Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis dan Karakter Siswa

dokumen-dokumen yang mirip
SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu

PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN OSCAR

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) dalam Implementasi Kurikulum 2013

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

BAB II. Kajian Teoretis

Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Mahasiswa pada Mata Kuliah Kalkulus III

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mendukung Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada pada manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA DALAM MENEMUKAN RUMUS BARISAN ARITMATIKA BERBANTUAN ALAT PERAGA SEDERHANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

UPAYA MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL INQUIRY BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektif adalah akibatnya atau pengaruhnya.

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA. Zuhrotunnisa ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa. Melalui Pembelajaran Matematika

ISBN :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 4, No.2, September 2015

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber

KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH TURUNAN FUNGSI TRIGONOMETRI

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

PEMAHAMAN SISWA DALAM PERMUTASI DAN KOMBINASI MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MAHASISWA PGMI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang pendidikan yang di survey oleh Organisation for Economic

, 2015 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN RECIPROCAL TEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MEMFASILITASI KEMAMPUAN KONEKSI SISWA SMP/MTs

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia menjadi perhatian saat memasuki abad ke-21.

Materi Bilangan Bulat dan Pecahan untuk Siswa SMP/MTs dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS VIII SMP

PEMAHAMAN KONSEPTUAL SISWA DITINJAU DARI TINGKAT KEMAMPUAN MATEMATIKA MATERI ALJABAR DI SMP

BAB I PENDAHULUAN. National Cauncil of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) menyebutkan. masalah (problem solving), penalaran (reasoning), komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, matematika merupakan

BAB I PENDAHULUAN. manusia- manusia unggul dan berkualitas. Undang-undang No 20 tahun 2003

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DAYA MATEMATIS UNTUK SISWA SMP. Fitriana Eka Chandra 1

KAJIAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA (HASIL TAHAPAN PLAN SUATU KEGIATAN LESSON STUDY MGMP SMA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) DAN RELEVANSINYA DENGAN KTSP 1. Oleh: Rahmah Johar 2

BAB I BAB I PENDAHULUAN. peserta didik ataupun dengan gurunya maka proses pembelajaran akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

Transkripsi:

Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis dan Karakter Siswa Rahmah Johar Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: rahmahjohar@fkip.unsyiah.ac.id Abstrak. Salah satu dasar perubahan kurikulum di Indonesia menjadi kurikulum 2013 adalah karena tuntutan untuk megembangkan kompetensi dan karakter siswa. Oleh karena itu guru perlu merancang tahap-tahap pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran inovatif, seperti Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL). Namun hal ini tidak mudah bagi sebagian besar guru karena sudah terbiasa menerapkan tahap-tahap pembelajaran langsung (Direct instruction), sehingga kompetensi matematis dan karakter siswa kurang berkembang. Makalah ini membahas model Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), contoh penerapannya dalam pembelajaran matematika, untuk mengembangkan kompetensi matematis dan karakter siswa. Kata kunci : Discovery Learning (DL), Problem -Based Learning (PBL), dan Project -Based Learning (PjBL), kurikukulm 2013, kompetensi matematis, karakter 1. Pendahuluan Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik tersebut. Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, bertanggung jawab. Dengan demikian, aspek karakter religious, karakter sosial, pengetahuan, dan keterampilan menjadi fokus dari kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2014). Untuk mencapai tujuan kurikulum 2013 di atas, Permendikbud No. 81A tahun 2013 mengatur bahwa proses pembelajaran pada kurikulum 2013 hendaknya terdiri atas lima pengalaman belajar yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, yang disingkat dengan 5M. Pengalaman belajar ini dikenal dengan pendekatan saintifik. Kemendikbud (2014) memperjelas bahwa mo del pembelajaran yang diterapkan untuk melaksanakan pendekatan saintifik diantaranya adalah Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL). Berdasarkan pengalaman penulis memberikan kuliah dan memberikan pelatihan, banyak mahasiswa dan guru menyampaikan bahwa mereka kesulitan merancang perangkat pembelajaran yang menerapkan DL apalagi PBL dan PjBL. Bahkan diantara mereka tidak yakin bahwa PBL dan PjBL cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika karena matematika itu abstrak sehingga PBL dan PjBL akan membuang-buang waktu. Makalah ini membahas hakikat belajar matematik, penerapan DL, PBL, dan PjBL dalam pembelajaran matematika dan kaitannya dengan pengembangan kompetensi matematis dan karakter siswa.

2. Tinjauan Pustaka Hakikat Belajar Matematika Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan. Oleh karena itu mengerjakan matematika artinya menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan. Pola tidak hanya terdapat pada bilangan dan persamaan, tetapi juga berada pada setiap sesuatu di sekeliling kita. Dunia penuh dengan pola dan urutan: di alam, dalam seni, dalam bangunan, dalam music, dan lain-lain. Pola dan urutan juga ditemukan dalam perdagangan, sains, obat-obatan, pabrik, dan sosiologi. Matematika menyelidiki pola ini, member arti, dan emnggunakannya dalam berbagai cara yang menarik, untuk memperbaiki dan memperluas kehidupan kita. Sekolah harus membantu anak-anak dalam proses penyelidikan tersebut. Dikaitkan dengan ide Freudenthal sebagai tokoh Pendidikan Matematika Realistik, dia menjelaskan bahwa dalam pendekatan realistik, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Maksudnya, matematika dipandang sebagai aktivitas menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan aktivitas dalam mengorganisasikan materi pelajaran. Masalah ini bisa berasal dari realitas yang telah diatur/diorganisasikan sesuai dengan pola-pola matematika. Dapat juga berasal dari diri sendiri atau orang lain, baru atau lama yang telah diorganisasikan menurut ide baru untuk pemahaman yang lebih baik dalam konteks yang lebih luas (dalam Gravemeijer, 1994). Jadi, belajar matematika dimaksudkan sebagai mengerjakan matematika, dimana menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian utamanya. Variasi dari masalah kontekstual ini diintegrasikan dalam kurikulum dari awal. Oleh karena itu, fokus utama pendidikan matematika bukan hanya hasil (produk), tetapi juga proses memperoleh hasil (Johar, 2006). Untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat menggunakan matematika dalam berbagai konteks, asesemen internasional, yaitu PISA Program for International Student Assessment) menilai kemampuan siswa berkaitan dengan literasi matematika ( mathematics literacy), sebagai akibat dari belajar matematiks. Literasi atau melek matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Termasuk di dalamnya bernalar secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika dalam menjelaskan serta memprediksi fenomena. Dengan demikian literasi matematika membantu seseorang untuk mengenal peran matematika dalam dunia dan membuat pertimbangan maupun keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD, 2010). Dengan demikian pengetahuan dan pemahaman tentang konsep matematika sangatlah penting, tetapi lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengaktifkan literasi matematika itu untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Johar 2013). Salah satu cara mewujudkan tujuan belajar matematika di atas adalah dengan menerapkan model-model pembelajaran seperti yang disarankan oleh kurikulum 2013, yaitu Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL). Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning/DL) Istilah discovery learning (belajar penemuan) diungkapkan pertama kali oleh Bruner yang berlawanan dengan reception learning (belajar penerimaan). Baik discovery learning maupun rote learning bisa bermakna atau hafalan tergantung pada dikaitkan atau tidaknya pengetahuan baru dengan struktur kognitif siswa (Kirschner, Sweller, and Clark (2004). Alfieri et. al (2011) menjelaskan bahwa many literature suggests that discovery learning occur whenever the learner is not provided with the target information or conceptual understanding and must find

it independently and with only provided materials. Maksudnya, banyak literatur menjelaskan bahwa discovery learning terjadi ketika siswa bukan sebagai target informasi atau pemahaman konseptual melainkan siswa yang menemukannya secara independen dengan menggunakan material yang disediakan. Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Syah (2004) menjelaskan fase (syntax) model discovery learning adalah sebagai berikut. 1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) 2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah) 3. Data collection (pengumpulan data) 4. Data processing (pengolahan data) 5. Verification (pembuktian) 6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Contoh peneapan discovery learning berikut dikembangkan dari Buku Matematika Kelas VII edisi revisi (Kemendikbud, 2014), sebagai berikut. Tabel 1. Tahap Pembelajaran Discovery Learning TAHAP PEMBELAJARAN KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Stimulation Pendahuluan (stimulasi/pembe 1. Membuka pelajaran dengan salam pembuka dan berdo a rian rangsangan) 2. Memeriksa kehadiran siswa sebagai sikap disiplin Apersepsi : Mengingat kembali materi tentang bilangan ganjil, bilangan genap, siswa diminta menyebutkan ciri-cirinya Motivasi : Memotivasi siswa dengan cara menunjukkan gambar berkaitan dengan susunan benda-benda ciptaan Tuhan dan buatan manusia yang giat menuntut ilmu. Guru mendemonstrasikan pengelompokan gelas di meja, siswa diminta melanjutkan kelompok berikutnya??? (Ada lebih dari satu jawaban) Guru menayangkan video barisan Fibonacci dan siswa diminta

membaca riwayat Fibonacci di buku siswa 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai\ 4. Menyampaikan langkah pembelajaran dengan discovery learning 2. Problem statemen (pertanyaan/iden tifikasi masalah) Kegiatan Inti Mengamati Guru memberi kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk mengidentifikasi masalah yang relevan dengan pola bilangan, seperti gambar bola berikut - Diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi bola di atas yang berwarna biru - Guru menyampaikan permasalahan, yaitu tuliskan banyaknya bola biru pada gambar di atas. Menanya: Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang pola banyak bola biru pada gambar. Contoh pertanyaan: Apakah 3 bola biru dapat ditulis sebagai ½ x 2 x 3 atau 3 = 2+1? 3. Data collection (pengumpulan data) Mengumpulkan informasi Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan sebagai bahan menganalisis dalam rangka menjawab pertanyaan atau hipotesis di atas. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain: - Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk mengumpulkan informasi dari susunan gambar tersebut. Pola ke Banyaknya bola 1 1 2 3 3 6 4 10 5... 6...

4. Data processing (pengolahan data) Mengasosiasi: Siswa mengolah data atau informasi yang telah diperoleh para siswa melalui pengamatan. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan oleh guru antara lain meminta siswa melengkapi tabel beriktu: Pola ke Banyaknya bola 1 1 2 3 3 6 4... 5... Pola bilangan x1x2 x2x3 x3x4...... 5. Verification (pembuktian) 6. Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi) Tuliskan dugaanmu tentang banyak bola, lalu diskusikan, mengapa banyak bola pada pola ke-n adalah Un = ½ x n x (n+1) dengan mengisi tabel pada LKS Siswa menarik kesimpulan tentang banyak bola pada suku ke-n n + 1 n Pola ke- n adalah = ( + 1) Dengan menggunakan rumus pola yang sudah ditemukan diatas, kita dapat menentukan pola ke-10, yaitu = 10(11) = 55 Mengkomunikasikan Beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka, kelompok lain menanggapi Siswa mengerjakan soal tes individu Penutup Guru membimbing siswa menyimpulkan tentang pola bilangan Setiap kelompok diberikan penghargaan berdasarkan keberhasilan belajar kelompoknya. Guru mengajukan pertanyaan refleksi, misalnya - Bagaimana komentarmu tentang pelajaran hari ini? - Aktivitas mana yang sudah dan belum kuasai? - Bagaimana saranmu tentang proses pembelajaran berikutnya? Guru menginformasikan bahwa pertemuan selanjutnya akan membahas tentang menentukan pola bilangan lanjutan Siswa mengerjakan tugas projek halaman 81 buku siswa (di rumah) Pembelajaran diakhiri dengan penyampaian pesan moral berkaitan dengan pola bilangan

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL) Arends ( 2008) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL), berusaha untuk memandirikan siswa. Tuntutannya adalah guru mendorong dan mengarahkan siswa untuk bertanya dan mencari solusi sendiri masalah nyata, dan siswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan dorongan inkuiri terbuka. Problem Based Learning (PBL) juga sering disebut Problem Based Instruction. Menurut Nur (20 11) ciri khas sebagai berikut. 1. Mengajukan pertanyaan atau masalah PBL menekankan pada mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara pribadi bagi siswa. Pelajaran diarahkan pada situasi kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana, dan memperbolehkan adanya keragaman solusi beserta argumentasinya. 2. Berfokus pada interdisiplin Meskipun PBL dapat berpusat pada mata pelajaran tertentu (sains, matematika, IPS) namun solusinya menghendaki siswa melibatkan banyak mata pelajaran. 3. Penyelidikan otentik PBL menghendaki siswa menggeluti penyelidikan otentik dan berusaha memperoleh pemecahan nyata terhadap masalah nyata, seperti mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengupulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika diperlukan), dan membuat kesimpulan. 4. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan PBL menghendaki siswa menghasilkan produk dalam bentuk karya nyata dan memamerkannya. Produk ini mewakili solusi-solusi mereka, misalnya skrip sinetron, sebuah laporan, modul fisik, rekaman video, atau program komputer 5. Kolaborasi Seperti pembelajaran kooperatif, PBL juga ditandai oleh siswa yang bekerja sama dengan siswa lain. Selain ciri yang di atas, PBL menurut Nur (2011) juga dimaksudkan untuk membantu siswa berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran-peran penting yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Gallagher, Stephien, Sher & Workman (dalam Chin and Li-Gek, tanpa tahun) menjelaskan bahwa PBL where students generate their own problems which are often realistic, illstructured and precede learning. Maksudnya, dalam PBL siswa membangun masalah mereka sendiri yang realistik, ill-structured, dan mendahului materi pelajaran. Selanjutnya dijelaskan bahwa ill-structured problems are those where (a) the initial situations lack all the information necessary to develop a solution, (b) there is no single right way to approach the t ask of problem solving, (c) as new information is gathered the problem definition change, and (d) the students will never be 100% sure that they have made the correct selection of solution options. Dalam pembelajaran guru harus terlebih dahulu menetapkan tujuan pembelajaran sehingga tujuan itu dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Setelah guru menetapkan tujuan kemudian guru harus merancang situasi masalah yang sesuai dengan materi. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki, dan tidak terdefinisikan dengan ketat, memungkinan kerja sama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum (Johar, Hanum, dan Nurfadhilah, 2006). Arends (2001) mengemukakan lima ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah yaitu pengajuan masalah atau pertanyaan, keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan yang autentik, menghasilkan dan memamerkan hasil karya, dan kolaborasi. Arends (1997) mengemukakan tahapan-tahapan/fase dalam PBL seperti pada tabel berikut :

1. Orientasi siswa kepada masalah Tabel 2. Tahapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Tahap Tingkah Laku Guru 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar 3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya 5. Menganalisis & mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka&proses-proses yg mereka gunakan Contoh masalah untuk menerapkan PBL dalam pembelajaran matematika: 1. Pembelajaran topik perbandingan dengan tema perayaan ulang tahun di SMP Nassya Catering mendapat pesanan minuman sirup acara untuk ulang tahun. Banyak tamu undangan adalah 150 orang. Bantulah Nassya Catering menentukan banyak sirup yang akan dibeli dan jumlah biaya yang diperlukan. Sumber belajar/alat: satu botol sirup, sendok ukur, air putih, dan brosur harga satu botol sirup. 2. Pembelajaran topik Aritmatika Sosial di SMP Ibu Sofi akan memanfaatkan bunga di sekitar rumahnya sebagai penghasilan keluarga. Jenis bunga di sekitar rumah Bu Sofi sudah disesiakan di atas meja. Apa yang harus dilakukan Bu Sofie agar usaha merangkai bunganya beruntung? Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL) Project Based Learning is a teaching and learning model (curriculum development and instructional approach) that emphasizes student-centered instruction by assigning projects. It allows students to work more autonomously to construct their own learning, and culminates in ealistic, student-generated products (Moursund, 2002; Thomas et al., 1999 dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/project-based_learning). Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti pembelajaran. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun ( a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, 2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa, 3. siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan,

4. siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan, 5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu, 6. siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan, 7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, 8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan Schneiderman et al dalam Edu Tech Wiki, membedakan PBL dengan PjBL sebagai berikut, project-based learning focuses mostly on a production model. Students start by defining the purpose of creating the end-product, identify their audience, they research the topic, design the product, do the project management, solve the problems that arise and finish the product followed by a self-evaluation and reflection. So, the driving force is the end-product, but the key to success is the skills acquired during it s production. In that sense, Project-Based Learning is a broader category than the Problem-based Learning. DEngan demikian dapat disimpulkan bahwa PjBL lebih focus pada menghasilkan produk, sehingga PjBL lebih luas dari PBL. Lebih jelas, persamaan dan perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Persamaan dan Perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning

Contoh penerapan PjBL dalam pembelajaran matematika berikut dirangkum dari Muschla and Muschla (2006). 1. Debat Heboh (Great Debate) Pengantar: Biasanya debat berhubungan dengan bahasa inggris, dan pelajaran sosial lainnya. Debat adalah aktivitas unik yang menguntungskan siswa dalam pmbelajaran matematika. Untuk mempersiapkan debat siswa harus mencari topik mereka, memperjelas pemikiran mereka, dan merumuskan argumentasi. Mereka harus mengerti mengenai topik secara mendalam. Ada unsur kompetisi dalam debat, namun kebanyakan siswa menemukan kenyaman dalam berdebat. Petunjuk untuk guru: a) Mulai projek ini dengan menjelaskan kepada siswa bahwa mereka akan ambil bagian dalam debat mengenai isu dan masalah matematika b) Ada banyak topik yang bisa digunakan dalam debat matematika. Beberapa topik tersebut antara lain sebagai berikut. Bolehkah kalkulator digunakan di sekolah dasar? Apakah UN dapat dijadikan indikasi yang baik untuk melihat hasil belajar siswa? Dapatkah PR dijadikan alat untuk evaluasi? Apakah masih perlu belajar perkalian menggunakan tabel? c) Pemilihan topik juga bisa dilakukan dengan curah pendapat (brainstorming) dengan siswa d) Pastikan setiap kelompok heterogen e) Minta siswa melakukan studi pustaka yang mendukung topik mereka baik menggunakan buku atau pun sumber online. f) Sediakan sarana debat agar siswa merasa suasana debat. g) Pilih seorang moderator dan pencatat waktu 2. Membuat anggaran (making a budget) Pengantar: Banyak siswa mengganggap bahwa uang adalah sesuatu yang tak akan habis. Mereka membeli sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar membutuhkannya. Masalahnya adalah mereka tidak tahu bagaimana cara mereka menghabiskan uang mereka. Untuk beberapa siswa membuat anggaran bisa bermanfaat. Menyusun anggaran tidak memberi jaminan bahwa uang akan mereka habiskan secara bijak, tetapi memungkinkan siswa untuk memonitor income dan pengeluaran mereka. Petunjuk untuk Guru a) Mulai projek dengan menjelaskan bahwa siswa akan bekerja individu untuk membuat anggran bulanan yang akan memonitor income dan pengeluaran mereka. b) Diskusikan kata income, biaya, dan surplus c) Jika perlu, review perkiraan di kelas d) Minta siswa menuliskan pemasukan, pengeluaran, sisa uang, dan rencana penggunaan uang 3. Merencanakan kamar sendiri (A floor plan my room) Pengantar: Biasanya kamar remaja berantakan. Kadang-kadang perabot di kamar tidak diatur sehingga kamar terasa sempit. Pengaturan kembali bisa membuat ruangan nyaman dan tidak berantakan. Pengaturan kembali tata letak perabot adalah sebuah pekerjaan besar, berfikir, apalagi jika perabotnya banyak. Cara yang baik adalah membuat rancangan di atas kertas tentang tata letak perabotan di kamar. Petunjuk untuk Guru: a) mulai projek ini dengan menjelaskan bekerja sendiri-sendiri untuk membuat perencanaan lantai kamar

b) Mendorong siswa membuat sket kamar mereka beserta ukurannya, c) Minta siswa mengukur panjang dan lebar furniture d) siswa menentukan skala dan konsultasi terlebih dahlu bagaimana mennetukan skala e) Minta siswa menuliskan skala pada gambar f) siswa bersiap-siap untuk diskusi tentang rancangan lantai kamarnya dan mengapa rancangan lantainya adalah yang terbaik. Kompetensi Matematika Kompetensi matematika yang dimaksud dalam makalah ini adalah kemampuan yang hendaknya dimiliki oleh siswa berdasarkan prinsip NCTM (2000), yaitu kemampuan memecahkan masalah ( problem solving), bernalar dan membuktikan ( reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) Problem solving-it means solving the non-routine problem or context problem- is a primary goal of mathematics teaching and learning and is considered to be the essence of mathematics (NCTM, 2000). Maksudnya, problem solving sebagai soal non rutin atau masalah kontekstual merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi: a) Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah b) Membuat model matematik dari suatu masalah dan menyelesaikannya. c) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika d) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban e) Menerapkan matematika secara bermakna However, some students fail in solving problems typically defined as non-routine and teachers encounter difficulties in supporting the development of the students problem-solving competency (Kolovou, et al. 2009, Johar 2011). Maksudnya, beberapa siswa gagal dalam menyelesaikan masalah non rutin dan guru berudaha membantu kesulitan siswa dengan memberikan dorongan untuk mengembangkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah. The teacher has to play an active role in orchestrating productive whole-class discussions and in selecting framing mathematics issues - context problem - as topics discussion (Gravemeijer, 2010, Gravemeijer and Cobb, 2006). The teacher not only asks the student to explain your strategy but also show how you got your answer (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Peressini (1999, 156) menyatakan bahwa penalaran matematika memainkan peranan yang sangat penting dalam proses berpikir meliputi: - mengumpulkan data - membuat konjektur - membangun generalisasi - membangun argument - menggambarkan (menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa s ecara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai

kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif di antaranya adalah: a) Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang kasus khusus lainnya. b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada f) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah sedang yang lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi. Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif di antaranya adalah: a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid c) Menyusun pembukltian langsung, pembukltian tak langsung dan pem-buktian dengan induksi matematika. Kemampuan pada butir a) pada umumnya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi. NCTM (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika sebagai suatu cara membagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya adalah: a) Menyatakan suati situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya adalah: a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur. b) Memahamai hubungan antar topik matematika. c) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehar-hari. d) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep. e) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam represntasi yang ekuivalen. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika. Pengembangan Karakter melalui Pembelajaran Matematika Pendidikan di sekolah merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi pembentukan karakter siswa. Namun kondisi pendidikan di sekolah saat ini cenderung mengembangkan aspek kognitif siswa, dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang

mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada mengejar target kurikulum. Bahkan terkadang guru menunjukkan sikap yang negatif terhadap pembentukan karakter siswa, seperti kurang menghargai siswa, jarang memberikan pujian kepada siswa, guru lebih banyak mengkritik siswa. Akibatnya siswa menjadi kurang percaya diri, kurang menghargai orang lain, dan tidak kreatif (Johar, 2012). Respon guru sangat penting dalam mengembangkan karakter siswa. Respon yang bersifat kritik yang merendahkan atau menjatuhkan siswa merupakan suatu hal yang harus dihindari. Pemberian pujian merupakan suatu pemberian respon yang efektif, tetapi perlu diperhatikan pemberian pujian tersebut haruslah sungguh-sungguh berarti bagi siswa. Pemberian pujian yang berlebihan dan tidak pada tempatnya akan membuat pujian itu tidak bermakna bagi siswa (Marliyah dkk, 2004). Pujian yang diberikan secara tepat akan membuat siswa termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Wright, 2002). Sebagai seorang guru (dalam http://ideguru.wordpress.com/2010/04/11/ tips-menumbuhkan-percaya-diri-anak/) dijelaskan bahwa guru perlu menahan diri untuk cepat-cepat turun tangan membantu anak melakukan sesuatu. Membantu boleh-boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut campur tangan tanpa dimintanya. Doronglah dia untuk tidak terlalu gampang mengatakan, Saya tidak bisa, Saya tak pernah akan bisa, atau Saya memang bodoh. Dengarkan siswa dan dorong dia untuk berpikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Untuk mendorong kreativitas siswa dalam matematika, guru perlu memberikan soal-soal terbuka/open-ended (Johar dkk, 2006) dan soal yang berbentuk problem solving (Johar dan Afrina, 2011). Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), sangat berpotensi untuk mengembangkan kompetensi matematika dan karakter siswa. Karakter yang dimaksud seperti kreatif, memiliki rasa ingin tau, demokratis, percaya diri, kerjasama, dan tanggung jawab. Selain itu kompetensi matematis siswa seperti kemampuan memecahkan masalah ( problem solving), bernalar dan membuktikan ( reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) juga dapat ditingkatkan. Untuk itu, guru perlu memfasilitasi siswa dengan cara mendesain permasalahan dan aktivitas agar dapat menerapkan model Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL) untuk meningkatkan Daftar Pustaka Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw-Hill Arends, Richard L. (2008). Learning to Teach. University of Maryland: Pustaka Pelajar. Alfieri, L., Brooks, P. J., Aldrich, N. J., and Tenenbaum, H. R. (2011) Does Discovery-Based Instruction Enhance Learning? Journal of Educational Psychology. Vol. 103. 1 p. 1-18. Chin, C. and Li-Gek, C (without year). Implementing Problem-Based Learning in Biology. Nanyang Tachnology University. Singapore Edu Tech Wiki Project-based learning dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/projectbased_learning

Gravemeijer, K.P.E and Cobb, P. (2006). Design Research from a Learning Design Perspective. In Dekker, van den, Gravemeijer, K., Mc Kenny, S., & Nieven, N. (Eds). Educational Design Research (pp. 17-51). London: Rontledge. Gravemeijer, K.P.E (2010). Realistic Mathematics Education Theory as a Guideline for Problem-Centered, Interactive Mathematics Education. In Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M., (Eds), A Decade of PMRI in Indonesia, Bandung, Utrecht: APS International. Nur, Mohamad (2011) Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah. Johar, Rahmah (2006) Pendidikan Matematika Realistik: Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Matematika dalam Jurnal Wacana FKIP Unsyiah, ISSN 0853-3571, Vol. 5 No. 1 Tahun 2006. Johar, Rahmah; Hanum, Latifah; Nurfadhilah, Cut (2006) Strategi Belajar Mengajar. Modul. FKIP Unsyiah. Johar, Rahmah and Afrina, Marisa (2011) The Teachers Efforts to Encourage the Students Strategies to Find the Solution of Fraction Problem in Banda Aceh. Proceeding of International Congress for School Effectiveness and Improvement. Cyprus, 4-7 Januari 2011. Johar, Rahmah (2012). Upaya Guru Mengembangkan Karakter Siswa melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapan (SimanTap). Medan, 28-29 November 2012. Johar, Rahmah (2013). Domain Soal Pisa untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Vol 1. No. 1 Oktober 2012. Kemendikbud (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta Kolovou, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A. (2009) Non-Routine Problem Solving Tasks in Primary School Mathematics Textbooks A Needle in a Haystack. Mediterranean Journal for Research in Mathematics Education 8 (2), 31-69. Muschla, J. A. and Muschla, G. R. (2006) Hands-on Math Projects with Real-Life Applications. (2 nd Edition) Jossey-Bass A Wiley Imprint. USA NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM OECD (2010). PISA 2012. Mathematics Framework: Draft Subject to Possible revision after the Field Trial. Peressini, D. (1999). Analyzing Mathematical Reasoning in Students Responses across Multiple Performance Assessment Tasks. Dalam Developing Mathematical Reasoning Grades K-12 by Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt), NCTM, Virginia; USA. Sumarmo, Utari (2012 ) Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di NTT tanggal 25 Februari 2012

Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. van den Heuvel-Panhuizen, M. (1996). Assesment Realistic Mathematics Education. Utrecht, Netherland: Freudental Institute van de Walle. J. (2007) Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Alih Bahasa Suyono. Jakarta: Erlangga. Wright, Jim (2002) Lesson 2: How to Give Compliments to Tutees. In www.interventioncentral.org.