BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. fungsi-fungsi tersebut. Sebagaimana lembaga legislatif DPRD berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

I. PENDAHULUAN. Di Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta Perangkat Daerahnya selaku

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. otonom (locale rechtgemeenschappen) yang pembentukannya ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan

BAB I PENDAHULUAN. berpolitik di Indonesia baik secara nasional maupun regional. Salah satu agenda

BAB I PENDAHULUAN. pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah. Dalam praktik

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB I PENDAHULUAN. penting. Otonomi daerah yang dilaksanakan akan sejalan dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB III PENUTUP. maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sejajar dan bersifat

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN. pulau yang dibatasi oleh lautan, sehingga di dalam menjalankan sistem pemerintahannya

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu wadah bagi masyarakatnya untuk turut serta dalam proses. daerah demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

Makalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

BAB I PENDAHULUAN. yang telah di amandemen menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 merupakan tonggak awal. pelaksanaan otonomi daerah dan proses awal terjadinya reformasi

BAB I PENDAHULUAN. Tertib Dewan serta Penguatan fungsi legislasi, pada Pasal 95 ayat (1),Peraturan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 09 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (dilihat juga dalam

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI KANTOR KESATUAN BANGSA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT KABUPATEN SUBANG

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. pengambil keputusan dalam pemerintahan di era reformasi ini. Pemerintah telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

PERAN ALAT KELENGKAPAN DEWAN DAN PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD. Oleh : Imam Asmarudin, SH

Problematika APBD. Asrian HC**

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan kegiatan negara yang berkenaan dengan kepentingan publik.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh parlemen. Selain itu, dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya, Indonesia menggunakan asas desentralisasi. Menurut Mahfud MD (Tangkilisan, 2005:1), desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus daerah, mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya diatur dengan undang-undang. Salah satu isi di dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa, Pemerintah Daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat. Yang dimaksud dengan pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI,

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Gubernur, Bupati/Walikota dan DPRD adalah pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Sepanjang sejarah pembentukan pemerintah daerah di Indonesia, telah banyak produk undang-undang yang dilahirkan. Semua undang-undang tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Secara substansial undang-undang di atas mengatur tentang bentuk susunan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut telah mampu mengikuti perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai zamannya. Namun secara empiris, undang-undang tersebut banyak menimbulkan gejolak politik antar lembaga pemegang kekuasaan, terutama antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah. Keadaan tersebut membuat ketimpangan dan menimbulkan sikap saling menguasai antar lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan undang-undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif. Dalam undang-undang ini,

kedudukan kepala daerah lebih dominan karena memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan DPRD. Eksekutif adalah agen utama dalam pembangunan, sehingga semua elemen di pusat maupun daerah diabdikan untuk mendorong tugas pokok pemerintah (executive). Akibatnya lembaga lain, termasuk DPRD diposisikan sebagai tukang stempel (rubber stamp) dalam menjalankan roda pemerintahan (Tangkilisan, 2005:29). Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kepala daerah tidak dapat diberhentikan langsung oleh DPRD. Kepala daerah tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada DPRD, dan dalam pelaksanaan tugasnya hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban saja kepada DPRD. Runtuhnya rezim Orde Baru menandakan munculnya era Reformasi di dalam pemerintahan Indonesia. Di dalam era ini diharapkan demokrasi lebih diterapkan, dan hubungan antara pemegang kekuasaan di Indonesia dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah hasil revisi dari undang-undang sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebuah undang-undang yang secara jelas memisahkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Hal tersebut jelas disebutkan pada Pasal 1 point b dan c, serta pada Pasal 14 (1) dan 16 (2), yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah daerah adalah sebagai Badan Eksekutif Daerah, sedangkan DPRD adalah sebagai

Badan legislatif Daerah. Keadaan tersebut secara legal formal, tegas menyatakan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Sehingga tidak terjadi disfungsi kekuasaan antar lembaga daerah. Di sisi lain, kehadiran undang-undang ini adalah menjawab kebutuhan tuntutan reformasi yang memberikan implikasi terhadap kedudukan DPRD berbalik menjadi lebih kuat dibanding dengan kekuasaan eksekutif. Kewenangan yang dimiliki DPRD, antara lain kewenangan memilih kepala daerah (Pasal 34 ayat 1) dan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 44 ayat 2). Selain itu DPRD juga mempunyai beberapa hak, antara lain hak meminta keterangan, hak penyelidikan, hak menyatakan pendapat dan hak menentukan anggaran DPRD. Secara teoritis lembaga ini memegang kekuasaan rakyat pada tingkat kabupaten/kota. Keadaan tersebut ternyata membuat lembaga legislatif mempunyai kewenangan lebih terhadap eksekutif, bahkan dapat menjatuhkan gubernur maupun bupati/walikota di daerah, sama seperti yang telah dilakukan oleh MPR/DPR-RI terhadap almarhum mantan Presiden Gusdur pada 23 Juli 2001 (Mahfud MD, 2010). Keadaan di atas menyebabkan suatu perubahan yang radikal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paling substansial adalah hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang tidak memiliki pola hubungan kewenangan yang menganut kesetaraan/kemitraan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Suatu teori atau asumsi-asumsi yang dapat diungkapkan berdasarkan pengalaman di atas yaitu, dibutuhkan sebuah undang-undang yang mengatur pola hubungan kewenangan yang setara, seimbang, dan sinergis antar pemegang kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tujuannya yaitu terciptanya sistem check and balances dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, lahirlah Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini dikenal dengan istilah Equilibrium Decentralizatio. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa isinya yaitu memberikan peranan yang berimbang antara susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai keseimbangan secara horizontal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan sebuah perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan daerah. Perubahan yang dimaksud, antara lain dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung, serta peningkatan tugas dan fungsi DPRD. Melalui undangundang ini, pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Dalam undangundang ini juga dinyatakan bahwa DPRD ditempatkan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan unsur penyelenggara pemerintah daerah dengan 3 fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan

kata lain, fungsi dan peran kepala daerah dan DPRD dalam undang-undang ini kedudukannya tidak saling membawahi, melainkan terikat dalam sistem kemitraan. Sekilas, di tinjau dari aspek legal formal, keberadaan peraturan perundangundangan tersebut mengindikasikan adanya kemajuan berarti dalam hubungan antara kedua lembaga tersebut. Dari perspektif kelembagaan, pelaksanaan dari tiga fungsi DPRD tersebut merupakan bagian dari penguatan mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak ada peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah tanpa persetujuan bersama dengan DPRD, demikian pula dalam pelaksanaan penetapan APBD maupun pengawasan. Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya proses penyelenggaraan pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif. Salah satu bentuk hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif adalah pembuatan kebijakan daerah (legislasi) dan penetapan anggaran. Dalam membuat peraturan/kebijakan dan anggaran daerah, eksekutif dan legislatif bekerja sama, bermitra, dan saling membantu. Namun sangat disayangkan bahwa eksekutif masih mendominasi dalam hubungan kerja ini. Selain itu, sebagian besar DPRD mandul dalam hak inisiatif, terutama dalam pembuatan peraturan daerah (Wasistiono&Wiyoso, 2009:47). Hal ini mengakibatkan kurang optimalnya DPRD dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif.

Perkembangan politik di tingkat lokal pada era reformasi tidak lepas dari pengaruh politik di tingkat nasional. Menurut Ambardhi (2009), salah satu fenomena politik pasca berlakunya reformasi di Indonesia adalah pembentukan sistem kepartaian yang mirip kartel. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu: (a) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (b) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (c) tiadanya oposisi; (d) hasil-hasil pemilu hampirhampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (e) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Keadaan tersebut turut mempengaruhi hubungan eksekutif dan legislatif di tingkat lokal (daerah). Salah satu daerah kabupaten/kota yang mendapatkan amanah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sejak reformasi berjalan adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian dari Provinsi Lampung. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung, upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan melalui peningkatan pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Pasca diberlakukannya otonomi daerah, Kota Bandar Lampung mulai mandiri dan berusaha mencapai kemajuan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Semua upaya dan tujuan tersebut dilakukan oleh lembagalembaga yang berwenang sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil rakyat di daerah, yaitu Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bandar Lampung. Kedua lembaga tersebut bekerja sekaligus sebagai mitra dalam penyelenggaraan pemerintahan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kerjasama yang dimaksud antara lain: (a) dalam hal pembuatan kebijakan daerah; (b) penetapan anggaran (APBD) dan; (c) pengawasan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kerjasama tersebut tidak berjalan efektif. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya sebuah kekuatan suatu lembaga yang lebih dominan daripada lembaga lain, sehingga menyebabkan lembaga yang didominasi mengalami kelemahan dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kota lebih dominan daripada DPRD dalam menjalankan hubungan kerjanya (Pussbik dan LPW). Salah satu contoh hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kota Bandar Lampung yang membuktikan bahwa adanya sebuah dominasi salah satu lembaga adalah dalam penetapan anggaran/apbd. Dalam menjalankan hubungan kerja ini, pihak legislatif tampak lemah dan selalu cair saat berhadapan dengan eksekutif, tidak kritis, serta selalu berakhir dengan kata deal untuk menyetujui inisiatif dari eksekutif. Terlebih lagi saat eksekutif merencanakan pagu anggaran untuk keperluan urusan rumah tangganya, pihak legislatif tampak seperti ayam sayur saat menghadapinya. Dari hasil yang didapatkan selama penelitian

berlangsung, ditemukan fakta bahwa dari 100% pendapatan daerah yang dimiliki oleh Pemerintahan Kota Bandar Lampung setiap tahunnya, sekitar 58%-64% anggaran yang ada selalu digunakan untuk kebutuhan maupun belanja pegawai. Dapat dilihat pada tabel di bawah. Tabel 1. Rasio Belanja Pegawai Atas Total APBD. No Tahun APBD Belanja Pegawai Prosentase (%) 1 2007 646.946.574.345,98 377.141.071.681,42 58,30% 2 2008 725.597.468.445,85 427.074.379.239,39 58,85% 3 2009 808.693.410.458,18 524.888.238.210,63 64,90% Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Bandar Lampung. Dari tabel di atas jelas membuktikan bahwa setengah lebih anggaran yang ada, sudah habis digunakan untuk kebutuhan eksekutif. Selama penelitian berlangsung, ditemukan data bahwa pihak legislatif tidak bisa menolak kebijakan eksekutif ini. Mereka (legislatif) terkesan langsung menyetujui tanpa ada sikap yang kritis terhadap penggunaannya. Hal ini dikarenakan, selain secara administratif anggaran tersebut memang digunakan untuk keperluan eksekutif, secara politis (lobi-lobi politik antara kedua lembaga), pihak legislatif sendiri mendapatkan bagian dari anggaran yang ada, di mana sangat menguntungkan anggota dewan maupun fraksi (partai politik) yang ada, seperti: perjalanan dinas, dana bimtek, beberapa tunjangan bagi pimpinan dan ketua komisi serta anggota, dan sebagainya. Keadaan tersebut tentu membuat suasana arena paripurna

menjadi aman dan terkendali, sama seperti suasana dalam sebuah keluarga, di mana sikap cair dan tenggang rasa tercipta di dalamnya. Fakta lain yaitu dalam kasus pembuatan kebijakan antara eksekutif dan legislatif sering terjadi intervensi kepentingan politik. Nana Mulyana (2008) dalam penelitiannya di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa kepentingan politik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tarik menarik antara kelompok politik di dalam lembaga legislatif ataupun tarik menarik antara eksekutif dengan lembaga legislatif. Tarik menarik kepentingan tersebut sebenarnya memang menunjukkan adanya kehidupan politik yang dinamis. Namun fenomena tersebut seringkali dimenangkan oleh eksekutif yang memiliki pengaruh dan kekuatan lebih besar daripada legislatif, sehingga wacana check and balances antara kedua lembaga tersebut hanya sekedar impian yang tidak terwujud dalam aplikasinya. Dalam realita, check and balances tersebut memang hanya sebatas wacana. Penelitian Alamsyah (2004) menyebutkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan publik di Kota Bandar Lampung, pihak eksekutif lebih powerful dibandingkan pihak legislatif. Jika pihak legislatif hanya selalu mengedepankan faktor dinamika aspirasi masyarakat, maka pihak eksekutif selalu berpedoman pada aturan-aturan normatif yang ditetapkan institusi pemerintah yang lebih tinggi. Selain itu, lembaga legislatif sangat minim berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga lembaga tersebut lemah dalam posisi tawar menawar terhadap eksekutif. Fakta tersebut sejalan dengan temuan LSM Pussbik dan LPW (Lampung Parlemen Watch), yang menyatakan bahwa DPRD

Kota Bandar Lampung sangat minim dalam menjalankan hak inisiatifnya membuat peraturan daerah. Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh kedua LSM tersebut, kebanyakan rancangan peraturan daerah berasal dari eksekutif, sedangkan pihak legislatif hanya bersifat menyetujui saja. Kenyataan di atas memperlihatkan betapa selama ini peran dan fungsi DPRD dalam menjalankan pemerintahan di daerah terbukti masih lemah. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah ternyata masih didominasi oleh pemerintah daerah (eksekutif), meskipun secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya prinsip kesetaraan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji secara komprehensif dalam sebuah penelitian mengenai sebab-sebab atau alasan-alasan ekesekutif lebih powerfull/dominan daripada legislatif. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang akan diteliti dalam penelitian ni yaitu: Mengapa pasca diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, pihak eksekutif masih lebih dominan daripada legislatif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan manifestasi berlangsungnya dominasi eksekutif atas legislatif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung. 2. Menganalisis akar masalah yang menjadi sumber timbulnya dominasi eksekutif atas legislatif. 3. Mengungkap transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung. D. Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya membangun hubungan eksekutif dan legislatif yang lebih baik ke depannya. Di mana hubungan baik yang dimaksud adalah hubungan baik yang tidak mementingkan diri maupun kelompok, melainkan lebih memperhatikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utamanya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/kebenaran bagi masyarakat, serta membuka wawasan bagi seluruh pihak (LSM, media massa, aktivis, mahasiswa) akan dampak dari hubungan eksekutif dan legislatif yang tersembunyi dan tak tampak ke permukaan. 3. Sebagai salah satu bahan acuan atau referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ide para peneliti dalam melakukan penelitian dengan tema atau masalah serupa.