MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA MENTERI KEUANGAN,

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 300/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Piutang Negara. Pengurusan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2014, No c. bahwa guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pencegahan dalam rangka pengurusan Piutang Negara dan tidak dilaksanakannya

Menimbang : a. Mengingat : Peraturan...

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA SALIN AN

1 of 6 18/12/ :54

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.06/2016 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Ma

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI GOWA PAJAK PARKIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GOWA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.40/Menhut-II/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lemba

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122 / PMK.06 / 2007 TENTANG KEANGGOTAAN DAN TATA KERJA PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MENTERI KEUANGAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 293/KMK.O9/1993 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 259/PMK.04/2010 TENTANG JAMINAN DALAM RANGKA KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 69 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK REKLAME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KABUPATEN CILACAP

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.06/2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA VERIFIKASI

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENYEDIAAN DAN/ATAU PENYEDOTAN KAKUS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK.06/2010 TENTANG BALAI LELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DI KABUPATEN CILACAP

- 1 - BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMUNGUTAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 5 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PAJAK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN CILACAP

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK.06/2010 TENTANG BALAI LELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

2016, No Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Pasal 64D ayat (4) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang

SALINAN PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN NOMOR 2/PLPS/2005 TENTANG LIKUIDASI BANK DEWAN KOMISIONER LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN,

TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR

WALIKOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG,

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Menimbang : a. MENTERI KEUANGAN, bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, dipandang perlu mengatur petunjuk pelaksanaan tentang Pengurusan Piutang Negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas, efisiensi, akuntabilitas, transparansi dan kehati-hatian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang Negara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104); 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3437); 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah; 6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; 7. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.06/2007 tentang Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara; 10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/ 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. 2. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara. 4. Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang. 5. Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal. 6. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. 7. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada Direktorat Jenderal. 8. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara, yang untuk selanjutnya disingkat BUMN, atau Badan Usaha Milik Daerah, yang untuk selanjutnya disingkat BUMD, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara. 9. Penanggung Hutang adalah badan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. 10. Penjamin Hutang adalah badan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. 11. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari

Penyerah Piutang. 12. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, caracara penyelesaiannya, dan sanksi. 13. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang. 14. Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia. 15. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan. 16. Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan. 17. Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang. 18. Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang. 19. Penilai Internal adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian. 20. Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan. 21. Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya. 22. Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam lelang. 23. Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/fidusia. 24. Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

25. Penjualan tanpa melalui lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang dengan persetujuan Panitia Cabang. 26. Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan. 27. Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara. 28. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan. 29. Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku harus bertanggung jawab. 30. Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan. BAB II PENYERAHAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Bagian Pertama Syarat Penyerahan Pasal 2 Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Instansi Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1) Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang. (2) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal dari Komisi Negara/Lembaga Tinggi Negara, Badan Hukum Milik Negara, dan Badan Layanan Umum. Pasal 4 (1) Penyerahan pengurusan Piutang Negara disampaikan secara tertulis disertai resume dan dokumen kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang.

(2) Dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (1), dalam hal : a. tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang dimaksud ; b. domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan harus dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian dimaksud; c. domisili Penanggung Hutang berbeda dengan kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili Penanggung Hutang dimaksud. Pasal 5 (1) Resume berkas kasus Piutang Negara yang diserahkan memuat informasi: a. identitas Penyerah Piutang; b. identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; c. bidang usaha Penanggung Hutang; d. keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat diserahkan; e. dasar hukum terjadinya piutang; f. jenis Piutang Negara; g. penjamin kredit oleh perusahaan penjamin kredit; h. sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet; i. tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dari perbankan, atau tanggal Penanggung Hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari nonperbankan; j. rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya; k. daftar Barang Jaminan, yang memuat uraian barang, pembebanan, kondisi dan nilai Barang Jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh Barang Jaminan; l. daftar Harta Kekayaan Lain; m. penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh Penyerah Piutang; dan

n. informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh Penyerah Piutang. (2) Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagai berikut: a. perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perjanjian, perubahan perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, keputusan yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan/atau dokumen lain yang membuktikan adanya piutang; b. rekening koran, prima nota, mutasi piutang, faktur, rekening, bukti tagihan, dan/atau dokumen lain yang dapat membuktikan besarnya piutang; c. dokumen yang terkait dengan Barang Jaminan dan pembebanannya; d. surat menyurat antara Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang. Pasal 6 Ketentuan mengenai dokumen-dokumen yang dilampirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Pasal 7 Dalam hal pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan Piutang Negara lebih dari 1 (satu) berkas kasus, setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri. Bagian Kedua Permintaan Kelengkapan Data dan Ekspose Pasal 8 Kantor Pelayanan dapat meminta kelengkapan data kepada Penyerah Piutang dalam hal: a. berkas kasus yang diserahkan belum lengkap; atau b. Kantor Pelayanan membutuhkan informasi lebih lanjut sebagai bahan pengurusan. Pasal 9 Dalam kasus-kasus tertentu, Kantor Pelayanan dapat meminta bantuan Penyerah Piutang untuk memberikan penjelasan (ekspose) atas kasus yang diserahkan. Bagian Ketiga

Kredit Sindikasi Pasal 10 Dalam hal piutang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat Piutang Negara yang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada Panitia Cabang. Pasal 11 (1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh Agen atau anggota sindikasi yang berasal dari Instansi Pemerintah. (2) Dalam hal Instansi Pemerintah berkedudukan sebagai Anggota Sindikasi/Konsorsium, penyerahan pengurusan Piutang Negara harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Agen anggota Sindikasi/Konsorsium. Pasal 12 (1) Jumlah Piutang Negara yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 adalah sebesar piutang dari Anggota Sindikasi/Konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah. (2) Penyerahan Piutang Negara dengan jumlah sebesar seluruh piutang sindikasi/konsorsium hanya boleh dilakukan oleh: a. Agen Sindikasi/Konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari seluruh Anggota Sindikasi/Konsorsium. b. Anggota Sindikasi/Konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari Agen dan seluruh Anggota Sindikasi/Konsorsium yang lain. BAB III PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Bagian Pertama Penelitian Adanya dan Besarnya Piutang Negara Pasal 13 (1) Kantor Pelayanan meneliti surat penyerahan pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus. Pasal 14 Berdasarkan resume dan dokumen penyerahan, Kantor Pelayanan menghitung besarnya Piutang Negara.

Pasal 15 (1) Piutang Negara terdiri atas hutang pokok, bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya sesuai perjanjian/peraturan/putusan pengadilan. (2) Besarnya pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah kredit/piutang dikategorikan macet berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal : a. piutang pokok terdapat beban bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya; atau b. piutang denda terdapat beban bunga. Pasal 16 Dalam menghitung besarnya Piutang Negara: a. polis asuransi, biaya pembebanan hak tanggungan/fidusia, biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan, diperhitungkan sebagai penambahan. b. Piutang Negara dalam satuan mata uang asing tetap dihitung dalam satuan mata uang asing yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, Piutang Negara dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan mata uang Rupiah dalam hal sebelum pengurusan Piutang Negara diserahkan kepada Panitia telah ada kesepakatan antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang atau telah ada persetujuan dari Penyerah Piutang. (2) Dalam hal mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sudah tidak berlaku, piutang negara dihitung dalam mata uang asing pengganti yang masih berlaku. Pasal 18 (1) Dalam hal Penyerah Piutang tidak dapat menyampaikan rekening koran, prima nota, atau data mutasi keuangan, Kantor Pelayanan dapat menghitung sendiri besarnya Piutang Negara berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian/peraturan/putusan pengadilan. (2) Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonfirmasikan kepada Penyerah Piutang. Bagian Kedua Penerimaan

Pasal 19 (1) Dalam hal berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan dan dari hasil penelitian berkas dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan SP3N. (2) Dalam hal berkas penyerahan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat ( 2), yang disebabkan keadaan kahar, penyerahan dapat diterima dengan ketentuan penyerahan dilampiri : a. dokumen pengganti, daftar nominatif/rekapitulasi dan/atau data pendukung yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang; dan b. laporan kepada Kepolisian atau keterangan dari pejabat yang berwenang tentang dokumen yang hilang/musnah karena keadaan kahar. (3) Dalam hal Kantor Pelayanan menghitung sendiri besarnya Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, hasil perhitungan Kantor Pelayanan yang telah mendapat konfirmasi secara tertulis dari Penyerah Piutang, digunakan sebagai dasar menetapkan besarnya Piutang Negara dalam SP3N SP3N memuat sekurang-kurangnya: Pasal 20 a. nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara; b. identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang; c. pernyataan menerima pengurusan Piutang Negara; d. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18; e. uraian barang jaminan; dan f. tanda tangan Panitia Cabang. Pasal 21 Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang atas piutang yang terjadi atau diperjanjikan di luar negeri dalam hal: a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan b. Penanggung Hutang berstatus Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia; atau c. terdapat kewenangan Penyerah Piutang untuk memilih yurisdiksi hukum di Indonesia.

Pasal 22 (1) Dalam hal Penanggung Hutang adalah Instansi Pemerintah, pengurusan Piutang Negara dilaksanakan secara khusus dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara dengan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal. Pasal 23 (1) Sejak SP3N diterbitkan, pengurusan Piutang Negara beralih kepada Panitia Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh Kantor Pelayanan. (2) Dalam hal piutang didukung dengan barang jaminan, sejak SP3N diterbitkan Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli Barang Jaminan. Bagian Ketiga Penolakan Pasal 24 Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara dalam hal: a. kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara; b. Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau c. Penyerah Piutang bukan berasal dari Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Bagian Keempat Permintaan Dokumen Asli Pasal 25 Dalam hal setelah diterbitkan SP3N, Penyerah Piutang belum menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan dan pembebanannya, Kantor Pelayanan menerbitkan surat permintaan kepada Penyerah Piutang. BAB IV KOREKSI DAN PERUBAHAN BESARAN PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama Koreksi Besaran Piutang Negara Pasal 26 (1) Koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat: a. pembayaran yang tidak tercatat; dan/atau b. kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang; (2) Koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). Pasal 27 Koreksi besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan maksud memberikan keringanan hutang. Pasal 28 Ketentuan mengenai koreksi besaran Piutang Negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Kedua Perubahan Besaran Piutang Negara Pasal 29 Perubahan besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan, jika terdapat: a. pembebanan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a; dan/atau b. persetujuan keringanan jumlah hutang. Pasal 30 Dalam hal kasus Piutang Negara telah diterbitkan SP3N, perubahan besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan cara menerbitkan SP3N kembali. Bagian Ketiga Penelitian Bukti-bukti Pasal 31 Koreksi besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) atau perubahan besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a harus didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti, baik yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang.

BAB V PENGEMBALIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Pasal 32 Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal: a. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan; b. piutang terkait dengan perkara pidana; c. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif; d. terdapat putusan Lembaga Peradilan dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan pengurusan Piutang Negara. e. pengurusan piutang BUMN telah sampai pada tahap PSBDT; atau f. Piutang Negara yang diserahkan, terjadi atau disalurkan di eks-provinsi Timor-Timur. Pasal 33 Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena kekeliruan Penyerah Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a harus berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan. Pasal 34 (1) Perkara pidana sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b merupakan perkara yang terkait dengan penyalahgunaan penggunaan kredit atau menyangkut proses pemberian kredit (2) Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena terkait dengan perkara pidana dapat dilakukan pada tahap penyidikan. (3) Piutang Negara yang telah dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diserahkan kembali kepada Panitia Cabang apabila: a. dalam putusan pidana tidak terdapat kerugian negara yang harus diganti; atau b. dalam putusan pidana Penanggung Hutang dibebaskan dari segala tuntutan. (4) Penyerahan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi piutang yang berasal dari BUMN/BUMD. Pasal 35 (1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c dapat dilakukan apabila:

a. Penyerah Piutang tidak bersedia menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan berikut pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setelah diminta secara tertulis; atau b. Penyerah Piutang tidak menanggapi surat atau tidak bersedia memenuhi permintaan tertulis dari Kantor Pelayanan. (2) Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan peringatan secara tertulis kepada Penyerah Piutang. Pasal 36 Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena adanya putusan Lembaga Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d harus berdasarkan bukti salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 37 Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf e dan f hanya dapat dilaksanakan apabila: a. terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan b. pengembalian dilaksanakan untuk keperluan hapus buku/hapus tagih. Pasal 38 (1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara dituangkan dalam Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Panitia Cabang. (2) Surat Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyerah Piutang dengan disertai semua dokumen yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan. BAB VI PANGGILAN Bagian Pertama Surat Panggilan dan Panggilan Terakhir Pasal 39 Kantor Pelayanan melakukan panggilan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dalam rangka penyelesaian hutang. Pasal 40 Dalam hal Penanggung Hutang adalah: a. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang; b. badan hukum berbentuk perseroan terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga badan hukum; c. badan hukum koperasi atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi atau yayasan; d. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau e. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus. Pasal 41 Tenggang waktu antara tanggal surat panggilan dan tanggal menghadap disesuaikan dengan perkiraan lamanya surat sampai di alamat Penanggung Hutang ditambah waktu yang diperlukan untuk datang menghadap ke Kantor Pelayanan. Pasal 42 Dalam hal Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang ditetapkan dalam surat panggilan. Pasal 43 Surat panggilan dan surat panggilan terakhir disampaikan oleh kurir atau menggunakan jasa pos. Pasal 44 Ketentuan mengenai panggilan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Kedua Pengumuman Panggilan Pasal 45 (1) Dalam hal Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal/tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, Kantor Pelayanan melakukan Pengumuman Panggilan melalui: a. surat kabar harian; b. media elektronik; c. papan pengumuman di Kantor Pelayanan; dan/atau d. media massa lainnya. (2) Dalam hal dianggap perlu, Panggilan, Panggilan terakhir atau panggilan lain-lain dapat dilakukan melalui surat kabar dan/atau media massa lainnya.

Pasal 46 Pengumuman panggilan memuat identitas Penanggung Hutang dan kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya kepada Negara. Bagian Ketiga Surat Kuasa Khusus Pasal 47 (1) Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh pihak ketiga, pihak yang mewakili harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus yang dibuat dengan akta notaris atau dilegalisir oleh notaris. (2) Dalam hal jenis piutang adalah Kredit Usaha Kecil dan Menengah atau yang sejenis, surat kuasa khusus dapat dibuat dengan surat kuasa di bawah tangan, dengan ketentuan: a. surat kuasa khusus dibuat di atas kertas bermeterai cukup dan diketahui kepala desa atau lurah setempat; b. dilampiri fotokopi kartu identitas Pemberi dan Penerima Kuasa; dan c. pada saat menghadap, Penerima Kuasa menunjukkan kartu identitas asli Pemberi dan Penerima Kuasa. BAB VII PERNYATAAN BERSAMA Bagian Pertama Wawancara Pasal 48 Dalam hal Penanggung Hutang datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, Kantor Pelayanan melakukan wawancara dengan Penanggung Hutang tentang kebenaran adanya dan besarnya Piutang Negara serta cara-cara penyelesaiannya. Pasal 49 Hasil wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab, yang ditandatangani oleh: a. Penanggung Hutang; b. Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuk; dan c. sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurangkurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Bagian Kedua Pembuatan Pernyataan Bersama

Pasal 50 Berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab dibuat Pernyataan Bersama, yang ditandatangani oleh: a. Panitia Cabang; b. Penanggung Hutang; dan c. sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurangkurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Pasal 51 Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang dan sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan dibuat Pernyataan Bersama yang memuat sekurang-kurangnya: a. irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"; b. identitas Penanggung Hutang; c. identitas Penyerah Piutang; d. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain; e. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara; f. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang; g. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya; h. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang; i. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama; j. tanda tangan Panitia Cabang; k. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan l. tanda tangan para saksi. Pasal 52 (1) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pernyataan Bersama dibuat dengan ahli waris Penanggung Hutang. (2) Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan fatwa waris atau penetapan dari pengadilan. Pasal 53 Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh kuasanya, Pernyataan Bersama dibuat dengan kuasa Penanggung Hutang. Pasal 54 Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan

Bersama paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani. Pasal 55 (1) Pembayaran Piutang Negara yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama dapat dilakukan secara tunai atau angsuran. (2) Dalam hal pembayaran ditetapkan secara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu angsuran tidak boleh melebihi triwulanan. Pasal 56 (1) Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang namun tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pernyataan Bersama tetap dibuat. (2) Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. pengakuan hutang; dan b. pernyataan Penanggung Hutang tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan. Bagian Ketiga Peringatan Pernyataan Bersama Pasal 57 (1) Dalam hal Penanggung Hutang tidak membayar angsuran sesuai ketentuan dalam Pernyataan Bersama, paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penanggung Hutang untuk memenuhi kewajibannya. (2) Dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban sesuai dengan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jadwal angsuran yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama tetap berlaku. Pasal 58 Surat peringatan Pernyataan Bersama dapat diterbitkan lebih dari 1 (satu) kali, dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam surat peringatan Pernyataan Bersama, namun pada jadwal angsuran berikutnya Penanggung Hutang melakukan tunggakan. Bagian Keempat Perubahan Besaran Piutang Negara Pasal 59 (1) Dalam hal setelah Pernyataan Bersama dibuat terdapat perubahan besaran Piutang Negara sebagai akibat penambahan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, Panitia Cabang

menerbitkan Surat Pemberitahuan Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang. (2) Surat Pemberitahuan Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama. BAB VIII PENETAPAN JUMLAH PIUTANG NEGARA Bagian Pertama Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara Pasal 60 (1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara, dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena: a. Penanggung Hutang tidak mengakui jumlah hutang baik sebagian atau seluruhnya, tetapi tidak dapat membuktikan; b. Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang, tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama tanpa alasan yang sah; atau c. Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan dan/atau pengumuman panggilan. (2) Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara memuat sekurangkurangnya: a. berkepala "Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara" tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara; b. pertimbangan diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara; c. dasar hukum diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara; d. besarnya Piutang Negara dengan rincian hutang pokok, bunga, denda, ongkos/beban lainnya dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang wajib dilunasi Penanggung Hutang; e. tanggal penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara; dan f. tanda tangan Panitia Cabang. Bagian Kedua Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara Pasal 61 (1) Dalam hal setelah diterbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara terdapat koreksi/perubahan besaran Piutang Negara, tidak perlu dibuat Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara yang baru, tetapi cukup diterbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.

(2) Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Penetapan Jumlah Piutang Negara. BAB IX KERINGANAN HUTANG Bagian Pertama Kewenangan Pasal 62 Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan diberi kewenangan untuk memberikan keringanan hutang dalam bentuk: a. keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya; dan /atau b. keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Pasal 63 Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Kepala Kantor Wilayah berwenang untuk: a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang lebih dari Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang: 1. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen); 2. jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 3. jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 4. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau 5. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. menolak permohonan keringanan hutang. Pasal 64 Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Kepala Kantor Pelayanan berwenang untuk:

a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang: 1. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen); 2. jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; atau 3. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. b. menolak permohonan keringanan hutang; atau c. memberikan pertimbangan keringanan hutang kepada Kepala Kantor Wilayah. Pasal 65 (1) Pokok kredit/hutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 dan 64 adalah pokok kredit/hutang yang tercantum dalam perjanjian kredit, perjanjian lain yang sejenis, atau keputusan pejabat yang berwenang. (2) Persetujuan keringanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64, dalam hal Piutang Negara merupakan piutang yang berasal dari: a. Instansi Pemerintah Pusat, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); dan b. Instansi Pemerintah Daerah, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau menyerahkan keputusan kepada Kantor Pelayanan dan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Bagian Kedua Permohonan Pasal 66 (1) Permohonan keringanan hutang diajukan oleh Penanggung Hutang/Penjamin hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan disertai proposal/alasan-alasannya. (2) Permohonan keringanan hutang dapat juga diajukan Penanggung

Hutang/Penjamin Hutang melalui Penyerah Piutang. Pasal 67 (1) Dalam hal permohonan keringanan hutang yang diajukan melebihi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 atau berkas/data yang disampaikan tidak lengkap, Kantor Pelayanan dapat menolak permohonan karena tidak dapat diproses lebih lanjut. (2) Permohonan kembali keringanan hutang dapat dilakukan terhadap kasus Piutang Negara yang telah pernah ditolak dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 68 (1) Permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang diajukan selambat-lambatnya sebelum Pengumuman Lelang. (2) Dalam hal Lelang pernah dilaksanakan, permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang dapat diajukan dengan ketentuan selambat-lambatnya sebelum Pengumuman Lelang berikutnya. Pasal 69 Ketentuan mengenai permohonan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Ketiga Analisis Pasal 70 Persetujuan, penolakan, dan pemberian pertimbangan atas permohonan keringanan hutang harus berdasarkan hasil analisis. Pasal 71 Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang masih berjalan dan permohonan keringanan berupa keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya: a. latar belakang permohonan keringanan hutang; b. itikad baik Penanggung Hutang; c. kemampuan/usaha Penanggung Hutang; d. nilai dan daya laku barang jaminan; dan e. rencana pelunasan hutang. Pasal 72 Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak berjalan/tidak ada,

atau usaha masih berjalan tetapi hanya mengajukan permohonan keringanan jumlah hutang, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya: a. latar belakang permohonan keringanan hutang; b. itikad baik Penanggung Hutang; c. nilai dan daya laku barang jaminan; dan d. rencana dan sumber pelunasan hutang. Pasal 73 (1) Pembayaran hutang yang diterima sejak SP3N diterbitkan, diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok. (2) Pembayaran hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pembayaran yang dilaksanakan sejak tanggal berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara sampai dengan saat pengajuan permohonan keringanan hutang. (3) Pembayaran hutang yang dilaksanakan sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dimintakan konfirmasi kepada Penyerah Piutang mengenai alokasi pembayaran yang telah dilakukan Penanggung Hutang. Pasal 74 Besar keringanan jumlah hutang dihitung dari sisa hutang bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya pada saat keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan. Pasal 75 Ketentuan mengenai analisis keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Keempat Keputusan Pasal 76 Keputusan keringanan hutang dapat berupa menyetujui seluruhnya, menyetujui sebagian, atau menolak permohonan keringanan yang diajukan. Pasal 77 (1) Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak ada, atau tidak mendukung penyelesaian hutang secara bertahap, atau permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jumlah hutang.

(2) Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian seluruh hutang secara bertahap, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jangka waktu. (3) Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian sebagian hutang secara bertahap, keringanan hutang dapat dipertimbangkan dalam bentuk keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu. (4) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), keringanan hutang dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu dapat dipertimbangkan dalam hal : a. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang bersedia menyerahkan jaminan tambahan dan melakukan pengikatan; b. sumber pembayaran yang digunakan merupakan kegiatan usaha yang masih berjalan dan mendukung penyelesaian hutang; dan c. Pengurus dari Badan usaha dan Badan usaha yang digunakan sebagai sumber pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diikat sebagai Penjamin Hutang. Pasal 78 (1) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, pembayaran secara angsuran tidak boleh ditetapkan melebihi triwulanan. (2) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jumlah hutang, pelunasan hutang harus dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan. Pasal 79 (1) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui, keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat persetujuan permohonan keringanan hutang. (2) Dalam hal permohonan keringanan hutang tidak dapat disetujui, keputusan penolakan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat penolakan permohonan keringanan hutang. Pasal 80 (1) Penanggung Hutang yang pernah diberikan persetujuan keringanan hutang namun wanprestasi, pada prinsipnya tidak dapat lagi diberikan persetujuan keringanan hutang kecuali apabila cara penyelesaian tersebut lebih baik/menguntungkan dibandingkan cara penyelesaian

lainnya atau telah pernah dilakukan lelang namun tidak terjual/tidak lunas. (2) Persetujuan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan: a. dalam hal pada keputusan terdahulu terdapat keringanan jumlah hutang, besaran keringanan jumlah hutang yang dapat ditetapkan sama dengan keputusan terdahulu: b. dalam hal pada keputusan terdahulu tidak terdapat keringanan jumlah hutang, dapat diberikan keringanan jumlah hutang; c. pembayaran hutang yang telah dilakukan sejak keputusan terdahulu dihitung sebagai pengurang hutang pokok dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73; dan d. pembayaran bersifat tunai paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal persetujuan. (3) Persetujuan kembali keringanan hutang dapat dilakukan untuk mengubah jadwal pembayaran dan besarnya angsuran hutang apabila cara penyelesaian tersebut berdasarkan hasil analisis merupakan cara penyelesaian yang lebih baik/menguntungkan, dengan ketentuan: a. Penanggung Hutang belum dinyatakan wanprestasi; b. tidak boleh mengurangi jumlah hutang yang ditetapkan dalam persetujuan keringanan hutang sebelumnya; dan c. tidak boleh memperpanjang jangka waktu penyelesaian hutang sesuai dengan persetujuan keringanan hutang sebelumnya. (4) Persetujuan kembali keringanan hutang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Pasal 81 (1) Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan keringanan hutang diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Pelayanan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang. (2) Sejak permohonan keringanan hutang diterima Kantor Pelayanan secara lengkap sampai terbitnya keputusan permohonan keringanan hutang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut. Pasal 82 Ketentuan mengenai keputusan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. BAB X PENGELOLAAN BARANG JAMINAN DAN/ATAU HARTA KEKAYAAN LAIN

Bagian Pertama Barang Jaminan Dengan Pengikatan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH)/Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pasal 83 Barang jaminan untuk menjamin kredit selain Kredit Usaha Kecil atau yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bank Indonesia yang pembebanannya masih dalam tahap pemberian SKMH/SKMHT dan belum ditingkatkan menjadi Hipotik/Hak Tanggungan, dalam hal: a. milik Penanggung Hutang, merupakan harta kekayaan lain yang dapat digunakan sebagai pembayaran hutang; b. milik penjamin hutang, diatur lebih lanjut dalam Keputusan Dirjen. Bagian Kedua Ruang Lingkup Pengelolaan Pasal 84 Ruang lingkup pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan meliputi kegiatan: a. penatausahaan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; b. pengamanan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan c. pendayagunaan Barang Jaminan. Pasal 85 Kantor Pelayanan melakukan pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi. Bagian Ketiga Penatausahaan Pasal 86 Dalam rangka penatausahaan dilakukan tindakan meliputi penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pasal 87 Kepala Kantor Pelayanan menunjuk petugas khusus di unit kerjanya yang bertanggung jawab dalam kegiatan penatausahaan dokumen dan fisik barang. Pasal 88 Ketentuan mengenai penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan,

dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Keempat Pengamanan Pasal 89 Dalam rangka pengamanan dapat dilakukan kegiatan: a. penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak atas dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain beserta pembebanannya; b. penelitian lapangan; dan/atau c. pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pasal 90 Dalam hal jangka waktu berlakunya dokumen Barang Jaminan akan segera berakhir atau dokumen asli Barang Jaminan rusak/hilang, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang untuk mengurus kepada instansi yang berwenang. Pasal 91 (1) Dalam hal barang yang akan diteliti berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat barang yang akan diteliti berada. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penelitian lapangan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal barang yang akan diteliti berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan. Pasal 92 Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 huruf c wajib dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang yang tidak dibebani Hak Tanggungan/Fidusia. Pasal 93 Pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan dan ditujukan kepada instansi yang berwenang. Pasal 94 (1) Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank

dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dari Pimpinan Bank Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal /Panitia Pusat kepada Pimpinan Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala Kantor Pelayanan dan didukung Kepala Kantor Wilayah. Pasal 95 (1) Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal/Panitia Pusat kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan usul dari Kantor Pelayanan. Pasal 96 (1) Kantor Pelayanan mencabut pemblokiran dalam hal: a. Piutang Negara dinyatakan lunas/selesai; b. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain bukan atau bukan lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang; c. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang; atau d. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang. (2) Surat pencabutan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kantor Pelayanan kepada instansi yang berwenang. Pasal 97 Ketentuan mengenai penelitian lapangan dan pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Kelima Pendayagunaan Pasal 98 Dalam rangka pendayagunaan Barang Jaminan, dapat dilakukan sewa menyewa/kontrak yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang. Pasal 99 Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat

perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa Barang Jaminan dengan ketentuan: a. Permohonan sewa-menyewa diajukan oleh Penanggung Hutang, dan/atau Pemilik Barang Jaminan; b. sewa-menyewa disepakati oleh Kantor Pelayanan, Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Pemilik Barang Jaminan; c. jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun; d. tidak menghalangi proses pengurusan Piutang Negara terhadap Barang jaminan lainnya dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan e. perjanjian sewa-menyewa antara Pemilik Barang Jaminan dengan Penyewa dibuat dengan akta notaris. Pasal 100 Perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 99. (1) Objek Pemeriksaan adalah: BAB XI PEMERIKSAAN Bagian Pertama Objek Pemeriksaan Pasal 101 a. Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, atau pemegang saham; b. kemampuan Penanggung Hutang; c. Harta Kekayaan Lain; dan/atau d. fisik Barang Jaminan. (2) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap diri, Harta Kekayaan Lain, dan/atau kemampuan ahli waris. Pasal 102 (1) Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu: a. orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara; b. badan hukum, yang diwakili oleh: 1. direksi/pengurus perusahaan/ koperasi; dan/atau

2. anggota dewan komisaris/ dewan pengawas perusahaan/ koperasi; atau c. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata. (2) Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu: a. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee); b. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau c. pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee). (3) Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu pemegang saham yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dapat diminta pertanggungjawaban pribadi. Pasal 103 Kemampuan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b meliputi: a. penghasilan Penanggung Hutang; dan/atau b. hasil usaha dari Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pasal 104 Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf c meliputi: a. barang tidak bergerak, antara lain tanah, tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m 3 (dua puluh meter kubik); b. barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan, furniture, peralatan elektronik; c. surat berharga, antara lain saham, obligasi, bukti piutang, penyertaan modal; d. barang tidak berwujud, antara lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan /atau e. uang atau harta kekayaan yang tersimpan di bank. Pasal 105 Fisik Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf d meliputi Barang Jaminan yang: a. belum ditemukan; dan/atau b. terdapat permasalahan hukum.