BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak merupakan bagian dari perjalanan panjang setiap individu

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan syarat utama kemajuan suatu bangsa. Sejarah. dunia membuktikan, bangsa-bangsa besar dan yang pernah berkuasa di

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. intelektualnya (IQ), namun juga ditentukan oleh bagaimana seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemudikan oleh orangtua. Kartini Kartono menyebutkan bahwa keluarga

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. terkait antara individu dan interaksi antara kelompok. Berbagai proses sosial dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PERKEMBANGAN EMOSI DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK KELOMPOK B RAUDHATUL ATHFAL DI KECAMATAN KALIJAMBE KABUPATEN SRAGEN TAHUN AJARAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Bijaou (Hurlock, 1980: 5) menjelaskan bahwa usia 2-5 tahun merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia 0-6 tahun disebut juga sebagi usia kritis dalam rentang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah Taman Kanak-Kanak (TK). Undang-undang tentang. sistem Pendidikan Nasional Pasal 28 Ayat (3) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Prinska Damara Sastri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya, dan terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat biasanya mengartikan anak berbakat sebagai anak yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan dirancang dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. juga dirasa sangat penting dalam kemajuan suatu negara karena berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi manusia terjadi semenjak manusia itu berada. dalam kandungan hingga akhir masa hidupnya. Hal ini sejalan dengan

PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI USIA 5-6 TAHUN DITINJAU DARI IBU YANG BEKERJA. Heleni Filtri 1) 1 Universitas Lancang Kuning

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengubah emosi, sosial dan intelektual seseorang. Menurut Tudor (dalam Maurice

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

KECERDASAN EMOSI PESERTA DIDIK PADA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 1 PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya pengembangan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial-emosional,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum seorang praktisi Public Relations memiliki tugas untuk

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maslah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompetensi yang baik maka seorang guru terutama guru TK dapat memenuhi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nida Rahmawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung tinggi nilai pendidikan dan dengan pendidikan manusia menjadi lebih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI DI TK NEGERI PEMBINA 2 KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS. Konsep diri merupakan terjemahan dari kata self-concept. William D.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa awal kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem. Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. ada dijalur pendidikan formal. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA

BAB 1 PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa anak-anak merupakan bagian dari perjalanan panjang setiap individu yang meletakan dasar bagi kehidupannya dimasa dewasa. Masa anak-anak ini pula yang menurut Freud (Santrock & Yussen, 1992: 67) merupakan masa yang sangat fundamental bagi perkembangan individu. Karena menurutnya kepribadian seseorang pada masa dewasa ditentukan oleh cara-cara pemecahan konflik antara sumber-sumber kesenangan awal dengan tuntutan realita masa anak-anak. Mengamati begitu berharganya masa anak-anak, sehingga masa ini disebut sebagai masa keemasan atau golden age, maka sangat penting diupayakan pendidikan yang tepat bagi anak usia dini untuk mengoptimalkan semua potensinya. Taman Kanak-kanak dan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lainnya menjadi sangat penting keberadaanya untuk membangun dan menciptakan generasi penerus yang berkualitas dimasa mendatang sebagai upaya optimalisasi potensi keemasan anak. Hal tersebut ditegaskan Solehuddin (2000: 2) bahwa pendidikan anak usia prasekolah akan memberikan kontribusi yang bermakna terhadap keberhasilan anak pada jenjang pendidikan selanjutnya. Pemerintah melalui UU RI nomor 20 Tahun 2003 pasal 38 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa: Taman Kanak-kanak merupakan salah satu bentuk 1

2 Pendidikan Anak Usia Dini yang diselenggarakan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Penyelenggaraan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini dipandang sebagai peletak dasar bagi terlaksananya pendidikan intelektual dan pendidikan emosional. Chodijah (2009: 1) mengatakan secara kronologis lembaga ini menerima pelimpahan sebagian tanggung jawab institusi keluarga untuk menyiapkan generasi penerus yang berkualitas. Namun dalam prakteknya sering kali hanya bersifat komplementer. Optimalisasi kecerdasan emosional menjadi kurang mendapat perhatian karena sekolah lebih menyiapkan anak-anaknya untuk cerdas secara intelektual. Anggraeni (2009: 1) menjelaskan bahwa tingkat intelegensi (IQ) atau kecerdasan intelektual sempat menjadi faktor yang sangat menentukan dalam mencapai prestasi belajar atau dalam meraih kesuksesan hidup seseorang (Yusuf, 2002: 169). Menurut pandangan Goleman (1995: 38) kesuksesan hidup seseorang saat ini ternyata tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ), melainkan juga oleh kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri serta kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri juga dalam berhubungan dengan orang lain (Yusuf, 2002: 170). Di tambahkan pula oleh Goleman (1995: 395) bahwa banyak orang yang gagal dalam

3 hidupnya bukan karena kecerdasan intelektual yang rendah, namun karena mereka kurang memiliki kecerdasan emosional. Hal inilah yang membuat kecerdasan emosional semakin perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam pengembangannya karena mengingat kondisi kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Kehidupan yang semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap konstelasi kehidupan emosional individu (Goleman, 1995: 395). Beberapa penelitian empirik yang mengungkapkan tentang pentingnya kecerdasan emosional mendeskripsikan bahwa tanpa pengendalian emosi, akan memunculkan perilaku-perilaku yang menimbulkan kerugian bagi individu sendiri. Penelitian pertama, Goleman (Anggraeni 2009: 2) mengemukakan kecakapan dalam mengelola emosi akan membuat individu terhindar dari hal-hal yang mungkin dapat menjerumuskannya dalam kesulitan bila ia tidak dapat mengelola emosinya. Penelitian kedua, Young (Matualesy, 2007: 10), mengemukakan bahwa dampak negatif dari suatu perilaku yang muncul karena ketidakmampuan dalam mengendalikan impuls emosi, sehingga menimbulkan kerugian pada diri individu. Pada tahun 50-an Terman (Surya, 2003: 2) mengadakan penelitian longitudinal selama sepuluh tahun terhadap 1000 orang anak yang tergolong sangat cerdas berdasarkan tes inteligensinya. Dari studi itu ditemukan bahwa anak-anak cerdas memang memiliki keunggulan dalam prestasi belajarnya, lebih cepat lulus, lebih cepat mendapat pekerjaan, akan tetapi mereka banyak mengalami kesulitan dalam interaksi dengan lingkungan dimana dia hidup.

4 Kuryati (2007: 2) menjelaskan studi tersebut, hanyalah merupakan salah satu gambaran empiris yang mendukung asumsi mengenai besarnya kontribusi faktor nonintelektual terhadap perwujudan diri seseorang meskipun dengan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu aspek non intelektual adalah kualitas emosional yang kemudian oleh Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional, sebagaimana dikatakan oleh Goleman (1995: 38) bahwa keberhasilan kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya-tidak hanya oleh IQ, tetapi kecerdasan emosional-lah yang memegang peranan. Orang tua akan senang dan bangga apabila anaknya memiliki IQ yang tinggi, yang dibuktikan dengan nilai-nilai yang tinggi di bidang akademik, pandai membaca dan berhitung. Kuryati (2007: 3) menambahkan tes IQ hanya mengukur sebagian kecil kemampuan manusia, belum melihat keterampilan menghadapi aneka tantangan hidup. Faktor IQ dianggap hanya menyumbang 20% dalam menentukan sukses seseorang, sedangkan kecerdasan emosional memberi kontribusi 80%. Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosional; karena menurut Goleman intelektualitas tak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya, tanpa kecerdasan emosional (Goleman, 1995: 38). Dan agar upaya ini lebih efektif, harus dikembangkan sejak anak masih usia dini. Pada usia dini, (Kuryati 2007: 3) anak-anak berada pada masa peka yaitu suatu masa yang dimana seluruh jiwa anak masih mudah untuk dipengaruhi perkembangannya. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengembangkan

5 kecerdasan emosional anak-anaknya sejak usia dini. Bila pembelajaran-pembelajaran kecerdasan emosional diterapkan pada anak sejak dini, maka anak akan semakin terampil dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga dengan tingginya kecerdasan emosional yang dimilikinya, memungkinkan anak untuk tumbuh sebagai individu dewasa yang berhasil dalam hidupnya. Kurangnya kecerdasan atau pengelolaan emosi ini juga dapat berakibat fatal, yaitu mengakibatkan rendahnya prestasi akademik anak. Hasil survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam koma nol), dinyatakan 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku (Balitbang, 1996). Pentingnya mengembangkan kecerdasan emosional sejak usia dini didukung oleh fakta bahwa dalam perkembangannya masih banyak anak yang merasa kesulitan dalam mengeksplorasi atau mengelola emosinya. Survei mengenai kesulitan emosional ini, telah dilakukan Goleman (Anggraeni, 2009: 4) pada sejumlah orang tua dan guru. Hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi anak-anak sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih implusif dan agresif (Goleman, 1995: 396). Senada dengan Goleman, hasil penelitian Nudadi (1990) terhadap seorang anak laki-laki berumur 10 tahun, ia senang sekali melucu dengan tingkah laku dan mimik yang aneh-aneh, seringkali

6 tingkah lakunya ini menggangu teman-temannya yang sedang belajar di sekolah. Selain itu, ada juga kasus seorang anak yang berusia 6 tahun, jika ia marah terkadang menakutkan sambil memukul-mukul ibunya, dan di sekolah ia sering menjahili teman-temannya (Jana, 2008). Dua kasus diatas menunjukkan kurangnya kesadaran anak dalam mengolah perasaannya. Dalam kasus lain juga disebutkan bahwa ada seorang anak berusia 5 tahun, mulai dari hari pertama sekolah di TK ia selalu menangis. Hal ini disebabkan karena ia merasa cemas yang terlalu berlebihan saat meninggalkan rumahnya (Tejasaputra, 1990). Rasa marah, takut dan cemas seperti dicontohkan dalam kasus di atas, merupakan salah satu wujud respon emosi yang biasa dimunculkan oleh anak (Hurlock, 1996: 215). Contoh kasus lain yang menggambarkan respon emosi seorang anak yang berlebihan adalah pada saat ditanamkan rasa disiplin oleh orangtuanya, dimana ia (anak usia 7 tahun) jika dilarang atau saat diberitahu, selalu melawan, teriak-teriak lalu menangis sampai mutah (Anggraika, 1990). Selain dilihat dari beberapa penelitian diatas, berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di TKK BPK Penabur Taman Holis Indah Bandung, banyak anak yang menunjukkan perilaku emosi yang berbeda. Terlihat ada beberapa anak yang mudah marah dan menangis, agresif kepada teman-temannya dan lebih impulsif. Selain itu, ada juga beberapa anak yang cenderung lebih banyak berdiam diri, pemalu, tidak mau berinteraksi dengan temannya dan beberapa anak juga terlihat memiliki kelekatan yang berlebihan dengan orang tua, seperti tidak mau ditinggalkan

7 oleh ibunya selama berada di sekolah, dan menunjukkan sikap cemas yang berlebihan jika keinginannya tidak dituruti. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka sangatlah penting bagi anak usia dini untuk dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan emosional dan kemampuan untuk menyesuaikan diri, melalui peran serta keluarga dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Keluarga (Chodijah, 2009: 3) sebagai lembaga pertama dan utama bagi pendidikan anak, mempunyai peranan penting dalam mengembangkan keterampilan emosional anak Taman Kanak-kanak, Robandi (Chodijah, 2009: 3) menyatakan bahwa: Disebut sebagai lembaga pertama karena pada umumnya setiap anak dilahirkan dan kemudian dibesarkan pada awal pertama dalam lingkungan keluarga. Kemudian disebut sebagai lembaga utama bagi anak, karena keberhasilan pendidikan dalam keluarga ketika anak berada dalam usia dini atau sering disebut masa golden age. Karena itulah keluarga dipandang sebagai lembaga pertama dan utama bagi anak. Hubungan anak dengan orang tua dan anggota lain sering dianggap sebagai sistem atau jaringan yang saling berinteraksi. Sistem tersebut berpengaruh pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui sikap dan cara perawat-asuhan anak oleh orang tua. Merawat dan mengasuh anak bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik atau jasmaninya saja, melainkan juga pada pemenuhan optimalisasi perkembangan yang lain seperti emosi, sosial, bahasa, motorik dan kognitif. Chodijah (2009: 5) menambahkan bahwa orang tua adalah penanggung jawab utama, teladan bagi putra-putrinya, dan mempunyai tanggung jawab kodrati

8 untuk mendidik anak-anaknya, sehingga sejatinya menyadari betul pentingnya pengasuhan berkualitas bagi peningkatan kecerdasan emosional putra putrinya. Gottman dan DeClaire (1997: 29) berpendapat bahwa: kecerdasan emosional anak hingga tahap tertentu ditentukan oleh temperamen, yaitu ciri-ciri kepribadian yang dibawa anak sewaktu dilahirkan; tetapi kecerdasan tersebut juga dibentuk oleh interaksi-interaksi si anak dengan orangtuanya. Interaksi-interaksi si anak dengan orangtuanya dapat dibentuk melalui pola asuh yang diterapkan oleh orangtua mereka. Dalam hal ini, (Kuryati, 2007: 6) bahwa orangtua memiliki sebuah peluang yang luar biasa untuk mempengaruhi kecerdasan emosional anak-anak mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah laku yang menghibur diri sejak bayi dan seterusnya. Meskipun bayi-bayi itu tidak berdaya, namun mereka mampu belajar dari tanggapan orangtua terhadap ketidaknyamanan mereka bahwa emosi itu memiliki sebuah arah; bahwa dimungkinkan untuk beralih dari perasaan-perasaan sedih sekali, amarah, dan takut, menuju ke perasaan-perasaan nyaman dan segar kembali. Sebaliknya, bayi-bayi yang kebutuhan emosinya dilupakan, tidak mempunyai peluang untuk mempelajari hal ini. Ada beragam pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anakanaknya begitupun kecerdasan emosional anak yang ditunjukkan berbeda-beda. Hal tersebut menarik untuk diteliti apakah kecerdasan emosional anak berbeda berdasarkan pola asuh orang tua. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti

9 bermaksud ingin mengkaji lebih dalam permasalahan mengenai Perbedaan Kecerdasan Emosional Anak Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kecedasan emosional anak yang ditinjau dari pola asuh orang tua. Permasalahan diatas secara rinci dapat dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran pola asuh orang tua anak di TKK BPK Penabur THI Bandung? 2. Bagaimanakah gambaran kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung? 3. Apakah terdapat perbedaan yang siginifikan pada kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI ditinjau dari pola asuh orang tuanya yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent?

10 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kecerdasan emosional anak usia dini yang ditinjau dari pola asuh orang tua. 2. Tujuan Khusus Merujuk pada rumusan masalah dan penjabaran dari tujuan umum, maka secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Gambaran pola asuh orang tua anak di TKK BPK Penabur THI Bandung. b. Gambaran kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung. c. Perbedaan kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung yang ditinjau dari pola asuh orang tuanya yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, peningkatan mutu pendidikan, dan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut. Secara spesifik manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

11 1. Manfaat Teoretis: Sebagai bahan masukan teori untuk menambah informasi, khususnya dalam kajian Pedagogik, yang menyangkut perbedaan kecerdasan emosional anak Taman Kanak-kanak ditinjau dari pola asuh orang tuanya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para orang tua dalam menerapkan pola asuh yang tepat terhadap anak-anaknya dan tenaga edukatif (guru, kepala sekolah, dan lain-lain) dalam usaha penciptaan kondisi kondusif yang dapat membantu berkembangnya kecerdasan emosional anak Taman Kanak-kanak. E. Asumsi Penelitian Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kecerdasan emosional (EQ) memberi kontribusi 80% sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) menyumbang 20% dalam menentukan kesuksesan seseorang (Goleman, 1995: 38). 2. Sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama, keluarga, khususnya pola asuh atau perlakuan orang tua akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak (Kuryati, 2007: 34) 3. Kecerdasan emosional anak hingga tahap tertentu ditentukan oleh temperamen, yaitu ciri-ciri kepribadian yang dibawa anak sewaktu dilahirkan;

12 tetapi kecerdasan tersebut juga dibentuk oleh interaksi-interaksi si anak dengan orangtuanya. Interaksi-interaksi si anak dengan orangtuanya dapat dibentuk melalui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua mereka. (Gottman dan DeClaire, 1997: 29). 4. Faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosional anak Taman Kanak-kanak adalah usaha orang tua dalam memberikan kasih sayang, memberikan rasa aman dan kehangatan bagi anak. Dengan suasana ini anak biasanya akan lebih mudah untuk diberikan pendidikan (Kosim, 2008: 30) F. Hipotesis Penelitian Untuk mengetahui perbedaan perkembangan kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur Taman Holis Indah Bandung, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Hipotesis Nol (Ho) Ho = tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung di tinjau dari pola asuh orang tuanya yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent Ho : µ 1 = µ 2 = µ 3 = µ 4 2. Hipotesis Alternatif (Ha) Ha = terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung di tinjau dari pola asuh orang tuanya

13 yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent Ha : µ 1 µ 2 µ 3 µ 4 Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan bound of error atau α = 0.05 yang berarti derajat kepercayaan 95% (Puspowarsito, 2008: 104). G. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Karena penelitian ini bermaksud untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung ditinjau dari pola asuh orang tuanya yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent, maka rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan metode komparatif atau ex post facto. Komparasi dalam penelitian ini terdiri dari satu model yaitu komparasi tiga sampel atau lebih, yaitu: perbedaan kecerdasan emosional anak di TKK BPK Penabur THI Bandung yang ditinjau dari pola asuh orang tuanya yang authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent. Oleh sebab itu, teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Way-Anova (Sugiyono, 2008: 152, dalam Chodijah, 2009).

14 H. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data disusun dalam dua perangkat pengumpul data. Adapun alat pengumpul data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pola asuh orang tua. Instrumen ini disusun dalam bentuk kuesioner atau pertanyaan tertulis mengenai pola asuh orang tua yaitu authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent. 2. Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini. Instrumen ini disusun melalui pengamatan atau observasi berkenaan dengan kecerdasan emosional anak yang dijabarkan ke dalam lima dimensi kecerdasan emosional, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Selain itu, sebagai tambahan dan pelengkap dalam pengumpulan data dilakukan pula teknik pengumpulan data melalui: 1. Studi literatur penelitian kepustakaan, ialah teknik penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang kepustakaan, misalnya berupa buku, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar dan lain-lain (Kartono. K, 1996: 33) 2. Studi dokumenter ialah sumber data yang dapat digunakan untuk mengkaji, menafsirkan bahan atau meramal dan digunakan sebagai pelengkap. Studi dokumentasi ini terdiri dari foto-foto yang dilakukan selama penelitian (Karmila, 2009: 16)

15 I. Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu pola asuh orang tua dan kecerdasan emosional, yang masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Asuhan atau Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua (Kuryati, 2007:10) adalah perilaku atau respon orang tua kepada anak-anaknya baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan aspek emosionalnya, yang meliputi pemahaman dan penghargaan orang tua atas perasaan dan ungkapan emosional anak, ikatan dan interaksi emosional antara orang tua dengan anak, pelatihan keterampilan emosional anak dengan keyakinan, rasa ingin tahu, niat, kendali diri, keterkaitan, kecakapan komunikasi, dan koperatif. Penelitian ini akan melihat bentuk pola asuh orang tua sebagai berikut (Santrock, 2002: 257-258): a. Pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintahperintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak. b. Pengasuhan yang otoritatif (authoritative parenting) ialah mendorong anakanak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas

16 tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak. c. Pengasuhan yang permissive-indulgent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. d. Pengasuhan yang permissive-indifferent ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak; tipe pangasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri. 2. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional adalah kecenderungan sikap dan perilaku anak yang meliputi perasaan dan ungkapan emosional anak, ikatan dan interaksi emosional antara anak dengan orang tua, anak dengan guru, dan anak dengan teman sebayanya yang dijabarkan ke dalam lima dimensi kecerdasan emosional, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan (Goleman, 1995).

17 J. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian akan dilakukan di TKK BPK PENABUR Taman Holis Indah. Jalan Taman Holis Indah Blok A Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak TKK BPK Penabur THI Bandung tahun pelajaran 2009/2010 yang berjumlah 185 anak dengan rentang usia antara 4 tahun sampai dengan 6 tahun. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang berarti individu-individu yang dijadikan subjek penelitian diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan tujuan tertentu (Akdon & Hadi, 2005: 105). Selanjutnya, berdasarkan data dari sampel tersebut, peneliti membuat generalisasi dimana kesimpulan sampel diberlakukan ke dalam populasi di mana sampel tersebut diambil, yaitu sebanyak 75 anak.