BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN. yang dilokasikan untuk program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUWANGI

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. Pendahuluan Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup

SKRIPSI. Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh AGUS SAMSUDRAJAT J

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN SENDANGMULYO KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG FKM UNDIP

Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Promotif ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar

Penanggulangan Penyakit Menular

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB VI. Semaki dan Kelurahan Sorosutan dalam penulisan laporan ini, dapat ditarik

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

PENINGKATKAN KEMANDIRIAN DASA WISMA KELURAHAN SEKARAN DALAM PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

WALIKOTA MOJOKERTO PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR TAHUN 2011 TENT ANG PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA MOJOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. Tersusunnya laporan penerapan dan pencapaian SPM Tahun 2015 Bidang Kesehatan Kabupaten Klungkung.

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 08 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN WALIKOTA TARAKAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

REKAPITULASI LAPORAN TRI WULAN 1 s.d 4 TAHUN ANGGARAN 2016

Nizwardi Azkha, SKM,MPPM,MPd,MSi

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG. ELiMINASI MALARIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1. Incidence Rate dan Case Fatality Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT

PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bertujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. virus dari golongan Arbovirosis group A dan B. Di Indonesia penyakit akibat

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. misalnya akibat gigitan nyamuk dapat menyebabkan dermatitis, alergika dan

PROFIL KESEHATAN KOTA JAKARTA BARAT TAHUN 2014

Transkripsi:

BAB IV 40 ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh data rekapitulasi anggaran yang dilokasikan untuk program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat dan akan disajikan berdasarkan : (1) Total anggaran di Kota Administrasi Jakarta Barat dan masing-masing provider kesehatan, (2) alokasi anggaran berdasarkan jenis kegiatan, (3) alokasi anggaran berdasarkan komponen biaya, dan (4) Tren Angka Kesakitan DBD dan Pengeluaran per Kapita Rata-rata Program Pengendalian DBD per Kecamatan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. A. Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Sumber Dana di Kota Administrasi Jakarta Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 Untuk melaksanakan program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat, anggaran bersumber dari dari APBD Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan data yang dikumpulkan dan direkapitulasi, diperoleh total anggaran yang dialokasikan untuk program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat bersumber APBD pada tahun 2005, 2006 dan 2007 seperti terlihat pada tabel 4.2 dibawah ini.

Tabel 4.2 41 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Sumber Dana di Kota Administrasi Jakarta Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 Sumber Dana Jumlah Anggaran (Rp.) % Jumlah Anggaran (Rp.) % Jumlah Anggaran (Rp.) APBD 678,380,000 100 1,450,553,691 100 1,810,669,740 100 % Naik (turun) dari tahun 2005 2006 2007 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat % Naik 213,5 Naik 24 Dari tabel diatas diketahui bahwa total alokasi anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat dari tahun 2005 sampai tahun 2007 terus mengalami peningkatan. Peningkatan sangat tinggi terjadi pada tahun 2006 dengan peningkatan 2,13 kali lipat atau 213,5% lebih besar dibandingkan tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2007 peningkatan hanya sebesar 24 % dibandingkan tahun 2006. Dari seluruh anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat pada tahun 2005, 2006 dan 2007 seluruhnya bersumberkan dana APBD yang dialokasikan oleh masing-masing provider kesehatan, yaitu Sudin Kesmas Kota Administrasi Jakarta Barat, dan Puskesmas Kecamatan, seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.3 42 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Kelompok Provider Kesehatan di Kota Administrasi Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 Provider Kesehatan Jumlah Anggaran (Rp.) 2005 2006 2007 % Jumlah Anggaran (Rp.) % Jumlah Anggaran (Rp.) Sudin Kesmas 251,678,980 37.1 203,077,517 14.0 506,987,527 28.0 % Puskesmas ( 8 Kecamatan ) 426,701,020 62.9 1,247,476,174 86.0 1,303,682,213 72.0 Total 678,380,000 100 1,450,553,691 100 1,810,669,740 100 % Naik (turun) dari tahun sebelumnya 1. Sudin Kesmas Turun 19,3 Naik 149 2. Puskesmas ( 8 Kecamatan ) Naik 192 Naik 4,5 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat Anggaran di tingkat Puskesmas (8 Kecamatan) mempunyai proporsi terbesar dibandingkan Sudin Kesmas. Dibandingkan tahun sebelumnya, anggaran di tingkat Sudin Kesmas pada tahun 2006 turun sebesar 19,3 % dan tahun 2007 meningkat kembali sebesar 149 %. Anggaran di tingkat Puskesmas pada tahun 2006 meningkat sebesar 192% tetapi pada tahun 2007 peningkatan anggaran sangat kecil yaitu sebesar 4,5%. Bila dirinci di masing-masing provider kesehatan di setiap jenjang administrasi pada tahun 2005, 2006 dan 2007 dapat terlihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 43 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD di Tingkat Provider Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Barat, Tahun 2005 2007 No. Provider Kesehatan Alokasi Anggaran (Rp.) 2005 2006 2007 1 Cengkareng 52,000,000 140,000,000 141,560,000 2 Grogol Petamburan 51,500,000 132,000,000 132,000,000 3 Kalideres 50,500,000 4 Kebon Jeruk 63,901,020 5 Kembangan 47,800,000 6 Palmerah 63,000,000 7 Taman Sari 47,000,000 8 Tambora 51,000,000 147,500,000 242,226,000 126,550,000 197,500,174 124,000,000 137,700,000 152,000,000 252,000,000 132,980,000 226,750,000 125,350,000 139,000,000 9 Sudin Kesmas Jakarta Jakarta Barat Total Jakarta Jakarta Barat 251,678,980 203,077,517 506,987,527 678,380,000 1,450,553,691 1,810.669,740 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat

C. Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD per Jenis Kegiatan Anggaran yang dialokasikan untuk program Pengendalian DBD terdiri dari beberapa rincian kegiatan dan judul atau nama kegiatan yang dianggarakan oleh Puskesmas Kecamatan sangat bervariasi, oleh karena itu untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis anggaran per jenis kegiatan maka dilakukan pengelompokkan jenis kegiatan berdasarkan kesamaan tujuan kegiatan tersebut dilaksanaan. Pengelompokkan tersebut menjadi 4 kelompok besar, yaitu (1) pengendalian kasus DBD, (2) pengendalian vektor, (3) manajemen pengenalian DBD dan (4) pelayanan pengobatan gratis. Tabel 4.5 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Jenis Kegiatan Jenis Kegiatan Pengendalian Kasus Pengendalian Vektor Manajemen Pengendalian DBD Pelayanan Pengobatan DBD Gratis di Kota Administrasi Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 2005 2006 2007 Jumlah Anggaran (Rp.) % Jumlah Anggaran (Rp.) % Jumlah Anggaran (Rp.) % 326,126,000 48.1 478,638,430 33.0 604,167,880 33.4 200,000,000 29.5 267,550,000 18.4 326,652,000 18.0 152,254,000 22.4 209,875,000 14.5 309,780,527 17.1 - - 494,490,261 34.1 568,027,120 31.4 Total 678,380,000 100 1,450,553,691 100 1,810,669,740 100 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat 44

45 Dari tabel di atas terlihat, dalam tiga tahun alokasi anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat terbesar pada jenis kegiatan pengendalian kasus (33 48%). Untuk jenis kegiatan Pengendalian vektor, presentase pengalokasiannya dari tahun ke tahun berbeda-beda, pada tahun 2005 menempati rangking ke-2 (29,5%) dan pada tahun 2006 dan 2007 menduduki rangking ke-3 (18%). Sedangkan jenis kegiatan manajemen pengendalian DBD pada tahun 2005 menempati rangking ke-3 (22%), tahun 2006 menempati rangking ke-4 (14%) dan tahun 2007 menempati rangking ke-4 (17%). Kegiatan pelayanan pengobatan DBD gratis baru dilaksanakan pada tahun 2006 dengan presentase sebesar 34% menduduki rangking pertama dan pada tahun 2007 sebesar 31,4% menduduki rangking ke-2. Tabel 4.6 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Jenis Kegiatan dan Povider Kesehatan di Kota Administrasi Jakarta Barat, Th 2005-2007

Tahun/ Komponen Biaya Sudin Kesmas 8 Puskesmas Total Jumlah Jumlah % Anggaran ( % Anggaran (,000) Rp.,000) Rp. Jumlah Anggaran (,000) Rp. I. Tahun 2005 Pengendalian Kasus 109,500 37.1 216,626 56.5 326,126 48.1 Pengendalian Vektor 98,354 33.3 101,646 26.5 200,000 29.5 Manajemen Pengendalian 87,254 29.6 65,000 17.0 152,254 22.4 DBD Pengobatan Gratis - - - - - - Total 295,108 100 383,272 100 678,380 100 I. Tahun 2006 Pengendalian Kasus 200,600 49.1 278,038 26.7 478,638 33.0 Pengendalian Vektor 100,500 24.6 167,050 16.0 267,550 18.4 Manajemen Pengendalian 107,400 26.3 102,475 9.8 209,875 14.5 DBD Pengobatan Gratis 494,490 47.5 494,490 34.1 Total 408,500 100 1,042,053 100 1,450,553 100 I. Tahun 2007 Pengendalian Kasus 218,178 36.6 385,989 31.8 604,167 33.4 Pengendalian Vektor 199,908 33.5 126,744 10.5 326,652 18.1 Manajemen Pengendalian DBD 178,027 29.9 131,753 10.9 309,780 17.1 Pengobatan Gratis - - 568,028 46.8 568,028 31.4 Total 596,113 100 1,212,514 100 1,810,669 100 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat 46 % Dari tabel 4.6 di atas, alokasi anggaran pengendalian DBD pada tahun 2005-2007 di tingkat Sudin Kesmas untuk kegiatan pengendalian kasus DBD berkisar 36,6-49,1%, kegiatan pengendalian vektor DBD berkisar 24,3-33,5% dan manajemen pengendalian DBD berkisar 26,3-29,9%. Sedangkan di tingkat Puskesmas Kecamatan untuk kegiatan pengedalian kasus DBD berkisar 26,7-56,5%, kegiatan pengendalian vektor DBD berkisar 10,5-26,5% dan kegiatan manajemen pengendalian DBD berkisar 9,8-17,0%. sedangkan pada tahun 2006 didominasi dengan kegiatan pelayanan pengobatan DBD gratis sebesar 47,1%. 1. Pengendalian Kasus DBD

47 Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, alokasi anggaran berdasarkan pengelompokkan atau jenis kegiatan untuk program pengendalian DBD dengan presentase tertinggi adalah pengendalian kasus DBD berkisar 33,0-48,1%. Jenis kegiatan pengendalian kasus DBD adalah kegiatan yang merupakan intervensi langsung bila ada laporan kasus DBD, yang terdiri dari kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE), Fogging Fokus (FF) serta Antisipasi dan penanggulangan KLB. Inti dari kegiatan pengendalian kasus DBD adalah memutus mata rantai penularan DBD melalui pemberantasan nyamuk dewasa karena adanya penderita DBD setelah dipastikan dengan PE bahwa ada jentik dan penderita panas tanpa sebab atau penderita DBD lainnya di sekitar rumah penderita, yang berarti terjadi penularan di wilayah tersebut atau adanya lonjakan kasus di suatu wilayah tertentu dengan indikasi KLB dilakukan fogging massal. Untuk itu Puskesmas Kecamatan sebagai pelaksana (operator) dan merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, maka Puskesmas Kecamatan harus mengalokasikan anggaran untuk kegiatan PE dan FF. Dengan jumlah kasus selama tiga tahun (2005 2007) sebesar 58.117 penderita, dimana rata-rata unit cost yang dianggarkan oleh Puskesmas Kecamatan Rp. 58.00,- untuk satu kasus DBD, maka dibutuhkan anggaran untuk PE kasus DBD selama tiga tahun sebesar Rp785.150.000,- hanya 26.318 kasus DBD yang dapat di PE (45%) dimana tahun 2005 hanya 55%, tahun 2006 hanya 48% dan tahun 2007 hanya 36%. Terlihat dari tahun ke tahun semakin kecil kasus DBD yang dilakukan PE.

48 Tindak lanjut dari kegiatan PE adalah FF pada kasus DBD dengan hasil PE positif. Berdasarkan informasi yang dihasilkan oleh Koordinator Surveilans Epidemiologi Seksi Penyakit menular Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Barat bahwa sekitar 40% dari seluruh kasus DBD setelah dilakukan PE ternyata positif, yang berarti ada penularan di sekitar lokasi penderita yang harus ditindaklanjuti dengan kegiatan FF 2 siklus dengan selang waktu satu minggu. Berdasarkan SK Gubernur Kota Administrasi Jakarta Barat nomor 2004 tahun 2004 tentang Satuan Biaya untuk Pelaksanaan PE, FF, PSN dan PJB di Kota Administrasi Jakarta Barat, didapat unit cost untuk FF satu kasus DBD sebesar Rp. 2.356.160,-. Keadaan ini potensial untuk penyebaran DBD. 2 Pengendalian Vektor DBD Alokasi anggaran untuk jenis kegiatan pengendalian vektor DBD yang terdiri dari kegiatan pemantauan jentik, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk dan ovitrap hanya 24% pada tahun 2005 dan 14% pada tahun 2006 2007 dari total alokasi anggaran program pengendalian DBD. Walaupun presentasenya menurun, namun nilai absolutnya meningkat, dikarenakan pada tahun 2005 mulai direkrutnya Jumantik oleh Puskesmas Kecamatan. Rincian kegiatan pengendalian vektor DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat, mulai tahun 2005 adalah pemberdayaan Posko DBD RW, Jumantik profesional dan Jumantik sukarela, Gerakan PSN 30 Menit setiap Jumat pukul 09.00 s/d 09.00 WIB dan Gerakan PSN di 7 Tatanan, selain kegiatan rutin petugas

49 kesehatan yaitu abatisasi selektif, pemantauan jentik berkala dan pembinaan kader, masyarakat dan lintas sektor dalam gerakan PSN. Namun kegiatan pengendalian vektor yang sifatnya preventif ini belum juga mampu menurunkan angka kesakitan DBD. Walaupun anggaran untuk alokasi pengendalian vektor DBD lebih kecil dari alokasi anggaran pengendalian kasus DBD, tidak berarti Dinas Kesehatan Provinsi, Sudin Kesmas dan Puskesmas Kecamatan harus mengalokasikan anggaran yang lebih tinggi, mengingat masih banyak lagi program-program lainnya yang tidak kalah penting untuk ditanggulangi. Hal tersebut terkait dengan masalah DBD yang begitu luas dan kompleks, terutama dari faktor vektor A. Aegypti menjadikan konsep DBD adalah penyakit lingkungan bukan sekedar penyakit menular, yang dipengaruhi oleh curah hujan, industri dan perdagangan, pemanasan global, kehidupan modern dan perubahan penggunaan tanah, bahkan dipengaruhi juga oleh ledakan jumlah penduduk, kemajuan transportasi, urbanisasi/pengungsi/transmigrasi, pariwisata dan perilaku manusia, maka sudah saatnya harus dirubah pandangan semua orang bahwa DBD bukan urusan jajaran kesehatan saja. Seperti contoh di Singapura urusan vektor DBD tidak berada di bawah Departemen Kesehatan, tetapi di bawah Departemen Lingkungan Hidup (Sutaryo, 2004). Sehingga beban anggaran pengendalian vektor DBD tidak hanya bertumpu di jajaran kesehatan. Bila anggaran pengendalian vektor DBD khususnya gerakan PSN-DBD sudah tidak menjadi beban bidang kesehatan, tetapi menjadi anggaran masing-masing lintas sektor terkait, maka anggaran pengendalian vektor di jajaran kesehatan

50 dapat difokuskan pada kegiatan pembinaan PSN, pemantauan jentik berkala, abatisasi selektif dan surveilans vektor DBD. Surveilans vektor DBD sangat menjadi penting dengan kondisi kasus DBD yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan akan informasi kepadatan vektor (angka bebas jentik), resistensi vektor terhadap insektisida maupun serotipe virus yang ada di nyamuk A. Aegypti sangat membantu dalam upaya mengendalikan DBD. Begitu juga dengan informasi kepadatan vektor DBD perlu disebarluaskan kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi waspada dengan DBD dan mereka mengetahui hasil dari gerakan PSN yang mereka lakukan. Sudah saatnya untuk perencanaan anggaran tahun-tahun selanjutnya dialokasikan kegiatan surveilans vektor DBD. Untuk menjadikan masalah vektor DBD menjadi masalah bersama di masyarakat, Pemerintah Daerah Kota Administrasi Jakarta Barat dengan Peraturan Kota Administrasi Jakarta Barat Nomor 45 Tahun 2006 tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintahan Daerah dari Gubernur kepada Walikotamadya/Kabupaten Administrasi, Camat dan Lurah, mulai melimpahkan kewenangan kepada Walikotamadya/Kabupaten Administrasi, Camat dan Lurah untuk ikut serta menangani masalah kesehatan yang ditunjang dengan anggaran. Salah satu kewenangan bidang kesehatan tersebut adalah hal yang berkaitan dengan program pengendalian DBD, seperti pergerakan dan pembinaan masyarakat dalam pencegahan penyakit menular potensial wabah antara lain DBD dengan penggunaan kader kesehatan dan penunjukan Jumantik.

3. Manajemen Pengendalian DBD 51 Rincian kegiatan yang masuk dalam kelompok Manajemen Pengendalian DBD adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan pengendalian DBD, yang terdiri dari kegiatan peningkatan sumber daya manusia, pertemuan koordinasi lintas sektor dan lintas program, pemeriksaan cholinesterase, extra fooding petugas, penyusunan pedoman kerja, surveilans kasus DBD, pemeliharaan dan pembelian alat/mesin fogging atau ULV, serta bimbingan, pengawasan dan pengendalian program. Pada tahun 2006 dengan adanya pembiayaan pelayanan pengobatan DBD gratis, alokasi anggaran untuk kegiatan manajemen pengendalian DBD hanya 6% dari total anggaran pengendalian DBD, sementara pada tahun 2005 walaupun presentase terkecil dari kegiatan lainnya tetapi mencapai 11% karena pada tahun tersebut belum ada pembiayaan pengobatan DBD gratis (hanya tiga jenis kelompok kegiatan). Salah satu dari kegiatan manajemen pengendalian DBD yang tidak kalah penting adalah koordinasi lintas program dan lintas sektor dan promosi kesehatan. Dengan masalah DBD begitu luas dan kompleks, maka dibutuhkan perhatian khusus untuk mengendalikannya dengan mengikutsertakan peran masyarakat yang didukung dengan kegiatan promosi kegiatan. Untuk kegiatan koordinasi telah dibentuk Tim Koordinasi Pemberatasan Penyakit DBD Tingkat Kota Administrasi Jakarta Barat yang melibatkan lintas sektor terkait dan di tingkat Kota Administrasi dan Kecamatan dibentuk Tim

52 Kelompok Kerja Operasional ( Pokjanal ) DBD serta di tingkat Kelurahan adalah Tim Kelompok Kerja ( Pokja ) DBD. Tim ini merupakan wadah koordinasi penggerakan PSN oleh masyarakat, yang melibatkan beberapa aparat yang berasal dari berbagai sektor dalam pemerintah. Untuk kegiatan koordinasi ini telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 52.425.000,- selama tiga tahun (2005-2007) untuk di tingkat provinsi sampai dengan kecamatan/kelurahan. Berdasarkan penelitian Paripurna (2000) tentang kajian pelaksanaan koordinasi Pokjanal dan Pokja DBD dalam gerakan PSN-DBD di Kotamadya Jakarta Pusat bahwa pelaksanaan koordinasi Pokjanal dan Pokja DBD di Kotamadya Jakarta belum dilaksanakan dengan baik dan optimal. Dengan melihat kenyataan bahwa tim koordinasi Pokjanal atau Pokja DBD di DKI Jakarta belum berjalan dengan baik dan optimal, maka perlu dibentuk wadah yang formal dan konsisten serta ditangani dengan serius yang didukung oleh sumber daya yang lengkap untuk penanggulangan DBD khususnya penggerakkan masyarakat dalam pengendalian vektor DBD, seperti Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD). Kegiatan promosi merupakan media penggerakkan masyarakat untuk peduli dengan masalah DBD. Karena anggaran promosi kesehatan di setiap provider diperuntukkan untuk semua program kesehatan, maka dalam penelitian ini yang digunakan adalah anggaran yang benar-benar di dalam dokumen anggaran untuk promosi kesehatan kegiatan pengendalian DBD atau anggaran yang direalisasikan untuk program DBD. Jumlah anggaran untuk kegiatan ini selama tiga tahun (2005-2007) di Kota Administrasi sebagai kegiatan promotif kesehatan sebesar

53 Rp.60.250.000 Peneliti tidak dapat menilai apakah dengan sejumlah anggaran tersebut untuk kegiatan promotif kesehatan khususnya DBD sudah mencukupi atau ideal. Tetapi peneliti setuju dengan pendapat Primal Sudjana dr, SpPD (Konsultan ahli penyakit infeksi tropik dan ahli penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran) yang menyatakan bahwa kegiatan kampanye pencegahan dan penanggulangan DBD di media yang membutuhkan dana begitu besar adalah tidak efektif (www.fk.unpad.ac.id, 2005). Akan lebih efektif bila penggerakkan masyarakat diberi contoh langsung oleh kesadaran perilaku petugas kesehatan dan adanya kontrol kegiatan PSN di masyarakat melalui pengamatan jentik oleh petugas kesehatan atau pihak yang berwenang secara kontinue dan didukung dengan komitmen Pemerintah Daerah setempat. 4 Pelayanan Pengobatan DBD Gratis Sebagai kegiatan kuratif dalam program pengendalian DBD, sejak Februari tahun 2006 ketika terjadi KLB DBD diberlakukan pembiayaan pengobatan DBD gratis, mengingat banyak kerugian ekonomi bagi warga DKI Jakarta yang terjangkit DBD. Anggaran untuk pembiayaan pengobatan DBD gratis ini sebenarnya tidak secara khusus dialokasikan untuk anggaran tersebut, tetapi diambil dari anggaran untuk JPK Gakin Kota Administrasi Jakarta Barat, sehingga penghitungannya adalah anggaran yang diklaim oleh RS dan Puskesmas karena melayani pasien rawat jalan dan rawat inap baik pasien DBD dengan pelayanan kelas III. Data penderita DBD yang dirawat di RS pada tahun 2005 sebanyak 20.640 penderita dan pada tahun 2006 sebanyak 23.466 penderita, berarti 36,8% dari

54 seluruh penderita DBD tahun 2005 dan 47,6% dari seluruh penderita DBD tahun 2006 dibiayai oleh Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Barat. Dengan demikian ada 13.032 penderita DBD pada tahun 2006 dan 9.471 penderita DBD pada tahun 2007 yang membayar sendiri biaya pengobatan DBD. Bila dikelompokkan menurut tindakannya, yaitu : preventif, promotif dan kuratif, jelas terlihat bahwa kegiatan preventif jauh lebih besar dan menempati proporsi terbesar. Sedangkan proporsi ke-2 adalah tindakan kuratif dan proporsi ke-3 adalah tindakan promotif. C. Proporsi Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat Proporsi Alokasi anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat terus meningkat selama tiga tahun berturut-turut, yaitu dari tahun 2005 sampai dengan 2007, dilihat dari tabel 4.1 di bawah ini Tabel 4.1 Proporsi Alokasi Anggaran Program Pengendalian Di Kota Administrsi Jakarta Bart, Tahun 2005-2007 Tahun 2005 2006 2007 Total Anggaran 30,948,591,770 72,527,684,528 72,426,789,609 Alokasi Angaran 678,380,000 1,450,553,691 1,810,669,740 DBD Persentase 0,98% 2,0% 2,5% Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat

55 Bila dilihat dari Proporsi aloksi anggaran, hanya berkisar 0,98% - 2,5% anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi pada tahun 2005 sampai dengan 2007 bersumberkan dana APBD. Hal ini menunjukkan aksi nyata pemerintah daerah terhadap masalah DBD di Kota Administrasi Jakarta Jakarta Barat. Dari peningkatan alokasi anggaran pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat selama tiga tahun tidak diikuti dengan penurunan jumlah kasus DBD. Peningkatan alokasi anggaran yang sangat tinggi pada tahun 2006 dikarenakan pada waktu perencanaan anggaran baik di tingkat Sudin Kesmas maupun Puskesmas Kecamatan memang meningkatkan alokasi anggarannya dikarenakan situasi kasus DBD pada tahun 2006 jauh meningkat dibandingkan tahun 2005. Selain itu dengan adanya KLB DBD pada bulan Februari Maret 2006, di Kota Administrasi Jakarta Barat memberikan anggaran untuk pengadaan motor ULV sebanyak 8 buah senilai Rp. 87.137.000,-, penyebarluasan informasi sebesar Rp. 60.000.000,- dan mulai diberlakukan pengobatan gratis untuk penderita DBD di Puskesmas dan RS kelas III. Ditambah lagi dengan diberikan ABT kepada Puskesmas kecamatan untuk pengendalian kasus DBD selanjutnya.

D. Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD per Komponen Biaya 56 Distribusi anggaran yang dialokasikan untuk program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat berdasarkan komponen biaya dapat dilihat pada tabel 4.7 dan 4.8 dibawah ini. Tabel 4.7 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Komponen Biaya di Kota Administrasi Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 No Komponen Biaya 2005 2006 Jumlah % Jumlah Anggaran Anggaran (Rp.) (Rp.) 2007 % Jumlah Anggaran (Rp.) 1 Operasional 506,000,000 74.6 819,450,000 56.5 845,600,000 46.8 2 Investasi 89,080,000 13.1 631,103,691 43.5 654,505,000 36.2 3 Pemeliharaan 83,300,000 12.3 308,522,527 17.1 Total 678,380,000 100 1,450,553,691 100 1,810,669,740 100 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat Dari total alokasi anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat pada tahun 2005 sampai dengan 2007 hampir sebagian besar untuk biaya operasional, yaitu berkisar 46,8-74,6%. Sedangkan untuk biaya investasihanya berkisar 13,1-43,4 % dan biaya pemeliharaan berkisar 12,3-17,1 % %

. Tabel 4.8 57 Alokasi Anggaran Program Pengendalian DBD menurut Komponen Biaya dan Provider Kesehatan di Kota Administrasi Jakarta Barat, Tahun 2005-2007 Tahun/ Komponen Biaya Sudin Kesmas 8 Puskesmas Total Jumlah Jumlah Jumlah Anggaran % Anggaran % Anggaran ( (,000) Rp. (,000) Rp.,000) Rp. I. Tahun 2005 Operasional 197.000 73,2 309.000 75,5 506.000 74,6 Investasi 39.000 14,5 50.080 12,2 89.080 13,1 Pemeliharaan 33.300 12,4 50.000 12,2 83.300 12,3 Total 269.300 100 409.080 100 678.380 100 I. Tahun 2006 Operasional 319.450 58,1 500.000 55,5 819.450 56,5 Investasi 230.100 41,9 401.003 44,5 631.103 43,5 Pemeliharaan Total 549.550 100 901.003 100 1.450.553 100 I. Tahun 2007 Operasional 389.600 53,2 456.000 42,4 845.600 46,8 Investasi 243.000 33,2 411.505 38,2 654.505 36,2 Pemeliharaan 99.500 13,6 209.022 19,4 308.522 17,1 Total 732.100 100 1.076.527 100 1.810.669.740 100 Sumber data Perencanaan Sudin Kesmas Kota Adm. Jakarta Barat Proporsi alokasi anggaran program pengendalian program DBD menurut komponen biaya di masing-masing provider didominasi oleh biaya operasional, dimana total biaya pada tahun 2005 berkisar 12,3-74,6 %, tahun 2006 berkisar 43,5-56,5 % dan tahun 2007 berkisar 17,1-46,8 %. Proporsi terkecil adalah biaya pemeliharaan 12,3-17,1. Sedangkan biaya investasi paling besar ada di tingkat Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2006 sebesar 48,6%. %

58 Alokasi anggaran program pengendalian DBD bila didistribusikan menurut komponen biaya sebagian besar untuk biaya operasional, dimana mencapai 74 % pada tahun 2005, 56,4 % pada tahun 2006 dan 46,8 % pada tahun 2007 dari total anggaran pengendalian DBD. Sedangkan biaya investasi yang berkisar 13,1 sampai dengan 36,2 % selama tiga tahun, dimana tertinggi pada tahun 2006 sebsar Rp. 654,505,000 (36,2 %) dari total anggaran pengendalian DBD dikarenakan tahun tersebut terjadi KLB sehingga mendapat bantuan dana dari Sekda Pemda Kota Administrasi Jakarta Barat. Komponen biaya pemeliharaan merupakan komponen biaya yang terkecil dari total alokasi anggaran pengendalian DBD selama tiga tahun (2005 2007), yang hanya mencapai 12,3 % samapai 17,1 %. Distribusi berdasarkan komponen biaya untuk alokasi anggaran program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat menunjukkan kesenjangan yang tinggi antara masing-masing komponen biaya. Untuk komponen biaya pemeliharaan yang sangat kecil tidak sesuai dengan jumlah alat atau mesin fogging dimiliki Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kota Administrasi Jakarta Barat. Berdasarkan SK Gubernur Kota Administrasi Jakarta Barat nomor 2044 tahun 2004 tentang Satuan Biaya untuk Pelaksanaan PE, FF, PSN dan PJB di Kota Administrasi Jakarta Barat, unit cost pemeliharaan untuk satu mesin fogging sebesar Rp. 500.000,-/tahun, satu mobil mesin ULV sebesar Rp. 6.024.120,-/tahun dan satu motor mesin ULV sebesar Rp. 3.172.060,-/tahun.

59 Dengan demikian sangat tidak mencukupi dengan anggaran sebesar Rp. 12.000.000,- pada tahun 2005 untuk biaya pemeliharaan 30 mesin fogging yang masih kondisi baik, 2 motor ULV dan 2 mobil ULV. Besarnya biaya pemeliharaan yang seharusnya dialokasikan berdasarkan unit cost tersebut adalah sebesar Rp. 481.871.240,- ( {30 x Rp. 500.000,-} + {2 x Rp. 3.172.060,-} + { 2 x Rp. 6.024.120} ). Jelas disini terlihat tidak adanya keseimbangan antara biaya operasional, investasi dan pemeliharaan. Seharusnya dengan dikeluarkannya aggaran investasi pada tahun sebelumnya, harus diimbangi oleh biaya pemeliharaan di tahun-tahun selanjutnya. Dengan kurangnya biaya pemeliharaan mesin fogging akan berdampak pada kondisi mesin fogging dan motor ULV sebagai alat penunjang dalam operasional pengendalian DBD. Bila alat penunjang tersebut cepat rusak maka akan ada alokasi anggaran untuk pembelian mesin fogging atau ULV yang baru dan akan berdampak pada pengurangan alokasi anggaran untuk kegiatan lainnya dan secara langsung juga akan menghambat pengendalian kasus di lapangan. E. Tren Angka Kesakitan DBD dan Pengeluaran per Kapita Rata-rata Program Pengendalian DBD per Kecamatan Tahun 2005-2007 Dengan adanya kewenangan penyusunan anggaran yang ada di tingkat Puskesmas Kecamatan, berarti kegiatan pengendalian DBD yang bersifat operasional sudah berada di lini terdepan, yaitu di tingkat kecamatan.

60 Dengan demikian dalam penelitian ini perlu diketahui besarnya anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pengendalian DBD, dengan menghitung pengeluaran per kapita rata-rata untuk program pengendalian DBD kasus dan vektor DBD yang berdampak langsung terhadap penduduk setempat. Dan untuk mengetahui keberhasilan dari kegiatan tersebut dilihat dari IR DBD masing-masing kecamatan, sehingga diperoleh data-data seperti pada tabel 4.8 berikut ini. Tabel 4.10 Perbandingan antara Pengeluaran per Kapita Rata-rata ProgramPengendalian Kasus dan Vektor DBD dengan IR DBD per Kecamatan Di Kota Administrasi Jakarta Barat Tahun 2005 2007 Pengeluaran per Kapita Insidence Rate / 100.000 No Kecamatan (Rp.) Penduduk 2005 2006 2007 2005 2006 2007 1 Cengkareng 26 36 38 138 235 240 2 Grogol Petamburan 21 27 31 140 233 272 3 Kalideres 27 32 36 122 140 195 4 Kebon Jeruk 42 56 54 226 365 322 5 Kembangan 25 34 28 230 239 192 6 Palmerah 38 52 49 175 311 234 7 Tamansari 20 25 29 123 163 252 8 Tambora 29 32 32 77 182 209 Sumber data BPS Jakarta Barat

61 Dari tabel di atas diketahui bahwa pengeluaran per kapita untuk program pengendalian DBD per Kecamatan tahun 2005 berkisar Rp. 790,- s/d Rp. 1.929,- dengan rata-rata Rp. 965,-, tahun 2005 berkisar Rp. 551 s/d Rp. 8.013,- dengan rata-rata Rp. 2.997,- dan tahun 2007 berkisar Rp. 843,- s/d Rp. 6.707,- dengan rata-rata Rp. 2.774. Untuk angka kesakitan DBD tahun 2004 berkisar 77-346/100.000 penduduk dengan rata-rata 187/100.000 penduduk, tahun 2005 berkisar 120-521/100.000 penduduk dengan rata-rata 274/100.000 penduduk dan tahun 2006 berkisar 170-480/100.000 penduduk dengan rata-rata 311/100.000 penduduk. Berdasarkan tupoksi dan struktur dalam organisasi Sudinkesmas Kota Administrasi Jakarta Barat, Puskesmas Kecamatan berfungsi sebagai operator dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka Puskesmas Kecamatan diberikan kewenangan untuk merencanakan alokasi anggaran kesehatan berdasarkan besarnya masalah di wilayahnya masing-masing berpedoman kepada kebijakan perencanakan yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Kota Administrasi Jakarta Barat dan berdasarkan hasil Musrenbang. Dengan adanya kewenangan di Puskesmas Kecamatan dalam merencanakan anggaran kesehatan diharapkan perencanaan program pengendalian DBD di setiap tingkat kecamatan lebih responsif dan akomodatif terhadap besarnya masalah DBD di wilayahnya masing-masing. Oleh karena itu perlu diketahui berapa besar pengeluaran rata-rata anggaran untuk pengendalian DBD, khususnya kegiatan yang langsung merupakan kegiatan untuk menekan penyebaran atau penularan

62 penyakit DBD di masyarakat yaitu kegiatan pengendalian kasus dan vektor DBD dengan deminatornya adalah jumlah penduduk masing-masing kecamatan. Selain uraian tersebut diatas, memperhatikan pendapat Lewis (1996) bahwa pengertian tentang analisis biaya yang tidak hanya upaya untuk mengetahui struktur biaya, biaya total maupun per unit, tetapi juga melakukan penilaian terhadap biaya dengan keberhasilan/outcomes program, maka peneliti perlu mengetahui pengeluaran per kapita rata-rata program pengendalian DBD dengan tren IR DBD per kecamatan seperti terlihat pada tabel 4.7 Dengan pemperhatikan angka rata-rata pengeluaran per kapita dan IR DBD per Kecamatan pada tren pengeluaran per kapita dan rata-rata IR DBD per Kecamatan pada tahun 2005-2007, didapat angka proporsi sebagai berikut : F. Proporsi jumlah kecamatan dengan IR di bawah angka rata-rata per kecamatan pada kelompok kecamatan dengan pengeluaran per kapita di atas angka rata-rata per kecamatan, pada tahun 2005 : 9/12 (47%), tahun 2006 : 13/28 (46,4) dan tahun 2007 : 3/19 (23,1%). G. Proporsi jumlah kecamatan dengan IR di bawah angka rata-rata per kecamatan pada kelompok kecamatan dengan pengeluaran per kapita di bawah angka rata-rata per kecamatan, pada tahun 2005 : 12/23 (53%), tahun 2006 : 8/14 (57,1%) dan tahun 2007 : 13/23 (56,5%). Dengan demikian dari tren tersebut terlihat bahwa peningkatan pengeluaran per kapita rata-rata program pengendalian DBD tidak dapat menurunkan IR DBD.

63 Hal ini jelas terlihat pada pembahasan alokasi anggaran per jenis kegiatan khususnya kegiatan PE dan FF, walaupun alokasi anggaran untuk pengendalian kasus sudah menyerap sebagian besar dari alokasi anggaran program pengendalian DBD (50,5-66,1%) tetapi belum juga dapat menangulangi kasuskasus yang ada. Untuk mengalokasikan anggaran PE dan FF yang sesuai dengan kebutuhan di Puskesmas Kecamatan merupakan pilihan yang sangat berat karena akan berdampak pada pengurangan alokasi anggaran untuk kegiatan atau program kesehatan lainnya, yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, untuk menambah alokasi anggaran Puskesmas Kecamatan perlu advokasi atau persetujuan Bapeda dan DPRD, sementara sistem pembiayaan saat ini adalah anggaran berbasis kinerja yang didasarkan pada upaya pencapaian hasil kerja (output, outcome, benefit dan impact). Walaupun demikian anggaran PE dan FF di tingkat Puskesmas Kecamatan dan peningkatan yang cukup tinggi pada saat KLB tahun 2005 memperlihatkan bahwa anggaran pengendalian kasus DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat sudah reaktif dan antisipatif, hanya saja peningkatan tersebut belum dapat menanggulangi jumlah kasus DBD yang terjadi. Selain itu, berdasarkan pengamatan peneliti dari laporan tahunan, faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya IR DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat dikarenakan turunnya anggaran yang tidak tepat waktu setiap tahunnya, dimana paling cepat di bulan April,

64 sementara setiap ada kasus DBD, khususnya DBD dengan PE positif harus dtindaklanjuti dengan cepat (tidak dapat ditunda) karena akan berdampak pada penularan yang sangat cepat dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dimana kondisi lingkungan Kota Administrasi Jakarta Barat masih rentan dengan perkembangbiakan vektor tersebut dengan ABJ tahun 2007 berkisar 68,65-97,91%. Kondisi ini juga menyebabkan meningkatnya angka kesakitan DBD di Kota Administrasi Jakarta Barat.