Menelaah Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah Oleh: Teguh Nirmala Yekti *

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 072/PUU-II/2004

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2 inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala apabila dilaksanakan, sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain: a. P

BAB I PENDAHULUAN. Hasil amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU PILKADA KOMISI II DPR RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Komisi ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adala

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU PILKADA KOMISI II DPR RI

Akuntabilitas Dana Pilkada Lampung

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB V PENUTUP. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. TAHAPAN UU No 5 Tahun 1974 UU No 22 Tahun 1999 UU No 32 Tahun 2004 Tahapan Pencalonan

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

Urgensi Pemimpin Daerah Yang Bersih Guna Mewujudkan Good Governance Oleh: Achmadudin Rajab *

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BAHAN RATAS RUU PENYELENGGARAAN PEMILU SELASA, 13 SEPTEMBER 2016

PROVINSI JAWA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RechtsVinding Online

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN TAHAPAN PENCALONAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG TAHAPAN, PROGRAM DAN JADWAL PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

: Dra. Hani Yuliasih, M.Si/Kabag.Set Komisi II DPR RI

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

RINGKASAN PUTUSAN.

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

Konsekuensi dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung?

C. Tujuan Penulisan. Berikut adalah tujuan penulisan makalah pemilukada (Pemilihan Umum Kepala. Daerah).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Pengawasan dalam..., Ade Nugroho Wicaksono, FHUI, 2009

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

2017, No Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi persyaratan (Sumarno, 2005:131). pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ).

Transkripsi:

Menelaah Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah Oleh: Teguh Nirmala Yekti * Pendahuluan Perbedaan pendapat pemerintah dan DPR untuk menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah (KDH) dalam pembahasan RUU Pilkada sempat menimbulkan pelbagai reaksi dari publik. Pemuka masyarakat, akademisi, politisi, agamawan, dan sebagainya memberikan pendapatnya mengenai polemik mekanisme pemilihan KDH berupa dukungan dan/atau penolakan beserta argumen atau pemikirannya terhadap RUU Pilkada yang diinisiasi oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut (Kemendagri). Pada akhirnya Kemendagri yang sebelumnya mengusung ide pemilihan kepala daerah (KDH) oleh DPRD, dalam perkembangan terakhir justru sepakat dengan keinginan fraksi-fraksi di DPR untuk mempertahankan mekanisme pemilihan langsung KDH (kompas, 2/09/2014). Dengan melihat kilas balik pembentukan UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diantaranya mengatur mekanisme pemilihan KDH secara langsung untuk menggantikan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang mengatur mekanisme pemilihan KDH melalui DPRD. Kedua undang-undang tersebut jelas-jelas tidak mengatur dengan detil mengenai transparansi perekrutan bakal calon KDH, persyaratan bakal calon KDH yang kompeten, kredibel, dan berintegritas, dan banyaknya KDH yang dihasilkan dari mekanisme yang diatur oleh kedua undang-undang tersebut justru bermasalah. Data yang diuangkap kemendagri sebanyak 304 KDH sampai dengan pertengahan tahun 2013 bermasalah dalam proses hukum (Kemendagri, 2013). RUU Pilkada yang saat ini diajukan pemerintah ke DPR tidak terlihat solusi menarik yang ditawarkan sebagai perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu perlu dipikirkan solusi jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan dari pelaksanaan UU Pemda tersebut. Perbedaan Penafsiran Terhadap UUD NRI Tahun 1945 UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur bahwa kepala daerah (KDH) dipilih langsung oleh rakyat merupakan politik hukum pemerintah dan DPR pada masa itu yang menafsirkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi; Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Apabila dilakukan penelaahan terhadap risalah perubahan UUD 1945 (1999-2002) maka dokumen tersebut menunjukan bahwa penggunaan rumusan KDH dipilih secara demokratis dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) tersebut diatas merupakan bentuk dari kompromi. Mengingat pada saat pasal 18 UUD perubahan dirumuskan, terdapat aspirasi yang menghendaki KDH dipilih langsung. Namun dilemanya, untuk pemilihan

presiden pada saat itu belum ditentukan apakah diatur langsung atau tidak. Agar terdapat rumusan komprehensif dan sistematis maka digunakan istilah dipilih secara demokratis, yang menurut Valina Singka Subekti dari Fraksi Utusan Golongan MPR misalnya, bisa dimaknai pula baik dipilih secara langsung maupun tidak langsung, tergantung keadaan yang berkembang (Dwi Andayani B., 2009). Menurut Zain Badjeber dalam rapat pembahasan untuk perumusan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 (Zain Badjeber, 2011), banyak pendapat dari peserta rapat yang menghendaki KDH dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan pendapat tersebut dijawab oleh peserta rapat lain yang berpendapat bahwa usulan pemilihan secara langsung tidak luwes. Oleh karena itu sebagai jalan tengah antara pihak yang menghendaki pemilihan KDH secara langsung maupun tidak langsung, maka pada akhirnya diputuskan rumusan akhir Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Lebih lanjut Zain Badjeber menjelaskan bahwa rumusan ini dipilih sebagai alternatif jalan tengah karena dalam rumusan akhir Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, pengertian frasa dipilih secara demokratis dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) tersebut adalah agar dalam undang-undang yang mengaturnya (UU organiknya) membuka ruang (pilihan) untuk mengadakan pemilihan kepala pemerintah daerah secara langsung dan pemilihan tidak langsung. Setelah selesainya perubahan UUD NRI Tahun 1945, undang-undang yang menggantikan UU No.22 Tahun 1999 yaitu UU No.32 Tahun 2004 justru tidak mengatur pilihan kebijakan dalam undang-undang tersebut. Kesalahan dari pembentukan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 adalah tidak dibukanya ruang (pilihan) untuk mengadakan pemilihan langsung dan tidak langsung, tetapi hanya mengatur salah satu mekanisme tersebut. Wacana lain tentang penafsiran terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 turut diungkapkan oleh Made Suwandi (2005) yang menjelaskan bahwa berdasarkan pendekatan konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), dalam Pasal 18 ayat (4) dinyatakan KDH dipilih secara demokratis dan tidak secara tegas dinyatakan bahwa KDH dipilih secara langsung oleh rakyat. Sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A dinyatakan secara tegas dipilih langsung oleh rakyat. KDH dipilih secara demokratis dapat berimplikasi dua yaitu, dia dapat dipilih langsung oleh rakyat ataupun dipilih langsung oleh wakil-wakil rakyat (DPRD). Kedua-duanya dapat berarti dipilih secara demokratis. Lebih lanjut Made Suwandi menjelaskan bahwa konstitusi tidak secara tegas menyatakan KDH dipilih langsung oleh rakyat karena ketentuan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden dilakukan pada perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945, sedangkan ketentuan pemilihan KDH telah lebih dulu diatur pada perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, Made Suwandi berpendapat bahwa komisi konstitusi pada proses perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945 tidak mau mendahului membuat pengaturan pemilihan langsung KDH oleh rakyat, karena pemilihan Presiden secara langsung pada waktu itu masih merupakan wacana di masyarakat. Penafsiran lain diungkapkan Suharizal (2005) yang menjelaskan bahwa

dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dapat ditarik beberapa persoalan penting; 1. UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan KDH dipilih secara langsung, dan calon KDH tidak harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini berbeda dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 yang antara lain menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 2. Frasa dipilih secara demokratis tidaklah dapat ditafsirkan bahwa rekrutmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik sebagai salah satu lembaga yang berfungsi melakukan rekrutmen politik dalam pengisian jabatan publik melalui mekanisme yang demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.31 Tahun 2002 tentang partai politik, junto Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang antara lain menyatakan Partai Politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 3. Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan perubahan kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan prosedural pemilu sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001). Artinya, pilkada langsung, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan rekrutmen calon KDH, adalah lembaga yang juga menjadi penanggung jawab pelaksanaan pemilu (pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif) yaitu KPU(D). Dalam Bab VIIB UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemilihan Umum (yang merupakan hasil perubahan ketiga), Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) menyatakan; (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Menurut Suharizal, karena perubahan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 adalah perubahan kedua, sedangkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 merupakan perubahan ketiga, maka secara hukum mempunyai makna bahwa pelaksanaan Pasal 18 ayat (4), khususnya lembaga yang melakukan rekrutmen pasangan calon KDH harus merujuk pada Pasal 22E,

karena logika hukumnya jika oleh pengubah UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam perubahan ketiga rumusan yang terdapat dalam Pasal 18 akan diubah dan disesuaikan dengan Pasal 22E, namun kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi sehingga sampai saat ini yang berlaku tetap Pasal 18 hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. 4. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 hanya mengharuskan yang dipilih secara demokratis adalah KDH (Gubernur, Bupati, dan Walikota). Dengan kata lain wakil KDH (wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan KDH. Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil KDH sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem pemerintahan daerah. Pendapat perlunya kepala pemerintahan dan KDH dipilih langsung oleh rakyat juga dikemukakan oleh Harry Mulya Zein (2011) yang menyatakan bahwa mengembalikan pemilihan KDH melalui mekanisme pemilihan di DPRD merupakan langkah mundur proses demokratisasi di Indonesia. Salah satu ruh tuntutan bergulirnya reformasi politik yang berlangsung sejak tahun 1998 adalah memberikan hak kepada rakyat Indonesia untuk bisa menentukan (memilih) pemimpinnya secara langsung, dari pemimpin tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Artinya, dengan mengembalikan pemilihan KDH melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD merupakan salah satu tindakan yang dapat melukai hati rakyat. Ruh dari proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia adalah menegakkan prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat atau melaksanakan sistem presidensial yang mengharuskan pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Dengan berbagai pendapat yang mengungkapan penafsirannya terhadap konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), maka analisis yang dilakukan atas pemaparan pokok-pokok pikiran diatas terhadap penafsiran Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 antara lain: 1. Ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tidak memuat ketentuan lanjutan atas frasa dipilih secara demokratis sebagaimana tercantum dalam ayat (4). Ketentuan lanjutan yang dimaksud adalah tidak memberi pilihan kebijakan kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk memilih mekanisme pengisian jabatan KDH agar dipilih tidak langsung atau dipilih langsung oleh rakyat yang diatur dalam undangundang. Oleh karena itu pembentuk undang-undang harus memuat dua mekanisme pengisian jabatan KDH tersebut dalam undang-undang yang dibentuknya. 2. Penafsiran Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tentang frasa dipilih secara demokratis dengan membandingkannya dengan Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dengan maksud untuk membenarkan bahwa frasa dipilih secara demokratis ditafsirkan dipilih langsung oleh rakyat adalah tidak tepat. Karena Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dibentuk pada perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945 sedangkan Pasal 6A baru dibentuk pada perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.

Walaupun wacana pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung telah berkembang kuat pada saat dilakukannya proses perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945, namun hal tersebut tidak dapat diartikan bahwa seluruh mekanisme pengisian jabatan pemerintahan harus dilaksanakan dengan mekanisme pemilihan secara langsung. Pada tataran pelaksanaan demokrasi pada negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga yang melaksanakan demokrasi, justru terjebak pada konflik yang mengatasnamakan demokrasi, sedangkan secara kultur, jiwa, dan semangat demokrasi tidak terbangun nyata dalam negara-negara berkembang tersebut. Oleh karena itu, untuk pembangunan sistem demokrasi di Negara Republik Indonesia harus disesuaikan dengan keadaan, kultur, menimbang keterbatasan kemampuan negara dan bangsa Indonesia. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan membuat norma yang tidak kaku dalam undang-undang dasar, sehingga norma yang berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar dapat dijalankan dengan luwes, dan terdapat pula pilihan kebijakan yang membuat pembentuk undang-undang tidak tersandera untuk melaksanakan norma undang-undang dasar dengan melampaui keterbatasan kemampuan negara. 3. Menganggap risalah pembahasan (Memorie van Toelichting) Pasal 18 ayat (4) perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945 sebagai penjelasan resmi dengan menyatakan Frasa dipilih secara demokratis diartikan dipilih secara langsung adalah tidak tepat, karena Pasal II Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan Dengan ditetapkannya perubahan Undang- Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Apabila disimak risalah pembahasan rapat panitia ad hoc I sidang tahunan MPR-RI tahun 2000 ada beberapa pihak (fraksi) yang menyatakan bahwa Frasa dipilih secara demokratis adalah dipilih secara langsung. Namun perlu dicermati bahwa risalah pembahasan pembentukan peraturan memang mengungkapkan asal-usul dan sejarah hukum dibuatnya suatu norma, namun perdebatanperdebatan, pendapat-pendapat hukum dari para ahli hukum dan pembentuk peraturan perundangundangan akan berujung dengan dikeluarkannya produk peraturanperundang-undangan tersebut, sehingga semua pihak yang berkepentingan wajib untuk menafsirkan norma sesuai dengan peraturan perundangan yang resmi ditetapkan sebagai aturan negara dan risalah pembahasan peraturanperundangan akan berfungsi sebagai data pembanding. 4. Ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang tidak mengatur jabatan wakil KDH (wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota) menimbulkan dua pendapat: a. Jabatan wakil KDH dianggap inkonstitusional karena tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 18. Lebih lanjut, sesuatu aturan (UU) yang dibuat karena dasar hukumnya tidak ada dalam aturan yang menjadi dasar pembentukkannya atau tidak

diperintahkan aturan yang lebih tinggi (UUD), maka akan membuat aturan itu menjadi dianggap inkonstitusional dan tidak memberi kepastian hukum. Satjipto Rahardjo (1999) mengemukakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum, hal ini dikarenakan prinsip hukum atau asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum layak juga disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. b. Menurut Jimly Asshidiqie (2010), sesuatu aturan (UU) yang dibuat walaupun tidak diamanatkan oleh aturan yang lebih tinggi (UUD) belum tentu inkonstitusional, karena apabila aturan tersebut (UU) bisa dilaksanakan dan dibuat dengan memenuhi kaidah-kaidah konstitusi maka aturan tersebut adalah konstitusional. Oleh karena itu jabatan wakil KDH dianggap konstitusional karena merupakan konsekuensi dari mekanisme pemilihan KDH secara langsung. Wakil KDH yang dipilih langsung bersama KDH akan memudahkan pergantian KDH apabila terjadi kekosongan jabatan KDH yang disebabkan KDH berhalangan tetap, sehingga wakil KDH akan otomatis melanjutkan sisa masa jabatan KDH dan legitimasi akan tetap kuat karena wakil KDH dipilih langsung oleh rakyat. Walaupun kedua pendapat tersebut sama kuat, namun untuk menuju kepastian hukum maka sebaiknya norma yang dibuat tetap perlu memperhatikan amanat dari peraturan yang setingkat lebih tinggi. Mekanisme Pengisian Jabatan KDH Pada RUU Pilkada Seperti yang telah dijelaskan dalam bahasan diatas bahwa ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tidak memuat ketentuan lanjutan atas frasa dipilih secara demokratis sebagaimana tercantum dalam ayat (4). Ketentuan lanjutan yang dimaksud adalah tidak memberi pilihan kebijakan kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk memilih mekanisme pengisian jabatan KDH agar dipilih tidak langsung atau dipilih langsung oleh rakyat yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu pembentuk undang-undang harus memuat dua mekanisme pengisian jabatan KDH tersebut dalam undangundang yang dibentuknya. Materi muatan undang-undang yang secara khusus mengatur pilkada atau pemilukada perlu memuat klausul utama yaitu harus memuat dua mekanisme pengisian jabatan KDH sebagai KDH baik dipilih langsung oleh rakyat maupun dipilih secara tidak langsung. Undangundang baru ini perlu menentukan kriteria atau syarat-syarat pemberlakuan salah satu mekanisme pengisian jabatan dalam suatu daerah provinsi yaitu: a. Bagi daerah yang memiliki APBD yang cukup, dapat melaksanakan pemilihan KDH secara langsung dan/atau dapat pula diberikan kebebasan untuk memilih mekanisme pengisian jabatan KDH-nya. b. Bagi daerah yang memiliki APBD yang tidak cukup untuk menyelenggarakan

pemilihan langsung dapat memilih untuk melaksanakan pemilihan KDH secara tidak langsung. c. Penentuan mekanisme pengisian jabatan KDH pada suatu daerah provinsi dapat pula ditentukan dengan melihat besar-kecilnya jumlah pemilih, hal ini disampaikan Ganjar Pranowo (2013), anggota Komisi II DPR. d. Apabila suatu daerah provinsi/kabupaten/kota mempunyai jumlah pemilih yang besar sesuai dengan kontribusi pajaknya maka dapat dilakukan pemilihan KDH secara langsung. e. Daerah Provinsi/kabupaten/kota dapat menyelenggarakan pilkada langsung apabila daerahnya memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang jumlah/prosentasenya memungkinkan daerah tersebut tidak terbebani pendanaan penyelenggaraan pilkada langsung. 1. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Dengan Pemilihan Secara Langsung a. Mekanisme yang digunakan pada dasarnya sama sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 Jo. UU No.12 Tahun 2008, hanya saja yang akan dibahas di sini adalah perbaikan prinsip-prinsip pengaturannya. b. Undang-undang yang baru harus menentukan apakah pemilihan KDH secara langsung oleh rakyat statusnya akan ditetapkan sebagai rezim pemilu atau tidak, karena ada konsekuensi dari status tersebut antara lain; prinsip-prinsip pendanaan dan lembaga peradilan manakah yang akan menyelesaikan perkara atau sengketa pilkada. c. Praktik oligarki dalam penjaringan calon KDH yang diatur melalui mekanisme partai politik dapat dihapuskan dengan membuat aturan mekanisme penjaringan calon dari partai politik yang diatur dalam undang-undang. Selama ini mekanisme penjaringan calon KDH dari partai politik hanya menggunakan mekanisme dan aturan internal partai sehingga dalam pelaksanaannya justru berlangsung secara tertutup, tidak transparan, dan tidak akuntabel kepada publik. Dengan diaturnya mekanisme penjaringan calon KDH dari partai politik dalam undangundang akan mempersulit pihakpihak yang akan menjual dukungan dengan imbalan uang. d. Politik kekerabatan juga berhubungan erat dengan praktik oligarki, oleh karena itu perlu pembatasan dalam undang-undang untuk mencegah kerabat KDH yang terdekat untuk maju sebagai pejabat publik yang dipilih oleh rakyat yang sama dengan rakyat yang memilih KDH yang bersangkutan. Pembatasan hak warga negara diperbolehkan dalam undangundang, karena dasar hukumnya adalah Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan; Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

e. Besarnya pendanaan pemilukada/pilkada dalam APBD dapat dihemat dengan mengkaji teknis tahapan pemilihan, seperti; perlu tidaknya pemilukada serentak dengan pemilu Pilpres dan/atau pemilu legislatif, provinsi yang tidak mampu mendanai Pemilukada dibuat mekanisme bantuan pendanaan dari pemerintah pusat dan/atau kabupaten/kota, efisiensi dalam perbaikan teknis lelang alatalat pemilihan, mengurangi jumlah TPS secara ekstrim (penggabungan TPS dan penghapusan TPS), dan disinergikannya badan statistik dan KPU daerah provinsi sehingga tidak terjadi tumpang tindih terkait pengumpulan data pemilih dan data sensus penduduk. Sebagai contoh untuk efisiensi pendanaan melalui pemilukada serentak, Provinsi Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam telah melakukannya. Pemilihan gubernur dan 17 bupati/wali kota dilakukan secara serempak. Hasilnya, anggaran yang bisa dihemat mencapai 50% (http://m.inilah.com/read/detail/18 92798/biaya-pemilu-untuk-siapa, 2012). f. Persyaratan bagi seseorang yang akan maju dalam pemilukada/pilkada harus diperbaiki, agar sistem dan mekanisme dapat menjaring calon KDH yang berintegritas, kredibel, kapabel, serta memenuhi harapan dan dapat diterima masyarakat (akseptabilitas). Aspek integritas, kredibel, dan kapabel sebelumnya tidak diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 Jo. UU No.12 Tahun 2008 sehingga calon KDH yang terpilih lebih banyak dipilih karena statusnya sebagai incumbent/petahana, popularitas, atau karena praktik politik uang yang dilakukan tim sukses pasangan calon. Mekanisme yang dapat ditempuh untuk mendapatkan calon KDH yang berkualitas adalah dengan bakal calon KDH harus menempuh tes kemampuan, tes bakat kepemimpinan, dan tes kejujuran, serta psikotes sehingga calon KDH yang terpilih berbanding lurus dengan harapan rakyat pemilih yaitu mendapatkan atau memilih KDH yang berintegritas, kapabel,dan kredibel yang dapat memenuhi amanat rakyat dengan menjalankan pemerintahan daerah secara transparan dan akuntabel. g. Tidak jelasnya batas kewenangan KDH sebagai pejabat politik dan pejabat birokrasi, dapat diatur dalam undang-undang terkait yaitu undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Pengaturan dimaksud adalah dengan mengkaji kembali besaran tugas dan wewenang KDH dan memperbesar peran sekretaris daerah sebagai pelaksana kebijakan KDH, pemimpin organisasi dinas dan badan di daerah, serta berperan sebagai pembina utama para birokrat di pemerintahan daerah. Besaran tugas dan wewenang KDH dapat dipangkas dengan mengutamakan tugas dan wewenang untuk melakukan supervisi/pengawasan pelaksanaan tugas aparatur daerah dan kinerja dinas/badan daerah dan merumuskan konsep kebijakan yang diusung dalam kampanye untuk

dilaksanakan oleh aparatur daerah dan dinas/badan dalam lingkup kewenangannya. 2. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Dengan Pemilihan Secara Tidak Langsung a. Menurut Bhenyamin Hoessein, konsekuensi dari model integrated prefectoral system adalah rekruitmen KDH perlu memenuhi unsur criteria acceptability oleh masyarakat dan capability di mata pemerintah. Dan ditambahkan pula oleh Jimly Asshidiqie (2010) yang menerangkan bahwa jabatan negara/pejabat negara yang dipilih dan/atau diangkat secara tidak langsung tetap memenuhi aspek demokratis apabila lembaga atau pejabat yang memilihnya berasal dari jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat, contohnya menteri yang diangkat oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan dua pendapat tersebut, mekanisme pengisian jabatan KDH dengan pemilihan secara tidak langsung tetap mungkin dilaksanakan yang diatur dalam undang-undang. b. Prinsip pemilihan KDH adalah penjaringan bakal calon KDH dilakukan tim independen yang dibentuk oleh Presiden atau KPU, dan sejumlah bakal calon yang lolos seleksi dipilih menjadi beberapa orang calon dan ditetapkan oleh Presiden sebagai calon KDH yang diajukan kepada DPRD Provinsi untuk dipilih. Dengan dipilih bersama oleh dua jabatan/lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, maka legitimasi KDH terpenuhi. Agar calon KDH yang telah dipilih bersama antara Presiden dan DPRD Provinsi/kabupaten/kota dapat diterima oleh masyarakat, maka calon KDH terpilih diperkenalkan langsung oleh Pimpinan DPRD dan dilantik Presiden di hadapan masyarakat secara terbuka, dengan demikian aspek akseptabilitas dapat dipenuhi. Menurut Irfan Ridwan Maksum (2012), aspek akseptabilitas atau penerimaan dari masyarakat sangat penting mengingat agar pemerintahan nantinya bisa berlangsung efektif dan efisien. Penunjukan KDH oleh presiden itu akan lebih efektif sebab dari sisi fisik wilayah, provinsi ukurannya lebih besar dan merupakan lapisan pertama sebelum menyentuh kabupaten dan kota. c. Setiap orang dapat mengajukan diri sebagai bakal calon KDH. Persyaratan penjaringan bakal calon KDH pada intinya sama dengan persyaratan untuk maju dalam pemilihan KDH secara langsung, hanya saja yang akan dibahas di sini adalah persyaratan tambahannya. Pembatasan seseorang untuk maju sebagai bakal calon adalah; domisili yang bersangkutan yang status kependudukannya sebagai penduduk provinsi/kabupaten/kota di mana diadakan pemilihan, tidak termasuk kerabat dekat dengan pejabat publik/pejabat negara dari daerah di mana diadakan pemilihan KDH, lolos tes kemampuan, tes bakat kepemimpinan, dan tes kejujuran. Hasil tes yang dilakukan independen disampaikan terbuka kepada masyarakat dan untuk tes tertentu dapat diakses oleh bakal calon yang bersangkutan dan/atau masyarakat.

d. Peran Serta Masyarakat. Masyarakat dapat diberi kesempatan untuk mengajukan dukungan terhadap seseorang yang dianggap layak sebagai calon KDH kepada tim independen yang dibentuk Presiden atau Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan untuk lolos sebagai calon KDH, bakal calon yang diajukan harus memenuhi persyaratan umum maupun khusus yang diatur dalam undang-undang. e. Tim independen yang dibentuk Presiden atau KPU dapat mengundang seseorang yang dianggap layak atas usul terbuka dari masyarakat untuk maju dalam pemilihan KDH dengan memenuhi persyaratan umum maupun khusus yang diatur dalam undang-undang. Dengan solusi alternatif yang telah dibahas diatas, diharapkan para pemangku kepentingan dapat menelaah dan mendapatkan solusi untuk mempercepat proses pembahasan RUU Pilkada yang sempat terhenti akibat perbedaan pendapat yang tajam untuk menentukan politik hukumnya. * Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Biro Polhukham Kesra, Deputi PUU, Setjen DPR-RI.