Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

Spesifikasi geometri teluk bus

Persyaratan Teknis jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BAB III LANDASAN TEORI

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 14 (Empat belas)

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

UU NO. 38 TAHU UN 2004 & PP No. 34 TA AHUN 2006 TENTANG JALAN DIREKTORAT BINA TEKNIK DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 3 Tahun 2002 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.276/AJ-401/DRJD/10 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KETERTIBAN LALU LINTAS DI KOTA TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

Penempatan marka jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 19/PRT/M/2011 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS JALAN DAN KRITERIA PERENCANAAN TEKNIS JALAN

2.1 ANALISA JARINGAN JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN

PEDOMAN. Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

PEDOMAN PERENCANAAN FASILITAS PENGENDALI KECEPATAN LALU LINTAS

PANDUAN PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN DI WILAYAH PERKOTAAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012

PEDOMAN. Perencanaan Bundaran untuk Persimpangan Sebidang DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

POTONGAN MELINTANG (CROSS SECTION) Parit tepi (side ditch), atau saluran Jalur lalu-lintas (travel way); drainase jalan; Pemisah luar (separator);

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB III LANDASAN TEORI. diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi,

Perda No. 19/2001 tentang Pengaturan Rambu2 Lalu Lintas, Marka Jalan dan Alat Pemberi Izyarat Lalu Lintas.

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

SNI T Standar Nasional Indonesia. Geometri Jalan Perkotaan BSN. Badan Standardisasi Nasional ICS

Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan

BUPATI BANGKA TENGAH

PERSYARATAN TEKNIS JALAN UNTUK RUAS JALAN DALAM SISTEM JARINGAN JALAN PRIMER < < <

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

Spesifikasi bukaan pemisah jalur

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Geometrik Jalan

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 13 (Tiga belas)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 17 TAHUN 2007

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

KONSEP THE CITY OF PEDESTRIAN. Supriyanto. Dosen Tetap Prodi Teknik Arsitektur FT UNRIKA Batam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bertujuan untuk bepergian menuju arah kebalikan (Rohani, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 20 TAHUN 2002

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBANGUNAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Transkripsi:

Standar Nasional Indonesia Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan ICS 93.080 Badan Standardisasi Nasional

Daftar isi Daftar Isi... Prakata... ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 3.1 Daerah perumahan... 1 3.2 Jaringan jalan... 3 3.3 Geometrik jalan... 4 4 Persyaratan... 6 4.1 Persyaratan umum prasarana jalan... 6 4.1.1 Perizinan... 6 4.1.2 Sistem jaringan jalan... 6 4.1.2.1 Sistem jaringan jalan wilayah dan kota... 6 4.1.2.2 Sistem jaringan jalan perumahan... 10 4.1.3 Klasifikasi jalan di perumahan... 12 4.1.3.1 Klasifikasi jalan perumahan disusun berdasarkan... 12 4.1.3.2 Penetapan jarak antar simpang ditetapkan berdasarkan hirarki jalan 13 4.2 Persyaratan teknis prasarana jalan... 13 4.2.1 Bagian-bagian jalan... 13 4.2.2 Parameter desain... 14 4.2.2.1 Bangkitan perjalan... 14 4.2.2.2 Potongan melintang jalan... 15 4.2.2.3 Tipe jalur dan lajur jalan... 16 4.2.2.4 Kecepatan rencana, jarak pandang henti, dan jari-jari tingkungan... 17 4.2.2.5 Kemiringan normal melintang jalan... 17 4.2.3 Sempadan bangunan dan klasifikasi jalan... 17 4.2.4 Sistem drainase... 19 4.2.5 Fasilitas pendukung, perlengkapan jalan, angkutan umum dan klasifikasi jalan...20 4.2.6 Wewenang pembinaan dan pengendalian jalan perumahan... 21 Bibliografi... 22 i i

Prakata Standar Nasional Indonesia Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan, disusun untuk memberikan arahan dan pedoman kepada pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pembangunan kawasan perumahan pada umumnya dan jaringan jalan perumahan pada khususnya serta untuk memperoleh suatu keseragaman dalam definisi, hirarki sistem jaringan jalan perumahan yag jelas serta syarat minimum geometrik jalan. SNI ini disusun oleh Panitia Teknis 21S dan telah dibahas dalam rapat-rapat teknis serta telah disepakati dalam konsensus pada tanggal 29 Agustus 2001 di Bandung. ii

Pendahuluan Dalam suatu lingkungan perumahan yang baik dengan memenuhi standar yang tepat dan efisien, maka perlu ditunjang pula oleh penyediaan sarana dan prasarana yang baik dan standar, seperti penyediaan fasilitas sosial, dan fasilitas umum. Salah satu prasarana penting yang harus disediakan dengan baik dan memenuhi standar adalah prasarana jalan, khususnya jalan perumahan. Jalan perumahan merupakan salah satu struktur penting dari suatu kota dalam suatu sistem jaringan jalan perkotaan. Sehingga, peranan jalan ini jika berfungsi dengan baik dapat menentukan kualitas sebuah kota, serta memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warganya. Jalan perumahan yang baik harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi pergerakan pejalan kaki, pengendara sepeda dan pengendara kendaraan bermotor lainnya, seperti trotoar, drainase, lansekap, rambu lalu lintas, marka jalan, parkir, shelter dan lain-lain. Selama ini, dalam pembangunan prasarana jalan diperumahan dianggap belum mempunyai suatu pedoman penyediaan prasarana jalan di perumahan, akibatnya antara satu perumahan dengan perumahan lainnya muncul perbedaan kondisi jalan, misalnya pada suatu perumahan tertentu lebar badan jalan yang tersedia cukup memadai sementara pada perumahan lainnya lebar badan jalan kurang memadai. Kemudian, kondisi jenis perkerasan yang berbeda-beda antar perumahan, serta tidak didukung oleh penyediaan bagian jalan lainnya, seperti tidak tersedianya trotoar bagi pejalan kaki dan sistem drainase yang kurang baik mengakibatkan umur jalan menjadi pendek. Yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya kinerja jalan dalam tingkat pelayanan (level of service) jalan, sehingga mengurangi kenyamanan dan keselamatan bagi para pemakai jalan. Karena itu, perlu dibuat suatu pedoman penyediaan prasarana jalan di perumahan untuk menyeragamkan kondisi jalan di seluruh perumahan, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap tingkat kenyamanan dan keselamatan dalam menggunakan prasarana jalan di perumahan. iii

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan 1 Ruang lingkup SNI tentang Sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan menguraikan istilah dan definisi yang berhubungan dengan bidang perumahan dan prasarana jalan, dan menguraikan persyaratan umum maupun teknis yang harus dipenuhi dalam setiap perencanaan sistem jaringan jalan perumahan. 2 Acuan normatif Penyusunan Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan ini mengacu kepada : AASHTO 1996, A Policy on Geometric Design of Highway and Streets. 3 Istilah dan definisi Istilah dan definisi yang digunakan dalam pedoman ini sebagai berikut: 3.1 daerah perumahan 3.1.1 kawasan siap bangun (KASIBA) sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan pemukiman skala besar yang terbagi dalam lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaanya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten, dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan, khusus untuk DKI Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta 3.1.2 lingkungan siap bangun (LISIBA) sebidang tanah yang merupakan bagian dari kasiba ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang 3.1.3 kaveling tanah matang sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan 1 dari 22

3.1.4 perumahan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan 3.1.5 permukiman bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan 3.1.6 prasarana lingkungan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya 3.1.7 blok sebidang tanah yang merupakan bagian dari Lisiba, terdiri dari sekelompok rumah tinggal atau persil 3.1.8 rumah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga 3.1.9 satuan lingkungan permukiman kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang berstruktur 3.1.10 sarana lingkungan fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya 3.1.11 utilitas umum sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan 3.1.12 kota jenjang I kota yang berperan melayani seluruh satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang paling tinggi dalam satuan wilayah pengembangannya serta memiliki orientasi ke luar wilayahnya 3.1.13 kota jenjang II kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu 3.1.14 kota jenjang III 2 dari 22

kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu 3.1.15 kawasan primer kawasan kota yang mempunyai fungsi sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya 3.1.16 kawasan sekunder kawasan kota yang mempunyai fungsi pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal 3.2 jaringan jalan 3.2.1 jalan suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas kendaraan, orang dan hewan Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu-lintas umum 3.2.2 sistem jaringan primer dan sekunder 3.2.2.1 sistem jaringan primer sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga dan kota jenjang di bawahnya sampai ke persil di dalam satu kesatuan wilayah pengembangan dan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar satuan wilayah pengembangan CATATAN Berdasarkan pengelompokkan jalan menurut peranannya, jaringan jalan primer terjadi atas jalan arteri primer, jalan kolektor primer, dan jalan lokal primer : 1) jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua. 2) jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua, atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. 3) jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil, atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil, atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil, atau di bawah kota jenjang ketiga sampai persil. 3 dari 22

3.2.2.2 sistem jaringan sekunder sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai perumahan CATATAN Berdasarkan pengelompokkan jalan menurut peranannya, jaringan jalan sekunder terbagi atas jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder, dan jalan lokal sekunder. 1) jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dan kawasan sekunder kesatu, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 2) jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 3) jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai perumahan. 3.3 geometrik jalan 3.3.1 akses persil merupakan jalan masuk ke setiap persil atau ke setiap rumah 3.3.2 akses jalan merupakan pertemuan jalan yang mempunyai tingkat hirarki yang lebih rendah dengan jalan yang mempunyai tingkat hirarki yang lebih tinggi 3.3.3 daerah manfaat jalan (DAMAJA) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar tinggi dan kedalaman ruang batas tertentu. Ruang tersebut diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya 3.3.4 daerah milik jalan (DAMIJA) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan. DAMIJA ini diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA) dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan 3.3.5 daerah pengawasan jalan (DAWASJA) merupakan ruang sepanjang jalan di luar daerah milik jalan (DAMIJA) yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan 3.3.6 badan jalan bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu-lintas, median dan bahu jalan 4 dari 22

3.3.7 jalur lalu-lintas bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya diperkeras 3.3.8 lajur bagian dari jalur lalu-lintas yang memanjang dibatasi oleh marka lajur jalan, yang memiliki lebar cukup untuk kendaraan bermotor sesuai rencana (kendaraan rencana) 3.3.9 bahu jalan bagian dari jalan yang terletak pada tepi kiri dan atau kanan jalan dan berfungsi sebagai: jalur lalu-lintas darurat, tempat berhenti sementara, ruang bebas samping, penyangga kestabilan badan jalan, jalur sepeda (bahu diperkeras) 3.3.10 trotoar bagian jalan atau bahu jalan yang terletak di tepi kiri/kanan jalan, berfungsi sebagai jalur pejalan kaki 3.3.11 median bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu-lintas yang berlawanan arah 3.3.12 jarak pandang jarak di sepanjang tengah-tengah suatu jalur dari mata pengemudi ke suatu titik dimuka pada garis yang sama yang dapat dilihat oleh pengemudi 3.3.13 jarak pandang henti jarak pandang ke depan yang diperuntukan untuk kendaraan berhenti dengan aman, dengan pengemudi yang cukup mahir dan keadaan waspada 3.3.14 volume lalu lintas jumlah kendaraan yang melewati suatu penampang tertentu pada suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu 3.3.15 volume lalu-lintas harian rencana taksiran atau prakiraan volume lalu-lintas harian untuk masa yang akan datang pada bagian jalan tertentu 3.3.16 kecepatan rencana kecepatan maksimum kendaraan yang aman yang dapat dipertahankan sepanjang bagian jalan tertentu bila kondisi sedemikian baik sehingga ketentuan desain jalan merupakan faktor yang menentukan 5 dari 22

4 Persyarataan 4.1 Persyaratan umum prasarana jalan 4.1.1 Perizinan Proses perencanan dan pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman skala besar harus melalui tahapan perizinan yang diperlukan yang dapat meliputi: izin prinsip, izin lokasi, izin rencana detail dan izin sejenis lainnya. Melihat materi yang harus tercantum dalam izin-izin tersebut di atas maka perencanaan pelaksanaan teknis prasarana kawasan permukiman, khususnya prasarana jalan, harus tercantum di ketiga izin tersebut. Dalam izin prinsip, harus terkandung perencanaan sistem jaringan jalan perumahan sesuai dengan persyaratan umum prasarana jalan perumahan. Perencanaan teknis yang terukur dari prasarana jalan menyangkut dimensi dan komposisi peruntukan lahan untuk prasarana jalan, dituangkan dalam izin lokasi, dan harus memenuhi dimensi yang telah ditetapkan di persyaratan umum prasarana jalan perumahan. Di dalam izin rencana detail, yang di dalamnya memuat perencanaan teknis yang lebih detail dari izin lokasi, dimensi serta jenis perkerasan prasarana jalan mengacu kepada persyaratan teknis prasarana jalan perumahan. 4.1.2 Sistem jaringan jalan Sistem jaringan jalan membentuk satu kesatuan dan terdiri dari sistem jaringan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki. 4.1.2.1 Sistem jaringan jalan wilayah dan kota Persyaratan klasifikasi jalan menurut peranan jalan berdasarkan peraturan pemerintah yaitu: a) jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter; mempunyai kapasitas lebih besar daripada volume lalu-lintas rata-rata; lalu-lintas jalan arteri primer tidak boleh diganggu oleh lalu-lintas ulang alik, lalu-lintas lokal dan kegiatan lokal, untuk itu persimpangan pada jalan ini perlu diatur; jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi; jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota dan desa; DAWASJA tidak kurang dari 20 meter. b) jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter; mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu-lintas rata-rata; jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki desa; DAWASJA tidak kurang dari 15 meter. c) jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 6 meter; 6 dari 22

jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa; DAWASJA tidak kurang dari 10 meter. d) jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter; mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu-lintas ratarata; pada jalan arteri sekunder lalu-lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu-lintas lambat; untuk itu persimpangan pada jalan ini perlu diatur. e) jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan dengan lebar jalan tidak kurang dari 7 meter; DAWASJA tidak kurang dari 7 meter. f) jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter; persyaratan teknis seperti di atas diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih; jalan lokal sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan tidak kurang dari 3,5 meter; Dawasja tidak kurang dari 4 meter. Hubungan dan fungsi hirarki jaringan jalan primer dan sekunder dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. 7 dari 22

Kota Jenjang I JALAN ARTERI JALAN ARTERI PRIMER JALAN ARTERI PRIMER Kota Jenjang I Kota Jenjang II JALAN KOLELTOR PRIMER Kota Jenjang II JALAN LOKAL PRIMER JALAN LOKAL PRIMER JALAN KOLEKTOR PRIMER Kota Jenjang III JALAN LOKAL PRIMER JALAN KOLEKTOR PRIMER JALAN LOKAL PRIMER Kota Jenjang III JALAN LOKAL PRIMER Kota Dibawah Jenjang JALAN LOKAL PRIMER Persil Keterangan: hirarki kota-kota dihubungkan oleh masing-masing fungsi jalan, dalam gambar diwakili oleh garis yang menghubungkan masing-masing hirarki kota berikut dengan fungsi jalan yang menghubungkannya Gambar 1 Sistem jaringan jalan primer 8 dari 22

F1 KAWASAN PRIMER JALAN ARTERI/ JALAN ARTERI F21 KAWASAN JALAN ARTERI F21 KAWASAN I JALAN ARTERI/ JALAN ARTERI JALAN LOKAL F22 KAWASAN II JALAN KOLEKTOR JALAN KOLEKTOR F22 KAWASAN II JALAN LOKAL F23 KAWASAN III JALAN LOKAL PERUMAHAN Keterangan: Hirarki kawasan dihubungkan oleh masing-masing fungsi jalan, dalam gambar diwakili oleh garis yang menghubungkan masing-masing hirarki kawasan berikut dengan fungsi jalan yang menghubungkannya. Gambar 2 Sistem jaringan jalan sekunder 9 dari 22

4.1.2.2 Sistem jaringan jalan perumahan Jalan lokal sekunder di perumahan dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu: a) jalan lokal sekunder I, Jalan lokal I merupakan jalan poros perumahan yang menghubungkan antara jalan kolektor dan atau pusat aktivitas di perumahan. Jalan ini secara fungsional dapat dikatakan seperti jalan dengan hirarki arteri di dalam kawasan perumahan, dengan kapasitas jalan yang dapat melayani jumlah kendaraan yang relatif besar, yaitu antara 800-2000 kendaraan/hari. b) jalan lokal sekunder II, Jalan lokal II menghubungkan akses menuju jalan lokal sekunder III dan menghubungkan aktivitas atau menuju jalan yang lebih tinggi hirarkinya. Jalan lokal II dapat berbentuk loop yang menghubungkan satu jalan kolektor atau jalan arteri pada dua titik, atau dapat juga berbentuk jalan lurus yang menghubungkan lalu-lintas antara jalan kolektor atau jalan arteri. jalan lokal II mempunyai kapasitas 200-1000 kendaraan/hari. c) jalan lokal sekunder III, Fungsi utama dari jalan ini adalah menghubungkan lalu-lintas dari dan menuju persil jalan lainnya dalam perumahan. Jalan lokal III tidak memberikan pelayanan sebagai jalan pintas. Kapasitas jalan ini adalah kurang dari 350 kendaraan/hari. Hubungan hirarki serta fungsi dari jalan perumahan dapat dilihat pada Gambar 3. 10 dari 22

Kolektor/Lokal LS I LS I LS II Pusat KASIBA (Fasum/Fasos) LS I Pusat KASIBA (Fasum/Fasos) LS II LS II LS II LS III Pusat LISIBA (Fasum/Fasos) LS II Pusat LISIBA (Fasum/Fasos) LS III LS III LS III Pusat Pemukiman (Fasum/Fasos) LS III Pusat Pemukiman (Fasum/Fasos) Keterangan: LS : Jalan Lokal Sekunder Hirarki kawasan dihubungkan oleh masing-masing fungsi jalan, dalam gambar diwakili oleh garis yang menghubungkan masing-masing hirarki kawasan berikut dengan fungsi jalan yang menghubungkannya. Gambar 3 Sistem jaringan jalan di kawasan perumahan L Jalan Kolektor/Sekunder L L Gambar 4 Ilustrasi jaringan jalan perumahan tipe cul de sac 11 dari 22

Jalan Kolektor/Lokal Sekunder LS I LS II LS III 4.1.3 Klasifikasi Jalan di Perumahan Gambar 5 ilustrasi jaringan jalan perumahan tipe gird 4.1.3 Klasifikasi jalan di perumahan 4.1.3.1 Klasifikasi jalan perumahan disusun berdasarkan: hirarki jalan fungsi jalan kawasan perumahan. Klasifikasi jalan perumahan dapat dilihat pada Tabel 1. 12 dari 22

Tabel 1 Hirarki jalan perumahan menurut fungsi, kelas dan berdasarkan skala kawasan perumahan No. Hirarki Jalan Fungsi Kelas Jalan 1. Lokal Sekunder I (LS I) 2. Lokal Sekunder II (LS II) 3. Lokal Sekunder III. (LS III) Sebagai jalan poros perumahan yang menghubungkan antara jalan Kolektor/ Lokal dan pusat aktivitas KASIBA. Merupakan penghubung antara jalan Kolektor/Lokal dengan Pusat LISIBA dan atau menghubungkan Pusat KASIBA dengan Pusat LISIBA, sebagai akses Menuju jalan Lokal Sekunder III ke pusat LISIBA atau menuju jalan Lokal Sekunder I yang lebih tinggi tingkat hirarkinya. Merupakan penghubung antara jalan Kolektor/Lokal dengan pusat permukiman, pusat permukiman dengan pusat permukiman, dan akses menuju Lokal Sekunder II yang lebih tinggi tingkat hirarkinya. III C III C III C Kawasan Perumahan KASIBA/LISIBA KASIBA/LISIBA LISIBA/BLOK 4.1.3.2 Penetapan jarak antar simpang ditetapkan berdasarkan hirarki jalan, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jarak akses jalan No. Hirarki jalan Jarak antar simpang 1. Lokal Sekunder I > 200 meter 2. Lokal Sekunder II 100-200 meter 3. Lokal Sekunder III 50-100 meter 4.2 Persyaratan teknis prasarana jalan 4.2.1 Bagian-bagian jalan Bagian-bagian jalan terdiri dari: - DAMIJA - DAMAJA - DAWASJA - jalur dan lajur jalan - bahu dan trotoar - saluran drainase - median. Bagian-bagian jalan dapat dilihat pada Gambar 6. Definisi serta fungsi DAMIJA, DAMAJA, dan DAWASJA dapat dilihat sub bab 3. 13 dari 22

a j d c b f g e h i i Keterangan gambar: a Jalur lalu lintas b Lajur lalu lintas c Bahu jalan d Jalur pejalan kaki e Saluran drainase f Sempadan bangunan g Daerah manfaat jalan (damaja) h Daerah milik jalan (damija) i Daerah pengawasan jalan (dawasja) j Jalur hijau Gambar 6 Bagian-bagian jalan 4.2.2 Parameter desain 4.2.2.1 Bangkitan perjalanan Bangkitan perjalanan ditetapkan berdasarkan luas kawasan dan kepadatan penduduk, disajikan pada Tabel 3. 14 dari 22

Tabel 3 Hubungan hirarki jalan perumahan dengan kepadatan dan bangkitan perjalanan Kepadatan penduduk Bangkitan (perjalanan/orang/hari) Hirarki Jalan Rendah 320-1670 LS I/II - LS III Sedang 600-1950 LS I/II - LS III Tinggi 700-2242 LS II LS III CATATAN Mengacu kepada pendekatan 50% luas lahan LISIBA, yang diperuntukan untuk lahan hunian, mengikuti pola lahan berimbang 1:3:6 dengan luas kapling dipilih paling minimum sesuai Peraturan Pemerintah untuk setiap tipe rumah 4.2.2.2 Potongan melintang jalan Lebar DAMIJA, DAMAJA, DAWASJA dan bagian jalan untuk tiap hirarki jalan perumahan. Lebar minimum untuk tiap hirarki jalan perumahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Lebar minimum bagian-bagian jalan untuk masing-masing hirarki jalan perumahan Hirarki Jalan Perumahan Lebar Perkerasan (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur Pejalan kaki (m) Lebar jalur hijau (m) Lebar Saluran Drainase (m) Lebar Damaja (m) Lebar Damija (m) Lebar Dawasja (m) Lebar Sempadan Bangunan (m) Volume Lalu Lintas ratarata (kend/hari) Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Lokal 3.0 2.0 1.5 1.0 1.0 9.0 16.0 4.0 10.5 < 200 Sekunder I 4.5 1.5 1.5 1.0 1.0 9.5 16.0 4.0 10.5 200-400 -dianjurkan sempadan (LS I) 6.0 1.5 1.5 1.0 1.0 11.0 16.0 4.0 10.5 400-1000 bangunan 12.5 m 7.0 1.5 1.5 1.0 1.0 12.0 16.0 4.0 10.5 1000-2000 VLLR >1000 disediakan trotoar Lokal 3.0 2.0 1.5 1.0 1.0 9.0 16.0 4.0 10.0 < 200 Sekunder II 4.0 1.5 1.5 1.0 1.0 9.0 16.0 4.0 10.0 200-400 (LS II) 4.5 1.5 1.5 1.0 1.0 9.5 16.0 4.0 10.0 400-1000 6.0 1.5 1.5 1.0 1.0 11.0 16.0 4.0 10.0 1000-2000 VLLR >1000 disediakan trotoar Lokal 3.0 1.0 1.5 1.0 1.0 7.0 12.0 3.0 7.0 < 200 Sekunder III (LS III) CATATAN Jika total luas lahan yang diperuntukan bagi pembangunan prasarana jalan kurang dari 20% dari luas lahan total seluruh area pemukiman maka dimensi harus disesuaikan agar syarat minimum 20 % luas lahan untuk prasarana jalan terpenuhi, dengan memperhatikan fungsi jalan dan volume lalu lintas yang akan ditampung oleh jalan. 15 dari 22

Gambar penampang melintang dari jalan perumahan dapat dilihat pada Gambar 7. k l a b c d e f m g j h i j Keterangan gambar (spesifikasi detail sesuai fungsi jalan dapat dilihat pada tabel 4): a b c d e f g h i j k l m Perkerasan Lajur maksimum 3,5 meter Bahu min 1 meter Saluran Drainase 1 meter Jalur hijau 1 meter Jalur pejalan kaki 1.5 meter Sempadan bangunan minimum 10.5 meter Damaja Damija Dawasja Damaja > 5 meter di atas sumbu jalan Damaja > 1.5 meter di bawah sumbu jalan Infrastruktur lain (kabel, saluran air kotor dsb) Gambar 7 Penampang melintang jalan lokal sekunder di perumahan 4.2.2.3 Tipe jalur dan lajur jalan a) jalur lalu-lintas kendaraan bermotor bisa terdiri dari beberapa lajur b) batas jalur: - bahu - trotoar - median/separator c) tipe jalan: - 1 jalur dengan 2 lajur 2 arah 16 dari 22

- 1 jalur dengan 2 lajur 1 arah - 1 jalur dengan 1 lajur 1 arah - 2 jalur dengan 4 lajur 2 arah tanpa median/separator - 2 jalur dengan 4 lajur 2 arah dengan median/separator 4.2.2.4 Kecepatan rencana, jarak pandang henti, dan jari-jari tikungan Kecepatan rencana ditetapkan berdasarkan pertimbangan: fungsi dan klasifikasi jalan tingkat keselamatan jalan nilai ekonomis. Syarat teknis dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5 Kecepatan rencana, jarak pandang henti dan jari-jari tikungan No. Variabel Kelas III C 1. Kecepatan rencana 40 km/h 2. Jarak pandang henti 40 m 3. Jari-jari minimum (tikungan) 10 m 4.2.2.5 Kemiringan normal melintang jalan Kemiringan normal melintang jalan ditentukan berdasarkan tipe perkerasan yang akan dipilih dan kecepatan aliran. Kemiringan normal melintang jalan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kemiringan normal melintang jalan No. Kelas Jalan Perkerasan Bahu Laston Diperkeras Penetrasi Macadam Tidak Diperkeras Tanah 1. III C 2% 3% > 3% 4.2.3 Sempadan bangunan dan klasifikasi jalan Sempadan bangunan diukur dari as jalan (centre line) dan ditetapkan dengan memperhatikan klasifikasi jalan. Penentuan sempadan bangunan dapat dilihat pada Tabel 7. 17 dari 22

Tabel 7 Sempadan bangunan untuk jalan LS I, LS II, LS III Kelas Jalan Sempadan Bangunan Keterangan (m) Lokal Sekunder I 10.5 Minimum dari sumbu jalan (LS I) Lokal Sekunder II Minimum dari sumbu jalan (LS II) 10 Lokal Sekunder III (LS III) 7 Minimum dari sumbu jalan c e d b a R Keterangan: a Jalan dengan hirarki fungsi lebih tinggi b Jalan dengan hirarki fungsi lebih rendah c Jarak sempadan bangunan untuk jalan hirarki lebih tinggi d Jarak sempadan bangunan untuk jalan hirarki lebih tinggi e Persil R Jari-jari tepi perkerasan Gambar 8 Sempadan bangunan pada pertemuan hirarki jalan perumahan Tabel 8 Jari-jari minimum pertemuan 2 kelas jalan perumahan Kelas Kelas III B III C III B 10 m 10 m III C 10 m 5 7 m 18 dari 22

4.2.4 Sistem drainase Tipe sistem drainase ditentukan berdasarkan tingkat pelayanan saluran drainase dalam fungsinya sebagai sarana dalam penyaluran air hujan yang jatuh di dalam kawasan permukiman. Tipe sistem drainase, dimensi, fungsi dan penempatannya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 9 Sistem drainase permukiman hubungannya dengan fungsi dan penempatannya Sistem Drainase Tidak Terpadu Terpadu Penempatan Fungsi Dimensi Dikedua sisi badan jalan (sebagai bagian jalan) Sebagai median (Saluran primer yang bermuara di saluran alamiah) Di kedua sisi badan jalan Hanya menyalurkan air hujan yang jatuh di DAMAJA (sesuai hujan rencana) Menyalurkan debit hujan rencana yang jatuh di seluruh area termasuk Damaja Minimum sesuai persyaratan umum Minimum sesuai persyaratan umum dan disesuaikan dengan perhitungan Debit Rencana CATATAN Definisi Tidak Terpadu : Saluran drainase yang mengikuti sistem jaringan jalan dan berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan air hujan yang jatuh di DAMAJA, bukan sebagai saluran primer drainase permukiman Definisi Terpadu : Saluran drainase yang mengikuti sistem jaringan jalan dan berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan air hujan yang jatuh di DAMAJA dan yang jatuh di seluruh kawasan permukiman a b c keterangan: a Perkerasan jalan b Bahu jalan c Saluran drainase Gambar 9 Tipikal drainase terbuka 19 dari 22

a b c Gambar 10 Tipikal drainase tertutup 4.2.5 Fasilitas pendukung, perlengkapan jalan, angkutan umum dan klasifikasi jalan Hubungan antara fasilitas pendukung, perlengkapan jalan dan angkutan umum dengan klasifikasi jalan, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Fasilitas pendukung, perlengkapan jalan, angkutan umum dan klasifikasi jalan Hirarki Jalan Perumahan Perlengkapan Jalan Fasilitas Pendukung Angkutan Umum Beban As (MST) Lokal - rambu - teluk bis - angkot (minibis 8 Ton Sekunder I - marka - jalur pejalan kaki 12 tempat duduk ) (LS I) - lampu lalu lintas di persimpangan - bis (< 24 tempat duduk) Lokal - ada rambu - jalur pejalan kaki - angkot (minibis 5 ton Sekunder II - pengendali - teluk bis 12 tempat duduk) (LS II) Kecepatan Lokal - ada rambu bila perlu - jalur pejalan kaki 5 ton Sekunder III - pengendali (LS III) Kecepatan -tanpa kereb Keterangan (PP 43/1993) (PP 26/1985) -jika terdapat Ruko perlu Fasilitas parkir CATATAN Rambu dapat berupa : rambu peringatan, rambu larangan, rambu perintah, rambu petunjuk. Marka jalan terdiri dari : marka membujur, marka melintang, marka serong, marka lambang, marka lainnya. Alat pengendali dan pengaman pemakai jalan: - Pengendali :alat pembatas kecepatan, alat pembatas tinggi dan lebar kendaraan - Pengaman : pagar pengamanan, cermin tikungan, delineator, pulau lalu lintas, pita penggaduh Fasilitas pendukung: - fasilitas pejalan kaki - parkir pada badan jalan - halte - tempat istirahat pejalan kaki - penerangan jalan 20 dari 22

Angkutan umum yang beroperasi di kawasan permukiman dapat berupa jaringan trayek cabang dan atau trayek ranting (UU No14/1992), menggunakan moda angkutan bus umum dan atau mobil penumpang. a keterangan: a minimum 2,4 m b minimum 6 m α minimum 20 o b b α Gambar 11 Dimensi teluk bis 4.2.6 Wewenang pembinaan dan pengendalian jalan perumahan Kewenangan pembinaan serta pengendalian jalan perumahan secara administratif berada pada Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten, sedangkan kewenangan pembinaan dan pengendalian secara teknis berada pada dinas terkait di lingkungan Pemerintah Kota maupun Pemerintah Kabupaten. 21 dari 22

Bibliografi Undang-undang No. 13 tahun 1980 tentang Jalan. Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Marga,1997. 22 dari 22