Kebidanan Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris),

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG ANEMIA DENGAN STATUS HEMOGLOBIN REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 10 MAKASSAR

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologik, dan perubahan sosial (Mansur, 2009). Pada remaja putri, pubertas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 11 BANDA ACEH TAHUN 2013

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTERI TENTANG ANEMIA DEFISIENSI BESI DI SMA NEGERI 15 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia, karena

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *)

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

MENSTRUASI TERHADAP PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI SMP MUHAMMADIYAH 21 BRANGSI KECAMATAN LAREN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT BESI DAN PROTEIN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI KELAS VIII DAN IX DI SMP N 8 MANADO

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELAS XI DI SMK N 2 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG ANEMIA DI PONDOK PESANTREN AL-MUNAWWIR KOMPLEK Q KRAPYAK YOGYAKARTA. Hera Ariyani 1, Ekawati 1

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. hamil. Anemia pada ibu hamil yang disebut Potensial danger of mother and. intra partum maupun post partum (Manuaba, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

KEBIASAAN MINUM TABLET FE SAAT MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI KELAS XI DI SMA MUHAMMADIYAH 7 YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN STATUS GIZI TERHADAP KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI PADA SISWI KELAS III DI SMAN 1 TINAMBUNG KABUPATEN POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH REMAJA PUTRI DI WILAYAH PUSKESMAS JENGGOT KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan dan merupakan masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT BESI DAN PROTEIN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI SMP NEGERI 10 MANADO

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

Serambi Akademica, Vol. II, No. 2, November 2014 ISSN :

PERBEDAAN KADAR HB DALAM PEMBERIAN TABLET FE + VITAMIN C PADA REMAJA PUTRI DI KOTA BUKITTINGGI. Hasrah Murni (Poltekkes Kemenkes Padang )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I. antara asupan (intake dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan. pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada

Yane Liswanti, Dina Ediana 1Program Studi DIII Analis KesehatanSTIKes BTH Tasikmalaya *Coresponding author :

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG GIZI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA IBU HAMIL DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA ABSTRAK. Satiti Setiyo Siwi, S.S.T.

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI KELAS X DAN XI SMA NEGERI 1 POLOKARTO

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI DI SMP NEGERI 13 MANADO Natascha Lamsu*, Maureen I. Punuh*, Woodford B.S.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi

KEJADIAN KEK DAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS KALONGAN KABUPATEN SEMARANG

HUBUNGAN POLA MAKAN DAN POLA MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI.

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu hemodilusi. 1

DETERMINAN KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 22 KOTA JAMBI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. menderita anemia. Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada. tinggi. Menurut World Health Organization (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang. Berdasarkan Riskesdas (2013), dilaporkan bahwa angka

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting. dalam menentukan derajat kesehatan masyatakat.

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. vitamin B12, yang kesemuanya berasal pada asupan yang tidak adekuat. Dari

Transkripsi:

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Gizi Pada Remaja Putri Di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 ABSTRAK Factors associated with the incidence of anemia in adolescent girls at SMP N 1 Gatak, Sukoharjo regency, Central Java Province!"#$!" Rahma Ayu Ningrum¹, Ratu Ayu Dewi Sartika² Kebidanan Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Anemia merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia, dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Prevalensi anemia pada anak usia sekolah 37%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa tengah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa prevalensi anemia pada siswi putri di SMP N 1 Gatak sebesar 32%. Berdasarkan uji statistik didapatkan rata-rata kadar Hb 12,8 g/dl, pengukuran Hb menggunakan alat Hemocue kit. Pengetahuan anemia adalah variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu, variabel pekerjaan ibu, variabel pantangan terhadap makanan dan variabel pengetahuan TTD. Kata Kunci : Anemia, Remaja Putri ABSTRACT Anemia is the most prevalent nutritional problem in the world, and affects more than 600 million people. The prevalence of anemia in school-age children 37%. This study aims to determine the factors associated with the incidence of anemia in adolescent girls at SMP N 1 Gatak, District Gatak, Sukoharjo regency, Central Java Province. This research is quantitative by using a cross-sectional study design. Results of this study declare that the prevalence of anemia in young girls at SMP N 1 Gatak is 32%. Based on statistical tests obtained an average hemoglobin level of 12.8 g / dl, HemoCue Hb measurements using the tool kit. Knowledge anemia is the most dominant variables associated with the incidence of anemia

after controlled by variable maternal education, maternal employment variables, variables and variable food dietary restrictions against and TTD knowledge Keywords: Anemia, adolescent girls PENDAHULUAN Remaja beresiko tinggi menderita anemia, khususnya anemia defisiensi besi, remaja putri beresiko lebih tinggi daripada remaja putra, remaja putri merupakan kelompok yang rentan untuk terkena anemia. Anemia terbagi menjadi 2 tipe anemia yaitu anemia gizi dan non gizi, anemia gizi yang disebabkan oleh kekurangan zat besi disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia terbesar di Indonesia dan negara berkembang lainnya, lebih dari 50% anemia adalah anemia defisiensi besi. Menurut data Riskesdas 2007 Prevalensi anemia di Indonesia pada remaja putri adalah 11,3%, sedangkan prevalensi anemia di Provinsi Jawa tengah tahun 2007 pada remaja putri 12,4%. Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar haemoglobin (Hb) yang dilaksanakan oleh Seksi Pembinaan Gizi Masyarakat Dinas kesehatan Kota Semarang terhadap remaja putri (Siswi SMP dan SMA) tahun 2008 menunjukkan remaja putri yang mengalami anemia sebanyak 40,13%. Prevalensi anemia pada WUS tahun 2010 di Kabupaten Sukoharjo 16,87%, dan pada survey yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada bulan oktober tahun 2011 terhadap WUS didapatkan 17,25% menderita anemia, Hasil tersebut didapatkan dari 1200 sampel dimana terbanyak pada usia anak sekolah (SMP), Kecamatan dengan prevalensi anemia WUS tertinggi ada di Kecamatan Gatak yaitu sebesar 36%. Anemia yang terjadi pada remaja dipengaruhi oleh kebiasaan makan pada remaja, pola konsumsi makanan, pola menstruasi, status sosial ekonomi, kebiasaan konsumsi tablet tambah darah (TTD) dan tingkat pengetahuan individu yang bersangkutan. Lebih lanjut dalam penelitian lainnya menyebutkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian anemia pada remaja putri adalah tingkat pengetahuannya mengenai anemia yaitu bahwa remaja putri yang memiliki pengetahuan buruk, 53,5% menderita anemia defisiensi besi. Dampak anemia pada remaja putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang,

daya konsentrasi menurun sehingga semangat belajar/prestasi menurun, pada saat akan menjadi calon ibu maka akan menjadi calon ibu yang beresiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan. TINJAUAN PUSTAKA Anemia gizi ialah keadaan dimana kadar HB dalam darah lebih rendah dari normal, akibat kekurangan satu macam atau lebih zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan darah, (misalnya zat besi, asam folat, virtamin B12), tanpa memandang penyebab kekurangan tersebut, untuk memastikan diagnosis anemia perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar HB dan Ht.Sebagai indikator untuk menilai derajat anemia, digunakan nilai cut off point hemoglobin yang tetapkan WHO (2001): Tabel 1 Nilai Cut off points Kategori Anemia Kelompok Umur/Gender Nilai Hb(g/dl) 6 bulan 5 tahun 11 5-11 tahun 11,5 12-13 tahun 12 Wanita >15 tahun 12 Wanita hamil 11 Laki-laki 13 Defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Menurut DepKes (2001), penyebab anemia gizi karena kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh. Karena pola konsumsi masyarakat Indonesia, terutama wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber heme Iron yang daya serapnya > 15%. Ada beberapa bahan makanan nabati yang memiliki kandungan Fe tinggi (non heme Iron), tetapi hanya hanya bisa diserap tubuh < 3% sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan Fe dalam tubuh, jumlah tersebut tidak mungkin terkonsumsi. Anemia juga disebabkan karena terjadinya peningkatan kebutuhan oleh tubuh terutama pada remaja, ibu hamil, dan karena adanya penyakit kronis. Penyebab lainnya karena perdarahan yang disebabkan oleh haid yang berlebihan, perdarahan saat melahirkan dan investasi cacing terutama cacing tambang,malaria.

Klasifikasi Anemia menurut (Crowin dalam Ningrum, 2013) ada 3 jenis yaitu : Ø Anemia pernisiosa merupakan anemia megaloblastik dengan karakteristik sel darah merah besar yang abnormal dengan nuklei imatur (blastik). Anemia pernisiosa disebabkan defisiensi vitamin B 12 dalam darah. Ø Anemia defisiensi folat (asam folat) merupakan anemia megaloblastik dengan karakteristik perbesaran sel darah merah yang memiliki nuklei atau inti sel imatur. Defisiensi asam folat disebabkan kekurangan asam folat. Ø Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik-hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi dalam diet, atau kehilangan darah secara lambat dan kronis Klasifikasi Defisiensi Besi menurut beratnya defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu : 1. Deplesi besi (iron depleted state): Cadangan besi menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. 2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. 3. Anemia defiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi Adapun tanda-tanda dari anemia adalah (1) lesu, lemah, letih, lelah, lalai (5L), (2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, (3) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat. Penderita anemia dapat mengalami salah satu tanda atau beberapa tanda anemia tersebut. Dampak anemia pada remaja putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang, daya konsentrasi menurun sehingga semangat belajar/prestasi menurun, pada saat akan menjadi calon ibu maka akan menjadi calon ibu yang beresiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan (Badriah dalam Ningrum, 2013) Menurut Departemen gizi dan kesmas (FKM UI dalam Ningrum, 2013) akibat lain yang ditimbulkan oleh anemia adalah penurunan perfoma kerja pada kelompok dewasa, sedangkan

dampak terhadap bayi dan anak-anak dihubungkan dengan gangguan perilaku dan pengembangan kecerdasan. Cara Mencegah dan mengobati Anemia Menurut Departemen Gizi dan Kesmas (FKM UI, 2010) mengatakan bahwa anemia bisa dicegah dengan memelihara keseimbangan antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara ini bervariasi antara satu wanita dengan wanita yang lainnya, tergantung riwayat reproduksi dan jumlah kehilangan darah selama menstruasi. Peningkatan konsumsi Fe untuk memenuhi kebutuhan Fe dilakukan melalui peningkatan konsumsi makanan yang mengandung heme iron, bersifat mempercepat (enhancer) non heme iron, dan meminimalkan konsumsi makanan yang mengandung penghambat absorbsi Fe (inhibitor). Jika kebutuhan Fe tidak tercukupi dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe. Kebutuhan besi (yang diabsorpsi atau fisiologis) harian dihitung berdasarkan jumlah zat besi dari makanan yang diperlukan untuk mengatasi kehilangan basal, kehilangan karena menstruasi dan kebutuhan bagi pertumbuhan. Kebutuhan tersebut bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin; dalam kaitannya dengan berat badan, kebutuhan ini paling tinggi pada bayi yang kecil. Tabel 2. Kecukupan Zat besi untuk remaja menurut AKG Indonesia Usia Laki-laki 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun Wanita 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun Zat Besi (mg/hari) 13 19 15 20 26 26 METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMP N 1 Gatak, Besar sampel dalam

penelitian ini menggunakan tehnik Simple random sampling. Sampel minimal sebanyak 96 siswi yang dibulatkan menjadi 100. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden yang telah diuji coba. Kuesioner meliputi 13 variabel antara lain frekuensi konsumsi makanan dengan menggunakan Food Frequensy Quesionery (FFQ), pola menstruasi, pantangan makanan, pengetahuan tentang anemia, pengetahuan tentang Tablet Tambah Darah (TTD), konsumsi TTD. Data yang didapat dari kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan program pengolah data.kegiatan dilakukan mulai dari pengisian kuesioner oleh responden kemudian pemeriksaan Hb oleh petugas dengan menggunakan alat hemoque. HASIL PENELITIAN Gambaran dan distribusi frekuensi anemia pada remaja putri adalah Tabel 3. Gambaran Kadar Hb Responden (N=100) Variabel Min Maks Mean Median Std.Dev Hb (gr/dl) 10,4 15 12,8 13 1,16 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata hasil pemeriksaan kadar hb respoden adalah sebesar 12,8 gr/dl. Setelah diklasifikasikan didapatkan 32% siswi mengalami anemia. Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa 61% pendidikan ayah responden rendah, 68% dengan pendidikan ibu rendah, sedangkan 68% proporsi ibu responden bekerja. Untuk frekuensi makanan yang mengandung heme, non heme, peningkat absorbsi zat besi proporsi terbesar masuk dalam kategori jarang. Proporsi pada pantangan makanan ada 17% dengan jenis makanan antara lain Hati, kerang, udang, kacang panjang, ikan asin,telur dan belut. Distribusi pada pola menstruasi 61% menunjukan tidak normal dengan melihat dari frekuensi menstruasi, lama menstruasi dan jumlah pembalut yang dipakai dalam 1 siklus menstruasi. Gambaran pengetahuan anemia dan TTD bisa dilihat pada (tabel 4) bawah ini :

Tabel 4. Distribusi Tingkat pengetahuan tentang anemia dan TTD pada responden Pengetahuan Salah Benar n % n % Pengetahuan Anemia Pengertian Anemia 50 50 50 50 Penyebab Anemia 20 20 80 80 Gejala Anemia 19 19 81 81 Cara Kenali Anemia 7 7 93 93 Sumber Makanan Zat Besi 87 87 13 13 Dampak Anemia 29 29 71 71 Cara Cegah Anemia 19 19 81 81 Tindakan jika Anemia 35 35 65 65 Kadar Hb pada Anemia 28 28 72 72 Cara Obati Anemia 19 19 81 81 Pengetahuan TTD Manfaat TTD 28 28 72 72 Aturan minum TTD untuk cegah anemia 63 63 37 37 Aturan minum TTD untuk obati anemia 40 40 60 60 Makanan Peningkat Absorbsi Zat Besi 71 71 29 29 Makanan Penghambat Absorbsi Zat Besi 40 40 60 60 Pengetahuan responden tentang anemia yang terendah yaitu pada sumber makanan yang mengandung zat besi dimana jawaban benar hanya 13%. Sedangkan pengetahuan responden tentang anemia yang tertinggi yaitu pada cara mengenali anemia dimana jawaban benar sebesar 93%.Pengetahuan responden tentang TTD yang terendah yaitu pada jenis makanan yang bersifat peningkat absorbsi zat besi dimana jawaban benar hanya 29%. Sedangkan pengetahuan responden tentang anemia yang tertinggi yaitu pada manfaat tablet tambah darah dimana jawaban benar sebesar 72%. Tabel 5. Gambaran Pengetahuan Responden (N=100) Variabel Min Maks Mean Median Std.Dev Pengetahuan Anemia 2 9 6,9 7 1,64 Pengetahuan TTD 0 5 2,6 3 1,13 Distribusi gambaran pengetahuan tentang anemia dan TTD dengan kategori baik masingmasing 67% dan 57%. Dan 85% siswi tidak pernah mengkonsumsi TTD selama menstruasi. Dari 13 variabel yang diteliti, ada 10 variabel yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, asupan heme, asupan non heme, asupan peningkat absorbsi Zat besi, asupan penghambat absorbsi zat besi, pantangan makanan, pengetahuan anemia dan tentang TTD.

Variabel pengetahuan tentang anemia, merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pantangan terhadap makanan dan variabel pengetahuan tentang TTD. Variabel konfounder pada penelitian ini adalah variabel pendidikan ayah, asupan peningkat zat besi dan asupan hem. (Tabel 6 ). Tabel 6. Permodelan Terakhir Analisis Multivariat Variabel B S.E. Wald df Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ibu - 1,06 P- Value OR 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper 0,95 1,25 1 0,26 0,34 0,05 2,22 2,81 0,94 8,97 2,00 0,96 4,30 Asupan hem 1,80 0,91 3,94 Asupan peningkat Pantangan makanan Pengetahuan Anemia Pengetahuan TTD 1,49 0,80 3,47 2,13 0,89 5,76 2,86 0,82 12,27 2,22 0,80 7,72 1 1 1 1 1 1 1 0,00 16,56 2,64 103,96 0,04 7,38 1,12 48,81 0,05 6,02 1,02 35,50 0,06 4,42 0,93 21,06 0,02 8,37 1,48 47,52 0,00 17,42 3,52 86,23 0,01 9,17 1,92 43,77 PEMBAHASAN Pada penelitian ini ada keterbatasan yang ditemukan antara lain Pengukuran variabel asupan gizi menggunakan metode Food Frequency Questionaire (FFQ) yang mempunyai kelemahan tidak bisa mengestimasi asupan zat gizi secara akurat dibandingkan dengan Food Recall ataupun food record karena tidak dapat mengukur detail penting asupan makanan, seperti metode pengolahan makanan. Pada penelitian ini volume darah saat menstruasi tidak diukur secara langsung. Volume darah diasosiasikan dengan pembalut yaitu jumlah pembalut yang dipakai selama satu siklus menstruasi. Pola menstruasi pada penelitian ini dikaji hanya pada saat itu saja, sehingga pada pola menstruasi tidak bisa menggambarkan kejadian anemia yang sesungguhnya, karena harus melihat pola menstruasi paling tidak dalam waktu 6 bulan terakhir. Begitu juga dengan konsumsi TTD yang dikaji hanya pada saat itu saja. Selain itu kuesioner yang dibuat oleh peneliti masih sangat sangat dangkal dalam menggali informasi terhadap responden seperti

pada Jenis konsumsi makanan peningkat absorbsi zat besi (MFP) belum dimasukkan, pada konsumsi TTD tidak ditanyakan sejak kapan konsumsi TTD dan berapa jumlahnya. Secara teoritis banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia seperti yang terlihat pada kerangka teori. Namun mengingat tujuan penelitian, terbatasnya sumberdaya dan sumberdana serta waktu, maka masih banyak variabel-variabel yang tidak diteliti. Anemia gizi ialah keadaan dimana kadar HB dalam darah lebih rendah dari normal, akibat kekurangan satu macam atau lebih zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan darah, (misalnya zat besi, asam folat, virtamin B12), tanpa memandang penyebab kekurangan tersebut, untuk memastikan diagnosis anemia perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar HB dan Ht. Sebagai indikator untuk menilai derajat anemia, digunakan nilai cut off point hemoglobin yang tetapkan WHO (2001) untuk remaja usia 12-13 yaitu 12 gr/dl. Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata kadar Hb remaja putri di SMP N 1 Gatak adalah 12,822 g/dl atau dalam kategori normal. Dan yang mengalami anemia sebanyak 32%. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Witrianti (2011) terhadap remaja putri di Kota Bekasi dengan prevalensi 31,9% dan penelitian yang dilakukan oleh Syafyanti (2001) sebesar 30%. Berdasarkan uji statistik, faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia dalam penelitian ini meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan ibu, konsumsi hem, konsumsi non hem, konsumsi peningkat zat besi, konsumsi penghambat zat besi, pantangan terhadap makanan, pengetahuan tentang anemia dan pengetahuan tentang Tablet Tambah Darah ( TTD). Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden dengan pendidikan ayah maupun pendidikan ibu yang rendah dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah maupun pendidikan ibu dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja dengan pendidikan ayah yang rendah cenderung 3,2 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang pendidikan ayah tinggi. Begitu juga remaja dengan pendidikan ibu yang rendah cenderung 3,6 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang pendidikan ibu tinggi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian siahaan (2012) yang menunjukkan bahwa prevalensi anemia lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan rendah. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan orangtua terutama ibu tentang kesehatan dan gizi anak. Dengan pendidikan yang tinggi diharapkan tingkat pengetahuan ibu juga semakin tinggi, ibu dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap informasi tentang kesehatan dan gizi ibu dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah. Pengetahuan ibu yang baik tentang penyusunan pola makan keluarga, mulai dari pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi keluarga. Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor utama terhadap status gizi remaja, namun pekerjaan berpengaruh terhadap daya beli atau kemampuan untuk menyediakan pangan di rumah, pemilihan bahan pangan yang akan disediakan, dan pemberian uang saku terhadap remaja putri. Beberapa hal ini pada akhirnya berpengaruh pada status gizi remaja putri. Berdasarkan status pekerjaan orang tua terdapat juga dampak terhadap status gizi remaja putri yaitu ibu yang bekerja memiliki kendala kesulitan untuk menyediakan makanan yang sehat di rumah, akibatnya remaja putri lebih memilih jajan atau mengkonsumsi makanan di luar rumah yang tidak terjamin keamanan dan kesehatan makanannya. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian anemia (p-value=0,029), hal ini mungkin dikarenakan oleh karena ibu yang bekerja tidak sempat atau tidak memiliki waktu, sehingga kurang memperhatikan jenis konsumsi makanan, frekuensi makanan yang disajikan untuk keluarganya. Penelitian ini sejalan dengan siregar (2003) di bogor, bahwa pekerjaan ibu turut mempengaruhi kejadian anemia. Hal ini berbeda dengan pernyataan oleh Apriadji (1986) bahwa pada ibu yang bekerja akan bisa lebih memperhatikan apa yang dikonsumsi untuk keluarganya dikarenakan ada penghasilan tambahan dari pekerjaannya. Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden dengan frekuensi konsumsi heme dan non heme yang jarang dibandingkan dengan konsumsi yang sering. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi konsumsi heme dan non heme dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja dengan frekuensi konsumsi heme yang jarang cenderung 4,3 kali lebih tinggi untuk anemia

dibandingkan dengan responden dengan frekuensi konsumsi yang sering. Begitu juga remaja dengan frekuensi konsumsi non heme yang jarang cenderung 3,3 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden dengan frekuensi konsumsi yang sering. Dalam pengamatan peneliti, terlihat bahwa secara umum konsumsi makanan dan kebiasaan makan pada siswi SMP tergantung pada pengetahuan dari responden dan juga karena rendahnya pendidikan orangtua, selain itu dikarenakan adanya pantangan terhadap makanan tertentu yang justru banyak kandungan heme atau non-heme. Penelitian ini sejalan dengan Siregar (2003) yang mengatakan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guthrie dan Garro yang mengatakan bahwa zat besi heme mempunyai nilai bioavailabilitas yang yang lebih tinggi dan dapat diserap langsung oleh tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswi SMP N 1 Gatak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan peningkat Absorbsi Zat besi yang jarang (65%). Hasil analisis Bivariat antara Peningkat absorbsi zat besi dengan anemia mempunyai hubungan yang bermakna (p-value=0,035). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Kwatrin (2007) di Banten dan Hamid (2002) dipadang yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara keduanya dengan nilai p-value >0,05. Berdasarkan hasil uji tabu silang diketahui bahwa dari siswi yang jarang mengkonsumsi makanan peningkat ini terkena anemia sebesar 40% dan nilai OR 3,2, hal ini kemungkinan terjadi karena siswi tidak tahu makanan yang menjadi peningkat absorbsi zat besi, dan karena rendahnya pengetahuan siswi tentang hal ini. Penelitian ini sejalan dengan Lestari (1996) di Bandung yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara asupan peningkat dengan kejadian anemia. Absorbsi zat besi dalam hidangan bisa dicapai secara maksimal bila hidangan terdiri dari kombinasi bahan makanan yang mengandung Heme, non heme, meat factor dan vitamin C. Selain itu keberadaan zat peningkat absorbsi besi dalam hidangan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap absorbsi zat besi non heme yang terdapat dalam berbagai jenis bahan makanan yang dihidangkan.

Pada penelitian ini proporsi siswi dengan kebiasaan makan bahan makanan penghambat absorbsi besi jarang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sering yaitu sebesar 82%. Tapi bila dilihat dari proporsi siswi yang sering makan makanan penghambat ini proporsi kejadian anemia sebesar 55,6%. Ada hubungan yang bermakna antara makan makanan penghambat absorbsi zat bei dengan kejadian anemia, nilai OR 3,4 yang artinya siswi dengan kebiasaan makan makanan penghambat absorbsi zat besi sering akan cenderung 3,4 kali lebih tinggi mengalami anemia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh kwatrin (2007) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara keduanya dengan nilai p-value <0,05. Menurut pengamatan peneliti, hal ini dimungkinkan karena kebiasaan atau gaya hidup remaja sekarang yang sangat konsumtif terhadap minuman teh atau kopi dan sejenisnya. Ketika remaja sedang berkumpul atau bermain dengan teman-temannya, umumnya mereka mengkonsumsi minuman teh atau kopi yang saat sedang digemari masyarakat luas. Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden yang memiliki pantangan makanan dibandingkan yang tidak memiliki pantangan makanan. Begitu juga kejadian tidak anemia tertinggi pada kelompok responden yang tidak memiliki pantangan makanan dibandingkan yang memiliki pantangan makanan. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pantangan makanan dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja yang memiliki pantangan makanan cenderung 3,9 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pantangan makanan. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Handayani (2010) di Kabupaten Bintan yang memaparkan proporsi remaja putri yang memiliki pantangan dan mengalami anemia sebanyak 40% dan proporsi remaja putri mengalamai anemia yang tidak memiliki pantangan ada sebesar 26%. Perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan mempengaruhi jumlah konsumsi makanan dan zat-zat gizi, terjadinya perubahan pola makan remaja, misalnya takut gemuk mereka hanya makan sekali sehari, banyak melakukan aktifitas fisik yang lebih tinggi, Kebiasaan ngemil yang rendah gizi dan kebiasaan makan yang siap saji yang komposisi gizinya tidak seimbang.

Hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia (p-value 0,599), hal ini dikarenakan siswi SMP masih dalam masa peralihan dari anak-anak ke remaja, pada tahap ini siswi SMP baru dalam masa pubertas, sehingga pola menstruasi tidak bisa menjadi tolak ukur terjadinya anemia. Penelitian ini sejalan dengan Witrianti (2011) di kota Bekasi dimana tidak ada hubungan ynag bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh siregar (2003) di Bogor bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Pola menstruasi dengan kejadian anemia. Berdasarkan hasil uji statistik dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia dengan nilai p-value 0,000 sedangkan pengetahuan tentang TTD nilai p-value 0,004 sehingga ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan anemia dan pengetahuan TTD dengan kejadian anemia, dengan proporsi 66,7% siswi yang mengalami anemia mempunyai pengetahuan yang tidak baik tentang anemia dan 48,8% mengalami anemia dengan tingkat pengetahuan TTD yang tidak baik. Dengan demikian remaja yang memiliki pengetahuan tentang anemia yang tidak baik cenderung 11,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan yang baik. Begitu juga remaja yang memiliki pengetahuan tentang tablet tambah darah yang tidak baik cenderung 3,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan yang baik. Hal ini bisa dikarenakan kurangnya informasi baik dari media massa, iklan, akses informasi yang yang masih rendah ataupun kurang mendapat sosialisasi terkait dengan anemia dan TTD. Penelitian ini tidak sejalan dengan siahaan (2012) di Kota Depok, bahwa pengetahuan tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian anemia. Namun penelitian ini sejalan dengan Gayuh (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan pada siswi yang tidak baik mengalami anemia sebesar 53,5%. Hasil uji statistik dalam penelitian ini diketahui bahwa 34,1% yang tidak mengkonsumsi TTD mengalami anemia, walaupun hasilnya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi TTD dengan kejadian anemia pada remaja putri (p-value 0,375). Hal ini dimungkinkan karena remaja saat ini tidak dibiasakan mengkonsumsi TTD oleh orang tuanya. Selain itu, pengetahuan yang kurang tentang TTD dapat menjadi alasan rendahnya konsumsi TTD saat haid pada remaja putri. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nurhayati (2005) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antar konsumsi TTD dengan kejadian anemia dengan nilai p-value 0,28.

SIMPULAN Prevalensi anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, kabupaten Sukoharjo sebesar 32%, dengan rata-rata kadar Hb 12,8 g/dl. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada penelitian ini antara lain pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, asupan heme, asupan non heme, asupan peningkat absorbsi Zat besi, asupan penghambat absorbsi zat besi, pantangan makanan, pengetahuan tentang anemia dan pengetahuan tentang TTD. Pengetahuan tentang anemia merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pantangan terhadap makanan dan variabel pengetahuan tentang TTD. SARAN Sebaiknya pihak sekolah bekerja sama dengan puskesmas untuk mengadakan penyuluhan tentang anemia; pola konsumsi makan; pantangan terhadap makanan dan konsumsi TTD terhadap siswi, melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, penyuluhan bagi orangtua siswi tentang penyediaan bahan makanan yang mengandung heme, non heme, Peningkat absorbsi zat besi dan penghambat absorbsi zat besi. Bagi siswi agar meningkatkan konsumsi sumber makanan zat besi dan meningkatkan konsumsi makanan peningkat absorbsi zat besi, mengkonsumsi TTD secara rutin sesuai dengan aturan minumnya untuk mencegah dan mengobati agar tidak mengalami anemia. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, FR. 2012. Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Cakrawala Ilmu, Yogyakarta Badriah,DL. 2011.Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. PT Refika Aditama: Bandung Bakta,IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Cakrawati D, Mustika NH, 2012. Bahan Pangan, Gizi dan Kesehatan. Alfabeta, Bandung Crowin J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatofisiology) (Nike Budhi Subekti, Alih Bahasa). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Depkes RI, 2010. Program Pencegahan dan Penanggulangan Gizi mikro TA.2010 Subdit Gizi makro. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Direktorat Jendral Nina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, Jakarta

Gizi dan Kesmas, 2010. Gizi dan Kesmas. Edisi revisi. Departemen Gizi dan Kesmas. FKM UI. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta gizi.depkes.go.id/download/nutritionprobleminindonesia.pdf Hermawan, R. 2012. Analisis Jurnal Penyerapan Zat Besi Pada Wanita Muda India: Hubungan Status Besi dengan anemia. www.slideshare.net/robyhermawan/analisisjurnal-anemia Lash, A.A. & Coyer, S.M. 2008, "Anemia in Older Adults", Medsurg Nursing, vol. 17, no. 5, pp. 298-304; quiz 305. Manuaba, IBG. 1998. Memahami Kesehatan Reproduksi wanita. Arcan: Jakarta Nakashima, A.T.A., de Moraes, Augusto César Ferreira, Auler, F. & Peralta, R.M. 2012, "Anemia prevalence and its determinants in Brazilian institutionalized elderly", Nutrition, vol. 28, no. 6, pp. 640-3. Ningrum RA, 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa tengah. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta Ruud JS, TBonnie TD, 2004. Premenstrual Syndrome : Nutritional Implications. dalam : Zucas DK, ira W (Eds). Nutritional concern of women. 2!" ed. CRC press LLC. Boca Ranton. Hal 61-74