(Studi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018) Skripsi. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

BAB SATU PENDAHULUAN

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI DALAM PROSES LEGISLASI PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Montisa Mariana, SH.,MH

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

2 c. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

RechtsVinding Online

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 Denny Indrayana

ORASI KETUA DPR-RI PADA ACARA FORUM RAPAT KERJA NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TAHUN 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

Transkripsi:

EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (UU MD3) (Studi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMMAD ARDIANSYAH NIM : 111504800000050 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (UU MD3) (Studi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMMAD ARDIANSYAH NIM : 11150480000050 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M i

EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (UU MD3) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syarian Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Muhammad Ardiansyah NIM : 11150480000050 Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. NIP : 19540303 197611 1 001 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2019 M ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UUU MD 3 telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Februari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum. Jakarta, 17 April 2020 Mengesahkan Dekan, Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A NIP. 19760807 200312 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (...) NIP. 19670203 201411 1 001 2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (...) NIP. 19650908 199503 1 001 3. Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. (...) NIP. 19540303 197611 1 001 4. Penguji 1 : Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H.. (...) NIP. 19771217 200710 1 002 5. Penguji 2 : Muhammad Ishar Helmi, S.H.I., S.H., M.H. (...) NIP. iii

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Muhammad Ardiansyah Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 01 Oktober 1997 NIM : 11150480000050 Program Studi : Ilmu Hukum Alamat :Jl.Kartomarmo No.849 RT02/03 Dirgantara 3 Halim P.K Jakarta Timur / 082194396761 (HP) Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 03 Desember 2019 Muhammad Ardiansyah NIM: 11150480000050 iv

ABSTRAK MUHAMAMD ARDIANSYAH NIM 111504800000050. EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (UU MD3) (STUDI PUTUSAN MK NOMOR 16/PUU-XVI/2018). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019M. ix+76 halaman. Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang Eksistensi Hak Subpoena yang dimiliki oleh lembaga legislatif di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Rakyat secara umum dan secara khusus mengetahui 1) alasan pembentukan Hak Subpoena oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat dalam keterangan resminya terhadap pasal a quo di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 serta 2) mengetahui pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam mengabulkan sidang uji materil pasal a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) diperoleh dari teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research) melalui pendekatan peraturan perundang-undangan yang mengacu pada UUD 1945, UU MD 3, dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan tema pembahasan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa alasan utama pembentukan hak subpoena/subpoena power Dewan Perwakilan Rakyat adalah dalam rangka fungsi pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berlaku terhadap setiap orang. Hal ini justru sangat bertentangan dengan sistem kedaulatan rakyat yang dianut dinegara kita beradasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Mengenai pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam mengabulkan uji materil terhadap hak subpoena dalam pasal a quo di UU MD 3 adalah pembentukan hak subpoena dalam pasal a quo di UU MD 3 dengan menggunakan mekanisme pembantuan pihak kepolisian dalam melakukan pemanggilan paksa dan penyanderaan tidak berdasar secara hukum dikarenakan pembantuan oleh pihak kepolisian dalam pemanggilan paksa hanya dalam penyelidikan (pemanggilan saksi/saksi ahli) dalam kerangka KUHAP (penegakan hukum pidana) serta pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam pasal a quo di UU MD 3 tidak mempunyai kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Kata Kunci : pemanggilan paksa, hak subpoena, DPR, UU MD 3 Pembimbing Skripsi : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1968 sampai Tahun 2017 v

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, serta anugerah-nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (STUDI PUTUSAN MK NOMOR 16/PUU-XVI/2018). Sholawat serta salam peneliti sampaikan kepada Baginda besar Nabi Muhammad ﷺ, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang ini, dan semoga syafaat beliau menyertai kita semua hingga hari akhir nanti. Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran peneliti skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin S.H, M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan kesabaran dalam membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. vi

4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas dan sarana untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi secara materil maupun immateril kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. Demikian, peneliti ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, 03 Desember 2019 Penulis, Muhammad Ardiansyah vii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN... ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5 E. Metode Penelitian... 6 F. Sistematika Pembahasan... 9 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUBPOENA POWER DALAM UNDANG-UNDANG MD 3... 12 A. Kerangka Konseptual... 12 1. Hak Subpoena... 12 2. UU MD 3... 14 3. Dewan Perwakilan Rakyat... 17 B. Kerangka Teori... 23 1. Teori Kedaulatan Rakyat... 23 2. Teori Kepastian Hukum... 26 C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu... 29 viii

BAB III KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI REPRESENTASI SISTEM KEDAULATAN RAKYAT... 32 A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat... 32 B. Tugas, Fungsi dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat... 36 D. Deskripsi Ringkas Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018... 39 BAB IV PEMBENTUKAN SUBPOENA POWER DALAM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT... 57 A. Alasan Pembentukan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-Undang MD 3... 57 B. Pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018... 64 BAB V PENUTUP... 69 A. Kesimpulan... 69 B. Rekomendasi... 70 DAFTAR PUSTAKA... 71 DAFTAR TABEL Tabel 1.1... 44 ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum dan negara yang menjunjung tinggi keadilan dan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu dari negara-negara yang menganut kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berarti menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dalam hal ini Indonesia. Ide mengenai kedaulatan rakyat sejatinya sudah ada sejak para founding fathers kita merumuskan dasar-dasar negara sebelum kemerdekaan dan pasca kemerkedaan, ide mengenai kedaulatan rakyat tersebut mengalami pasang-surut. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 untuk selanjutnya disebut UUD 1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Amandemen UUD 1945 adalah pemegang tunggal dari kedaulatan rakyat itu sendiri dan juga menjadi lembaga tertinggi dari lembaga-lembaga tinggi lainnya seperti Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPA (sebelum perubahan), MA, dan BPK yang kewenangannya diatur dalam UUD Tahun 1945 sebelum Amandemen 1. Namun setelah Amandemen ke-iii UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001 mengenai Pasal 1 ayat (2) berubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Kedaulatan Rakyat yang dianut di negara Indonesia adalah dengan cara sistem perwakilan yang berarti terdapat berbagai lembaga-lembaga perwakilan (reprensetasi) dari tiap-tiap daerah. Namun sayangnya implementasi kedaulatan rakyat yang dilakukan oleh lembaga perwakilan di Indonesia tidak selalu berjalan baik sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat. Pasal 73 Ayat (1) sampai dengan 1 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 8-9. 1

2 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menjalankan tugasnya berwenang untuk memanggil secara tertulis setiap orang untuk hadir dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila yang bersangkutan tidak hadir selama 3 (tiga) kali berturut-turut setelah pemanggilan yang sah, dapat dilaksanakan pemanggilan paksa dan penyanderan selama 30 hari dengan meminta bantuan kepada Kepolisian. Bermacam reaksi penolakan muncul dari masyarakat terhadap pasal tersebu sampai pada usaha uji materil (judicial review) yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat dalam Registrasi Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 yaitu Pemohon I oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Pemohon II oleh Dr. Husdi Herman, S.H, M.M. dan Pemohon III oleh Yudhistira Rifky Darmawan. tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pada tanggal 28 Juni 2018 2. Frasa panggillan paksa dan sanderaan dalam pasal tersebut tersebut menurut pemohon terdapat permasalahan konstitusionalitas dan membuat rakyat yang merupakan subjek dari kedaulatan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat) merasa dirinya dihadap-hadapkan dengan wakilnya (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan secara paksa, dan itu juga tidak mencerminkan dari Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya meyerap aspirasi rakyat dan juga dengan adanya panggilan paksa dan penyanderaan tersebut menurut para pemohon tidak mencerminkan kepastian hukum (rechtszekerheid). Dengan amar putusan permohonan dikabulkan untuk seluruhnya dan menyatakan pasal a quo bertentangan dengan konstitusi Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat merupakan bentuk keberhasilan dan keberanian masyarakat dalam hal mempertahankan hak-hak konstitusional mereka dengan mekansime Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. 2 Kompas, MK Batalkan Kewenangan MKD Untuk Pihak Yang Merendahkan DPR, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2018/06/28/15252411/mk-batalkan-kewenanganmkd-untuk-pidanakan-pihak-yang-merendahkan-dpr, pada tanggal 1 Oktober 2019

3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu lembaga legislatif dan lembaga perwakilan yang berfungsi menjadi wadah atau sarana dalam menyalurkan aspirasi rakyat sesuai dengan amanat Konstitusi 3. Kedudukan lembaga ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ( UUD ) 1945 yaitu BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dari Pasal 19 hingga Pasal 22B. Dalam menjalankan kewenangannya sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR memiliki sejumlah fungsi yang diatur dalam Konstitusi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan dengan sejumlah hak-hak yang melekat pada lembaga perwakilan tersebut seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak inisiatif, hak imunitas dan hak keuangan dan protokoler yang merupakan cabang dari masing-masing fungsi yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Konsep pemanggilan paksa awalnya hanya dikenal dalam cabang kekuasaan yudikatif yaitu untuk penegakan hukum (pro justicia) yang dikenal dengan Hak Subpoena, Menurut Black Law Dictionary 4, Subpoena adalah A process to cause a witness to appear and give testimony, commanding him to lay aside all pretenses and excuses, and appear before a court or magistrate therein named at a time therein mentioned to testify for the party named under a penalty therein mentioned jika diterjemahkan secara bebas yaitu (Suatu proses untuk menyebabkan seorang saksi unruk muncul dan memberikan kesaksian, memerintahkannya untuk mengesampingkan semua alasan dan alasan, dan muncul di hadapan pengadilan atau hakim di dalamnya yang disebutkan pada waktu di sana disebutkan untuk bersaksi untuk pesta (partai) yang disebutkan di bawah hukuman (sanksi) yang disebutkan di dalamnya) intinya, Hak Subpoena (pemanggilan paksa) ini diperuntukkan untuk panggilan di depan persidangan pengadilan oleh Hakim yang bersifat memaksa untuk dimintai keterangan/kesaksiannya. 3 A.Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi, Gramata Publishing, 2016), h. 49. 4 Henry Campbell, Black s Law Dictionary 4th Edition, (Minnesota : West Publishing Company, 1968), h. 69.

4 Melihat kiblat para lembaga legislatif, yaitu Congress (Amerika Serikat), ternyata lembaga tersebut juga mempunyai Hak Subpoena/Subpoena power, pejabat congress juga berhak mengeluarkan Subpoena power untuk memberi kesaksian di depan Komisi Investigasi Congress. Selain itu, terdapat beberapa Lembaga Negara yang juga memiliki Hak Subpoena, contohnya adalah Komisi Nasional Hak Asas Manusia (Komnas HAM) dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas Hak Asasi Manusia dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.. Juga lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam rangka tindak lanjut pelaporan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang berbunyi Dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa. Dari uraian latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Eksistensi Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD 3). B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti mengidentifikasikan beberapa permasalahan yaitu : a. Alasan Pemerintah membentuk Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam UU MD 3

5 b. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam mengabulkan Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasal 73 Ayat (3), (4), (5), (6), Pasal 122 huruf I, Pasal 245 Ayat (1) terhadap UUD 1945 c. Perbandingan Hak Subpoena yang dimiliki oleh congress di Amerika dengan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia d. Perbandingan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komnas HAM e. Perbandingan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dengan Ombudsman RI. 2. Pembatasan Masalah Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti, disini peneliti membuat pembatasan yang hanya akan membahas mengenai Eksistensi Hak Subpoena dalam salah satu Lembaga Legislatif di Indonesia yaitu Eksistensi Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam UU MD 3 (Studi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI.2018). 3. Perumusan Masalah Masalah utama yang akan menjadi topik pembahasan dalam penelitian ini adalah mengenai Eksistensi Hak Subpoena dalam Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia mengacu pada Studi Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Untuk mempertegas topik pembahasan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka peniliti sajikan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Apa alasan pembentukan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rayat dalam UU MD 3? b. Bagaimana pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam mengabulkan perkara Nomor 16/PUU- XVI/2018 tentang pengujian Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6), Pasal 122 huruf I dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terhadap UUD 1945?

6 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui alasan pembentukan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dalam UU MD 3. 2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 tentang pengujian Pasal 73 Ayat (3), (4), (5), (6), Pasal 122 huruf I, Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terhadap UUD 1945. 2. Manfaat Penelitian Berangkat dari uraian permasalahan pada latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam hal sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi dan juga sebagai bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa yang akan meneliti persoalan yang sama. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran perihal yang berkaitan dengan hak subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dalam UU MD 3 dan kontribusi ilmiah perihal hal yang berkaitan dengan Hak Subpoena pada Dewan Perwakilan Rakyat. D. Metode Penelitian Metode adalah cara dan atau jalan yang berhubungan dengan upaya ilmiah, maka metode itu menyangkut tentang masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakkan

7 dalam suatu kegiatan penelitian 5. Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa askep metode penelitian yang digunakkan yaitu : 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian Hukum Normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. 6 Metode penelitian hukum normatif juga bisa disebut sebagai penelitian terhadap asas-asas hukum atau norma, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum. 7 2. Pendeketan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan pendekatan secara doktrinal. Pendekatan dengan Peraturan Perundang-Undangan (Statue Approach) merupakan pendekatan dengan cara mengeksplorasikan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembahasan penelitian serta pendekatan doktirinal adalah pendekatan penelitian hukum yang yang menggunakan pendapat para ahli hukum/hakim dalam memecahkan suatu permasalahan hukum. 3. Sumber Bahan Hukum Ciri khas dari penelitian hukum normatif adalah dilihat dari sumber-sumber data yang digunakan dalam suatu penelitian, sumber utama yang digunakan adalah bahan-bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Untuk rinciannya akan diuraikan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer yang digunakkan dalam peneleitian ini adalah berupa Undang-Undang terkait serta putusan pengadilan yang terkait dengan pembahasan yang sebagai berikut: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneia Tahun 1945 5 Afif Fauzi Abbas, Metode Penelitian, Cetakan Ke-1, (Jakarta : Adelina Bersaudara, 2010), h. 139. 6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), cet. 11, h. 13 14. 7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 41-42.

8 2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat 3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat 8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 122 huruf I, dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

9 b. Bahan Hukum sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, jurnal, serta literasi yang berkaitan dengan tema pembahasan guna menunjang kelengkapan data dalam penelitian ini c. Bahan Hukum Tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, kamus bahasa Indonesia serta kamus bahasa Inggris yang berfungsi sebagai petunjuk dari data hukum primer dan sekunder 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam teknik pengumpulan data penelitian ini, peneliti menggunakan teknik kepustakaan (library research). Studi dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan yang kemudian peneliti menetapkan topik penelitian, dan melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang relevan 5. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data secara sederhana diartikan sebagai proses mengartikan data-data sesuai dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian. Setelah datadata dikumpulkan menggunakan teknik kepustakaan, data tersebut lalu diolah dan diefesiensi sedemikian menggunakan teknik reduksi data, yaitu proses pemilihan data dan pemusatan perhatian pada penyederhanaan data (efisiensi data) yang berkaitan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini 6. Teknik Analisis Data Setelah semua data yang terkumpul diolah sedimikian rupa dengan teknik reduksi data yang menghasilkan sejumlah data yang berkaitan langsung dengan tema pembahasan dalam penelitian ini. Sejumlah data-data tersebut lalu dianalisis guna membantu menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Kualitatif, analisis data yang digunakan menggunakan analisis Deduktif, yaitu sejumlah data yang bersifat umum tersebut dianalisis lalu ditarik ke dalam sebuah kesimpulan yang khusus yang berisi jawaban atas permalahan dalam penelitian ini.

10 7. Pedoman Penulisan Skripsi Acuan metode penulisan peneliti merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017 berdasarkan teknik penulisan yang sudah ditentukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum E. Sistematika Pembahasan Pembahasan Penelitian pada skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN menguraikan latar belakang masalah, kemudian identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dan terakhir Sistematika pembahasan. BAB II SUBPOENA POWER DALAM UU MD 3 Merupakan bab yang menguraikan kerangka konseptual dan juga akan menguraikan kerangka teori yang digunakan dalam membantu menganalisis permasalahan yaitu Teori Kedaulatan Rakyat dan Teori Kepastian Hukum guna memperkuat landasan dalam berpikir, menganalisa, dan juga landasan dalam menjawab permasalahan, serta pada bab ini juga menampilkan kajian terdahulu (study review) terhadap berbagai penelitian yang mempunyai kemiripan/pembahasan yang sama. BAB III UJI MATERIL HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UU MD 3 Merupakan bab penyajian data, yang mana menyajikan deskripsi perkara secara singkat yang terdapat dalam putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai uji konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 122 Huruf I, Pasal 245 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2018 terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 20A ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

11 BAB IV BAB V EKSISTENSI HAK SUBPOENA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UU MD 3 (STUDI PUTUSAN MK NOMOR 16/PUU-XVI/2018) Merupakan bab analisis permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam guna memecahkan permasalahan dalam penelitian in. Disini peneliti akan menganalisis mengenai alasan pembentukan Hak Subpoena Dewan Perwakilan Rakyat dalam UU MD 3 menggunakan Teori Kedaulatan Rakyat serta pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam mengabulkan perkara Putusan nomor 16/PUU-XVI/2018 dengan menggunakan Teori Kepastian Hukum. PENUTUP Pada bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dan sebuah rekomendasi atas pemecahan permasalahan penelitian ini. Kesimpulan diambil dari hasil pemecahan permasalahan dalam penelitian ini dan rekomendasi diambil atas kesimpulan penelitian ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUBPOENA POWER DALAM UU MD 3 A. Kerangka Konseptual 1. Hak Subpoena Menurut Black Law Dictionary 1, Hak Subpoena adalah A process to cause a witness to appear and give testimony, commanding him to lay aside all pretenses and excuses, and appear before a court or magistrate therein named at a time therein mentioned to testify for the party named under a penalty therein mentioned. Dalam Kamus Merriam Webster 2, Subpoena adalah a writ commanding a person designated in it to appear in court under a penalty for failure. Hak Subpoena adalah hak untuk memanggil seseorang didepan pengadilan untuk dimintai keterangannya oleh Hakim, awalnya hak ini hanya dikenal dalam hal penegakan hukum (pro justicia). Secara umum Hak Subpoena mempunyai 2 jenis pengertian yaitu 1) Subpoena ad testificandum, yaitu perintah kepada seseorang untuk bersaksi di depan lembaga yang berwenang yang dapat dikenakan sanksi apabila tidak memenuhi, 2) Subpoena duces tecum, yaitu perimtah kepada seseorang atau organisasi untuk menyerahkan bukti-bukti fisik (physical evidence) kepada lembaga yang berwenang yang dapat dikenakan sanksi apabila tidak memenuhi. Menurut Denny JA dalam bukunya 3, hak subpoena ini digunakkan hakim terhadap saksi untuk mengungkapkan kebenaran, menghukum pembuat kriminal dan menegakkan keadilan. Seorang saksi dapat yang menolak memberikatan keterangan dapat dikenakan sanksi pidana. Awalnya Hak Subpoena ini hanya dikenal dalam tradisi hukum Inggris dan Amerika (Anglo- America Common Law), yang disana dikenal dengan bahasa latinnnya yaitu 1 Henry Campbell, Black s Law Dictionary 4th Edition, (Minnesota : West Publishing Company), h. 69. 2 Merriam Webster, Subpoena, diakses dari https://www.merriamwebster.com/dictionary/subpoena pada tanggal 10 Oktober 2019 3 Denny J..A, Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta : PT LkiS Aksara Pelangi, 2009), h. 199. 12

13 sepine. Dalam hal konteks Indonesia, terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki hak ini dalam menjalankan tugasnya, contoh yaitu Lembaga Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 ini dalam menjalankan tugasnya didukung oleh Hak Subpoena, yaitu diatur dalam Pasal 95 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Komnas HAM yang berbunyi Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas Hak Asasi Manusia dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.. Dan juga Ombudsman Republik Indonesia dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang berbunyi Dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.. Selain itu, Hak Subpoena ini juga dimiliki oleh lembaga legislatif contohnya di Negara Amerika Serikat yaitu congress dalam US Code Title 2- The Congress Chapter 6- Congressional and Comittee Procedure Investigations 192. Refusal of witness to testify or procedure papers 4 yang berbunyi Every person who having been summoned as a witness by the authority of either House of Congress to give testimony or to produce papers upon any matter under inquiry before either House, or any joint committee established by a joint or concurrent resolution of the two Houses of Congress, or any committee of either House of Congress, willfully makes default, or who, having appeared, refuses to answer any question pertinent to the question under inquiry, shall be deemed guilty of a misdemeanor, punishable by a fine of not more than $1,000 nor less than $100 and imprisonment in a common jail for not less than one month nor more than twelve months. 4 Cornell Law School, U.S. Code 192 - Refusal of witness to testify or produce papers, diakses dari https://www.law.cornell.edu/uscode/text/2/192, pada tanggal 10 Oktober 2019

14 2. UU MD 3 UU MD 3 adalah singkatan (akronim) dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Undang-Undang ini merupakan produk hukum yang mengatur tentang susunan dan kedudukan, kewenangan, tugas, hak, kewajiban dari lembaga-lembaga perwakilan yang ada di Indonesia. Undang-Undang ini dibentuk dengan beberapa pertimbangan, yaitu dalam rankga melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sehingga perlu diwujudkannya lembaga perwakilan (DPR,DPRD,DPD). Secara historis, undang-undang yang mengatur tentang lembaga-lembaga perwakilan di Indonesia pertama kali muncul di diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada zaman tersebut, dalam Undang-Undang ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibagi menjadi 2 tingkat, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (Provinsi) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II.(Kabupaten/Kota). Selanjutnya Undan-Undang tersebut mengalami perubahan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dalam Undang-Undang ini menghapus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat III. Selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 Tentang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

15 Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dengan penambahan jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua kali lipat dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dan terakhir produk hukum dari Undang-Undang yang mengatur lembaga perwakilan di Indonesia pada era orde baru (Presiden Soeharto) adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Perwmusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1985, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terbaru yaitu sebanyak 500 (lima ratus) orang, yang terdiri dari 425 (empat ratus dua puluh lima) orang dari hasil pemilhan umum dan 75 (tujuh puluh lima) orang hasil pengangkatan dari golongan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Undang-Undang ini merupakan produk hukum pada zaman Presiden B.J Habibie, mengenai jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang- Undang ini mengalami kenaikan yang sebelumnya hasil dari pemilihan umum adalah 425 (empat ratus dua puluh lima) orang menjadi 462 (empat ratus enam puluh dua) orang, sedangkan dari anggota yang diangkat dari golongan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menyusut menjadi 38 (tiga puluh delapan) orang.undang-undang ini kemudian direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dalam Undang-Undang ini terdapat lembaga perwakilan baru yang merupakan lembaga representasi utusan daerah hasil Amandemen UUD Tahun

16 1945 yang ke-iii yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Jimly 5, dengan lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tersebut, Indonesia menganut sistem trikameral (tiga sistem kamar). Dan terakhir dari Undang- Undang yang mengatur lembaga perwakilan ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau disingkat dengan UU MD 3 UU MD 3 selalu menuai polemik di masyarakat, banyak yang bilang bahwa dalam UU MD 3 ini adalah hasil negoisasi politik dan sarat akan kepentingan di dalamnya. Tak heran bahwa penolakan, kritikan, dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (Constitional Review) mengenai pasal-pasal yang kontrovesial ( Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245) 6 dari masyarakat selalu tertuju dalam Undang-Undang ini, bahkan Presiden Jokowi pun tidak menanda-tangani mengenai perubahan UU MD 3 yang terbaru yaitu Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2018 karena menuai kontrovesi dan penolakan di masyarakat 7 walaupun jika 30 hari rancangan Undang-Undang tersebut tidak ditanda-tangani oleh presiden akan tetap berlaku. Presiden Jokowi pun sempat dipaksa oleh masyarakat agar mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) namun hal itu meurut beliau tidak perlu karena masih menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya 3 Pasal Kontrovesial (Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245) dalam UU MD 3 terbaru pun dikabulkan dan dinyatakan tidak berlaku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 122, dan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 2 5 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007), h. 43. 6 Kompas, Kontroversi UU MD3 dan Upaya Menjaga Marwah Wakil Rakyat, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2018/03/22/16004331/kontroversi-uu-md3-dan-upayamenjaga-marwah-wakil-rakyat, pada tanggal 10 Oktober 2019 7 Kompas, Presiden Tidak Akan Menandatangani UU MD 3, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2018/03/14/17292911/jokowi-saya-pastikan-tidakmenandatangani-uu-md3, pada tanggal 10 Oktober 2019

17 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 3. Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah satu lembaga legislatif yanga ada di Indonesia, legislatif menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah berwenang membuat Undang-Undang atau dewan yang berwenang membuat Undang-Undang. Lembaga Legislatif jika mengacu pada Teori dari Monstesquie dalam bukunya yang berjudul L Espirit des lois (The Spirit of Laws) yang membagi 3 cabang kekuasaan yaitu Eksekutif yang berfungsi menjalankan pemerintahan, Legislatif yang berfungsi membuat Undang- Undang, dan Yudikatif sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan di dalam suatu pemerintahan, dan salah satu cabang kekuasaaan yang berfungsi untuk membuat Undang-Undang adalah lembaga legislatif. Dalam hal konteks negara Indonesia bahwa Lembaga yang berwenang dalam fungsi legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 berbunyi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ternyata didalam lembaga legislatif di Indonesia mempunyai 3 fungsi pokok yang diatur lamgsung di dalam konstitusi, yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. 1. Fungsi Legislasi Fungsi legislasi adalah fungsi yang dimiliki oleh lembaga legislatif (DPR) dalam membuat suatu rancangan Undang-Undang. Pada hakikatnya fungsi pertama yang dimiliki oleh lemabaga legislatif ini adalah fungsli legislasi yang bentuk konkretnya adalah fungsi pembentukan Undang- Undang (wetgevende functie atau law making function). Di Indonesia, Undang-Undang dibuat kerjasama antara Presiden dan Dewan Perwakilan

18 Rakyat. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 berbunyi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk membentuk Undang- Undang dan juga pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dan juga pada Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi Pembahasan Rancangan Undang- Undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kewenangan dalam fungsi legislasi juga dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) walaupun hanya diberikan untuk ikut dalam pembahasan dan pertimbangan mengenai Rancangan Undang-Undang yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (semi-legislasi). Dalam Pasal 65 ayat (2) huruf e Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan berbunyi perimbangan kekuasaan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutsertakan DPD dan juga Pasal 65 ayat (3) berbunyi Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. Menurut Jimly 8 bahwa pertimbangan yang dilakukan DPD tak ubahnya seperti pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung dimasa lalu. Kedudukan DPR menurutnya hanya bersifat penunjang atau auxiliry terhadap fungsi DPR. Namun setelah munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa DPD berwenang dalam hal pengajuan dan pembahasan 8 Jimly Assdiqqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, (Jakarta : Buana Imu Populer, 2007), h. 190.

19 RUU dengan sebuah naskah akademik berkenaan dengan otonomi daerah, pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian anggaran DPD. Dalam fungsi legislasi ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didukung oleh Hak Inisiatif. Hak Inisiatif adalah hak untuk memprakarsai pembuatan Undang-Undang dengan mengusulkan Rancangan Undang- Undang. 2. Fungsi Anggaran Fungsi Anggaran adalah Fungsi yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara dalam hal APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atas RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, selain itu Dewan Perwakilan Rakyat juga memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Dalam fungsi anggaran, Dewan Perwakilan Rakyat didukung hak budget. Hak budget adalah Hak Dewan Perwakilan Rakat untuk mengesahkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Hal ini diatur dalam konstitusi kita Pasal 23 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu dan juga dalam Pasal 71 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 yang berbunyi membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang- Undang tentang APBN yang diajukan oleh Preisden. 3. Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan adalah fungsi yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan suatu Undang- Undang dan pengejawatan anggaran. Menurut Jimly 9 Fungsi Pengawasan 9 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2013), h. 304.

20 yang dilakukan oleh lembaga legislatif lebih diutamakan dari fungsi lainnya karena pada hakikatnya konsep awal dalam lembaga legislatif merupakan sebagai lembaga perwakilan rakyat (representation) yang bertugas mendengar aspirasi rakyat itu didengar dan memperjuangkannya menjadi kebijakan dalam suatu peraturan (regeling) yang bersifat umum, strrategis dan berdampak luas kepada rakyat. Hal itu juga senada dengan pendapat dari George B Galloway, seorang politikus dari Inggris yang terkenal, ia mengatakan bahwa 10 Not Legislation but control of administration is becoming primary function of the modern congress. Harold Joseph Laski, seorang ahli teori politik dari Inggris juga mengatakan bahwa The Function of a parliamentary system is not to legislate, it is natove to expect that 615 men and women can hope to arrive at a coherent polity. Selanjutnya Jilmy dalam bukunya menjabarkan secara teoritis fungsi-funfsi pegawasan oleh parlemen atau lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat dibedakan sebagai berikut : 1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan ( control of policy making) 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ( control of policy executing) 3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara ( control of budgeting) 4) Pengawasan terhadap pelaknsaan anggaran dan belanja negara ( control of budget implementation) 5) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ( control of goverment performances) 6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik ( control of political appointment of publik officials) Untuk mendukung dalam Fungsi Pengawasan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilengkapi dengan serangkaian hak-hak yaitu 11 : Hak 10 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi, Cetakan Ke-2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 38. 11 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Pers, 2002), h. 168.

21 Interpelasi dan pertanyaan, hak penyelidikan(hak angket) terhadap kasuskasus dugaan pelanggaran oleh Pemerintah, hak resolusi atau pernyataan pendapat yang mana akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut : a) Hak Interpelasi Hak Interpelasi adalah hak yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat untuk memintai keterangan mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 juncto Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2014 mengatur tata cara penggunaan hak ini. Penggunaan hak ini harus diusulkan paling sedikit 25 orang dan lebih dari 1 fraksi. Usulan tersebut memuat kebijakan yang akan dimintai keterangannya. Usulan tersebut dapat menjadi interpelasi apabila disetujui dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan disetujui lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir. Apabila DPR menerima penjelasan dari Presiden atau pimpinan lembaga berkenaan dengan materi interpelasi, usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diaajukan kembali. Apabila DPR menolak penjelasan dari Presiden atau pimpinan lembaga berkenaan dengan materi interpelasi, maka DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya. b) Hak Angket Menurut KBBI 12, Hak Angket adalah Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah. Hak Angket pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke-14 dan bermula dari right to investigate and chastice the abuses of administration (hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewenengan-penyelewenangan dalam administrasi pemerintahan) yang kemudial disebut dengan right of impeachment (hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan). Secara historis, Hak Angket dalam lembaga perwakilan di atur secara ekplisit 12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi 4, (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2005), h. 69.

22 dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang berbunyi Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Hak ini pertama kali digunakkan oleh Parlemen Inggris pada tahun 1376 yang mengakibatkan pemecatan beberapa pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan. Sekarang Hak Angket di Inggris dilakukan oleh sebuah komisi hukum khusus yang bertugas menyelidiki kegiatan pemerintahan dan administrasi. 13 Dan selanjutnya dalam mengenai Hak Angket diperjelas dalam bagian menimbang (konsideran) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan (angket) perlu diatur dengan Undang-Undang. Menurut Bagir Manan 14, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat ini dibentuk saat Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Hak Angket ini sangat dibutuhkan oleh lembaga legislatif dalam hal pengawasan terhadap kebijakan pemerintah di bidang eksekutif, sehingga prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bisa berjalan lancar. Karena pada dasarnya bahwa lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mana rakyat yang berdaulat penuh sesuai dengan amanat dari Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Disini lembaga legislatif melakukan fungsi pengawasan agar kebijakan dan pelaksanaan suatu Undang-Undang yang dibuat untuk kehendak rakyat dan keingiann rakyat yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat berjalan dengan baik. Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan sebagian dari fungsi penegakkan hukum (pro justicia) seperti melakukan pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat publik yang menolak untuk memberikan keterangan. 13 Arifin Sari Surungganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta : Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158. 14 Bagir Manan, Membedah UUD 1945, (Malang : UB Press, 2012), h. 86.