Daya Serap Rendah, DPR Kritik BPK



dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERMASALAHAN BELANJA PEGAWAI DALAM APBN. Grafik 1. Perkembangan Belanja Pegawai dalam APBN

RANCANGAN UNDANG UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA (RUU ASN)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENGHEMATAN ANGGARAN JILID II

Menimbang Kembali Gagasan Revisi UU Aparatur Sipil Negara

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

POKOK-POKOK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SDM APARATUR MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. dan Wakil Bupati dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Bagi daerah yang


LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG RI DAN SEKJEN KOMISI YUDISIAL

I. PENDAHULUAN. terkait dengan kesejaheteraan hidup, gaji yang diterima betul-betul harus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

Sambutan. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. pada acara Rapat Koordinasi Penataan Kelembagaan LPNK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

PROGRAM PENATAAN SDM APARATUR. Oleh : DEPUTI SDM APARATUR Dalam Sosialisasi Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah Tanggal, 24 April

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG. sinarmedia-news.com

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

I. UMUM. Saldo...

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

Disampaikan Dalam Pembekalan Tenaga Ahli DPR RI Tanggal April /3/2013 Biro Analisa APBN 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PIDATO KETUA BPK RI PADA ACARA ULANG TAHUN KE JANUARI 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKANPELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 43/Permentan/OT.010/8/2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PERTANIAN

MENTERI KEUANGAN R I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008

Policy Brief Launching Arsitektur Kabinet : Meretas Jalan Pemerintahan Baru

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN MENTERI KEUANGAN PADA ACARA PENYERAHAN DIPA TAHUN ANGGARAN 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2014 TENTANG PENJUALAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH BERUPA KENDARAAN PERORANGAN DINAS

1/8/2014 Biro Analisa APBN 1

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BAHAN PANJA RUU Aparatur Sipil Negara, 29 FEBRUARI 2012 (Berdasarkan hasil rapat antar Instansi Tanggal 24 Februari 2012)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL

Ikhtisar Eksekutif. vii

Asa Baru Reformasi Birokrasi Gelombang Kedua

DATA POKOK APBN

KATA PENGANTAR. Semoga laporan ini bermanfaat. Jakarta, 30 Januari Plt. Kepala Biro Perencanaan. Suharyono NIP

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PENINGKATAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS APARATUR DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 71. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang. Pasal 6

KONFIGURASI KEANGGOTAAN DPR 560 ANGGOTA

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2014 TENTANG PENJUALAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH BERUPA KENDARAAN PERORANGAN DINAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI SAMBUTAN PADA RAPAT KOORDINASI KEBIJAKAN PROGRAM SDM APARATUR

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia pada Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2006 Kepada Semua Provinsi

PEMERINTAH SIAPKAN SISTEM PENSIUN PNS

Ekonomi Bisnis dan Financial

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh Drs. Setyanta Nugraha, MM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENUGASAN WAKIL PRESIDEN MELAKSANAKAN TUGAS PRESIDEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Transkripsi:

AKSENTUASI Daya Serap Rendah, DPR Kritik BPK Daya serap anggaran BPK pada 2010 dinilai masih rendah. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan tahun anggaran 2009. Ini menjadi sorotan anggota DPR saat dengar pendapat Komisi XI DPR dengan Sekretariat Jenderal BPK, medio Juli. Sekjen BPK RI Hendar Ristriawan. Antara anggaran dan realisasi, kami lebih concern, pertamakali, sebelum diperiksa laporan keuangan itu wajar atau tidak wajar adalah antara perencanaan dan pelaksanaannya. Kami melihat bahwa perencanaan Rp2,3 triliun, sedangkan realisasi bruto adalah Rp1,9 triliun. Dan, ini tidak hanya penjelasannya, mengapa penyerapannya di bawah itu. Ini terjadi di hampir semua kementerian. Pertanyaannya, apakah ini perencanaannya buruk atau realisasinya buruk, atau dua-duanya perencanaan buruk dan realisasi juga buruk, kritik Anggota XI DPR Sadar Subagyo. Anggaran BPK pada 2009 mencapai Rp1,7 triliun dan realisasi sebesar Rp1,5 triliun atau sekitar 91,63%. Jika dibandingkan dengan 2010, penyerapannya hanya 85, 61%. Untuk tahun lalu, anggaran BPK memang naik dari Rp1,7 triliun men- jadi Rp2,3 triliun. Dana yang terserap hanya Rp1,9 triliun. Ada sisa sekitar Rp331 miliar lebih. Adapun, sisa anggaran 2009 sekitar Rp146 miliar. Jika dilihat dari tiga pos belanja, belanja pegawai masih menjadi pos anggaran dengan daya serap rendah. Pada anggaran 2009, belanja pegawai sekitar Rp553,327 miliar dengan realisasi mencapai Rp475,033 miliar atau 85,85%. Jadi ada sekitar Rp78, 294 miliar yang tidak terserap. Anggaran pos belanja barang, menduduki tempat kedua dengan daya serap rendah. Nilai anggaran mencapai Rp626,637 miliar, realisasinya Rp568,918 miliar atau 90,79%. Sisa anggaran yang tidak terserap sebesar Rp57,719 miliar. Selanjutnya, pos belanja modal merupakan pos tertinggi dengan daya serap 98,32%. Dengan rincian anggaran Rp556,314 miliar, terserap Rp546,969 miliar, dengan sisa Rp9,345 miliar.. Untuk tahun anggaran 2010, daya serap pos belanja pegawai masih yang terendah sekitar 77,19%. Selanjutnya pos belanja barang 80,35%, dan belanja modal 98,21%. Di sisi lain, dari jumlah nilai anggaran, pos belanja barang justru menyisakan jumlah anggaran lebih besar yang tidak terserap. Anggaran untuk belanja pegawai mencapai Rp674,261 miliar. Sementara realisasinya hanya Rp520,435 miliar dan Rp153,826 miliar tidak terserap. Anggota Komisi XI DPR Sadar Subagyo mengkritik BPK. Dari persentase memang belanja pegawai punya daya serap rendah, akan tetapi untuk belanja barang juga jumlahnya hampir sama. Ada sekitar Rp163 miliar untuk belanja barang yang tidak terserap. Belanja pegawai Rp153 miliar, dan belanja modal sekitar Rp14,3 miliar. Padahal, belanja barang ini sesuatu sangat mudah untuk diimplementasikan. Kami hanya melihat, tolong ini diperbaiki, ujarnya. Menanggapi hal itu, Sekjen BPK Hendar Ristriawan menyatakan bahwa nilai anggaran belanja barang 61

AKSENTUASI yang tidak terserap lebih banyak anggaran untuk PHLN (Pinjaman dan Hibah Luar Negeri). BPK memang mulai 2011 masih berhitung menolak PHLN ini. Jadi, itu yang menyebabkan penyerapannya rendah, ujarnya. Terkait dengan anggaran dan realisasi anggaran BPK untuk tahun lalu, dia menjelaskan bahwa realisasinya hanya mencapai 85,61% dengan belanja pegawai sebagai pos terkecil. Untuk anggaran 2010, BPK sebetulnya sudah mengusulkan untuk dilakukan kenaikan remunerasi pegawai BPK. Namun, sampai saat ini, permohonan kepada Kementerian PAN dan RB untuk dilakukan evaluasi terhadap kinerja BPK, belum ditindaklanjuti. Salah satu alasannya adalah pedoman untuk pelaksanaan reformasi birokrasi itu baru diterbitkan Menpan sekitar Juli, jelasnya. Hendar menambahkan pedoman itu belum ditindaklanjuti dengan juklak dan juknis untuk melakukan evaluasi. Sehingga mereka minta waktu, dan kemungkinan BPK ini akan dievaluasi pada semester II tahun anggaran 2011, ungkapnya. Penyerapan Nasional Kementerian Keuangan mencatat ada 11 Kementerian/Lembaga (K/L) yang penyerapan anggarannya di bawah 80% pada 2010. BUMN menduduki posisi terendah dari 11 K/L. Adapun 11 K/L itu adalah MPR (daya serap 78,8%), DPR (76%), Mahkamah Agung (74,7%), Kementerian Luar Negeri (67,4%), Kementerian ESDM (69,3%), Kementerian BUMN (55,8%), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (64,8%), PPN/Bappenas (67,4%), Badan Pertanahan Nasional (77,8%), Kementerian Komunikasi dan Informasi (76,1%), dan Lembaga Ketahanan Nasional (66,1%). Sementara untuk K/L dengan daya serap cukup tinggi ada enam yaitu Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (98,6%), Polri (98%), Kementerian Pemuda dan Olahraga (96,5%), Kementerian Lingkungan Hidup (95,7%), Kementerian Riset dan Teknologi (95,6%), Kementerian Kesehatan (94,3%). Kementerian Keuangan sendiri yang notabene penyalur anggaran, penyerapan anggarannya mencapai 84,4%, lebih rendah 1,2% dibandingkan dengan BPK sebesar 85,61%. Di sisi lain, ada tujuh K/L yang memperoleh anggaran besar yaitu Anggota Komisi XI DPR Sadar Subagyo. Kementerian Pendidikan Nasional (Rp63,4 triliun), Kementerian Pertahanan (Rp42,9 triliun), Kementerian Pekerjaan Umum (Rp36,1 triliun), Polri (Rp27,8 triliun), Kementerian Kesehatan (Rp23,8 triliun), Kementerian Perhubungan (Rp17,6 triliun), dan Kementerian Keuangan (Rp15.4 triliun). Secara keseluruhan, total alokasi anggaran yang disediakan untuk ketujuh K/L tersebut sebesar Rp227 triliun. Dengan jumlah itu porsi yang dimiliki tujuh K/L kurang lebih 70% dari total alokasi belanja yang disalurkan untuk K/L sebagai instansi pusat. Reward and Punishment Sebagai tekanan politik untuk memperbaiki sistem penyerapan anggaran di berbagai K/L, pemerintah akan mulai menerapkan sistem reward and punishment dalam pengelolaan anggaran. Instansi yang gagal memaksimalkan penyerapan anggaran akan mendapat sanksi. Untuk mempersiapkan diri, Kementerian Keuangan akan memutuskan penghargaan atau sanksi itu pada akhir semester I/2011. Bertepatan dengan pembahasan APBN Perubahan 2011 dengan Panitia Anggaran DPR. Sanksi dan penghargaan itu didasarkan kinerja anggaran kementerian dan lembaga pada tahun 2010. Aturan tentang pemberian sanksi atau penghargaan terhadap K/L itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/ PMK.02/2011 tentang Tata Cara Penggunaan Hasil Optimalisasi Anggaran Belanja Kementerian Negara atau Lembaga Tahun Anggaran 2010 pada Tahun Anggaran 2011 dan Pemotongan Pagu Belanja Kementerian Negara atau Lembaga pada Tahun Anggaran 2011 yang Tidak Sepenuhnya Melaksanakan Anggaran Belanja Tahun Anggaran 2010. Dalam regulasi tersebut, diatur bahwa K/L yang mampu melakukan optimalisasi anggaran, menyelesaikan program atau proyeknya dengan biaya di bawah pagu APBN Perubahan 2010, dapat menggunakan hasil optimalisasinya pada 2011. Dana hasil optimalisasi merupakan penghargaan (reward) atas penghematan anggaran yang dapat diraihnya. Peraturan Menteri Keuangan itu juga mengatur bahwa K/L yang tidak berhasil melaksanakan program atau proyek sehingga pagu anggaran yang menjadi jatahnya tidak terpakai, akan mendapatkan sanksi. Atas dasar kegagalannya itu, K/L tersebut dapat dikenakan pemotongan pagu anggaran pada 2011. Pemotongan ini merupakan sanksi bagi mereka. and 62 JULI 2011 Warta BPK

INTERNASIONAL Anggota II BPK Taufiequrachman Ruki bersama dengan pejabat eselon I BPK berfoto bersama dengan peserta technical meeting pembentukan ASEAN SAI. ASEAN SAI Segera Terbentuk Pada 25-27 Juli, sembilan Supreme Audit Institutions (SAI) se- Asia Tenggara atau BPK-nya negara-negara itu, berkumpul dalam suatu pertemuan teknis. Tujuannya, untuk mewujudkan terbentuknya Association of Southeast Asian Nations Organization of Supreme Audit Institutions (ASEAN SAI). Pertemuan dibuka oleh Anggota II BPK Taufiequrachman Ruki. Hadir juga Direktur Jenderal Kerjasama Asean Kementerian Luar Negeri Djauhari Oratmangun, beberapa pejabat ese lon I BPK, dan sembilan delegasi SAI se-asia Tenggara. Kesembilan delegasi SAI tersebut adalah BPK Jabatan Audit Negara (JAN) Malaysia, Audit Department of Brunei Darussalam (ADB), Office of Auditor General (OAG) of Myanmar, National Audit Authority of Cambodia (NAA), the Office of the Auditor General of Thailand (OAG), The Commission on Audit of Phillipine (COA), The State Audit Office of Vietnam (SAV), dan State Audit Organization of Laos. Salah satu topik yang dibahas adalah penyusunan anggaran dasar ASEAN SAI. Rencananya, pembentukan ASEAN SAI sendiri akan dideklarasikan di Bali pada November, bersamaan dengan gelaran ASEAN Summit. Selain perundingan kali ini, akan diadakan pula pertemuan lanjutansenior Officer Meeting (SOM) yaitu pada bulan Oktober. Pertemuan antara pejabat-pejabat eselon I kalangan SAI se- Asean. Setelah itu, baru para pimpinan SAI akan bertemu untuk mendeklarasikan pembentukan organisasi baru ini yang bertepatan ASEAN Sumit pada bulan November. Hari ini masih menyusun draf pernyataannya, perjanjiannya, apa yang akan mau kita lakukan, jelas Taufiequrachman Ruki. ASEAN SAI dirancang sebagai sebuah forum SAI-SAI se-asean yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kerja sama teknis di antara sesama anggota serta untuk mendu- 63

INTERNASIONAL kung Asean dalam memajukan tata kelola pemerintahan yang baik. Ke depan, organisasi regional ini juga bisa diharapkan sebagai auditor eksternal Asean seperti halnya Uni Eropa dengan EUROSAI. Diharapkan akan ke sana. Jadi, ada BPK-nya tersendiri untuk Eropa. Asean belum sampai ke situ. Namun, kita masih melihat sejauh mana perkembangannya nanti, ujar Kepala Ditama Revbang Daeng M. Nazier. Direktur Jenderal Kerjasama Asean Kementerian Luar Negeri Djauhari Oratmangun menjelaskan pembentukan ASEAN SAI ini merupakan sebuah inisiatif dalam menghadapi ASEAN community yang ditargetkan terbentuk pada 2015. ASEAN community ini mengusung tiga pilar yaitu komunitas politik-keamanan, komunitas ekonomi, dan komunitas sosial-budaya. Nah, isu good governance across the world di tiga pilar ini. Dengan demikian, saya kira, pertemuan awal ini untuk menuju ke pembentukan ASEAN SAI, akan memainkan peran yang signifikan dalam community building by 2015, ucap Djauhari. Hal ini juga selaras dengan ASEAN Charter artikel 1 yang menyebutkan salah satu tujuan Asean adalah menguatkan demokrasi, good governance, aturan hukum, dan mendorong dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental. Jadi, dalam konteks inilah, kenapa kita memerlukan forum seperti ini, jelasnya. Sementara itu, Anggota II BPK Taufiequrachman Ruki menyatakan bahwa pembentukan ASEAN SAI ini sebenarnya bermula dari pertemuan yang diadakan INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institutions) dan Asian Organization of Supreme Audit Institutions (ASOSAI). Dari situlah pimpinan-pimpinan SAI di Asia Tenggara kerap bertemu. Lalu, pembicaraan berlanjut dengan inisiatif pembentukan ASEAN SAI. Kepala Ditama Revbang BPK Daeng M. Nazier menambahkan bahwa realisasi pembentukan ASEAN SAI ini diinisiasi oleh SAI empat negara, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Dan dengan pertemuan teknis ini, sudah mulai merumuskan pembentukannya. Tata Kelola Pemerintahan Salah satu tujuan utama dibentuknya ASEAN SAI adalah memajukan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata pemerintahan yang baik ini mencerminkan indeks persepsi korupsi yang rendah. Dimana, indeks persepsi korupsi ini merupakan ukuran dari pelayanan publik. Semakin buruk pelayanan publik, semakin ditengarai adanya praktek korupsi. Dengan begitu tata kelola pemerintahan pula terimbas buruk. Pengelolaan keuangan pun terindikasi buruk. Negara-negara Asean, pada umumnya memiliki indeks persepsi korupsi yang rendah, kecuali Singapura. Oleh karena itu, dengan adanya ASEAN SAI ini diharapkan adanya kerjasama yang baik dalam memperbaiki hal ini. Dengan kerja sama ASEAN SAI ini, saya berharap kita masing-masing mempromosikan sebuah upaya-upaya pemerintah untuk melakukan good governance sehingga bisa menjadi negara-negara yang lebih baik dalam ukuran indeks persepsi ini, ucap Ruki. Sebagai mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki tahu betul bagaimana memerangi korupsi. Memerangi korupsi, ucapnya, hanya dengan memakai pendekatan hukum saja, tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Salah satu upaya yang yang harus diperbaiki adalah tata kelola pemerintahan, khususnya tata kelola pengelolaan keuangan negara. Sering saya katakan, senior corruptor ditahan, muncul junior corruptor. Gubernur ditahan karena korupsi, gubernur penggantinya korupsi lagi. Bupati lama ditahan karena korupsi, bupati barunya korupsi lagi. Kenapa ini terjadi? Karena tidak diterapkannya prinsip-prinsip clean government dan good governance, tegasnya. Oleh karena itulah, dengan pembentukan ASEAN SAI ini dapat melakukan sharing informasi terkait dengan kondisi korupsi di negara masing-masing. Dengan sharing informasi ini akan Anggota II BPK Taufiequrachman Ruki saat diwawancarai para wartawan. bisa memperbaiki usaha-usaha SAI di negara masing-masing agar pengelolaan negara dan pengelolaan keuangan negara menjadi lebih bersih dan lebih baik. Apabila ini (ASEAN SAI) sudah terbentuk dengan kemampuan kapasitas kita sudah baik, tentunya pelaksanaan pemeriksaannya menjadi lebih baik, dengan begitu kita di dalam mendorong terlaksananya pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan menjadi lebih baik. Dan, akhirnya bisa menuju kepada penerapan good governance, papar Daeng. and warta bpk: riyanto 64 JULI 2011 Warta BPK

istimewa LNS Membludak, Anggaran Membengkak Kecenderungan semakin berkembangnya jumlah lembaga nonstruktural (LNS) dan semakin bervariasinya dasar hukum, tujuan pembentukan, serta tugas dan fungsi sering menimbulkan duplikasi pelaksanaan tugas dengan kementerian/lembaga pemerintah. E.E Mangindaan. Selain itu, jumlah LNS yang melebihi jumlah kementerian/lembaga juga berimplikasi ter hadap besarnya beban anggaran negara. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan pada 2010, APBN yang telah dialokasikan untuk pembiayaan LNS sebesar Rp14,9 triliun. Demikian terungkap dalam raker Komisi II DPR dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, di Jakarta, belum lama ini. Dari hasil evaluasi, tidak seluruh LNS memiliki kontribusi signifikan terhadap proses penyelenggaraan negara, ujar Menteri PAN dan RB E.E Mangindaan. Hal ini, tegasnya, bertentangan dengan prinsip-prinsip reformasi birokrasi, yang antara lain menekankan penataan organisasi yang proporsional, efektif dan efisien dalam mewujudkan good governance dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini, terdapat 88 LNS yang dasar hukum pembentukannya bervariasi. Sebanyak 39 LNS dibentuk atas dasar undang-undang, delapan LNS berdasarkan peraturan pemerintah, dan 41 LNS berdasarkan Keputusan Pre siden. Setelah dilakukan pengkajian dan verifikasi ulang, pihak Kemenpan dan RB kemudian merekomendasikan menghapus empat LNS, yakni Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan, Dewan Buku Nasional, Badan Kebijakan dan Pengendalian Perumahan dan Pemukiman Nasional, dan Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Keempat LNS tersebut sudah tidak melakukan tugas dan fungsi sebagaimana diamanatkan, dan tidak ada dukungan anggaran, SDM maupun sarana, prasarana, tegas Mangindaan. Selain keempat LNS tersebut, juga direkomendasikan tujuh LNS untuk dialihkan kepada kementerian/ lembaga yang bersesuaian tugas dan fungsinya. Pasalnya, tugas dan fungsi LNS-LNS itu tumpang tindih dengan kementerian/lembaga terkait. Selain itu, SDM, anggaran serta sarana dan prasarananya juga menempel pada kementerian/lembaga lain. Tujuh LNS itu adalah Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk pada Anak dialihkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Komisi Hukum Nasional dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Gula Indonesia dialihkan ke Kementerian Pertanian, Badan Pengembangan Ka UMUM wasan Ekonomi Terpadu dialihkan ke Kementerian Pekerjaan Umum, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dialihkan ke Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dialihkan ke Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran, akan dialihkan ke Badan Standardisasi Nasional. Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran, diarahkan untuk dilaksanakan pada penataan LNS tahap berikutnya, karena pembentukannya didasarkan pada peraturan pemerintah, tambahnya. Hindari Lembaga Baru Agar penataan LNS dapat berjalan lancar dan efektif, lanjut Mangindaan, pihaknya akan melakukan dialog dengan masing-masing pimpinan dan anggota LNS, menyangkut pengalihan pegawai, perlengkapan, pembiayaan dan dokumentasi/arsip, agar tidak menimbulkan persoalan baru. Menurut dia, rekomendasi hasil penataan LNS tersebut dalam waktu dekat akan dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Termasuk, menyiapkan rancangan perpres tentang penghapusan/pengalihan LNS dimaksud. Kami mohon dukungan DPR untuk starting point penataan tahap berikutnya, terutama LNS yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selain itu, perlu adanya kesepahaman antara pemerintah dengan DPR, bahwa di masa depan dalam menetapkan UU agar menghindari adanya pembentukan lembaga baru, paparnya. Dikatakannya, sebagai bagian dari reformasi birokrasi, pelaksanaan evaluasi LNS merupakan kebijakan yang harus dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan. Ke depan, pihaknya merencanakan evaluasi tidak hanya dilakukan pada LNS yang dibentuk berdasarkan keppres atau perpres seperti 11 LNS tersebut, tetapi juga akan mengarah pada LNS 65

UMUM yang dibentuk dengan peraturan lebih tinggi. Dalam raker tersebut, Komisi II mendukung upaya penataan LNS dan mendesak Menpan dan RB untuk menyusun grand design penataan seluruh LNS. Terhadap LNS yang dibentuk berdasarkan UU, Komisi II meminta Menpan dan RB, Mensesneg dan Menkumham untuk segera meng antisipasi revisi ketentuan UU yang mengamanatkan pembentukan LNS. Komisi II juga meminta agar pemerintah segera mengajukan RUU tentang lembaga nonstruktural dalam Prolegnas 2009-2014 dan mengajukan sebagai prioritas tahun 2012, ujar Ketua Komisi II DPR, Chaeruman Harahap. dr Rapat kerja Komisi II istimewa Verifikasi Ulang LNS RUPANYA hasil kajian terhadap LNS-LNS ini bocor. Sehingga beberapa LNS berupaya menunjukkan eksistensinya. Ada yang meminta audiensi, ada yang meminta kami sebagai narasumber dalam berbagai seminar yang mereka selenggarakan, cetus Menpan dan RB EE Mangindaan, belum lama ini. Oleh karena itu, pihaknya memandang perlu dilakukan verifikasi kembali terhadap LNS yang akan ditata itu untuk menghindari keresahan ataupun hal-hal yang tidak diinginkan. Dia menjelaskan latar belakang penataan LNS merupakan hasil rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Sekreariat Negara pada 7 April 2008 dan 1 Juni 2009, untuk melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap LNS. Menindaklanjuti hal itu, Sekretariat Negara telah melakukan berbagai forum untuk memperoleh berbagai pandangan para pakar pada 14 perguruan tinggi negeri serta sejumlah pejabat yang kompeten mengenai keberadaan LNS. Sejalan dengan rekomendasi para pakar, dalam raker pada 2 Desember 2009, Komisi II DPR menyampaikan agar Sekretariat Negara melakukan pengkajian lebih mendalam, dan diprioritaskan pada LNS yang pembentukannya berdasarkan perpres/keppres. Setelah dilakukan pengkajian lebih lanjut, menghasilkan adanya 11 LNS yang menjadi prioritas untuk ditata. Pertimbangannya antara lain, dasar hukum pembentukan, potensi tumpang tindih dengan kementerian/ lembaga, alokasi anggaran negara dan kinerja LNS yang bersangkutan. Langkah berikutnya, Menteri Sekretaris Negara membentuk Tim Antar Kementerian, dengan anggota wakil dari Kementerian Keuangan, Kementerian PAN dan RB, Sekreatriat Kabinet, LAN dan BKN. Tim ini bertugas melakukan kajian lebih lanjut dan menyamakan persepsi jumlah LNS yang didasarkan keanggotaan, anggaran dan status kesekretariatan, sehingga disepakati ada 85 LNS. Namun dalam perkembangannya, hingga 2011, bertambah tiga LNS baru yaitu Komisi Inovasi Nasional, Komisi Ekonomi Nasional, dan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sehingga jumlah seluruhnya menjadi 88 LNS. Pada 21-22 Juni 2010, tim antarkementerian ini melakukan verifikasi data dengan masing-masing LNS yang akan ditata. Hasilnya, kinerja 11 LNS tidak efektif, sebagian tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan kementerian/lembaga, dasar hukum pembentukan beberapa LNS tidak sesuai dengan UU No 39/2008 tentang kementerian negara, dan untuk beberapa LNS tidak ada lagi alokasi anggaran. Melalui surat Mensesneg No B 925/M.Sesneg/D-3/08/2010 tanggal 4 Agustus 2010, hasil kajian tersebut disampaikan kepada Menteri Negara PAN dan RB. Ternyata hasil kajian sudah diketahui oleh beberapa LNS. Guna menghindari keresahan atau hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya dilakukan verifikasi ulang. Hasilnya, empat LNS direkomendasikan untuk dihapus, dan tujuh LNS dialihkan pada kementerian/lembaga yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. dr 66 JULI 2011 Warta BPK

Bank Mutiara Mulai Dijual Proses penjualan Bank Mutiara mulai digelar. Sebanyak tiga investor sudah menyatakan minatnya. Ada anjuran bagi bank BUMN untuk mengakuisisi bank eks Bank Century ini. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memastikan ada tiga investor yang berminat membeli Bank Mutiara. Namun sampai artikel ini dibuat belum terungkap nama tiga investor eks Bank Century itu. Hanya saja yang sudah menyatakan minatnya sebelum LPS melansir statement resmi mengenai jumlah investor, baru Bank Mandiri. Bank ini tengah mengkaji pembayaran dengan obligasi rekapitalisasi. Apakah dimungkinkan? Dalam UU LPS, hanya disebutkan Bank Mutiara dilepas senilai Rp6,7 triliun selama 3 tahun. Di sana tak diatur tata cara pembayaran, termasuk soal obligasi rekapitalisasi, kata ketua panitia penjualan Bank Mutiara Mirza Mochtar di kantornya belum lama ini. Pengamat perbankan Ryan Kiryanto berpendapat pembelian dengan menggunakan obligasi rekapitalisasi menjadi feasible jika ada payung hukumnya. Soalnhya, nanti ada kesulitan menetapkan nilai pasar apabila harus dilakukan mark to market. Harus diingat bahwa nilai pasar suatu surat utang selalu fluktuatif bergantung pada situasi makroekonomi, tuturnya. Menurut dia, yang pasti dalam hal ini adalah keputusan politik DPR mengamanatkan Bank Mutiara harus dijual tahun ini senilai Rp6,7 triliun. Lebih penting bagi manajemen Bank Mutiara adalah pembayaran dalam bentuk fresh fund karena tingkat likuiditasnya tinggi ketimbang obligasi, tambahnya. LPS, sebagai pemilik 99,9% saham, berencana mengumumkan penjualan Bank Mutiara pada Agustus. LPS berharap Mutiara terjual dengan harga Rp6,7 triliun, sesuai dengan 67

UMUM besaran dana talangan yang dikeluarkan saat mengambil alih Bank Century pada 2008. Jika pada Agustus harga jual Mutiara tidak sesuai dengan yang diharapkan, LPS akan mengulang kembali proses penjualan pada 2012. Sebenarnya minat untuk membeli itu sudah terlihat dari bank-bank pemerintah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan tak ada hambatan bagi bankbank negara ikut serta membeli Bank Mutiara. Hanya saja anjuran bagi bank pelat merah itu ada yang mengartikan sebagai bentuk intervensi dalam penjualan Bank Mutiara. Anggota Komisi VI DPR Ecky Awal Mucharam berpendapat bukan masanya bagi BUMN diintervensi oleh pemerintah. Lagipula, penjualan bank itu kepada BUMN harus sejalan dengan rencana tahunan yang sudah disampaikan bank BUMN kepada Bank Indonesia. Bank-bank BUMN itu sudah menyampaikan rencana tahunan mereka ke BI, lihat saja ada tidak rencana ekspansi dengan akuisisi bank lain. Semua proyek bank harus sesuai dengan rencana yang telah mereka sampaikan, katanya seperti dikutip okezone belum lama ini. Menurut dia, sebaiknya bank pelat merah tidak didorong untuk membeli Bank Mutiara. Kalaupun bank BUMN berminat, harus atas pertimbangan bisnis, bukan karena intervensi pemerintah. Anjuran Menteri Keuangan agar bank pemerintah membeli Bank Mutiara bisa dianggap sebagai intervensi halus. Apa dasar anjuran itu? Masa hanya karena sama-sama milik negara, harusnya anjuran itu karena alasan kuat dan mempertimbangkan aspek bisnis bagi bank, seperti tingkat harga dan sinergisitas bisnis. Selain itu, tambahnya, penjualan Bank Mutiara juga harus diusahakan Ecky Awal Mucharam secepat mungkin. Pasalnya, angka sebesar Rp6,7 triliun itu tentu nilainya akan berbeda antara tahun ini dengan tahun berikutnya. LPS tentu akan rugi kalau penjualan ini berlarut-larut, kata Ecky. LPS menunjuk PT Danareksa Sekuritas sebagai penasihat keuangan dalam penjualan ini. Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani menargetkan penjualan Bank Mutiara rampung pada November tahun ini. Mengenai seleksi calon pembeli, Mirza menjelaskan investor yang sudah menyampaikan surat konfirmasi akan mengikuti seleksi awal. Penitia penjualan Bank Mutiara dan penasihat keuangan akan melihat apakah investor memenuhi kriteria yang disyaratkan dan memenuhi ketentuan BI. Kalau lolos, proses selanjutnya adalah due diligence yang akan dilakukan pada Agustus hingga September, ujarnya seperti dikutip Tempo. Mereka juga diminta untuk mengumumkan bukti kepemilikan dana minimal Rp6,7 triliun, sesuai dengan harga penawaran dan menjalani uji kepatutan serta kelayakan. Bila tidak lolos tes ini, investor dinyatakan gugur. Kalau prosesnya lancar, kami perkirakan akan selesai November, ungkapnya. Mirza menegaskan calon pembeli tidak diperkenankan memiliki hubungan dengan pemegang saham lama Bank Mutiara. LPS bekerjasama dengan BI, Badan Pengawas Pasar Modal, Bursa Efek Indonesia untuk menelisik calon pembeli. Pemegang saham Bank Mutiara sebelumnya adalah Robert Tantular. aiz 68 JULI 2011 Warta BPK

Penyebab Borosnya Ongkos Birokrasi Pada 24 Juli lalu, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melansir 10 penyebab borosnya ongkos birokrasi. Kesepuluh penyebab borosnya ongkos birokrasi tersebut, menurut FITRA, merupakan indikasi kegagalan reformasi birokrasi. Untuk efisiensi juga tak cukup hanya dengan moratorium. Lansiran FITRA ini didasarkan pada pernyataan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo, yang mengatakan bahwa belanja pegawai semakin membebani anggaran. Belanja pegawai pada APBN 2011 membengkak hingga 233% atau Rp. 126,5 trilyun dibandingkan tahun 2005. Namun, peningkatan belanja ini tidak dirasakan dampaknya terhadap perbaikan layanan birokrasi. Potret yang sama terjadi di daerah. FITRA menemukan 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60% dan 16 daerah diantarany abahkan di atas 70%. Jika kondisi ini dibiarkan terjadi, maka tujuan anggaran sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan pasal 23 konstitusi berpotensi untuk dilanggar. Adapun kesepuluh penyebab borosnya ongkos birokrasi tersebut, pertama, pemberian remunerasi. Pemberian remunerasi sebagai bagian reformasi birokrasi, karena dianggap rendahnya gaji merupakan penyebab birokrasi yang korup dan kinerja rendah. Mulai tahun 2007, Kemkeu mempelopori pemberian remunerasi pejabat dengan grade I di Kemenkeu memperoleh remunerasi hinga, Rp. 46,9 juta. Remunerasi terus diberlakukan ke Kementerian lain, termasuk Polri dan Mahkamah Agung. Bahkan pada APBN-P 2010 dianggarkan Rp. 13,4 trilyun untuk remunerasi. Besarnya ongkos remunerasi yang dikeluarkan mengekang birokrasi korup. Kasus Gayus dan Hakim Imas mengkonfirmasi hal ini. Kedua, Kenaikan Gaji Pegawai. Dalam lima tahun terakhir berturutturut Pemerintah meningkatkan gaji PNS, TNI/Polri antara 5% sampai 15%, terakhir 2011. Kenaikan tunjangan structural dan fungsional, pemberian gaji ke-13, pemberian uang makan mulai tahun 2007, penyesuaian pokok pension dan pemberian bulan ke-13 untuk pensiun. Ketiga, Istana menggemukan birokrasi. Disadari atau tidak, lingkaran istana tidak menjadi lokomotif reformasi birokrasi. Sejak Presiden terpilih keduakalinya, membentuk Kabinet yang mengakomodasi seluruh anggota Koalisinya denganjumlah 34, meskipun Kementerian ini merupakan batas maksimal yang diberikan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian/ Lembaga. Tidak cukup sampai disana, Presiden pun menambah 10 jabatan WakilMenteri yang sampai saat ini belum jelas pembagian kerjanya dengan Menteri maupun Pejabat Esselon I. Keempat, Banjir Komisi. Lembaga Kepresidenan justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/Lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi, lembaga di lingkungan istana Presiden, seperti: staff khusus, staff pribadi, jurubicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden, satgas mafia hukum dan terakhir Satgas TKI (tenagakerja Indonesia). Ironisnya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya. Bahkan cenderung menambah beban anggaran Negara. Dari catatan FITRA, setidaknya terdapat 9 badan, komisi, satuan ataupun Tim yang berada di lingkungan istana. Kelima, Kebijakan Pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran. Sebagai bendahara Negara seharusnya Menkeu mampu memprediksi setiap kebijakan berkaitan dengan pegawai akan berdampak pada belanja pegawai budget constraint. Terlebih belanja ini bersifat fix cost yang mudah diprediksi. Kem 69

UMUM keu seharusnya sudah memprediksi, kebijakan sektoral yang berimplikasi pada beban belanja pegawai seharusnya sudah dapat dilihat bebannya terhadap anggaran, seperti kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS dan sertifikasi Guru, serta pengangkatan pegawai honorer. Keenam, tunjangan Pegawai Daerah. PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperbolehkan daerah memberikan tambahan tunjangan pada pegawai daerah. Di DKI Jakarta, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp. 50 Juta, dan staff mendapat tambahan antara Rp. 4,7 2,9 juta. Perbedaan tambahan tunjangan ini menjadi penyebab beratnya belanja pegawai dan distribusi pegawai yang tidak merata, untuk mengejar tambahan penghasilan, sehingga pada daerah-daerah dengan tambahan penghasilan akan semakin berat beban belanja pegawainya. Ketidak jelasan batasan pemberian tunjangan daerah menyebabkan belanja pegawai membengkak. Ketujuh, Skema Dana Perimbangan. Skema dana perimbangan saat ini belum berpihak pada daerah. Sejak otonomi daerah sebanyak 70% urusan didesentralisasikan ke Daerah, sementara pusat memegang lima kewenangan utama. Namun berbanding terbalik dari sisi fiscal, sejak tahun 2005 rata-rata belanja transfer daerah 31% dari APBN. Membengkaknya belanja pegawai, juga disebabkan oleh formula DAU yang tidak memberikan insentif daerah. Formula DAU saat ini memperhitungkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar dan selisih antara kebutuhan dengan kapasitas fiscal suatu daerah. Dengan formula ini daerah yang mampu melakukan efisiensi belanja pegawai dan meningkatkan kapasitas fiskalnya, otomatis akan berkurang jatah DAU-nya. Ini membuat daerah malas melakukan perampingan birokrasi dan meningkatkan PAD-nya. Kedelapan, Politisasi Birokrasi. Sistem rekrutment yang sarat KKN terhadap PNSD dan politisasi birokrasi masih terjadi di daerah. Meski pusat memiliki control untuk menilai formasi pegawai yang dibutuhkan dan rekrutment, namun tidak dapat dibantah aroma suap masih tercium saat rekurtmen. Rekrutmen juga tidak terlepas dari politisasi, menjelang Pilkada, Kepala Daerah sebagai Pembina PNSD akan merekrut lebih banyak PNSD untuk meraih dukungan. Juga paska Pilkada, sebagai imbal jasa tim sukses Kepala Daerah menjadi PNSD tanpa melalui mekanisme juga terjadi. Kesembilan, tidak ada rasio pegawai berdasarkan karakteristik daerah. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki rasio jumlah pegawai yang ideal untuk melakukan pelayanan public. Ketiadaan rasio ini menjadi penyebab terus menerus dilakukan rekurtment pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan. Kesepuluh, Pemekaran Daerah. Pemekaran daerah juga menjadi pemicu membengkaknya belanja pegawai di daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan, ditambah rekrutment yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan profesionalitas. DAU yang menjadi tumpuan membiayai pegawai daerah, secara tidak langsung berkurang. Sebagai contoh, pada tahun 2008 terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena terjadinya pemekaran, rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari 358 milyar pada tahun 2008 menjadi 351,7 miliar pada tahun 2009. Enam Langkah Pembenahan Pelaksanaan moratorium terhadap rekrutmen PNS mendapat sambutan positif dari FITRA. Namun, itu tidak cukup. Dari hasil kajian FITRA, rata-rata kenaikan jumlah pegawai dalam 5 tahun terakhir sebesar 2 persen. Sementara kenaikan belanja pegawai jauh lebih signifikan, yakni sebesar 20%. Artinya, beratnya belanja pegawai lebih disebabkan semakin meningkatnya ongkos pegawai dibandingkan jumlah Pegawai. Dengan kata lain, pemberlakuan moratorium tersebut tidak cukup signifikan untuk mengurangi beban anggaran negara untuk belanja pegawai dan persoalan sebenarnya tidak hanya pada jumlah pegawai yang terus meningkat. Oleh karena itu, langkah yang diambil pemerintah ini (moratorium), hanya sebagai pintu masuk untuk melakukan berbagai pembenahan berbagai sistem kepegawaian yang menyebabkan membengkaknya anggaran untuk belanja pegawai. FITRA menyarankan enam langkah yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban anggaran belanja pegawai. Di sisi lain, untuk mengefisienkan dan mengefektifkan birokrasi sebagai wujud pembenahan berbagai sistem kepegawaian yang menjadi penyebab membengkaknya belanja pegawai. Keenam langkah yang disarankan FITRA tersebut, yaitu: Mengkaji ulang pemberlakuan remunerasi. Pemberian remunerasi tanpa disertai punishment tidak akan efektif meningkatkan kinerja birorkasi dan mengurangi korupsi. Terbuknya kasusgayus dan hakim Imas, menunjukan remunerasi di Kemenkeu dan MA tidak mampu menahan laju korupsi di birokrasi. Pembuktian terbalik terhadap Pegawai yang memiliki harta tidak wajar. Penyusunan rasio jumlah pegawai berdasarkan variable jumlah penduduk, kondisi geografis, kemampuan keuangan danfungsi. Reformulasi skema dana perimbangan yang memberikan insentif bagi daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan disisentif bagi terjadinya pemekaran daerah baru. Pengaturan pemberian tunjangan pejabat dan PNS daerah. Pembenahan dan Pembatasan pembentukan lembaga-lembaga ad hoc (Tim, Satgas, Komite, badan, dewan, komisi) dan Lembaga Non Struktural lainnya. and 70 JULI 2011 Warta BPK

TOKOH KITA Ella M Giri Komala, Wakil Ketua Komite IV DPD RI Gender Mainstreaming di BPK Ella Giri Komala nampak sumringah siang itu. Pasalnya, dua dari tujuh calon anggota BPK yang direkomendasikan DPD adalah perempuan. Sebagai wanita pengusung konsep gender mainstreaming, Ella pantas berbahagia karena inilah pertama kali wanita direkomendasikan untuk menjadi salah satu calon anggota BPK, jabatan yang selama ini selalu didominasi laki-laki. Tentu saja saya bahagia sekali. Dalam seleksi ini kami sebenarnya tidak melihat apakah itu laki-laki atau perempuan tetapi yang kita utamakan adalah kualitas calon. Namun ketika ternyata muncul perempuan-perempuan yang berkualitas bahkan menjadi salah satu yang terbaik dalam proses seleksi ini, jelas sungguh membanggakan, ungkap Ella yang juga Wakil Ketua Komite IV DPD kepada Warta BPK, di Gedung DPR, Jakarta, baru baru ini. Para calon itu tentu bukan perempuan sembarangan. Profesor Emita Wahyu Astami termasuk salah satu calon yang berkemampuan lengkap. Dia bukan hanya kaya dalam latar belakang pendidikan. akana tetapi juga berpengalaman sebagai auditor eksternal. Saat ini, dia guru besar di Universitas Teknologi Yogyakarta. Belasan tahun berkarir di dunia pendidikan, termasuk menjadi tenaga pengajar di Murdoch University and Curtin Bussiness University of Technology. Dia berada dalam urutan kedua terbaik dalam proses seleksi ini, ucap wakil dari Jawa Barat ini. Calon perempuan lainnya adalah, Wewe Anggreaningsih. Dia adalah seorang doktor yang pernah bekerja di BPKP. Kini dia menjabat komisioner di perusahaan minyak bumi dan gas bumi nasional. Jadi secara kapasitas dan kemampuan, mereka adalah perempuan luar biasa dan layak mendapatkan posisi sebagai anggota BPK. Apalagi, ujarnya, semua tahu kalau selama ini tidak ada anggota BPK berasal dari kalangan perempuan. Selama ini, posisi itu hanya didominasi kaum laki-laki. Tapi kini ada kesempatan itu. Jadi sungguh membahagiakan jika salah satu di antara keduanya bisa dipilih untuk mengisi lowongan anggota BPK pengganti antarwaktu. Dengan begitu ada perwakilan perempuan di jajaran anggota BPK. Apalagi secara kualitas mereka tidak diragukan lagi, tandas Ella. Sebenarnya, tuturnya, dalam rapat pleno sempat memutuskan hanya lima orang yang akan direkomendasikan kepada DPR. Keputusan lima orang tersebut, telah disahkan dalam pleno, meski perhitungan nilai belum dilakukan. Namun, ternyata terjadi perubahan saat proses perhitungan dan nilai-nilai para calon mulai bermunculan. Dari perhitungan kuadran tiga, ternyata masuk tujuh nama dengan nilai terbaik. Akhirnya pleno mencabut keputusannya, dan menetapkan tujuh calon. Dari tujuh calon yang diurutkan berdasarkan skor tertinggi, Profesor Emita berada di posisi kedua, sedang Wewe Anggraeningsih di posisi keenam. Alhamdullah saya bersyukur sekali, akhirnya masuk dua perempuan qualified, papar wanita kelahiran Bandung pada 1955 ini. dr 71