UU 28 Tahun 1999 : Pelembagaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN



dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1999 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

PROVINSI JAWA TENGAH


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan akibat krisis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara telah mendorong pemerintah. baik pusat maupun daerah untuk lebih bersungguh-sungguh

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan baik berupa Undang-Undang (UU) maupun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

SOAL CPNS KEBIJAKAN PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

PEMERINTAHAN YANG BERSIH

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

BAB I PENDAHULUAN. pembaruan dan perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PP 33/1999, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BUPATI NGAWI PERATURAN BUPATI NGAWI NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, HAK DAN KEWAJIBAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi politik di tanah air. Walaupun masih dalam batas-batas tertentu, perubahan ini

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat dan Daerah

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Sumber:

Pembangunan aparatur Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan. dari keseluruhan proses pembangunan nasional yang diarahkan untuk

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Panduan diskusi kelompok

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2000 TENTANG TATACARA PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU APARATUR SIPIL NEGARA TIM PENYUSUN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1999 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM

Muchamad Ali Safa at

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi daerah, pengelolaan kawasan pantai merupakan wewenang Pemerintah Daerah ;

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 47 TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA DI WILAYAH KABUPATEN CIAMIS

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Pengawasan dalam..., Ade Nugroho Wicaksono, FHUI, 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH MUCHAMAD ALI SAFA AT

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

BERITA NEGARA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN TAHAPAN PENCALONAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA NOMOR : 8 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL

Transkripsi:

UU 28 Tahun 1999 : Pelembagaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN Oleh : Slamet Luwihono U ERGULIRNYA arus reformasi di Indonesia telah menghadirkan harapan baru bagi terjadinya perubahan di berbagai sektor, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, sistem pemerintah, dll. Selama tiga puluh tahun lebih, penyelenggara negara dinilai telah gagal menjalankan tugas dan fungsinya dan kegagalan itu berimbas pada terjadinya krisis multidimensi yang berkepanjangan. Sistem sentralisasi pada pemerintahan menjadi penyebab utama terjadinya kekacauan dalam penyelenggaraan negara. Sistem sentralisasi tersebut menciptakan terjadinya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab, serta berdampak negatif pada bidang politik, hukum terlebih bidang ekonomi. Dampak negatif secara nyata tampak dengan adanya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan membuka peluang tumbuhnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (selanjutnya ditulis KKN). Praktek-praktek KKN tersebut tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga antar penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan pengusaha. Mewabahnya praktek KKN secara luas telah merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi, kolusi dan nepotisme dipandang menjadi hal yang biasa dan bukan sesuatu yang memalukan lagi. KKN yang semula menjadi pantangan dalam penyelenggaraan pemerintah telah berubah menjadi budaya yang sudah mengakar di Indonesia. Pergeseran nilai itulah yang menjadi kendala utama bagi upaya pemberantasan KKN. Refleksi atas implikasi praktek KKN itu memunculkan pandangan bahwa reformasi belum dikatakan berhasil apabila masih terjadi praktek-praktek penyelengaraan pemerintah yang belum bersih dan masih dicemari dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu perwujudan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN hendaknya menjadi agenda utama dalam pemerintahan era reformasi ini. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, peran serta masyarakat menjadi bagian penting untuk diberi ruang luas dengan penciptaan hukum yang mengatur peran serta masyarakat. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berperan serta ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai Penyelenggaraan Negara. Pengaturan tentang peran serta masyarakat ini dipandang perlu supaya selain masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggung jawab serta mekanisme dalam berperan serta, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut. Staff Peneliti Pusat Penelitian Politik Lokal (ReClop) Percik Salatiga & OC Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM). 1

Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai feedforward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso 1993: 1). Sementara Cormic (1979) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Untuk mewujudkan penyelengara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme bukan hanya tanggung jawab dari penyelenggara negara itu semata tapi juga masyarakat serta semua komponen negara. Peran serta masyarakat tersebut adalah untuk melakukan kontrol sosial terhadap praktek penyelenggara pemerintah. Masyarakat hendaknya tidak hanya dijadikan obyek penyelenggaraan negara tetapi harus dilibatkan juga sebagai subyek. Supaya pelaksanaan peran serta masyarakat berjalan dengan tertib, disusunlah pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat hendaknya tidak hanya dipandang dari satu sisi yaitu untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang hendak menggunakan haknya untuk memperoleh dan menyampaikan informasinya tentang Penyelenggara Negara tetapi harus juga dipandang sebagai upaya untuk menertibkan penggunaan hak tersebut. Dengan perkataan lain kebebasan menggunakan hak tersebut harus disertai dengan tanggungjawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati dan menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tapi di sisi lain, pengaturan peran serta masyarakat hendaknya tidak terlalu membatasi gerak masyarakat yang hendak berperan serta dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dengan demikian pengaturan peran serta masyarakat dalam penyelenggraan negara harus memuat paling tidak tiga esensi yaitu perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, kebebasan yang bertanggungjawab bagi masyarakat dalam menggunakan haknya, dan penciptaan ruang yang leluasa bagi masyarakat untuk berperan serta. Pelembagaan Peran Serta Masyarakat Dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pasal 8 dan 9, diberlakukanlah Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara (Selanjutnya disebut PP 68). Salah satu tujuan PP 68 tersebut adalah sebagai upaya menyeimbangkan pelaksanaan hak dan kewajiban antara pengguna hak (masyarakat) dengan kewajiban pemberi informasi (penyelenggara pemerintah). Peraturan Pemerintah ini memberikan hak kepada masyarakat untuk menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang penyelenggaraan negara yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun disadari bahwa seringkali penggunaan hak ini tidak efektif, karena tidak ditanggapi dengan baik dan benar. Ini bisa terjadi karena dalam PP ini tidak ada sanksi hukum bagi lembaga berwenang yang mengabaikan informasi dari masyarakat. 2

Selanjutnya menurut Penjelasan Umum PP ini Penyelenggara Negara bertanggungjawab atas setiap pemberian informasi dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu penyelenggara negara diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh ketentuan ini pelaksanaan kewajiban tersebut diimbangi dengan kesempatan untuk menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar dari masyarakat. Menurut PP 68 ini, peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara dalam rangka mewujudkan Penyelenggara negara yang bersih bisa berbentuk: (a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; (b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; (c) hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; (d) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya tersebut dan dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlu memperoleh perhatian yang lebih adalah hak memperoleh perlindungan ini, karena seringkali masyarakat enggan memberikan informasi berkaitan dengan penyelenggara negara karena kurangnya perlindungan hukum ini. Banyak kasus menunjukan bahwa pihak pemberi informasi/pelapor justru menjadi tersangka. Hal ini menjadi penyebab tidak efektifnya peran serta masyarakat. Setiap Penyelenggara Negara yang menerima permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara wajib memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya dan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Meskipun ada kewajiban bagi penyelenggara negara untuk memberikan jawaban, tetapi PP ini tidak memberikan batasan waktu serta sanksi apabila tidak memberikan jawaban. Dalam pelaksanaan peran serta masyarakat hal ini tentu akan menjadi hambatan tersendiri, karena tidak ada daya paksa yang bisa digunakan oleh masyarakat pencari informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mewujudkan peran serta masyarakat ini, mekanisme yang dibangun adalah dengan: 1. Pemberian informasi mengenai penyelenggara negara sebagai hak masyarakat harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada instansi terkait atau Komisi Pemeriksa yang harus disertai dengan data-data: a. nama dan alamat pemberi informasi dengan melampirkan kartu identitas; b. keterangan mengenai fakta dan tempat kejadian yang diinformasikan; c. dokumen atau keterangan lain yang dapat dijadikan alat bukti. 2. Informasi yang disampaikan tersebut harus juga ditembuskan kepada: a. Pimpinan MPR jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota MPR; b. Pimpinan DPR jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPR; c. Presiden jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang setingkat Menteri atau Kepala Kepolisian Negara; d. Ketua Mahkamah Agung jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Hakim Agung, Hakim Tinggi, atau Hakim; e. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota BPK; f. Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPA; g. Pimpinan DPRD Propinsi jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPRD Propinsi atau Gubernur; h. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota, Bupati atau Walikota; i. Pimpinan Pejabat tertentu, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat yang mempunyai fungsi strategis atau pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya PP ini menghendaki informasi yang disampaikan oleh masyarakat disampaikan secara bertanggungjawab dengan mengemukakan fakta yang diperolehnya, menghormati hak- 3

hak pribadi seseorang sesuai dengan norma-norma yang diakui umum dan mentaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan mekanisme di atas diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat yang ingin berperan serta dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta diharapkan dapat mendorong peran serta masyarakat. Lebih penting dari sekedar pengaturan tentang mekanisme dan pemberian perlindungan dan kepastian hukum, adalah upaya pemberdayaan masyarakat supaya mempunyai kemampuan dan terlebih keberanian memberikan informasi dan melaporkan tentang praktek penyelenggaraan negara. Untuk itu dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang dapat mendukung bagi terwujudnya penyelenggara negara yang bersih. Upaya pemberdayaan masyarakat ini penting dilakukan karena esensi utama peran serta masyarakat adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif peraturan tentang peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN akan tidak efektif. Menurut Amitai Etzioni (1968), masyarakat aktif diartikan sebagai masyarakat yang dapat menentukan arah dirinya sendiri ( societal self-control ) dan untuk keadaan tersebut dibutuhkan komitmen, dan akses pada informasi. Lawan dari masyarakat aktif adalah masyarakat pasif, untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang apolitik, fatalistik atau anarki. Kondisi masyarakat Indonesia yang sudah lama ditentukan dari pusat sehingga krankran partisipasi tersumbat telah mengkondisikan pada gambaran masyarakat yang pasif. Masyarakat pasif di Indonesia telah menjadi salah satu faktor penyubur praktek-praktek penyimpangan penyelenggaraan negara yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok karena tiadanya control dari masyarakat sebagai pemberi mandat. Konsep masyarakat aktif ini semakin memegang peranan penting karena ada pandangan bahwa suprastruktur (negara) yang seharusnya mengatur dan melaksanakan kekuasaan atas nama masyarakat seringkali melupakan masyarakat itu sendiri. Penyelenggara negara seringkali lupa bahwa posisi yang didapat sebagai pemegang kekuasaan adalah berdasarkan mandat dari masyarakat. Penyakit lupa (melupakan) masyarakat dari penyelenggara negara ini telah memposisikan masyarakat sebagai aktor penonton saja dari pada sebagai aktor penyelanggara negara, penonton yang pasif dan tidak diakui kewenangannya. Oleh karena itu upaya mengubah dari masyarakat pasif ke masyarakat aktif menjadi agenda yang penting dilakukan untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Catatan Penutup Dengan melihat uraian bagian sebelumnya, dapat dilihat bahwa terdapat kemauan pemerintah untuk mendayagunakan masyarakat untuk memberikan masukan berupa informasi dalam proses mewujudkan pemerintahan yang bersih. Menurut Wengert (1999) peran serta yang demikian dikategorikan sebagai peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan prefensi masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif. Berbeda dengan paham peran serta masyarakat sebagai strategi yang mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Peran serta masyarakat hanya dijadikan alat legitimasi untuk melanggengkan praktek KKN. Jenis peran serta yang terakhir ini apabila diterapkan dalam proses mewujudkan penyelenggara negara yang bersih menjadi tidak efektif. Peran serta masyarakat sebagai strategi bersifat semu dan pada akhirnya justru akan memperluas praktek-praktek KKN yang celakanya dianggap memperoleh dukungan masyarakat. 4

Masyarakat yang telah sekian lama dikondisikan pasif, masyarakat yang apolitik, fatalistik atau anarki dan lebih sebagai penonton ketimbang sebagai pemain dalam praktek penyelenggaraan negara merupakan tantangan yang tidak ringan dalam upaya mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Kondisi yang demikian masih ditambah lagi ketidakjelasan perlindungan hukum bagi masyarakat yang hendak berperan dalam penyelenggaraan pemerintah yang bebas dari KKN. Banyak pengalaman menunjukan hal itu dimana justru masyarakat yang melaporkan kasus-kasus terjadinya KKN justru bernasib menjadi tersangka dan terjerat hukum dengan pasal pencemaran nama baik. Kondisi demikian ini justru menjadi problem tersendiri yang menghambat proses pelembagaan peran serta masyarakat. Upaya mengkondisikan masyarakat aktif harus dijadikan agenda utama yang bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga semua komponen negara termasuk kita, meskipun diyakini itu bukan merupakan upaya yang mudah. *** 5