh dapat bernilai 100 kali lebih banyak dari jumlah air biologis pada tumbuhan di suatu masa tertentu. Jumlah air yang ditranspirasikan oleh tumbuhan dapat bertambah besar, misalnya pada pohon yang besar dengan akar-akarnya yang sangat dalam menembus tanah. Jumlah air yang akan ditranspirasikan akan lebih banyak jika dibandingkan air tersebut dievaporasikan sebagai air bebas. Proses transpirasi berjalan terus hampir sepanjang hari di bawah pengaruh sinar matahari, dan pada malam hari pori-pori daun menutup. Apabila stomata tersebut menutup, maka proses transpirasi terhenti. Istilah evapotranspirasi sering digunakan untuk mengkombinasikan air yang menguap melalui evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari kelembaban tanah dan udara melalui vegetasi. Jumlah kadar air yang hilang dari evapotranspirasi tergantung pada ketersediaan air yang cukup (hujan, dan lain lain), faktor iklim seperti suhu dan kelembaban, serta tipe dan cara kultivasi tumbuh-tumbuhan tersebut. Jika jumlah air yang tersedia sangat banyak dan berlebihan dari yang diperlukan tumbuhan selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan akan lebih besar dibandingkan dengan keperluan, sehingga evaporasi pada kondisi ini disebut evaporasi potensial. Sedangkan evaporasi yang tetap terjadi pada kondisi air cukup dan tidak berlebihan disebut dengan kejadian evaporasi aktual. Lebih lanjut mengenai analisis evaporasi dan transpirasi ini akan dibahas dalam bagian analisis ketersediaan air pada bab ini. II.2.3. Limpasan Sungai mengumpulkan tiga jenis limpasan, yakni limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (Interflow), dan limpasan air tanah (groundwater runoff) yang pada akhirnya akan mengalir ke laut. Sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air di daratan melalaui sungai ini berlangsung terus-menerus. Di dalam sistem penyediaan air minum yang berasal dari air permukaan, sungai merupakan limpasan sumber air baku air minum. 19

Sungai merupakan jalan air yang alami. Laluan melalui sungai merupakan cara biasa air hujan yang turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama untuk kemudian bertemu dengan air laut di muara. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi limpasan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu elemen-elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen-elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengalirannya. (Sosrodarsono, Takeda, 1987). a. Elemen-Elemen Meteorologi Faktor-faktor yang termasuk ke dalam kelompok meteorologi adalah: Jenis presipitasi Intensitas curah hujan Lamanya curah hujan Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran Arah pergerakan curah hujan Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah Kondisi kondisi meteorologi lainnya. b. Elemen-Elemen Daerah Pengaliran Kondisi penggunaan lahan Daerah pengaliran Kondisi topografi dalam daerah pengaliran Jenis tanah Faktor-faktor lain yang mempengaruhi II.2.4. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) dinyatakan sebagai suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah yang merupakan tempat air jatuh melalui presipitasi, meresap dan/atau mengalir dari permukaan tanah ke sungai dan anak anak sungainya dari hulu hingga ke muara dan dibatasi oleh punggung gunung dan bukit yang dapat menampung seluruh curah hujan yang terjadi. Daerah ini 20

umumnya dibatasi oleh batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan tata aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air tanah karena air tanah permukaannya selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian. Nama suatu DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol yang dianggap penting, maka DAS ditandai dengan nama pada titik kontrolnya tersebut sedangkan titik kontrol lainnya berada di hulunya disebut sebagai Sub-DAS. Ada tiga aspek yang menjadi perhatian di dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air yang tersedia (water yield), waktu aliran (timing of water yield), dan kandungan sedimen. Ketiga aspek tersebut ditentukan oleh perbedaan antara jumlah curah hujan dengan evapotranspirasi dan kapasitas infiltrasi tanah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa cara pengelolaan mempengaruhi produktifitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Untuk mengukur debit air yang melewati DAS tersebut, biasanya dipasang pospos pengukuran debit. Dalam prakteknya, penetapan batas ini di sungai diperlukan untuk kepentingan analisis. Dalam penelitian, batas-batas DAS diperlukan untuk menetapkan daerah yang akan dianalisis. Daerah yang dimaksud akan dihitung jumlah konsumsi yang digunakan untuk keperluan domestik, pertanian, industri, dll. (Sri Harto, 1993). Elemen DAS yang berkaitan erat dengan penelitian hidrologi secara umum (Joyce, 1982) adalah: 1. Kondisi tata penggunaan tanah (land use) karena tanaman memperbesar intersepsi, infiltrasi, soil moisture, hingga limpasan kecil; 2. Kondisi topografi dan bentuk DAS akan mempengaruhi volume air yang tertampung dalam saluran, disamping kemiringan yang akan memperkecil infiltrasi 3. Jenis tanah yang mempengaruhi besarnya infiltrasi 4. Karakteristik jaringan sungai dll. 21

II.3. Ketersediaan Air Salah satu aspek yang harus diketahui sebelum melakukan analisis neraca air untuk suatu daerah/kawasan adalah jumlah ketersediaan air. Ketersediaan air dalam pengertian sumber daya air pada dasarnya berasal dari air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada kandungan air tanah yang ada. Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu (temporal variability) yang sangat tinggi. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Air permukaan adalah air yang mengalir baik secara berkesinambungan maupun dengan terputus-putus dalam alur sungai atau saluran dari sumbernya yang tertentu, dimana semua ini merupakan bagian dari sistem sungai yang menyeluruh. Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan disajikan pada Gambar II.2. Aliran yang terukur di sungai atau saluran maupun danau merupakan potensi debit air permukaan, begitu halnya dengan air yang mengalir ke dalam tanah, kandungan air yang tersimpan dalam tanah merupakan potensi debit air tanah. Dari ketiga sumber air tersebut di atas, yang mempunyai potensi paling besar untuk dimanfaatkan adalah sumber air permukaan dalam bentuk air di sungai, saluran, danau/waduk dan lainnya. Penggunaan air tanah sangat membantu pemenuhan kebutuhan air baku maupun air irigasi pada daerah yang sulit mendapatkan air permukaan, namun pemanfaatan air tanah membutuhkan biaya operasional pompa yang sangat mahal. 22

Gambar II.2. Ilustrasi proses terbentunya air permukaan Dalam analisis melakukan ketersediaan air permukaan yang akan digunakan sebagai acuan adalah debit andalan (dependable flow). Sehingga yang paling berperan dalam studi ketersediaan air permukaan adalah data rekaman debit aliran sungai. Rekaman tersebut harus berkesinambungan dalam periode waktu yang dapat digunakan untuk pelaksanaan proyek penyediaan air. Apabila penyadapan air akan dilakukan dari sungai yang masih alami, maka diperlukan rekaman data dari periode-periode aliran rendah yang kristis yang cukup panjang, sehingga keandalan pasok air dapat diketahui. Debit andalan adalah suatu besaran debit pada suatu titik kontrol (titik tinjau) di suatu sungai di mana debit tersebut merupakan gabungan antara limpasan langsung dan aliran dasar. Debit ini mencerminkan suatu angka yang dapat diharapkan terjadi pada titik kontrol yang terkait dengan waktu dan nilai keandalan. Keandalan yang dipakai untuk pengambilan bebas baik dengan maupun tanpa struktur pengambilan adalah 80%, sedangkan keandalan yang dipakai untuk pengambilan dengan struktur yang berupa tampungan atau reservoir adalah sebesar 50%. 23

Untuk data aliran yang terbatas dan data hujan yang cukup panjang maka data aliran tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan metoda pendekatan modelling hujan-aliran. Model hujan-aliran yang dapat digunakan adalah Metoda Mock. Metoda Mock lebih sering dipakai dibandingkan dengan metoda-metoda yang lain (SMAR, NRECA dll.) karena metoda ini dikembangkan di Indonesia, penerapannya mudah dan menggunakan data yang relatif lebih sedikit. II.3.1. Metoda Mock Hasil penaksiran atau perkiraan debit limpasan (run off) tidak bisa menggantikan dokumentasi data aliran sungai. Namun dalam hal dimana sangat dibutuhkan tersedianya data tersebut, maka diperlukan adanya penaksiran atau perkiraan. Ada banyak metoda untuk menaksir debit limpasan. Akurasi dari masing-masing metoda tersebut bergantung pada keseragaman dan keandalan data yang tersedia. Salah satu metoda tersebut adalah Metoda Mock. Metoda Mock adalah suatu metoda untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance. Keberadaan air yang dimaksud di sini adalah besarnya debit suatu daerah aliran sungai. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini berupa data klimatologi dan karakteristik daerah aliran sungai. Metoda Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock berdasarkan atas daur hidrologi. Metoda Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metoda yang menjelaskan hubungan rainfall-runoff. Secara garis besar model rainfall-runoff bisa dilihat pada Gambar 1.3. Metoda Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan Metoda Mock ini adalah data klimatologi, luas dan penggunaan lahan dari daerah tangkapan air. Pada prinsipnya, Metoda Mock memperhitungkan volume air yang masuk, keluar dan yang disimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk adalah hujan. Air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi dan yang dominan adalah akibat evapotranspirasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan Metoda Penmann. Sementara soil storage adalah volume air yang disimpan dalam pori-pori tanah, hingga kondisi tanah menjadi jenuh. Secara keseluruhan perhitungan debit dengan 24

Metoda Mock ini mengacu pada water balance, dimana volume air total yang ada di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi dan distribusinya yang bervariasi. Evapotrasnspira Rainfall Surface Storage Surface Runoff Total Runoff Infiltrasi Groundwater Storage Groundwater Runoff Gambar II.3. Bagan alir rainfall-runoff Proses perhitungan yang dilakukan dalam Metoda Mock dijelaskan secara umum dalam Gambar II.4 berikut ini. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (Metoda Penman) Perhitungan Evapotranspirasi Aktual Perhitungan Water Surplus Perhitungan Baseflow, Direct Runoff dan Stormoff Gambar II.4. Bagan alir perhitungan debit dalam metoda Mock 25

II.3.1.1. Water Balance Dalam siklus hidrologi, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu perioda tertentu disebut neraca air atau keseimbangan air (water balance). Hubungan-hubungan ini lebih jelas ditunjukkan oleh Gambar 1.5. Bentuk umum persamaan water balance adalah: P = Ea + ΔGS + TRO dengan: P = presipitasi. Ea = evapotranspirasi. ΔGS = perubahan groundwater storage. TRO = total run off. Water balance merupakan siklus tertutup yang terjadi untuk suatu kurun waktu pengamatan tahunan tertentu, dimana tidak terjadi perubahan groundwater storage atau ΔGS = 0. Artinya awal penentuan groundwater storage adalah berdasarkan bulan terakhir dalam tinjauan kurun waktu tahunan tersebut. Sehingga persamaan water balance menjadi: P = Ea + TRO Beberapa hal yang dijadikan acuan dalam prediksi debit dengan Metoda Mock sehubungan dengan water balance untuk kurun waktu (misalnya 1 tahun) adalah sebagai berikut: a. Dalam satu tahun, perubahan groundwater storage (ΔGS) harus sama dengan nol. b. Jumlah total evapotranspirasi dan total runoff selama satu tahun harus sama dengan total presipitasi yang terjadi dalam tahun itu. Dengan tetap memperhatikan kondisi-kondisi batas water balance di atas, maka prediksi debit dengan Metoda Mock diharapkan dapat akurat. 26

Presipitasi Evaporasi Uap Air Limpasan Curah Hujan Perkolasi Evaporasi Presipitasi Perkolasi Air Air Kelembaban Tanah Gambar II.5. Sirkulasi air II.3.1.2. Data Iklim Data iklim yang digunakan dalam Metoda Mock adalah presipitasi, temperatur, penyinaran matahari, kelembaban relatif dan data kecepatan angin. Secara umum data-data ini digunakan untuk menghitung evapotranspirasi. Dalam Metoda Mock, data-data iklim yang dipakai adalah data bulanan rata-rata, kecuali untuk resipitasi yang digunakan adalah jumlah data dalam satu bulan. Notasi dan satuan yang dipakai untuk data iklim ditabelkan pada Tabel 1.4. Tabel II.1. Notasi dan satuan parameter iklim Data Meteorologi Notasi Satuan Presipitasi P Milimeter (mm) Temperatur T Derajat Celcius ( o C) Penyinaran Matahari S Persen (%) Kelembaban Relatif H Persen (%) Kecepatan Angin W Mile per Hari (mile/hr) Sumber : Sudirman, 2002 27

II.3.1.3. Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan faktor penting dalam memprediksi debit dari data curah hujan dan klimatologi dengan menggunakan Metoda Mock. Hal ini karena evapotranspirasi memberikan nilai yang besar atas terjadinya debit dari suatu daerah aliran sungai. Evapotranspirasi diartikan sebagai kehilangan air dari lahan dan permukaan air dari suatu daerah aliran sungai akibat kombinasi proses evaporasi dan transpirasi. Lebih rinci tentang evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual diuraikan di bawah ini. a. Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi air yang tersedia berlebihan. Faktor penting yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial adalah tersedianya air yang cukup banyak. Jika jumlah air selalu tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan relatif lebih besar dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan. Beberapa rumus empiris untuk menghitung evapotranspirasi potensial adalah rumus empiris dari: Thornthwaite, Blaney-Criddle, Penman dan Turc- Langbein-Wundt. Dari rumus-rumus empiris di atas, Metoda Mock menggunakan rumus empiris dari Penman. Rumus empiris Penman memperhitungkan banyak data klimatologi yaitu temperatur, radiasi matahari, kelembaban, dan kecepatan angin sehingga hasilnya relatif lebih akurat. Perhitungan evaporasi potensial Penman didasarkan pada keadaan bahwa agar terjadi evaporasi diperlukan panas. Menurut Penman besarnya evapotranspirasi potensial diformulasikan sebagai berikut: E = dengan: AH + 0,27 D A + 0,27 H = energy budget, = R (1-r) (0,18 + 0,55 S) - B (0,56 0,092 d e ) (0,10 + 0,9 S) D = panas yang diperlukan untuk evapotranspirasi, = 0,35 (ea ed) (k + 0,01w) 28

A = slope vapour pressure curve pada temperatur rata-rata, dalam mmhg/of. = radiasi benda hitam pada temperatur rata-rata, dalam mmh2o/hari. Ea R = tekanan uap air jenuh (saturated vapour pressure) pada temperatur rata-rata (mmhg). = radiasi matahari, dalam mm/hari. r = koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara radiasi elektromagnetik (dalam sembarang rentang nilai panjang gelombang yang ditentukan) yang dipantulkan oleh suatu benda dengan jumlah radiasi yang terjadi, dan dinyatakan dalam persentasi. r = Radiasi elektromagnetik yang dipantulkan x 100 % Jumlah radiasi yang terjadi S e d = rata-rata persentasi penyinaran matahari bulanan, dalam persen (%). = tekanan uap air sebenarnya (actual vapour pressure ), dalam mmhg. = e a x h. h = kelembaban relatif rata-rata bulanan, dalam persen (%). k = koefisien kekasaran permukaan evaporasi (evaporating surface). Untuk permukaan air nilai k = 0,50 dan untuk permukaan vegetasi nilai k = 1,0. w = kecepatan angin rata-rata bulanan, dalam mile/hari. Substitusi persamaan-persamaan di atas menghasilkan: A{R(1-r)(0,18 + 0,555) B(0,5 0,092 e d )(0,1 + 0,95)} + 0,27{0,35(e a e d )(k + 0,01w) E = A + 0,27 29

dalam bentuk lain : A (0,18 + 0,555) A B(0,5 0,092 e d ) E = R (1-r) - (0,1 + 0,95) A + 0,27 A + 0,27 0,27 x 0,35(e a e d ) + (k + 0,01w) A + 0,27 Jika: A (0,18 + 0,555) F1 = f(t,s) A + 0,27 F2 = f(t,h) A B(0,5 0,092 e d ) A + 0,27 F3 = f(t,h) 0,27 x 0,35(e a e d ) A + 0,27 maka: E = F1 x R(1 - r) - F2 x (0,1 + 0,9S) + F3 x (k + 0,01w) dan jika: E1 = F1 x R(1 - r) E2 = F2 x (0,1 + 0,9S) E3 = F3 x (k + 0,01w) maka bentuk yang sederhana dari persamaan evapotranspirasi potensial menurut Penman adalah: E = E1 - E2 + E3 Formulasi inilah yang dipakai dalam Metoda Mock untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dari data-data klimatologi yang lengkap (temperatur, lama penyinaran matahari, kelembaban relatif, dan kecepatanangin). Besarnya evapotranspirasi potensial ini dinyatakan dalam mm/hari. Sehingga untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dalam 1 bulan maka kalikan dengan jumlah hari dalam bulan itu. Besarnya A, B dan ea tergantung pada temperatur rata-rata. 30

b. Evapotranspirasi Aktual Jika dalam evapotranspirasi potensial air yang tersedia dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi berlebihan, maka dalam evapotranspirasi aktual ini jumlah air tidak berlebihan atau terbatas. Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air yang tersedia terbatas. Evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada musim kemarau. Besarnya exposed surface (m) untuk tiap daerah berbedabeda. F.J. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga daerah dengan masingmasing nilai exposed surface ditampilkan pada Tabel 2.2. Tabel II.2. Exposed Surface, No. m Daerah 1. 0 % Hutan primer, sekunder 2. 10 40 % Daerah tererosi 3. 30 50 % Daerah ladang pertanian Sumber : Sudirman, 2002 Selain exposed surface evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh jumlah hari hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan. Menurut Mock rasio antara selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual dengan evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh exposed surface (m) dan jumlah hari hujan (n), seperti ditunjukan dalam formulasi sebagai berikut. E E p = m 20 (18 n) Sehingga E = m 20 (18 n) 31

Dari formulasi diatas dapat dianalisis bahwa evapotranspirasi potensial akan sama dengan evapotranspirasi aktual (atau ΔE = 0) jika: a. Evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder. Dimana daerah ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0). b. Banyaknya hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah itu sama dengan 18 hari. Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi potensial yang memperhitungkan faktor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan yang bersangkutan. Sehingga evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi atau actual evapotranspiration, yang dihitung sebagai berikut: Eactual = EP ΔE II.3.1.4. Water Surplus Water surplus didefinisikan sebagai air hujan (presipitasi) yang telah mengalami evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah (soil storage, disingkat SS). Water surplus ini berpengaruh langsung pada infiltrasi atau perkolasi dan total run off yang merupakan komponen debit. Persamaan water surplus (disingkat WS) adalah sebagai berikut: WS = (P Ea) + SS Dengan memperhatikan Gambar 2.4., maka water surplus merupakan air limpasan permukaan ditambah dengan air yang mengalami infiltrasi. Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage, atau SMS) terdiri dari kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacity, atau SMC), zona infiltrasi, limpasan permukaan tanah dan tampungan tanah (soil storage, atau SS). 32

Gambar II.6. Water surplus merupakan presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi. Besarnya soil moisture capacity (SMC) tiap daerah tergantung dari tipe tanaman penutup lahan (land cover) dan tipe tanahnya, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Dalam studi yang dilakukan Mock di daerah aliran sungai di Bogor, ditetapkan besarnya kapasitas kelembaban tanah maksimum adalah 200 mm/bulan. Dalam Metoda Mock, tampungan kelembaban tanah dihitung sebagai berikut: SMS = ISMS + (P Ea) dengan: ISMS = P Ea = initial soil moisture storage (tampungan kelembaban tanah awal), merupakan soil moisture capacity (SMC) bulan sebelumnya. presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi. 33

Tabel II.3. Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman dan Tipe Tanah Asumsi yang dipakai oleh Dr. F.J. Mock adalah air akan memenuhi SMC terlebih dahulu sebelum water surplus tersedia untuk infiltrasi dan perkolasi yang lebih dalam atau melimpas langsung (direct run off). Ada dua keadaan untuk menentukan SMC, yaitu: a) SMC = 200 mm/bulan, jika P Ea < 0. Artinya soil moisture storage (tampungan tanah lembab) sudah mencapai kapasitas maksimumnya atau terlampaui sehingga air tidak disimpan dalam tanah lembab. Ini berarti soil storage (SS) sama dengan nol dan besarnya water surplus sama dengan P - Ea. 34

b) SMC = SMC bulan sebelumnya + (P Ea), jika P Ea < 0. Untuk keadaan ini, tampungan tanah lembab (soil moisture storage) belum mencapai kapasitas maksimum, sehingga ada air yang disimpan dalam tanah lembab. Besarnya air yang disimpan ini adalah P Ea. Karena air berusaha untuk mengisi kapasitas maksimumnya, maka untuk keadaan ini tidak ada water surplus (WS = 0). Selanjutnya WS ini akan mengalami infiltrasi dan melimpas di permukaan (run off). Besarnya infiltrasi ini tergantung pada koefisien infiltrasi. II.3.1.5. Limpasan Total Air hujan yang telah mengalami evapotranspirasi dan disimpan dalam tanah lembab selanjutnya melimpas di permukaan (surface run off) dan mengalami perkolasi. Berikutnya, menurut Mock besarnya infiltrasi adalah water surplus (WS) dikalikan dengan koefisien Infiltrasi (if), atau: Infiltrasi (i) = WS x if Koefisien infiltrasi ditentukan oleh kondisi porositas dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya memiliki koefisien yang cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak sempat mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, maka koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Infiltrasi terus terjadi sampai mencapai zona tampungan air tanah (groundwater storage, disingkat GS). Keadaan perjalanan air di permukaan tanah dan di dalam tanah diperlihatkan dalam Gambar 2.5. Dalam Metoda ini, besarnya groundwater storage (GS) dipengaruhi oleh: a. Infiltrasi (i). Semakin besar infiltrasi maka groundwater storage semakin besar pula, dan begitu pula sebaliknya. b. Konstanta resesi aliran bulanan (K). Konstanta resesi aliran bulanan (monthly flow recession constan) disimbolkan dengan K adalah proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Nilai K ini cenderung lebih besar pada bulan basah. 35

c. Groundwater storage bulan sebelumnya (GSom). Nilai ini diasumsikan sebagai konstanta awal, dengan anggapan bahwa water balance merupakan siklus tertutup yang ditinjau selama rentang waktu menerus tahunan tertentu. Dengan demikian maka nilai asumsi awal bulan pertama tahun pertama harus dibuat sama dengan nilai bulan terakhir tahun terakhir. Dari ketiga faktor di atas, Mock merumuskan sebagai berikut: GS = { 0,5 x (1 + K) x i } + { K x GSom } Gambar II.7. Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit Seperti telah dijelaskan, metoda Mock adalah metoda untuk memprediksi debit yang didasarkan pada water balance. Oleh sebab itu, batasan-batasan water balance ini harus dipenuhi. Salah satunya adalah bahwa perubahan groundwater storage (ΔGS) selama rentang waktu tahunan tertentu adalah nol, atau (misalnya untuk 1 tahun): Perubahan groundwater storage (ΔGS) adalah selisih antara groundwater storage bulan yang ditinjau dengan groundwater storage bulan sebelumnya. Perubahan groundwater storage ini penting bagi terbentuknya aliran dasar sungai (base flow, 36

disingkat BF). Dalam hal ini base flow merupakan selisih antara infiltrasi dengan perubahan groundwater storage, dalam bentuk persamaan: BF = i ΔGS Jika pada suatu bulan ΔGS bernilai negatif (terjadi karena GS bulan yang ditinjau lebih kecil dari bulan sebelumnya), maka base flow akan lebih besar dari nilai Infiltrasinya. Karena water balance merupakan siklus tertutup dengan perioda tahunan tertentu (misalnya 1 tahun) maka perubahan groundwater storage (ΔGS) selama 1 tahun adalah nol. Dari persaman di atas maka dalam 1 tahun jumlah base flow akan sama dengan jumlah infiltrasi. Selain base flow, komponen debit yang lain adalah direct run off (limpasan langsung) atau surface run off (limpasan permukaan). Limpasan permukaan berasal dari water surplus yang telah mengalami infiltrasi. Jadi direct run off dihitung dengan persamaan: DRO = WS - i Setelah base flow dan direct run off komponen pembentuk debit yang lain adalah storm runoff, yaitu limpasan langsung ke sungai yang terjadi selama hujan deras. Storm run off ini hanya beberapa persen saja dari hujan. Storm runoff hanya dimasukkan ke dalam total run off, bila presipitasi kurang dari nilai maksimum soil moisture capacity. Menurut Mock storm run off dipengaruhi oleh percentage factor, disimbolkan dengan PF. Percentage factor adalah persen hujan yang menjadi limpasan. Besarnya PF oleh Mock disarankan 5% - 10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan hingga mencapai 37,3%. Dalam perhitungan debit ini, Mock menetapkan bahwa: a. Jika presipitasi (P) > maksimum soil moisture capacity maka nilai storm runoff = 0. b. Jika P < maksimum soil moisture capacity maka storm runoff adalah jumlah curah hujan dalam satu bulan yang bersangkutan dikalikan dengan percentage factor atau: 37

SRO = P x PF Dengan demikian maka total run off (TRO) yang merupakan komponenkomponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base flow, direct run off dan storm run off, atau: TRO = BF + DRO + SRO Total run off ini dinyatakan dalam mm/bulan. Maka jika TRO ini dikalikan dengan catchment area (luas daerah tangkapan air) dalam km2 dengan suatu angka konversi tertentu didapatkan besaran debit dalam m3/det. II.3.1.6. Data Kalibrasi Kalibrasi terhadap parameter Mock yang digunakan perlu dilakukan agar hasil perhitungan debit dengan metoda ini dapat mewakili kondisi aktual seperti di lapangan (dibandingkan dengan debit hasil pengukuran hidrometri yang diperoleh dari data sekunder). Dalam perhitungan debit limpasan dengan menggunakan metoda Mock tersebut, digunakan data debit bulanan hasil pengumpulan data sekunder untuk kalibrasi yang dilakukan pada semua sungai di Pulau Jawa yang memiliki data stasiun pengukuran debit. II.3.2. Analisis Neraca Air Analisis neraca air sangat terkait dengan sifat dari sumber daya air yang selalu berubah-ubah menurut waktu, ruang, jumlah dan mutu. Oleh karena itu, pada setiap daerah akan memiliki karakteristik yang khas. Perhitungan neraca air ilakukan dengan didasarkan pada perbandingan antara ketersediaan air permukaan dengan memperhatikan adanya titik-titik pengambilan (misalnya: bendung atau waduk) dengan total kebutuhan air di wilayah yang dilayaninya, dengan belum memperhitungkan adanya optimasi pemanfaatan jika terjadi defisit air. Langkah-langkah analisis keseimbangan air dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Menghitung ketersediaan air pada masing-masing DAS yang akan melayani wilayah administrasi tertentu sebagai titik-titik pusat kebutuhan yang juga dihitung kebutuhan airnya. 38

b. Menghitung keseimbangan air antara titik-titik kebutuhan dengan wilayahwilayah DAS yang melayaninya. c. Melakukan proyeksi terhadap kebutuhan sehingga dapat diperkirakan kebutuhan air di masa yang akan datang. Ilustrasi dari analisis neraca air dapat dilihat pada Gambar 2.6. Skematisasi wilayah sungai hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga ketersediaan air pada setiap bangunan kontrol dan bangunan pengambilan utama telah terwakili. Biasanya sub wilayah sungai hulu digabungkan di titik tersebut. Untuk skematisasi tersebut perlu dibedakan sistem sumberdaya air yang mempunyai pengaruh besar terhadap wilayah tersebut dan titik-titik pengambilan yang banyak dan kecil-kecil. Wilayah sungai yang besar diperlukan pengelompokan setiap titik yang kecil-kecil, dengan tujuan penyederhanaan permasalahan. Gambar II.8. Analisis neraca air 39

II.4. Konsep Dinamika Pertumbuhan Penduduk Model dinamika perkembangan penduduk secara struktural dijelaskan oleh Meadows (2004), dimana akumulasi jumlah penduduk ditentukan oleh faktorfaktor kelahiran dan kematian. Faktor kelahiran mendorong perilaku jumlah penduduk yang semakin meningkat, sementara faktor kematian akan mengarahkan tingkat pertumbuhannya. Selanjutnya Weeks (1994) berpandangan bahwa kelahiran, kematian dan migrasi adalah elemen dinamik dalam sebuah analisis demografi. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dalam perjalanannya memunculkan persoalan sosial, ekonomi dan politik, seperti keamanan pangan, polusi, inflasi, permukiman, pendapatan, energi, pengangguran, baca tulis serta kebebasan individu. Analisis terhadap migrasi tidak terlepas dari adanya keterkaitan fenomena migrasi dengan pertumbuhan penduduk, disparitas sosial ekonomi regional dan perubahan sosial. Seperti dikemukakan oleh Hugo Dkk. (1987), terdapat hubungan dua arah antara mobilitas penduduk dalam proses pembangunan sosial ekonomi. Di satu sisi, migrasi akan mengundang ketimpangan pembangunan sedangkan di sisi lain, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan mengundang kehadiran para migran. Dalam perspektif neoklasik, perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dipandang sebagai respon dari ketidakseimbangan distribusi modal dan sumberdaya manusia. Arah migrasi akan datang dari wilayah yang kurang modal (investasi) ke wilayah dimana investasi banyak tercurah. Sebagai sumberdaya alam yang esensial bagi penduduk, ketersediaan air pada suatu wilayah mempengaruhi keberadaan penduduknya. Ketersediaan kuantitas dan kualitas air menentukan distribusi penyebaran penduduknya. II.5. Teori Akumulasi Kapital Produksi Pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dicirikan oleh adanya peningkatan output produksi pada sektor-sektor ekonomi pembentuknya. Peningkatan output produksi merepresentasikan terjadinya akumulasi kapital (Produk Modal Tetap Bruto, PMTB) dari sektor ekonomi. Hubungan antara output produksi dengan stok kapital dijelaskan oleh teori Harrod-Domar Model, yang menyatakan bahwa 40

investasi dan koefisien kapital merupakan faktor kritis penentu bagi akumulasi stok kapital dan pertumbuhan output, dengan asumsi seluruh tabungan digunakan untuk fixed investment. Model persamaan tersebut dikenal dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Jika nilai kapital output rasio konstan maka laju pertumbuhan output produksi (Y) sama dengan laju pertumbuhan stok kapital (K). Secara definisi, ICOR adalah suatu ukuran yang menunjukan besarnya tambahan investasi baru yang diperlukan untuk meningkatkan output, yang dalam hal ini adalah nilai tambah, sebesar satu unit. Dalam bentuk formula, ICOR dinyatakan sebagai rasio pertambahan capital (K) terhadap pertambahan output atau nilai tambah (Y) atau ICOR = K/Y. Output adalah hasil yang diperoleh baik dalam bentuk barang maupun jasa dari pemanfaatan seluruh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi. Pertambahan output sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh investasi semata, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya. Sungguhpun demikian dalam perhitungan ICOR digunakan asumsi bahwa tidak ada faktor lain yang mempengaruhi ouput selain investasi, atau dengan kata lain faktor faktor diluar investasi dianggap konstan. Angka ICOR sangat diperlukan karena dapat memberikan informasi mengenai produktivitas nasional. Output industri dinyatakan dengan PDRB sektor industri, sementara pertambahan kapital merupakan besarnya bagian dari output yang diinvestasikan kembali menjadi kapital industri. Nilai awal kapital industri diestimasi dari perkalian antara KOR dan PDRB industri awal. Konsep nilai tambah berkaitan erat dengan penghitungan output. Keduanya merupakan konsep penghitungan neraca ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Demikian halnya dengan sektor lain, seperti sektor jasa dan perdagangan dimana output jasa dan perdagangan dinyatakan dengan PDRB sektor jasa dan perdagangan, sementara pertambahan kapital merupakan besarnya bagian dari output yang diinvestasikan kembali menjadi kapital jasa dan perdagangan. Nilai awal kapital jasa dan perdagangan diestimasi dari perkalian antara KOR dan PDRB sektor jasa dan perdagangan awal. 41

II.6. Tekanan Penduduk Terhadap Tata Guna Lahan Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan meningkatkan kebutuhan terhadap sumber daya lahan, sebagai konsekuensi atas tuntutan untuk memenuhi kebutuhan permukiman maupun kebutuhan pangan. Faktor paling utama yang mempengaruhi terjadinya pengalihan tataguna lahan pada suatu wilayah tangkapan air adalah jumlah penduduk (Sandy, 1973). Demikian halnya dengan pendapat McKinney (1999) yang menyatakan bahwa dalam sistem wilayah daerah pengaliran sungai tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik namun juga menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku manusia. Tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan merupakan faktor utama terjadinya deforestasi yang selanjutnya menimbulkan berbagai permasalahan lain seperti erosi tanah, kekeringan dan juga banjir.di dalam suatu wilayah yang merupakan bagian dari kawasan yang pertumbuhan perekonomian dan penduduknya sangat tinggi seperti Kawasan Cekungan Bandung, tekanan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi terutama terkait dengan kebutuhan akan lahan permukiman. Tekanan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya konversi lahan pertanian (termasuk ladang) menjadi lahan permukiman, sedangkan kebutuhan akan lahan pertanian yang tetap ada mendorong terjadi konversi lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian (deforestasi). Diperlukan upaya-upaya yang terintegrasi dan sistemik untuk menguraikan permalahan konversi lahan tersebut terutama karena menyangkut faktor penduduk (manusia) yang merupakan mahluk sosial. II.7. Lubang Resapan Biopori Dari perspektif pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan ketersediaan air dan banjir berkaitan dengan meningkatnya koefisien limpasan (C) di satu DAS. Studi yang dilakukan Lukman (2006), misalnya, menemukan bahwa koefisien limpasan DAS Ciliwung ketika terjadi banjir besar pada tahun 2002 adalah 0,72. Itu artinya, dari seluruh volume air hujan yang jatuh di DAS 42

Ciliwung (seluas 31.297 ha), 72 % diantaranya menjadi aliran permukaan yang terukur sebagai volume Sungai Ciliwung. Satu hal yang kurang memperoleh pembahasan selama ini - tapi justru menjadi kunci penanggulangan banjir ke depan - adalah bahwa koefisien limpasan DAS pada dasarnya merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan dari masing-masing persil lahan yang ada di DAS yang bersangkutan. Dan yang tidak boleh dilupakan: masing-masing persil lahan itu melekat hak kepemilikan (property right) atasnya. Dari perspektif tersebut maka banjir (dan juga kekeringan) dapat ditanggulangi jika warga DAS berpartisipasi menurunkan koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing. Itu artinya, tiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS tersebut, harus melakukan upaya dengan mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan di persilnya masing-masing. Meski setiap individu warga DAS harus berpartisipasi, keikutsertaan itu harus dalam konteks aksi kolektif (collective action). Hal ini menjadi prasyarat penting karena yang akan ditangani adalah sumber daya yang memiliki karakteristik public good, yaitu air hujan dan air limpasan permukaan. Aksi individu, betapa pun optimalnya, tidak akan pernah dapat menangani persoalan yang berkaitan sumber daya dengan karakteristik public good seperti ini. Aksi kolektif tersebut sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa lalu (Thomson dan Freudenberger, 1997). Dalam konsteks DAS di Indonesia, aksi kolektif itu dapat dilakukan mulai level RT/RW dan Kelurahan/Desa. Itu artinya, penanggulangan banjir dapat terjadi jika terdapat aksi kolektif di tingkat lokal di seluruh wilayah DAS (think globally, act locally). Biopori merupakan lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter berkisar antara 10-30 cm. Kedalaman lubang resapan biopori (LRB) sekitar 100 cm atau tidak melebihi kedalaman air tanah. Lubang biopori tersebut biasanya diisi sampah organik yang berfungsi untuk menghidupkan mikroorganisme tanah, seperti cacing tanah dan juga rayap. Cacing ini nantinya bertugas membentuk pori-pori atau terowongan dalam tanah (biopori). Hal tersebut yang menyebabkan kedalam biopri tidak boleh lebih dari 1 meter untuk 43

menjaga kandungan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang ada di dalamnya. Manfaat yang dihasilkan dari lubang biopori ini sangat beragam. Pori-pori menjadikan tanah berongga guna mempercepat proses peresapan air ke dalam tanah. Secara horizontal, resapan air mengalir dalam tanah melalui lubang biopori yang dihasilkan dari aktivitas cacing. Lubang biopori merupakan teknologi tepat guna yang bermanfaat untuk mengurangi genangan air dan sampah organik. Di kawasan permukiman padat yang sebagian besar permukaannya sudah tertutup bangunan/perkerasan bipori sangat bermanfaat karena selain akan mampu meningkatkan kualitas lahan melalui peningkatan kapasitas infiltrasi, biopori tersebut juga akan mampu mengurangi tingkat genangan air di kawasan tersebut. Cara membuat lubang peresepan biopori cukup sederhana yanitu dengan membuat lubang di dalam tanah dengan kedalaman kurang lebih 1 meter dengan diameter kurang lebih 10-30 cm cm, kemudian di dalamnya dimasukkan sampah-sampah organik untuk memancing binatang-binatang seperti semut, cacing atau rayap masuk dan membuat biopori berupa terowongan-terowongan kecil horisontal di dalamnya yang akan membuat air cepat meresap. Dengan demikian meskipun air yang tekumpul di dalam lubang tersebut cukup banyak namun kondisinya tidak jenuh air yang berarti air cukup, udara cukup, dan makanan tercukupi dari sampah (hal tersebut juga yang menyebabkan sampah tidak menyebarkan bau). Untuk mencegah orang terperosok, biopori dapat dilengkapi dengan jaring kawat pengaman. Biopori dapat dibuat di rumah yang halamannya terbatas karena ukuran diameternya hanya sekitar 10 cm. Bahkan bisa dilakukan di bangunan-bangunan modern yang halamannya telah di beton atau di semen. Tentu saja harus ada pengorbanan yang dilakukan, yaitu dengan melakukan pelubangan terhadap beton dan semen -- memang memakan biaya -- namun perlu dilakukan karena sangat bermanfaat untuk mencegah banjir dan memperbanyak cadangan air tanah. Pembuatan biopori mungkin tidak cukup dengan himbauan sukarela, tetapi harus dengan sedikit paksaan atau jika perlu dengan peraturan daerah. Toh hasilnya akan dinikmati oleh semua penduduk kota. Dibandingkan dengan membuat sumur 44