NASKAH PUBLIKASI KEYAKINAN HAKIM BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG CUKUP UNTUK MENJATUHKAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KDRT

dokumen-dokumen yang mirip
PENULISAN HUKUM / SKRIPSI KEYAKINAN HAKIM BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG CUKUP UNTUK MENJATUHKAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KDRT

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA AMELIA FEBRIANA / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN NEGERI KLAS I A PADANG

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

FAKTOR PENYEBAB DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TENTANG EKSPLOITASI SEKSUAL SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Benyamin Yasolala Zebua ( )

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PERAN KONSULTAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN MASALAH TERHADAP KLIEN YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK.

ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.

PROSEDUR PENGAJUAN GUGATAN DAN AKIBAT HUKUM ATAS PERCERAIAN TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN NEGERI. Oleh : Ni Komang Dewi Mariani

JURNAL REALISASI PEMENUHAN HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KHUSUSNYA PEMBANTU RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

PEMANFAATAN TELEKONFEREN SEBAGAI ALAT BANTU PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN PIDANA

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

JURNAL DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENELANTARAN RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis yang telah dilakukan maka dapat

TINJAUAN YURIDIS TERKAIT FAKTOR DAN UPAYA MENANGGULANGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI INDONESIA Oleh :

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari hasil pembahasan dapat dikemukakan kesimpulannya sebagai. berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

KEABSAHAN PERNYATAAN MAJELIS HAKIM SIDANG TERBUKA DAN TERBATAS UNTUK UMUM (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Transkripsi:

NASKAH PUBLIKASI KEYAKINAN HAKIM BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG CUKUP UNTUK MENJATUHKAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KDRT Disusun Oleh : EFREM LUXIANO LADO LEBA NPM : 05 05 09125 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Hukum 2013

KEYAKINAN HAKIM BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG CUKUP UNTUK MENJATUHKAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KDRT EFREM LUXIANO LADO LEBA Dosen Pembimbing : G. Aryadi ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA ABSTRACT Authentication System in Indonesian Criminal Justice is adopting Negative evidence system. This evidence system is a combination of the two extremely conflicting system, they are combination between evidence system according to The Law and evidence system by the Judge s Conviction merely. Judge s Conviction are subjective, that every Judge who prosecuted a case verdict can be different or same as another judge's verdict ruling in the case of the same criteria despite having to refer to at least two items of evidence legally and convincingly proven the existence of unlawful conduct. Meanwhile, a judge in the duties and authorities adjudicate, he shall be required to seriously base the decision on the principle of free from external influences, honest and impartial. In cases criminal offense of the domestic violence are often faced with the limitations of the legal evidence and the the power of proof is very feeble, such as 1) emotional violence: does a person must depressed while testifying, and 2) physical violence: the visum is attested in violence last performed, while the previously violence difficult to proof. The weakness evidence could lead a judge to be not sure of the charges made, that can cause the defendant free from all charges according to the principle of no punishment without fault. To be achieved of this legal writing is to know how the judge obtain conviction and to know the barrier that he faced in gaining the conviction especially when faced with the sufficient evidence in a criminal offense of the domestic violence. In this legal writing using empirical research methods, namely the method of direct interview to the informant with the purpose to solve the problems described above. In addressing the limitations of particular evidence in criminal offence of the domestic violence, a judge can confidently establish whether or not the defendant with respect to the other supporting factors for judge's considerations, that are legally ideological, that can only approach in the judicial practice but still refers to the evidence provisions in the KUHAP. The barriers from gaining the conviction still often faced by the judge, especially coming from the victim witness. Keywords : Judge's conviction based on sufficient evidence, criminal offense of the domestic violence

PENDAHULUAN A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah UU No. 23 Tahun 2004, merupakan reaksi dari gejala sosial yang tidak wajar dan terus menerus berulang. Undang undang ini diharapkan akan mampu menimbulkan pencegahan dan penindakan kepada mereka yang selalu melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri atau dengan kata lain bahwa undang-undang ini diharapkan dapat menjadi perlindungan serta payung hukum bagi seluruh anggota dalam rumah tangga itu sendiri. Menurut Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004 Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki keunikan dan kekhasan karena kejahatan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga dan berlangsung dalam hubungan personal yang intim, yaitu antara suami dan isteri, orang tua dan anak atau antara anak dengan anak atau dengan orang yang bekerja di lingkup rumah tangga yang tinggal menetap. Hubungan kedudukan pelaku dan korban yang sedemikian ini menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga masih dipandang sebagai bagian dari hukum privat sehingga penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk diselesaikan dengan jalan damai atau diselesaikan secara internal keluarga. Bahkan ironisnya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi selama ini sering ditutup-tutupi oleh si korban sendiri karena berbagai penyebab antara lain karena faktor

budaya, agama, pengetahuan dan sistem hukum yang belum maksimal, dan hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam penegakkan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga, khususnya pada ketersediaan alat bukti yang cukup dalam pembuktian. Pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang di dakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan 1. Bisa dibayangkan bahwa alat bukti yang digunakan oleh hakim untuk membuktikan sebuah kesalahan dalam persidangan pada perkara kekerasan dalam rumah tangga kenyataannya sangat terbatas. Menurut Yohana 2, hukum acara mengenai alat bukti yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 bahwa satu saksi dengan disertai satu alat bukti lainnya sudah cukup, namun, seringkali aparat penegak hukum berpendapat bahwa satu saksi dan satu alat bukti lainnya masih kurang. Selain itu, korban juga selalu kesulitan ketika diminta membuktikan adanya kekerasan psikis, pada hal definisi dari kekerasan psikis itu sendiri masih rancu, misalnya apakah seseorang itu harus depresi ataukah cukup ketika mulai gelisah dan hal tersebut hanya dapat di analisis oleh psikolog yang saat ini analisis psikolog tersebut belum menjadi alat bukti hukum yang sah. Lebih lanjut disampaikan oleh Silvia Desti 3, jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui bahwa masalah alat bukti memang menjadi kendala dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dia mencontohkan, untuk membuktikan kekerasan fisik harus ada visum. Padahal, seringkali terjadi hasil visum hanya menunjukkan 1 Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH & Fakultas Hukum UMJ, Jakarta, hlm. 27. 2 Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt) 3 Loc. Cit.

kekerasan yang terakhir dilakukan, dimana yang kelihatan hanyalah lecet, padahal kenyataannya korban telah dipukuli tiga bulan berturut-turut. Menurut Silvia bahwa sebagian besar kekerasan yang terjadi pada korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan psikis. Persoalannya adalah pembuktian kekerasan psikis itu tidak mudah, satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah dengan surat keterangan dari psikolog. Harkristuti 4 menilai terdapat sejumlah kendala dalam proses peradilan pidana atas tindakan kekerasan dalam rumah tangga antara lain karena dalam proses peradilan pidana terdapat sejumlah masalah seperti: a. Kesulitan untuk mendapat keterangan saksi, karena keengganannya untuk terlibat dalam proses peradilan; b. Terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus tindak kekerasan pada perempuan; c. Paradigma pembuktian yang mendasarkan pada asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) kecuali dalam kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dibenarkan 1 saksi namun harus dilengkapi dengan pengakuan si pelaku d. Kurang dilibatkannya para pekerja sosial secara intensif dalam penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Kondisi inilah yang kemudian menjadi persoalan bagi hakim bahwa jika demikian maka bagaimana hakim memperoleh keyakinan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pada alat bukti yang cukup? Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan sebuah penulisan hukum untuk menguraikan secara 4 Harkristuti Harkrisnowo, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosio - Yuridis, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 14 Vol. 7 2000, hlm. 165-166.

komprehensif terkait persoalan hukum yang disampaikan melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul Keyakinan Hakim Berdasarkan Alat Bukti Yang Cukup Untuk Menjatuhkan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang sudah saya jabarkan diatas, maka permasalahan dalam penulisan hukum ini, adalah : 1. Bagaimana Hakim memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 2. Apa saja yang menjadi hambatan bagi Hakim dalam memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga? B. Metode Penelitian Penelitian hukum ini termasuk kedalam kategori penelitian hukum empiris karena penelitian hukum ini bermaksud untuk memperoleh dan menganalisis data tentang keyakinan hakim yang berdasarkan alat bukti yang cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana dalam tindak pidana KDRT dan apa saja yang menjadi hambatan bagi hakim dalam memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dalam tindak pidana KDRT artinya penelitian ini mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan efektifitas hukum yang berkaitan dengan keyakinan hakim yang berdasarkan alat bukti yang cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana dalam tindak pidana KDRT itu sendiri, serta penelitian ini memerlukan data primer sebagai data

utama disamping data sekunder (bahan hukum) yang dipakai sebagai pendukung. C. Hasil Penelitian 1. Cara Hakim Memperoleh Keyakinan Berdasarkan Alat Bukti Yang Cukup Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana KDRT Bambang Waluyo mengemukakan beberapa point tentang hal-hal atau faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: 5 Kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. Menurut Iwan Anggoro W., ada beberapa hal yang wajib dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada si pelaku berdasarkan alat bukti yang cukup, yaitu: a.) Kesalahan Pelaku/Terdakwa. Mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus benar-benar mencari tahu apakah apa penderitaan korban itu sebenarnya merupakan akibat tindakan/kesalahan dari terdakwa ataukah kesalahan dari korban sendiri atau adanya tindakan dari pidak lain. b.) Motif 5 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 90.

Motif sendiri merupakan alasan perbuatan atau tindakan kekerasan itu sendiri dari si terdakwa terhadap si korban sehingga mengakibatkan korban menderita baik secara psikis maupun secara fisik. Sehingga dalam hal ini seorang hakim harus benar benar tahu apa alasan dari perbuatan atau tindakan kekerasan dari si terdakwa terhadap si korban. c.) Cara Cara, dalam hal tindak pidana KDRT merupakan bagaimana tindak kekerasan itu dilakukan oleh si terdakwa kepada si korban. Kata bagaimana dalam hal ini merupakan apakah si terdakwa melakukan tindak kekerasan itu dengan menggunakan suatu media alat ataukah tidak menggunakan media alat, dan kalaupun tidak menggunakan media alat bagaimanakah tindak kekerasan itu dilakukan yang mengakibatkan penderitaan terhadap si korban. d.) Sikap batin saat/sebelum tindakan kekerasan Sikap batin yang dimaksud adalah bagaimanakah suasana hati yang kelihatan dari wajah maupun perilaku si terdakwa sebelum tindakan kekerasan itu dilakukan maupun pada saat tindakan kekerasan itu sedang berlangsung. e.) Riwayat sosial/ekonomi Dalam mencari tahu riwayat sosial/ekonomi si terdakwa dan si korban hakim sebelumnya harus mencari tahu infonya dari orang-orang terdekat

seperti kerabat yang menetap seatap bersama si terdakwa dan korban maupun yang tinggalnya di tempat lain, dan tetangga tentang tanggapan masyarakat sekitar terhadap mereka baik mengenai strata keluarga mereka seperti strata atas dan strata bawah, mengenai pergaulan maupun mengenai ekonomi keluarga mereka yang kelihatan. f.) Sikap batin setelah tindakan kekerasan Sikap batin yang dimaksud adalah bagaimanakah suasana hati yang kelihatan dari wajah maupun perilaku si terdakwa setelah melakukan tindakan kekerasan itu, mengenai apakah si terdakwa setelah melakukan tindakan kekerasan itu kemudian menyesali perbuatannya ataukah tidak. Terkait dengan kesengajaan atau kealpaan si terdakwa. Kesengajaan adalah kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu objek yang dilindungi oleh hukum. Dan kealpaan adalah kekurangan perhatian terhadap objek tersebut dengan tidak disadari. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan, dan dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. 6 Dari keenam hal yang dijabarkan diatas dapat menjadi faktor-faktor yang memberatkan dan/atau meringankan beban pidana si terdakwa, oleh karena itu hal-hal diatas menjadi hal-hal yang wajib diperhatian oleh hakim dalam memperoleh keyakinan berdasarkan alat bukti yang cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak 6 Moeljatno, 2008, Asas Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 215-216.

pidana KDRT. 2. Hambatan Bagi Hakim Dalam Memperoleh Keyakinan Berdasarkan Alat Bukti Yang Cukup Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Bagi Tindak Pidana KDRT Asal dan bentuk hambatan hambatan tersebut adalah: a. Saksi Hambatan yang diperoleh hakim karena keterangan dari saksi yang tidak tuntas dengan berbagai alasan seperti alasan karena norma. Misalkan kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap seorang istri, saksi yang melihat secara langsung tindak KDRT tersebut hanya melihat kejadian awalnya saja dan pergi sehingga tidak memperhatikan kejadian selanjutnya dikarenakan alasan tidak mau mencampuri urusan keluarga orang lain. Sehingga dalam keterangannya tidak menuntaskan apa yang lagi digali oleh hakim. b. Hambatan dari Saksi Korban Hambatan dari saksi korban sendiri merupakan hambatan yang terbesar bagi hakim dalam memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana KDRT. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam ilustrasi contoh kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang mengakibatkan suami tersebut ditahan oleh kepolisian dalam beberapa minggu sebelum dilakukannya persidangan dan dalam jangka waktu tersebut segala sesuatu dapat terjadi, berikut beberapa hambatan dari saksi korban terhadap hakim dalam memperoleh keyakinan: a.) Istrinya berdasarkan inisiatifnya sendiri mengaku menyesal telah melaporkan suaminya.

b.) Karena suaminya ditahan di Polisi selama beberapa minggu, mengakibatkan kehidupan ekonomi rumah tangganya menjadi berantakan. c.) Karena faktor dari keluarga besar Si korban dipersalahkan oleh keluarga besarnya karena telah melaporkan suaminya sendiri sehingga mengakibatkan rumah tangganya tidak terurus. Ketiga faktor yang dialami oleh saksi korban diatas, menjadikan saksi korban yang sebenarnya merupakan saksi a charge atau saksi yang memberatkan terdakwa kemudian berubah kedudukannya menjadi saksi a de charge atau saksi yang meringankan terdakwa. Hal tersebutlah yang merupakan hambatan terbesar bagi hakim dalam memperoleh keyakinan berdasarkan alat bukti yang cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana KDRT yaitu mengakibatkan hakim yang sebelumnya telah memperoleh keyakinan berdasarkan pembuktian yang kemudian menjadi tidak yakin dengan apa yang dibuktikan. Hambatan lain yang timbul adalah Pasal 55 UU KDRT (mengatur tentang pembuktian atas tindak pidana KDRT) memberikan pengecualian dalam pembuktian tindak pidana yaitu keterangan seorang saksi korban saja cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Pasal ini pada dasarnya juga menganut asas satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis) dan sejalan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP.

D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Dalam memperoleh suatu keyakinan oleh hakim, ia harus mendasarkan keyakinannya pada keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa yang merupakan alat bukti yang sah menurut KUHAP. Selain alat bukti hakim juga harus tetap memperhatikan barang bukti yang juga diajukan didepan persidangan. Apabila alat-alat bukti yang diajukan di depan persidangan sifatnya sangat terbatas dan itu sering terjadi dalam penyelesaian perkara tindak pidana KDRT, agar yakin dengan apa yang akan diputuskan hakim harus memperhatikan faktor-faktor pendukung pertimbangan hakim seperti motif dan tujuan tindak pidana KDRT itu sendiri, cara melakukannya, sikap batin pelaku baik sebelum maupun setelah tindak pidana itu terjadi, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga mereka, pengaruh pidana terhadap pelaku tindak pidana KDRT itu sendiri dan pengaruhnya terhadap rumah tangga dan keluarganya serta masyarakat. Akan tetapi, dalam menyimpulkan semua faktor-faktor pendorong pertimbangan dalam perolehan keyakinan hakim diatas, hakim harus tetap mengacu pada teori normatif berlaku. 2. Hambatan bagi Hakim dalam perolehan keyakinan berdasarkan alat bukti yang cukup dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana KDRT berasal dari keterangan saksi yang sering tidak tuntas didepan persidangan karena berbagai alasan seperti alasan norma, selain itu hambatan terbesar berasal dari

saksi korban itu sendiri dalam hal ini seorang istri, karena berbagai faktor seperti menyesali tindakannya yang telah melaporkan perbuatan suaminya sehingga mengakibatkan rumah tangganya tidak terurus,dll. Hambatan lain yang timbul adalah Pasal 5 UU KDRT memberikan pengecualian dalam pembuktian tindak pidana yaitu keterangan seorang saksi korban saja cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Daftar Pustaka Buku : Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Moeljatno, 2008, Asas Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH & Fakultas Hukum UMJ, Jakarta. Peraturan Perundang - undangan : Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Jurnal : Harkristuti Harkrisnowo, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosio - Yuridis, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 14 Vol. 7 2000, hlm. 165-166. Website : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt