STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

dokumen-dokumen yang mirip
PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

NO. PERIHAL PASAL KETENTUAN 1 BPP DPR Pasal 1 Poin 27.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

RINGKASAN PUTUSAN.

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

REKAPITULASI HASIL VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK TINGKAT PROVINSI PROVINSI...

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DI KABUPATEN MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN

Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 89/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan Badan Kelengkapan Dewan dan Keterwakilan Perempuan

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KENDAL. SALINAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KENDAL NOMOR : 10/Kpts/KPU-Kab /TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB IX POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PONTIANAK

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA TANJUNGBALAI. NOMOR: 5 /Kpts/KPU /2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

- 2 - Keputusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum tanggal 30 Juli 2012; MEMUTUSKAN :

Muchamad Ali Safa at

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

KOMISI PEMILIHAN UMUM

KOMISI PEMILIHAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ISU KRUSIAL SISTEM PEMILU DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU

Peta Jalan Perjuangan Perempuan Menuju Pemilu Serentak 2019

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TANAH LAUT KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TANAH LAUT. Nomor 11/Kpts/ /III/2014

BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

WORKSHOP DPRD KABUPATEN REMBANG 15 JUNI 2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN NGANJUK. KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN NGANJUK NOMOR : 07/Kpts/KPU-Kab /2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Disampaikan oleh : Drs. AL MUZZAMIL YUSUF Nomor anggota A-249. Dibacakan pada Raker Pansus PEMILU dengan Pemerintah Kamis, 12 Juli 2007

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

TIM PENYUSUN. Penanggung Jawab Drs. Suripto Bambang Setyadi, M Si Asrudi Trijono, SH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA SEMARANG

Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014

Analisa Media Edisi Kesembilan, September 2012

I. PENDAHULUAN. masyarakat untuk memilih secara langsung, baik pemilihan kepala negara,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

PENGENALAN PUBLIK TENTANG PARTAI POLITIK: BAGAIMANA KUALITAS PILEG 2014?

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BERITA ACARA NOMOR :. TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

Penanggung Jawab Pembuatan atau Penerbitan informasi

PUTUSAN Nomor 119/PUU-VII/2009

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

Transkripsi:

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif- terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999 hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%). Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu, tersebut tidak terjadi secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan. salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan. Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan Undaang- Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ketentuan UUD 1945 tersebut menjadi landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik. Karena itu, UU paket politik yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 mengakomodasi norma-norma hukum yang bertujuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif. 1 Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu- Peluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2 Februari 2010. 1

II. Kebijakan Afirmatif (Affirmative Action) Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat ditelaah ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. 2

Tidak cukup pada pendirian partai politik, affirmative action juga dilakukan pada semua tingkatan kepengurusan dari pusat hingga kabupaten/kota. Mengenai pelaksaan dan teknisnya, diserahkan aturan masing-masing partai politik. Ketentuan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Affirmative action terhadap perempuan pada partai politik, tidak berhenti pada pendirian dan kepengurusan saja. Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa: Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative action agar perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Sementara, ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Dengan demikian, affirmative action keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. 3

Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai politik menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu di antaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang perempuan harus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah nomor urut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7, misalnya, maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4 hingga 6. Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai politik melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota legislatif tersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi wewenang untuk memberitahukanya kepada publik. Pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan: KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. III. Peningkatan Keterwakilan Perempuan Penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan Pemilu ternyata mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu. Dari data tiga kali Pemilu terakhir, seperti yang telah dikemukan di awal, keterwakilan perempuan terus meningkat seiring dengan berlakunya peraturan perundang-undangan yang menekankan perlunya affirmative action tersebut. Peningkatan keterwakilan perempuan yang lebih signifikan saat zipper system diberlakukan pada sistem penetapan bakal calon anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Di samping penerapan kuota perempuan 30%, bakal calon perempuan tersebut harus diletakan pada 1 (satu) di antara 3 (tiga) bakal calon. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Jenis 1999-2004 2004 2009 2009-2014 kelamin Perempuan 9,0% 11,8% 18,% Laki-Laki 91,0% 88.2% 82,% Tanpa affirmative action Dengan action kuota affirmative 30% dan Dengan affirmative action kuota 30% perempuan 4 zipper system 1 diantara 3 bakal calon

Partai Demokrat sebagai partai politik yang konsisten menerapkan affirmative action kuota 30% keterwakilan perempuan dan zipper system telah terbukti mampu meningkatkan peran politik perempuan di DPR. Dari 101 anggota DPR perempuan, 35 di antaranya berasal dari Partai Demokrat atau sebesar 34% dari keseluruhan anggota DPR perempuan. Namun, jika data perempuan anggota DPR tersebut dibandingkan dengan perolehan kursi di DPR di masing-masing partai politik, persentase yang dimiliki Partai Demokrat memang belum yang tertinggi. Artinya, data perolehan kursi anggota DPR perempuan di suatu partai politik dibandingkan dengan perolehan keseluruhan kursi di dalam internal partai politik tersebut, baik laki-laki maupun perempuan. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai perolehan kursi anggota DPR perempuan dan persentase dengan perolehan kursi partai politik adalah sebagai berikut: No Nama Partai Jumlah Persentase Perempuan 1 Partai Demokrat 35 23,65 % 2 PDIP 17 18,09 % 3 Partai Golkar 18 17,65 % 4 PKB 7 25 % 5 PAN 7 15,22 % 6 PPP 5 13,16 % 7 Partai Gerindra 4 15,38 % 8 Partai Hanura 3 16,67 % 9 PKS 3 5,26 % Total 101 IV. Strategi dan Simpulan Peningkatan keterwakilan perempuan di DPR harus disertai dengan pengawalan dan perjuangan yang berpespektif gender yang berkelanjutan di dalam proses politik. Karena itu, Partai Demokrat dan fraksinya di DPR perlu memiliki strategi untuk mempertahankan dan terus meningkatkan kualitas maupun kuantitas keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh Fraksi Demokrat adalah dengan mendorong dan tetap mempertahankan penerapan affirmative action dengan kuota 30% keterwakilan perempuan pada ranah politik, baik dalam kepengurusan partai politik maupun dalam penetapan bakal calon 5

legislatif. Di samping itu, meski penetapan anggota DPR sama dengan DPD,- dalam arti dengan suara terbanyak-, affirmative action yang ditindaklanjuti dengan kebijakan zipper system tetap harus dipertahankan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa anggota DPR ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak bakal calon pada masing-masing partai politik yang memperoleh kursi DPR. Namun, MK tidak membatalkan dan tidak mempermasalahkan affirmative action kuota 30% dan zipper system 1 (satu) di antara 3 (tiga) keterwakilan perempuan dalam penetapan bakal calon anggota legislatif oleh partai politik. Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang (RUU) maupun UU paket politik yang akan dipergunakan sebagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2014 tetap harus menerapkan affirmative action terhadap keterwakilan perempuan. UU Perubahan tentang Partai Politik, RUU Penyelenggara Pemilu, dan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak boleh mengubah ketentuan yang sudah ada, meski dengan alasan keterpilihan seseorang sebagai anggota legislatif tergantung kepada pilihan langsung masyarakat. Perubahan dan pembahasan RUU paket politik tersebut, tentu saja tetap memerlukan pengawasan dan pemantauan agar keterwakilan perempuan tetap terjamin. Selanjutnya, tinggal kesiapan perempuan sendiri dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama tersebut.(*) 6