Penanganan medis yang tepat diperlukan



dokumen-dokumen yang mirip
Hubungan Dosis Kumulatif Prednison dan Gangguan Umur Tulang pada Sindrom Nefrotik Relaps Sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

Korelasi Kadar Albumin Serum dengan Persentase Edema pada Anak Penderita Sindrom Nefrotik dalam Serangan

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan

Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan tipe sindrom nefrotik pada anak

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) adalah salah satu klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m 2 / hari pada

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan

BAB I PENDAHULUAN. dari 14 tahun. Kasus SN lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. nefrotik yang tidak mencapai remisi atau perbaikan pada pengobatan prednison

KADAR KOLESTEROL DARAH ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI PREDNISON DOSIS PENUH ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

Korelasi Antara Hipoalbunemia Dan Peningkatan Kadar Lipoprotein(A) Pada Anak Yang Menderita Sindrom Nefrotik Kambuh

Perbedaan dan Korelasi Kadar Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin Urin pada Berbagai Derajat Kambuh Pasien Sindrom Nefrotik

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN BERAT BADAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Berat Lahir, Usia Awitan, dan Jenis Kelamin sebagai Faktor Risiko Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

Ema Qurnianingsih, dr., M.Si

Asidosis tubulus renalis (ATR) adalah suatu

DAFTAR PUSTAKA. 6. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

68 Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D.

Krisni Subandiyah Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unibraw/RSU Dr. Saiful Anwar Malang

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. hiperkolesterolemia >200 mg/dl, dan lipiduria 1. Lesi glomerulus primer

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk menilai perubahan kadar

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhannya.

BAB IV METODE PENELITIAN

Gambaran Klinis Glomerulonefritis Akut pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinis. Menurunkan Kejadian Relaps

PERBANDINGAN KADAR MIKROALBUMINURIA PADA STROKE INFARK ATEROTROMBOTIK DENGAN FAKTOR RISIKO HIPERTENSI DAN PASIEN HIPERTENSI

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Kebutuhan cairan rumatan tidak hanya

Hubungan Kadar Gula Darah dengan Glukosuria pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD Al-Ihsan Periode Januari Desember 2014

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

BAB 3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan metode sekat lintang yang menilai hubungan ABI

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

MODUL GLOMERULONEFRITIS AKUT

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan belah lintang (crosssectional)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. lemak, dan protein. World health organization (WHO) memperkirakan prevalensi

PEMERIKSAAN URIN DENGAN METODE ESBACH. III. PRINSIP Asam pikrat dapat mengendapkan protein. Endapan ini dapat diukur secara kuantitatif

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR NATRIUM DAN KALSIUM SERUM PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

PERAN KADAR KALSIUM PADA PENDERITA KEJANG PADA ANAK ROLE OF CALCIUM LEVEL IN CHILDREN WITH SEIZURE

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

Jumlah nefron yang terbentuk setelah lahir tidak dapat dibentuk lagi sehingga bila ada yang rusak jumlahnya akan menurun. Setelah usia 40 tahun,

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR NATRIUM DAN KALSIUM SERUM PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

Konstipasi adalah penyakit dengan kelainan. Konstipasi dan Faktor Risikonya pada Sindrom Down. Ina Rosalina, Sjarif Hidayat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Anak Gizi Buruk yang Diberi Modisco Susu Formula dan Modisco Susu Formula Elemental Di RSU dr.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Puskesmas ini. meraih berbagai penghargaan ditingkat nasional.

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Gizi.

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kunci dari kehidupan, kesehatan adalah milik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

PERUBAHAN KOMPOSISI TUBUH PADA LANJUT USIA Dr. Nur Asiah, MS dan Dr. Francisca A. Tjakradidjaja, MS

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

Nefritis tubulointerstisialis (NTI) adalah

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR ASAM URAT DARAH DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI DAN METODE ELECTRODE-BASED BIOSENSOR

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

*Yohanes Wahyu N, * Kristiana Puji P *) Dosen Akper GSH Wonogiri ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total

Transkripsi:

Artikel Asli Hubungan antara Kadar Albumin dan Kalsium Serum pada Sindrom Nefrotik Anak Dina Garniasih, Julistio T. B. Djais, Herry Garna Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Latar belakang. Salah satu komplikasi sindrom nefrotik (SN) adalah gangguan metabolisme mineral, yaitu hipokalsemia, yang dapat menyebabkan tetani, gangguan pembentukkan tulang, dan penyakit tulang metabolik. Penyakit SN merupakan kelainan glomerulus yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema. Pada proteinuria, protein-binding berukuran sedang ikut terbuang. Setengah jumlah kalsium total serum berikatan dengan protein (terutama albumin), akibatnya hipoalbuminemia yang terjadi pada anak SN dapat menyebabkan hipokalsemia. Tujuan. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum pada anak SN. Metode. Penelitian dengan rancangan cross-sectional terhadap 43 anak SN yang memenuhi kriteria inklusi dan diambil secara consecutive admission yang berobat/dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS dr. Hasan Sadikin Bandung mulai bulan Juli sampai September 2007 kemudian dilakukan pemeriksaan kadar albumin dan kalsium serum. Untuk melihat keeratan hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum dilakukan analisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson, serta untuk melihat bentuk hubungannya dilakukan analisis regresi linier. Hasil. Subjek terdiri dari 33 (77%) anak laki-laki dan 10 (23%) anak perempuan, berusia rata-rata 6,80 (SB 3,39) tahun. Diperoleh hasil rata-rata kadar albumin serum 1,50 (SB 0,377) g/dl, dan kalsium serum 7,27 (SB 0,772) mg/dl. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan korelasi (r=0,547) yang sangat bermakna (p=0,000) antara kadar albumin dan kalsium serum. Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan linier yang positif antara kadar albumin (x) dan kalsium serum (y), dengan persamaan Ý = 5,59 + 1,12 x. Kesimpulan. Semakin menurun kadar albumin serum pada anak yang menderita sindrom nefrotik, semakin menurun kadar kalsium serum. (Sari Pediatri 2008;10(2):100-5). Kata kunci: sindrom nefrotik, kalsium, hipoalbuminemia Alamat Korespondensi: Dr. R. Dina Garniasih, SpA, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40163, Indonesia. Telp. 022-2035957. email: garniasih_dina@yahoo.com Penanganan medis yang tepat diperlukan untuk mencegah komplikasi baik yang dapat menyebabkan kematian, seperti infeksi, tromboemboli, gagal ginjal, dan gagal jantung 100

kongestif, 2,3 maupun komplikasi lainnya seperti gangguan pertumbuhan, anemia, gangguan tubulus ginjal, serta perubahan hormon dan mineral. Salah satu komplikasi SN meskipun tidak sering adalah tetani yang terjadi karena adanya gangguan metabolisme mineral, yaitu hipokalsemia. 1,2,4,5 Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan pembentukan tulang dan meningkatkan risiko penyakit tulang metabolik. Selain itu penggunaan kortikosteroid pada anak SN baik secara langsung maupun tidak langsung juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme kalsium dan tulang. 1,2,4 Sindrom nefrotik merupakan suatu kelainan glomerulus yang ditandai dengan proteinuria, hipoproteinemia (hipoalbuminemia), dan edema. 1,6 Pada keadaan proteinuria banyak protein-binding berukuran sedang yang ikut terbuang melalui urin selama SN relaps. 7,8 Kurang dari setengah kalsium total serum berbentuk bebas atau terionisasi, sebagian besar berikatan dengan protein (terutama albumin), dan sekitar 10% membentuk ikatan kompleks dengan anion seperti fosfat, sitrat, atau sulfat. Sebagai akibat pada keadaan hipoalbuminemia, yang terjadi pada anak SN, dapat menyebabkan hipokalsemia. 9 Kalsium memiliki peran penting dalam mineralisasi tulang, koagulasi darah, konduksi neuromuskular, mempertahankan tonus normal, eksitabilitas otot rangka dan jantung, menstimulasi sekresi kelenjar eksokrin, serta menjaga integritas dan permeabilitas membran. 9,10 Penyimpangan kisaran nilai normal kalsium akan menimbulkan gangguan dan dapat mengancam jiwa. 10 Penurunan kalsium ekstrasel menimbulkan efek eksitasi sel saraf dan otot in vivo, akibatnya timbul tetani hipokalsemik, yang ditandai oleh spasme ekstensif otot rangka, terutama mengenai otot-otot ekstremitas dan laring. 11 Kalsium bebas terionisasi merupakan fraksi biologis-aktif, meskipun demikian pengukuran yang sering dilakukan adalah kalsium total serum. Selain itu pemeriksaan kalsium total serum lebih cepat dan akurat. 12 Penelitian tentang kadar kalsium pada anak SN masih belum banyak dilakukan dan hasilnya masih kontroversi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum pada SN anak. Metode Penelitian cross-sectional dilakukan pada anak SN yang berobat/dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS dr. Hasan Sadikin Bandung mulai bulan Juli sampai September 2007, orangtua menyetujui anaknya untuk mengikuti penelitian setelah diberi penjelasan dan menandatangani persetujuan (informed consent). Subjek penelitian dipilih secara consecutive admission, kriteria inklusi adalah pasien sindrom nefrotik, berusia 1 sampai 14 tahun, dengan status gizi baik, sedangkan apabila telah mendapat terapi albumin maupun kalsium sebelumnya, terdapat kelainan hati, atau telah mendapat terapi kortikosteroid lebih dari satu tahun. Dilakukan pengambilan sampel darah vena lebih kurang 5 mililiter untuk pemeriksaan laboratorium. Metode yang dipergunakan untuk menentukan kadar albumin serum adalah metode brom cresol green (BCG), sedangkan untuk mengukur kadar kalsium serum digunakan metode ion selective electrodes (ISE). 12 Nilai normal kadar albumin serum untuk usia 1 tahun sampai 14 tahun 3,8-5,4 g/dl, sedangkan kadar normal kalsium total serum untuk anak 8,0-10,5 mg/dl. 13 Untuk melihat keeratan hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji korelasi Pearson, dan untuk melihat bentuk hubungannya dilakukan analisis regresi linier. Seluruh perhitungan statistik dikerjakan dengan piranti lunak SPSS version 13.0 for Windows tahun 2004, SPSS mc, Chicago-Illinois, USA. Hasil Selama kurun waktu Juli sampai September 2007, berdasarkan consecutive sampling didapatkan 46 anak pasien SN yang berobat/dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS dr. Hasan Sadikin Bandung. Empat puluh tiga anak memenuhi kriteria penelitian, sedangkan tiga anak lainnya dikeluarkan dari penelitian dengan alasan seorang anak malnutrisi berat dan dua anak lainnya telah mendapat kortikosteroid lebih dari satu tahun. Subjek penelitian terdiri dari 33 (77%) anak lakilaki dan 10 (23%) anak perempuan. Subjek termuda berusia 1 tahun 2 bulan dan tertua 14 tahun dengan usia rata-rata 6,80 (SB 3,39) tahun. Berat badan ratarata 19,95 (SB 7,93) kg dan tinggi badan rata-rata 110,24 (SB 20,35) cm. Karakteristik umum subjek penderita dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 2 tampak sebaran kadar albumin dan kalsium serum pada subjek penelitian. Rata-rata kadar albumin serum 1,50 (SB 0,377) g/dl, dengan 101

Tabel 1 Karakteristik umum n (%) Rata-rata Median Simpang baku Rentang Q1 Q3 Usia (tahun) 43 6,80 7 3,39 1,17-14 4 9 Berat badan (kg) 43 19,95 16 7,93 9,6-38,3 13,8 25,4 Tinggi badan (cm) 43 110,24 108 20,35 74-152 94 125 Jenis Kelamin Laki-laki 33 (77) Perempuan 10 (23) Keterangan: Q1=kuartil pertama, Q3=kuartil ketiga Tabel 2 Sebaran kadar albumin dan kalsium serum n Rata-rata Median Simpang baku Rentang Q1 Q3 Albumin serum (g/dl) 43 1,50 1,50 0,377 0,7-2,4 1,3 1,8 Kalsium serum (mg/dl) 43 7,27 7,44 0,772 6-8,96 6,72 7,8 Keterangan: Q1=kuartil pertama, Q3=kuartil ketiga rentang nilai terendah 0,7 g/dl dan tertinggi 2,4 g/dl, sedangkan nilai normal albumin serum usia >1 tahun 3,8-5,4 g/dl. Kadar kalsium rata-rata serum 7,27 (SB 0,772) mg/dl, dengan rentang nilai terendah 6 mg/ dl dan tertinggi 8,96 mg/dl, sedangkan nilai normal kalsium serum 8,0-10,5 mg/dl. Dari scatter plot pada Gambar 1 membuktikan hubungan linier antara kadar albumin dan kalsium serum SN anak. Untuk mengetahui keeratan hubungan tersebut dilakukan uji korelasi Pearson, didapatkan hubungan positif antara kadar kalsium atas serum yang Kalsium (mg/dl) 10,00 9,00 8,00 Regresi linier Kalsium (mg/dl) = 5,59 + 1,12 * X R-Square = 0,30 bermakna pada SN anak, dengan koefisien korelasi r=0,547 (p=0,000). Artinya jika kadar albumin serum naik maka kadar kalsium serum juga naik, begitu pula sebaliknya, jika kadar albumin serum turun maka kadar kalsium serum juga akan turun. Selanjutnya untuk mengetahui derajat peningkatan kadar albumin yang memberikan kontribusi terhadap kenaikan kadar kalsium, maka dilakukan analisis regresi dengan kadar albumin serum sebagai variabel independen dan kadar kalsium serum sebagai variabel dependen. Dari Gambar 1 diketahui persamaan regresi Ý = 5,59 + 1,12X Ý = taksiran rata-rata kadar kalsium serum (mg/ dl) X = nilai kadar albumin serum (g/dl) Konstanta = 1,12 Intersept = 5,59 (koefisien regresi) Artinya setiap kadar albumin serum naik 1 g/dl, maka kadar kalsium serum secara rata-rata naik 1,12 mg/dl. 7,00 Pembahasan 6,00 1,00 1,50 2,00 Albumin (g/dl) 2,50 3,00 Gambar 1. Diagram sebar dan bentuk hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum pada anak sindrom nefrotik 3,50 Hasil penelitian menunjukkan bahwa, subjek lakilaki 33 (77%) anak dengan rasio laki-laki berbanding dengan perempuan 3,3:1. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pada pasien SN jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan 102

perempuan. 14,15 Subjek termuda berusia 1 tahun 2 bulan dan tertua 14 tahun dengan usia rata-rata 6,80 (SB 3,39) tahun. Nash dkk 15 menyebutkan dua pertiga kasus SN terjadi pada usia kurang dari lima tahun, 95% di antaranya terjadi pada usia 1-4 tahun dan hampir 50% SN sensitif steroid terjadi pada usia kurang dari 4 tahun. Sedangkan Bergstein 14 menyatakan SN idiopatik terjadi pada usia 2-6 tahun. Penurunan kadar albumin serum merupakan kriteria laboratoris berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) yang harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis SN, dengan kadar kurang dari 2,5 g/dl. 16 Seluruh subjek mengalami penurunan kadar albumin serum, dengan rata-rata 1,50 (SB 0,377) g/dl, dan rentang nilai terendah 0,7 g/dl serta tertinggi 2,4 g/dl, sedangkan nilai normal albumin serum untuk anak usia >1 tahun 3,8-5,4 g/dl. 13 Penurunan kadar albumin pada pasien SN terjadi akibat peningkatan filtrasi glomerulus terhadap albumin sehingga terjadi proteinuria masif dan kadar albumin serum menurun, meskipun sintesis albumin di hepar meningkat sampai 3-4 kali. Sintesis yang meningkat ini tidak cukup untuk mengkompensasi kehilangan albumin, meskipun degradasi albumin dalam jumlah normal atau kurang dari normal. 1,15 Selain terdapat penurunan kadar albumin serum, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa semua subjek mengalami penurunan kadar kalsium serum dengan rata-rata 7,27 (SB 0,772) mg/dl, rentang nilai terendah 6 mg/dl dan tertinggi 8,96 mg/dl, sedangkan nilai normal kalsium serum untuk anak 8,0-10,5 mg/dl. Hasil temuan sesuai dengan pendapat Eakin 17 bahwa akibat hipoalbuminemia sering terjadi hipokalsemia dengan kadar kalsium kurang dari 9,0 mg/dl. Ikatan protein dengan kalsium dapat terjadi dengan adanya EF hands protein yang berikatan dengan kalsium, yang terdapat pada struktur primer dengan konservasi asam amino khusus pada posisi kunci. 18,19 Struktur EF hand ditemukan pada banyak afinitas tinggi ikatan kalsium dengan albumin. 20 Rata-rata kadar kalsium total serum lebih rendah dibandingkan penelitian Freundlich dkk 21,22 dengan rata-rata 8,3±0,9 mg/dl. Penelitian pada pasien SN dewasa menunjukkan penurunan kadar kalsium total serum menggambarkan penurunan kadar kalsium ion serum. Freundlich dkk 22 melaporkan tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kalsium total pada anak SN antara yang mendapat terapi glukokortikoid dan yang tidak, baik pada saat relaps maupun remisi. Dilaporkan bahwa pemberian glukokortikoid setelah lebih dari satu tahun berhubungan dengan berkurangnya kadar kalsium serum. 21 Pada penelitian yang kami lakukan tidak dibandingkan antara kadar kalsium total pada saat relaps dan remisi, dan subjek penelitian anak SN yang mendapat terapi steroid kurang dari satu tahun. Adanya gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D pada anak SN memiliki risiko terjadinya penyakit tulang metabolik meskipun tanpa gangguan laju filtrasi glomerulus. 22 Kalsium sebagian besar berikatan dengan protein serum terutama albumin, sehingga kadar kalsium total serum sangat dipengaruhi oleh kadar protein, terutama albumin. Albumin merupakan transport dan depot utama kalsium plasma dan fraksi ikatan dengan albumin merupakan setengah jumlah kadar kalsium total di dalam plasma. 12 Penurunan kalsium total serum pada SN terjadi akibat bertambah jumlah proteinbinding berukuran sedang terutama albumin, yang ikut terbuang melalui urin selama SN relaps. 7,8 Terbukti pada penelitian kami seluruh subjek mengalami proteinuria, (pemeriksaan Albustix = ++ atau lebih), dan hipoalbuminemia (rata-rata albumin serum 1,50 (SB 0,377) g/dl serta hipokalsemia (rata-rata kalsium serum 7,27 (SB 0,772) mg/dl). Hasil serupa juga didapatkan pada penelitian Stickler dkk 23 yang mendapatkan gangguan pertumbuhan dan hipokalsemia pada anak SN dengan insufisiensi ginjal kronik. Pada seluruh subjek penyakit tulang membaik dan tetani tidak terjadi lagi setelah pemberian kalsium dan vitamin D. Pada penelitian kami serangan tetani terjadi pada tiga orang pasien dengan kadar kalsium kurang dari 7 mg/dl. Penurunan Ca 2+ ekstrasel menimbulkan efek eksitasi (hipereksitabel) pada sel saraf dan otot in vivo. Berakibat serangan kejang tetani hipokalsemik, yang ditandai dengan spasme ekstensif otot rangka, terutama mengenai otot-otot ekstremitas dan laring. 11,24 Selain tetani, penurunan kadar kalsium serum juga menyebabkan berbagai gejala neurologis, tergantung dari kadar kalsium total serum. 12 Peneliti Goldstein dkk 25 memperoleh hasil penurunan kadar 25-hidroksivitamin D3 dalam urin dan darah, yang kemungkinan menyebabkan kadar kalsium rendah, Alon dan Chan 26 melaporkan SN lesi minimal yang mengalami kelemahan otot ringan, diperoleh hasil kadar kalsium yang terikat protein maupun kalsium terionisasi menurun disertai peningkatan kadar PTH, 25-hidroksivitamin 103

D3, dan 1,25-dihidroksivitamin D3 serum, serta ekskresi kalsium urin yang rendah. Biyikli dkk 8 menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dosis tinggi menyebabkan pembentukan tulang menurun, seperti yang ditunjukkan pada pemeriksaan kadar kalsium, osteokalsin, dan alkali fosfatase. Berbeda dengan penelitian Leonard dkk 27 menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid secara intermiten pada anak SN tidak mempengaruhi metabolisme tulang secara signifikan. Pada penelitian kami seluruh subjek tidak ada yang mendapat kortikosteroid lebih dari satu tahun. Dari Gambar 1 tampak penurunan kadar kalsium serum yang sesuai dengan kadar albumin serum. Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Freundlich dkk 21 (r=0,407), diperoleh keeratan hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum pada penelitian ini lebih kuat (r=0,547, p=0,000), begitu pula jika dibandingkan dengan penelitian Sava dkk 12 dengan (r=0,34). Berdasarkan analisis regresi dan korelasi, hasil persamaan regresi yang didapat menunjukkan terdapat korelasi linier yang positif antara kadar albumin dan kalsium serum pada anak SN, yaitu Ý = 5,59 + 1,12X. Artinya, semakin menurun kadar albumin serum pada anak yang menderita sindrom nefrotik, maka semakin menurun kadar kalsium serumnya. Pada penelitian kami, hubungan antara kadar albumin dan kalsium serum dianalisis tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi kadar kalsium karena data yang tersedia tidak memungkinkan. Disimpulkan bahwa semakin menurun kadar albumin serum pada anak yang menderita sindrom nefrotik, semakin menurun kadar kalsium serum. Daftar Pustaka 1. Clark AG, Barratt TM. Steroid-responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barratt TM, Avner TD, Harmon WE, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-4. Baltimore: Lippincott Williams & Willkins; 1999. h. 731-47. 2. Yao LP. Nephrotic syndrome. Pediatr Rev 2000;21: 432-3. 3. Cheng TL. Nephrotic syndrome. Pediatr Rev 2000;21: 433. 4. Haycock G. The children with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Nicholas JA, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University Press; 2003. h. 341-66. 5. Harris RC, Ismail N. Extrarenal complications of the nephrotic syndrome. Am J Kidney Dis. 1994;23:477-97. 6. Travis L. Nephrotic syndrome. emedicine.com. [diunduh 14 Apr 2005-versi terakhir]. Tersedia dari: http://www. emedicine.com/ped/topic1564.htm 7. McBryde KD, Kershaw DB, Smoyer WE. Pediatric steroid-resistant nephrotic syndrome. Curr Probl Pediatr 2001;31:275-307. 8. Biyikli NK, Emre S, Sirin A, Bilge I. Biochemical bone markers in nephrotic children. Pediatr Nephrol 2004;19:869-73. 9. Greenbaum LA. Electrolyte and acid-base disorders. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke- 18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. h. 267-309. 10. Granner DK. Hormone action & signal transduction. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting. Harper s illustrated biochemistry. Edisi ke-26. New York: McGraw-Hill Inc; 2003. h. 456-73. 11. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-20. New York: McGraw-Hill Inc; 2001. 12. Sava L, Pillai S, More U, Sontakke A. Serum calcium measurement: total versus free (ionized) calcium. Ind J Clin Biochem. 2005;20:158-61. 13. Barness EG, Barness LA. Clinical use of pediatric diagnostic test. Edisi ke-1. Philadelphia: Lippincott Williams & Witkins; 2003. 14. Bergstein JM. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1592-6. 15. Nash MA, Edelmann CM, Bernstein J, Barnett HL. The nephrotic syndrome. Dalam: Edelmann CM, penyunting. Pediatric kidney disease. Edisi ke-4. Boston: Little, Brown and Company; 1999. h. 1247-66. 16. ISKDC. Early identification of frequent relapsers among children with minimal change nephrotic syndrome. J Pediatr. 1982;101:514-8. 17. Eakin PJ. Nephrotic syndrome. Case Based Pediatrics for Medical Students and Residents [diunduh Sep 2002]. Tersedia dari: http://www.hawaii.edu/medicine/pediatric/ pedtex.html 18. Rodwell VW, Kennelly PJ. Amino acids & peptides. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting. Harper s illustrated biochemistry. Edisi ke-26. New York: McGraw-Hill Inc; 2003. h. 14-20. 19. Vorum H, Fisker K, Otagiri M, Pedersen AO, Hansen 104

UK. Calcium ion binding to clinically relevant chemical modifications of human serum albumin. Clin Chem. 1995;41:1654-61. 20. Carter. Interaction of SWP with bovine serum albumin [diunduh 24 Ags 2005]. Tersedia dari: http://www_ friedli_com-research-phd-bsa-fig53_gif.htm. 21. Freundlich M, Bourgoignie JJ, Zilleruelo G, Jacob AI, Canterbury JM, Strauss J. Bone modulating factors in nephrotic children with normal glomerular filtration rate. Pediatrics. 1985;76:280-5. 22. Freundlich M, Bourgoignie JJ, Zilleruelo G, Abitbol C, Canterbury JM, Strauss J. Calcium and vitamin D metabolism in children with nephrotic syndrome. J Pediatr. 1986;108:383-7. 23. Stickler GB, Hayles AB, Power MH, Ulrich JA. Renal tubular dysfunction complicating the nephrotic syndrome [diunduh 13 Jun 2007]. Tersedia dari: http:// www.pediatric.org 24. Pegoraro AA, Retucki GW. Hypocalcemia. emedicine [diunduh 8 Sep 2005-versi terakhir]. Tersedia dari: http:// www.emedicine.com/med/topic1118.htm. 25. Goldstein DA, Haldimann B, Sherman D, Norman AW, Massry SG. Vitamin D metabolites and calcium metabolism in patients with nephrotic syndrome and normal renal function. J Clin Endocrinol Metab. 1981;52:116-21. 26. Alon U, Chan JC. Calcium and vitamin-d metabolism nephrotic syndrome. Int J Pediatr Nephrol. 1983; 4:115-8. 27. Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Long-term, high-dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood glucocorticoidsensitive nephritic syndrome. N Engl J Med. 2004; 351:868-75. 105