ANALISIS KONDISI HUTAN DI KAWASAN PANTAI NATSEPA KABUPATEN MALUKU TENGAH. Donny Japly Pugesehan Dosen Agroforestri Politeknik Perdamaian Halmahera

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

Analisis Vegetasi Hutan Alam

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara ( km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii


KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

BAB III METODE PENELITIAN

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

III. METODE PENELITIAN

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

III. Bahan dan Metode

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

1. Pengantar A. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

STRATIFIKASI HUTAN MANGROVE DI KANAGARIAN CAROCOK ANAU KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

Transkripsi:

ANALISIS KONDISI HUTAN DI KAWASAN PANTAI NATSEPA KABUPATEN MALUKU TENGAH Dosen Agroforestri Politeknik Perdamaian Halmahera ABSTRAC T Coastal forest has an important function whether for ecological also economical, so that management and utilization must be considered to be continue. In effort to save the conservation of coastal forest, then the information about the condition of forest vegetation in relation with the balancing of coastal forest. This research is aimed to know the condition of coastal forest. This research was conducted in the coastal area of Natsepa. The research are 4 rows that was made in the coastal forest, and each row was made by the sample plot, size 20 x 20 meters for tree, 10x10 for the pole level, 5x5 meters for wean level, and 2x2 meters for the sendling level. The data was analyzed by calculating the important value index, and dissimilarity index. The results of researching in coastal forest showed that there are 12 species of vegetation which is dominated by Teminalia cattapa (Ketapang). Key words : Coastal Forest, Vegetation PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai merupakan daerah pinggir laut yang sempit atau wilayah darat yang berbatasan langsung dengan bagian laut, terletak antara air tinggi dan air rendah, walaupun luas daerah ini sangat terbatas, tetapi di sini terdapat variasi faktor faktor lingkungan yang besar di bandingkan dengan daerah bahari lainnya, Kekayaan, keragaman faktor lingkungan serta kemudahan untuk mencapainya menyebabkan interaksi dalam daerah kecil ini lebih banyak dikenal. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah pesisir yang kaya dan beragam akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan serta memiliki garis pantai sepanjang 81.791 km termasuk negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada. masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri dan memiliki potensi sumberdaya yang produktif. Diperkirakan Indonesia juga memiliki 90 tipe ekosistem, baik di daratan maupun perairan dan terdapat 15 formasi hutan alam dari ujung barat di Sabang sampai ujung Timur di Merauke yang merupakan habitat utama banyak spesies tumbuhan dan hewan. Di antara formasi hutan yang memiliki produktivitas dan biodiversitas tinggi, baik jenis flora dan fauna serta mempunyai keunikan tersendiri di Indonesia adalah hutan pantai yang merupakan bagian dari ekosistem pesisir dan laut yang menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata serta penemuan produk biochemical. Namun, seiring dengan laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan regional yang tidak taat asas kelestraian lingkungan hidup, tipe hutan tersebut akhir-akhir ini mulai mengalami kerusakan yang berarti, rusaknya ekosistem pantai dapat menimbulkan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan abrasi pantai, intrusi air laut, perubahan iklim mikro, dan turunnya nilai produktivitas hayati di perairan pantai Hutan pantai memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai pelindung pantai dari gempuran arus laut dan angin, sebagai tempat berlindung dan berkembang biak bagi berbagai macam jenis satwa, sebagai penghasil bahan organik, dan sebagai daerah penyangga (Sugiarto dan Ekariyono, 1996), karena fungsi yang penting ini maka keberadaan hutan pantai harus tetap dipertahankan dan perlu dilakukan usaha usaha pengijauan kembali kawasan pantai yang telah rusak. Pantai Natsepa terletak tepat berbatasan dengan Kota Ambon sebagai pusat kota propinsi dengan jumlah penduduk yang lebih besar dan

Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 tingkat ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Potensi kegiatan dan aktivitas yang cukup besar terjadi di kawasan pantai ini, mengingat pantai ini sangat menarik untuk dikunjungi. Tingkat aksesibilitas dari dan ke objek wisata Pantai Natsepa terhadap semua daerah pemukiman di Pulau Ambon cukup baik. Jarak rata-rata antara Pantai Natsepa (Suli) dengan semua desa di Kota Ambon adalah 15,65 km, dan semua desa di Pulau Ambon adalah 24,19 km. Jumlah pengunjug ke objek wisata Pantai Natsepa dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Tahun 2002 sebanyak 19.547 orang sampai dengan tahun 2007 sebanyak 64.595 orang atau 179 orang per hari. Ratarata 40.317 orang per tahun atau 111 orang per hari, berarti meningkat setiap tahunnya 27,65 %, bahkan pada waktu waktu tertentu (hari libur), jumlah pengunjung bisa melewati daya tampung dari pantai ini. Perkembangan kawasan termasuk Pantai Natsepa, akan berkaitan dengan perkembangan perekonomian, penduduk, wilayah dan berbagai faktor lain. Sebaliknya peningkatan ekonomi dapat meningkatkan permintaan lahan untuk pemukiman dan pembangunan sarana prasarana penunjang. Laju pembangunan yang terjadi di Pantai Natsepa semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas dan kegiatan yang dilakukan di kawasan ini. Berbagai sarana dan prasarana penujang, antara lain hotel/penginapan, toko-toko, Café, Restaurant atau rumah makan, serta shelter yang dilakukan ini banyak memanfatakan daerah sekitar pantai sehingga vegetasi yang membentuk formasi hutan pantai dieksplotasi demi pemenuhan akan sarana prasarana. Tingginya aktivitas yang terjadi di pantai ini, baik itu di kawasan pantai maupun di perairan pantai, mengakibatkan terjadi tekanan terhadap berbagai kehidupan yang ada di pantai ini, vegetasi pantai maupun biota yang hidup di perairan pantai. Mengingat bahwa keanekaragaman hayati laut dan sumberdaya wilayah pesisir merupakan sumberdaya yang amat penting bagi kehidupan ekosistem disekitarnya, maka jika dimanfaatkan secara arif dan bijaksana dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi daerah dan nasional, tetapi apabila sumberdaya tersebut 13 dimanfaatkan tanpa memperhatikan lingkungan dengan keadaan ekologisnya serta daya dukung, maka akan terjadi kerusakan dan kepunahan di masa depan (Bengen, DG. 2002) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi hutan atau vegetasi di Pantai Natsepa. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk 1) memberikan motivasi bagi masyarakat disekitar panatai natsepa maupun masyarakat pengujung dalam upaya menjaga kelestarian hutan di Pantai Natsepa 2) bahan informasi bagi pengelolaan kawasan Pantai Natsepa ke depan (3) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan untuk pengelolaan dan pengembangan kawasan pantai secara umum METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan kawasan Pantai Natsepa dan perairannya, dalam luasan 2 hektar. Bahan yang digunakan adalah vegetasi pantai tingkat pohon, Tiang, Sapihan, Semai, dengan kriteria tingkat pertumbuhan yang digunakan adalah seperti yang dikemukan oleh Soerianegara dan Indrawan (1976), yaitu semai mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5m ; Sapihan/Pancang mulai dari 1,5m dan lebih sampai pada pohon pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm ; untuk tingkat Tiang : pohon pohon yang berdiameter 10 19cm; Tingkat Pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm. Peralatan yang digunakan dalam dalam penelitian adalah seperangkat alat pembuat petak ukur (PU) yaitu tali plastik, kompas, roll, pengukur diameter, Kamera digital, seperangkat alat tulis untuk mencatat data pengamatan. Pengamatan dan pengumpulan vegetasi pantai ini dilakukan untuk melihat komposisi tegakan yang ada di kawasan pantai. Pada lokasi ini dibuat transek yang memanjang ke darat mulai dari pasang tertinggi sampai pada batas terakhir dari formasi hutan pantai. Setiap jalur lebarnya 20m (lebar hutan Pantai Natsepa 20m dari pasang tertinggi sampai ke batas akhir hutan pantai, dan jarak antar jalur 200m, data vegetasi diambil dengan menggunakan sistematic sampling. Pada setiap jalur dibuat petak ukur sebagai berikut 2 x 2m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1,5 m ), 5 x 5m untuk sapihan

14 Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 (diameter < 10 cm dan > 1,5 m) 10 x 10m untuk tiang (diameter 10 20 cm) serta 20 x 20m untuk pohon (diameter > 20 cm). Data yang diperoleh dari pengukuran dilapangan kemudian diolah dengan menggunakan formulasi metode petak kudrat untuk menghitung : Indeks nilai Penting = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + dominansi relatif. Untuk mendapatkan keragaman jenis vegetasi di areal hutan Pantai Natsepa, digunakan Indeks Shanon dan Weaner (Latifah, S. 2005).: Ket : H = Indeks keanekaragaman (diversity) Pi = n/n n = nilai penting suatu jenis N = total nilai penting suatu jenis Skema pembuatan jalur PEMBAHASAN Arah jalur angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan kearah darat, setelah gundukan pasir itu biasanya terdapat hutan yang di namakan hutan pantai, (Nybakken, 1988). Sebagai salah satu ekosistem yang ada di wilayah pesisir, hutan pantai biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan yang cukup beragam. Tumbuhan tersebut bergerobol membentuk unit unit tertentu sesuai dengan habitatnya, suatu unit vegetasi yang terbentuk karena habitatnya disebut formasi, setiap formasi diberi nama sesuai dengan species tumbuhan yang paling dominan. Hutan pantai berpasir memiliki berbagai tipe vegetasi yang dikelompokan dalam beberapa formasi diantaranya formasi Pescaprae dan Barringtonia (Tuhuteru,D.F, 2009). Dari hasil pengamatan dilapangan kondisi Pantai Natsepa didominasi oleh formasi vegetasi barringtonia. Jenis tumbuhan yang menyusun struktur dan komposisi formasi Barringtonia dapat dilihat dari hasil analisis vegetasi hutan pantai dengan Indeks Nilai Penting untuk masing masing tingkat vegetasi. Indeks Nilai Penting merupakan parameter yang dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi atau penguasaan species species dalam suatu komunitas tumbuhan, species species yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang besar. Untuk tingkat pohon diketahui bahwa vegetasi yang paling dominan di hutan pantai adalah jenis Ketapang (Terminalia cattapa) dengan INP yaitu 94,61 %, jenis yang memiliki INP terendah adalah Waru (Hibiscus tiliaucens) dengan nilai INP 11,30 %. Terminalia cattapa mempunyai INP tertinggi menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai toleransi yang lebih luas terhadap perubahan faktor lingkungan, perbedaan nilai INP yang cukup besar antara Teminalia cattapa dengan jenis- jenis lain menunjukan bahwa jenis jenis ini mempunyai toleransi yang kecil terhadap perubahan faktor lingkungan. Ekosistem Hutan Pantai Daerah pantai (Supratidal) merupakan perbatasan antara ekosistem laut dengan ekosistem darat, karena hempasan ombak dan hembusan Analisis Kondisi Hutan di Kawasan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah

Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 15 Tabel 1. Indeks Nilai Penting setiap species Tingkat Pohon. Nama jenis Nama latin K KR F FR D DR INP Beringin pantai Ficus benjamina 6.25 3.03 0.25 6.25 2.98 14.59 23.87 Buah rau Dracontomelon sp 6.25 3.03 0.25 6.25 0.53 2.61 11.89 Gayang Falcataria sp 12.50 6.06 0.25 6.25 0.86 4.20 16.51 Gondal Ficus septica 18.75 9.09 0.25 6.25 1.90 9.29 24.63 Gondal putih Ficus sp 25.00 12.12 0.25 6.25 3.47 16.98 35.35 Hutung Baringtonia asiatica 18.75 9.09 0.50 12.50 0.76 3.70 25.29 Jambu Eguenia sp 6.25 3.03 0.25 6.25 0.28 1.38 10.66 Kayu lem - 6.25 3.03 0.25 6.25 0.71 3.46 12.72 Kelapa Cocos nucifera 12.50 6.06 0.25 6.25 0.55 2.68 14.99 Ketapang Terminalia cattapa 75.00 36.36 1.00 25.00 6.80 33.25 94.61 Pulai Alstonia scolaris 12.50 6.06 0.25 6.25 1.20 5.85 18.16 Waru Hibiscus tiliaucens 6.25 3.03 0.25 6.25 0.41 2.02 11.30 Total 206.25 100.00 4.00 100.00 20.47 100.00 300.00 Untuk tingkat tiang, jenis yang mempunyai nilai INP terbesar adalah Waru (Hibiscus tiliaucens) dengan nilai INP 70,40 %, sedangkan jenis yang memiliki nilai INP terrendah adalah Pala dengan nilai INP 18,90. Hasil analisis untuk tingkat Tiang menunjukkan bahwa Hibiscus tiliaucens memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan faktor lingkungan dibandingkan dengan jenis jenis yang lain. Nilai INP terbesar adalah jenis Siriporar (Ficus sp) dengan INP 53,36, sedangkan INP terrendah adalah jenis Beringin (Ficus benjamina) dan Gayang dengan INP 17,79. Nilai INP terbesar adalah jenis Ketapang (Terminalia cattapa) dengan INP 60,36, sedangkan nilai INP terrendah adalah jenis pulai dan Siripopar (Ficus sp) dengan INP 17,09. Tabel.2. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Tiang Nama jenis Nama latin K KR F FR D DR INP Bintanggur Callopphyllium spp 50.00 9.09 0.50 16.67 1.15 12.21 37.97 Gayang Falcataria sp 75.00 13.64 0.25 8.33 1.07 11.35 33.32 Gondal Ficus septica 50.50 9.09 0.25 8.33 0.83 8.85 26.28 Kelapa Cocos nucifera 50.50 9.09 0.25 8.33 1.02 10.83 28.26 Ketapang Terminalia cattapa 25.25 4.55 0.25 8.33 0.79 8.33 21.21 Pala Myristica fragrans 25.25 4.55 0.25 8.33 0.57 6.02 18.90 Pulai Alstonia scolaris 50.50 9.09 0.25 8.33 0.58 6.17 23.59 Siripopar Ficus sp 75.00 13.64 0.50 16.67 0.92 9.77 40.07 Waru Hibiscus tiliaucens 150.00 27.27 0.50 16.67 2.49 26.46 70.40 Total 550.00 100.00 3.00 100.00 9.42 100.00 300.00 Untuk tingkat sapihan dan semai Ficus sp dan Terminalia cattapa mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan faktor lingkungan dibandingkan dengan jenis jenis yang lain. Tabel. 3. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Sapihan/Pancang Nama jenis Nama latin K KR F FR INP Bintanggur Callopphyllium spp 200.00 8.70 0.25 9.09 17.79 Gayang Falcataria sp 200.00 8.70 0.25 9.09 17.79 Gondal Ficus septica 400.00 17.39 0.50 18.18 35.57 Ketapang Terminalia cattapa 400.00 17.39 0.50 18.18 35.57 Siripopar Ficus sp 600.00 26.09 0.75 27.27 53.36 Waru Hibiscus tiliaucens 500.00 21.74 0.50 18.18 39.92 Total 2,300.00 100.00 2.75 100.00 200.00

16 Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 Tabel.4. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Semai Nama jenis Nama latin K KR F FR INP Bintanggur Callopphyllium spp 1,875.00 12.00 0.25 9.09 21.09 Gayang Falcataria sp 1,875.00 12.00 0.25 9.09 21.09 Gondal Ficus septica 2,500.00 16.00 0.25 9.09 25.09 Ketapang Terminalia cattapa 3,750.00 24.00 1.00 36.36 60.36 Pulai Alstonia scolaris 1,250.00 8.00 0.25 9.09 17.09 Siripopar Ficus Sp 1,250.00 8.00 0.25 9.09 17.09 Waru Hibiscus tiliaucens 3,125.00 20.00 0.05 18.18 38.18 Total 15,625.00 100.00 2.75 100.00 200.00 Hasil analisa Indeks Nilai Penting ini dapat disimpulkan bahwa pada tingkat tertentu toleransi dari jenis jenis vegetasi berbeda beda. Hal ini terlihat jelas pada jenis Terminalia cattapa, pada tingkat pohon dan semai mempunyai toleransi yang tinggi, kemudian mengalami pergeseran/ penurunan pada tingkat tiang dan sapihan, begitupun dengan Hibiscus tilliaucens untuk tingkat Tiang mempunyai toleransi yang tinggi tetapi mengalami pergeseran/penurunan pada tingkat pohon, sapihan dan semai. Pada jenis jenis yang lain mengalami pergeseran/penurunan yang cukup besar, tingkat toleransi tanaman terhadap perubahan faktor lingkungan bervariasi antar jenis maupun tingkat pertumbuhannya. Kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya sifat jenis itu sendiri dan tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Indeks keragaman merupakan ciri tingkat komunitas untuk menyatakan struktur komunitas tumbuhan, keragaman juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan menjaga dirinya untuk tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponennya. Hasil perhitungan indeks Keragaman (H) dilokasi hutan Pantai Natsepa menunjukan bahwa komunitas yang paling tinggi keanekargamannya adalah pada tingkat sapihan/pancang dengan nilai Indeks Keragamannya (H) adalah 1,72,, sedangkan komunitas dengan nilai Indek Keragaman yang paling rendah adalah tingkat pohon dengan nilai keragamannya (H) adalah -2,21. Hasil analis vegetasi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa vegetasi hutan Pantai Natsepa tergolong tidak stabil. Ketidakstabilan ini disebabkan karena hutan pantai ini telah mendapat tekanan/gangguan (kerusakan) yang sangat besar akibat dari aktivitas pembangunan yang terjadi di daerah ini, kemungkinan kerusakan yang terjadi akibat dari penebangan atau karena kondisi tanah yang kurang subur dan tidak begitu lebar, sehingga hanya terdapat satu jenis saja yang paling dominan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Vegetasi Pantai Natsepa didominasi oleh formasi vegetasi barringtonia. 2. Tingkat toleransi tiap tiap jenis berbeda - beda untuk tingkat pohon dan semai di domonasi oleh jenis Terminalia cattapa. 3. Tingkat toleransi tertinggi untuk tingkat tiang dan sapihan di dominasi oleh jenis Hibiscus tilliaucens 4. Indeks Keragaman (H) menunjukan bahwa Vegetasi Pantai Natsepa dalam kondisi tidak stabil, telah mengalami tekanan/gangguan yang cukup besar, tekanan atau gangguan ini terjadi akibat berbagai aktivitas pembangunan dilakukan pada daerah ini. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disaran kepada pihak pihak terkait, baik itu pemerintah, masyarakat maupun pengelola dari kawasan ini bahwa, laju pertumbuhan pembangunan yang terjadi di kawasan ini perlu ditata sesuai dengan kondisi dan daya dukung dari kawasan ini. Aktivitas, baik aktivitas ekonomi, pariwisata dan lainnya perlu diperhatikan dengan baik, serta dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat tentang fungsi dan peranan hutan pantai bagi kelangsung hidup. Analisis Kondisi Hutan di Kawasan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah

Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 DAFTAR PUSTAKA 17 Bengen, DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL IPB. Bogor. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Latifah, S. 2005. Analsis Vegetasi Hutan Alam. Universitas Sumatera Utara. Nybakken, W. R. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT Gramedia. Jakarta Sugiarto dan Ekariyono, W. 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta. Soerianegara dan Indrawan, 1976. Ekologi Hutan Indonesia, Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Tuhuteru,D.F. 2009 Hakekat Hutan Pantai Indonesia. Universitas Haluoleo Kendari