BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara

dokumen-dokumen yang mirip
ASAS KEADILAN DALAM PENGATURAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Konstitusionalisme SDA Migas. Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-X/2012 Tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Oleh Negara

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14 Nomor 1, Juni 2016

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada Bab V merupakan kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. khusus hak atas tanah yang merupakan hak ekonomi, sosial dan budaya dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

SISTEM EKONOMI INDONESIA DAN DEMOKRASI EKONOMI P 5

MATERI SISTEM PEREKONOMIAN DI INDONESIA

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

MENURUT UUD Pihak TERMOHON I, TERMOHON II dan para Ahli yang kami hormati;

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-III/2005 (Perbaikan I Tgl. 31 Maret 2005)

Indonesia for Global Justice (IGJ, Seri Diskusi Keadilan Ekonomi. Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport, Kamis, 13 Juli

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

RINGKASAN. vii. Ringkasan

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

Kelembagaan Ekonomi di Indonesia (Ekonomi Pancasila, Ekonomi Kerakyatan)

RechtsVinding Online

Yang menentukan bentuk sistem ekonomi kecuali dasar falsafah negara dijunjung tinggi maka yang dijadikan kriteria adalah lembaga-lembaga khususnya

Konsep-Konsep Dasar Ekonomi 1. Para Pelaku Pada dasarnya pembagian pelaku ekonomi hanya 2, yaitu: 1. Konsumen dan Produsen Konsumen adalah para

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Negara

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. ras, etnis, bahasa dan juga agama yang beragam, karena itulah Indonesia disebut sebagai

BACKGROUND PAPER ANALISIS KPPU TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PEMPURNAAN UUPA SEBAGAI PERATURAN POKOK AGRARIA

BAB. VI PENUTUP. 1. Perkembangan pengaturan upah di Indonesia. sekaran telah mengalami empat masa. Dimulai dari masa Pasca

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

Grafik 1. Area Bencana

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Mohammad Yusuf Hasibuan Reiza Aribowo

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

Modul I : Pengantar UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat cepat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Negara

AGENDA DALAM SISTEM EKONOMI INDONESIA

PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA,

SISTEM EKONOMI INDONESIA BY DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2007 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN

BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN. Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA [LN 2009/4, TLN 4959]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk. Hal ini dapat dipastikan bahwa desa memiliki potensi yang

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN. Ko-Manajemen: Rezim Desentralisasi

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh orang pribadi ( natural person) ataupun badan hukum (juridical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang

LAPORAN TIM ANALISA DAN EVALUASI HUKUM HAK PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM (UU NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI: PERSPEKTIF POLITIK. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

BAB I PENDAHULUAN. bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat yang dianut hampir

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum. Kalimat ini

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

SISTEM EKONOMI INDONESIA Penafsiran Pancasila dan UUD 45. Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

Transkripsi:

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keadilan sosial. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD 1945. Secara historis, pembahasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Mohammad Hatta. Menurut Bung Hatta (dalam kerangka keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia) terhadap peranan modal bahwa perekonomian Indonesia di masa datang seharusnya diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing; keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka 167

untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga. Pada Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsepsi dikuasai negara merupakan kata kunci Pasal 33 UUD 1945 dalam mengintreprestasikan akses mengusahakan pertambangan di Indonesia. Bung Hatta menginterprestasikan mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut: Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula pengisapan orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal. Selain itu, dalam Pasal 33 UUD 1945 konsepsi dikuasai oleh Negara ini, merupakan kreasi dan kecerdikan intelektual dari para pendiri Negara kita tersebut, karena bila dirumuskan dengan kata dikuasai oleh Pemerintah, maka rumusan tersebut akan bermakna dapat dikuasai baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. Sesuai konsep Hukum Administrasi Negara, bahwa Pemerintah dapat berarti Pemerintah Pusat maupun Pemerintah 168

Daerah. Jadi bila dirumuskan dengan kata dikuasai oleh Pemerintah, maka amanat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat menjadi hanya sebatas kemakmuran rakyat setempat tempat terdapatnya bahan galian dimaksud. Selanjutnya dalam Pasal 33 UUD 1945, dirumuskan oleh founding father bahwa:... dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.. Pemanfaatan bahan galian, tujuannya hanya satu yaitu: untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seluruh Indonesia. Bila yang dimaksudkan tujuannya untuk lebih menekankan pada rakyat setempat (tempat terdapatnya bahan galian tersebut ), maka tentunya akan dirumuskan dengan kata kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran rakyat. Dari hal tersebut, jelas bahwa founding father Negara Indonesia menghendaki bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia bukan hanya masyarakat setempat. 2. Hanya ketentuan dalam Perpu 37 Tahun 1960 yang mendekati prinsip keadilan sosial dalam penguasaan dan penggunaan pertambangan berdasarkan UUD 1945 yaitu Pasal 33 UUD 1945. UU Nomor 11 169

Tahun 1967 hanya menekankan kepada keadilan distributif. Sedangkan UU No 4 Tahun 2009 dan UU No. 21 Tahun 2001 lebih menekankan kepada keadilan distributif dan komunitatif. a. Pada tataran konsepsi, pengertian dikuasai negara dalam UU pertambangan ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pertama, pada masa Orde Lama, masa Perpu No. 37 Tahun 1960, pengertian dikuasai negara diartikan sebagai negara memiliki wewenang untuk menguasai dan mengusahakan langsung semua sumber daya alam melalui perusahaan-perusahaan milik negara. Dalam hal ini hubungan dengan pemilik modal lebih merupakan Production Sharing (bagi hasil). Kedua, pada masa Orde Baru, yaitu masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian dikuasai negara telah bergeser dari pemilikan dan penguasaan secara langsung menjadi penguasaan secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam secara langsung memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi (high risk). Hubungan dengan pemilik modal bersifat kontrak karya. Dalam hal ini, maka Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak 170

dalam sengketa dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang dikuasainya. Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi Yang Publik. Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara Pemerintah dengan Swasta dalam pengalihan suatu hak atas sumberdaya alam pertambangan. Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor ini dapat menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu pemerintahan yang demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy. Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orangorang di dalam pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga ditelaah dari konsep hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Ketiga, pada masa Reformasi, yaitu masa UU No 4 Tahun 2009, pengertian dikuasai negara bergeser ke arah yang lebih praktis dan terbuka. Pemerintah memberikan peluang sebesarbesarnya kepada investor swasta atau asing untuk terlibat langsung 171

dalam pengusahaan sumber daya alam melalui pemberian izin langsung (license). Dalam hal ini hubungan dengan pemilik modal bersifat perizinan. Meski dalam UU Minerba telah merubah kontrak (pada UU UU Nomor 11 Tahun 1967) menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan kepada pihak swasta. Jika kita cermati dalam peraturan pelaksanaan pertambangan, yaitu UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, akses mengusahakan adalah semua kelompok kegiatan, yaitu negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat, di mana hubungan dengan pemilik modal dalam adalah melalui perjanjian kontrak. Wajar saja jika UU No. 21 Tahun 2001 masih menganut sistem kontrak sama seperti di dalam UU No 11 Tahun 1967, karena UU No. 21 Tahun 2001 ini keluar di saat UU No 4 Tahun 2009 belum ada. 172

b. Pada tataran konsepsi, pengertian dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam UU pertambangan ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pertama, pada masa Orde Lama, masa Perpu No. 37 Tahun 1960, pengertian dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam konsideran Perpu No. 37 Tahun 1960 diartikan menjadi dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan. Dalam hal inilah maka keberpihakan Perpu No. 37 Tahun 1960 lebih pro-rakyat. Kedua, pada masa Orde Baru, yaitu masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ternyata melenceng jauh, sejak dari konsiderans sudah terlihat bahwa UU Nomor 11 Tahun 1967 beorientasi kepada eksploitasi. Eksploitasi tambang yang diusung oleh UU Nomor 11 Tahun 1967 memang sejalan dengan politik pembangunan ekonomi yang digerakkan oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dalam hal inilah maka keberpihakan UU Nomor 11 Tahun 1967 lebih pro-korporasi. Ketiga, pada masa Reformasi, yaitu masa UU No 4 Tahun 2009, pengertian dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, diintreprestasikan menjadi memberikan perhatian terhadap peningkatan produksi di satu pihak dan konservasi sumberdaya 173

mineral dan batubara (minerba) pada lingkungannya. Dalam hal inilah maka keberpihakan dalam UU No 4 Tahun 2009 masih sama seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 yaitu pro-korporasi. Namun, jika kita cermati dalam peraturan pelaksanaan pertambangan, yaitu UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pengertian dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua. Jadi keberpihakan dalam UU No. 21 Tahun 2001 adalah masyarakat setempat, dalam hal ini yaitu masyarakat Papua. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 2. 174

Tabel 2. Pemaknaan Keadilan Dalam UU Terkait Pertambangan Mineral dan No Aspek PERPU 37 Tahun 1960 Keadilan Mendekati Keadilan Sosial 1 Orientasi Kedaulatan Negara dan kemakmuran rakyat. Batubara UU No 11 Tahun 1967 Keadilan Distributif Muatan Ekploitasi UU No 4 Tahun 2009 Keadilan Komunitatif dan Distributif Peningkatan Produksi dan Konservasi UU No 21 Tahun 2001 Keadilan Komunitatif dan Distributif Pemberian kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua 2 Keberpihakan Pro-rakyat Pro-korporasi Pro-korporasi Masyarakat Papua 3 Hubungan Dengan Pemilik Modal 4 Akses Mengusahakan Production Sharing (bagi hasil) Usaha bersama negara daerah. atau Kontrak Karya Badan Usaha & perorangan. Perijinan Semua kelompok kegiatan Sumber: UU terkait Pertambangan Mineral dan Batubara, diolah penulis. Kontrak Semua kelompok kegiatan, yaitu negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis paparkan, maka penulis menyarankan dua hal berkenaan dengan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, yaitu: 175

1. Masalah keadilan tidak hanya kompleks dalam tatanan operasional di masyarakat tetapi juga dalam tatanan konsep. Secara praktis permasalahan keadilan makin kompleks karena sangat mungkin konsep keadilan dalam tatanan nilai-nilai masyarakat menjadi berbeda dalam penilaian tiap-tiap rezim. Pada sisi lain implementasi konsep-konsep keadilan sering tidak didasarkan pada keadilan sosial dalam UUD 1945 sehingga justru sering menimbulkan konflik sosial. Untuk itu diharapkan pada masa mendatang berbagai kebijakan didasarkan pada pengaturan pengelolaan pertambangan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam UUD 1945. 2. Prinsip keadilan sosial menjadi salah satu cita hukum yang dalam hal ini secara eksplisit termuat dalam UUD 1945. Prinsip tersebut hendaknya menjadi pedoman di dalam melakukan penafsiran dan menjadi penguji kebenaran hukum positif serta menjadi arah hukum untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif guna memperoleh keadilan sosial dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Terkait dengan hal itu, maka penulis menyarankan supaya pengaturan pengelolaan pertambangan mengandung norma-norma sebagai berikut: a. Bercirikan keadilan sosial b. Berorientasi pada kemakmuran rakyat. 176

c. Keberpihakan: Pro rakyat. d. Hubungan dengan pemilik modal lebih ke Production Sharing (bagi hasil). e. Akses mengusahakan oleh negara. 177