Abstrak. Abstract. Alumni FISIPOL, Universitas Gadjah Mada ( korespondensi:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Kurikulum Berbasis TIK

BAB I PENDAHULUAN. tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prasyarat untuk memperoleh peluang partisipasi, adaptasi dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. telekomunikasi, seakan-akan menjadikan dunia ini kian kecil (global village).

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

I. PENDAHULUAN. belum bisa diwujudkan dalam setiap rezim pemerintahan. Isu pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman menuntut perubahan dalam setiap aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian RESTU NURPUSPA, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter dan kecakapan hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Hasanah Ratna Dewi, 2015

BAB I PENDAHULUAN. kesenjangan digital. Kesenjangan digital atau digital divide adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan yang harus dihadapi. Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2017 DAMPAK MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG BENDA KEREP KOTA CIREBON TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana. pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

BAB I PENDAHULUAN. tidak tersisih di negeri sendiri (Fitrihana, 2010: 3).

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menggerakan seluruh kegiatan dan menentukan keberhasilan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

MONITORING DAN EVALUASI PELATIHAN GURU/KEPALA SEKOLAH/PENGAWAS SEKOLAH KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai animal educandum dan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi agenda penting pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Melalui pendidikan manusia

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi jaringan internet telah mengubah paradigma dalam

BAB I PENDAHULUAN. berketrampilan serta berdaya saing yang dibutuhkan dalam menghadapi

ANALISIS DAN SINTESIS

2015 TRANSFORMASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT CIREUNDEU

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia dimana dua pertiga wilayahnya

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

BAB IV ANALISIS DATA. Humas merencanakan beragam jenis program Corporate Social

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah modal utama bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan kemanusian untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

jawab untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan dan peluang kehidupan global. Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global dalam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

I. PENDAHULUAN. 124 pada 2011 (0,624), dari 187 negara. Sejak 1980 hingga 2012, nilai IPM

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Program Komputer Acuan Bahasa c 2010 Ferli Deni Iskandar

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan membekali manusia akan ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indri Cahyani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dunia pendidikan sangat dirasakan kebermanfaatannya. Sejalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang bermutu. Berkat pendidikan, orang terbebaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar bisa hidup lebih

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. teknologi, pergeseran kekuatan ekonomi dunia serta dimulainya perdagangan

Kebijakan Pengembangan SDM, Iptek dan Budaya Maritim dalam Mendukung Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara juga. meningkatkan kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras. membantu peserta didik agar nantinya mampu

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. Tidak dapat disangkal bahwa kehidupan selama beberapa dasawarsa belakangan

BAB I PENDAHULUAN. jasa, aliran investasi dan modal, dan aliran tenaga kerja terampil.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan. Bisa dilihat saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa. Melalui pendidikan yang baik, diperoleh hal-hal baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Objek Penelitian Landasan Dasar, Asas, dan Prinsip K3BS Keanggotaan Masa Waktu Keanggotaan

BAB I PENDAHULUAN. dan membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi tahun 2015 pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

Indonesian Journal of Social Development ISSN (p): xxxx-xxxx; ISSN (e): xxxx-xxxx Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72; doi.10.14421/ijsd.2020.011.04 https://jurnal.apsindo.org/index.php/ijsd/index Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital dalam Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh pada Masa Pandemi di Indonesia Inas Mufidatul Insyiroh 1, Ela Puji Hariani 2, Syahrul Mubaroq 3 Abstrak Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem daring yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat COVID-19 menemui hambatan. Muncul keluhankeluhan dari masyarakat, salah satunya terkait keterbatasan akses listrik, internet, dan peralatan elektronik. Fakta ini menunjukkan bahwa kesenjangan digital masih menjadi salah satu masalah di Indonesia, yang berimbas serius ke pendidikan. Tujuan dari kajian ini adalah memaparkan permasalahan kesenjangan digital dalam pendidikan dan berusaha memberikan solusi PJJ di masa pandemi. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan data sekunder dari studi literatur. Secara faktual, Indonesia memiliki berbagai kearifan lokal sebagai sumber pengetahuan di masyarakat. Pengetahuan tersebut meliputi berbagai aspek dalam kehidupan yang berbeda di setiap daerah. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran dengan menyelaraskan kurikulum pendidikan yang berlaku. Sehingga permasalahan PJJ di masa pandemi dapat diatasi dengan pendidikan berbasis kearifan lokal. Contohnya ialah lelakaq dan sandi kale yang mengakar kuat dalam pranata sosial suku Sasak di Lombok. Selain itu, beberapa masyarakat adat juga memiliki sistem pendidikan adat yang dibentuk berdasarkan kearifan lokal. Kata Kunci: COVID-19; kearifan lokal; kebijakan; kesenjangan digital; pendidikan Abstract Remote learning with an online-based system initiated by the Ministry of Education and Culture during a pandemic faces obstacles. There are complaints from the public, one of which is related to the limited access to electricity, internet, and electronic equipment. This fact shows that the digital divide remains one of the problems in Indonesia, which gives a serious impact to education. This study aims to explain the problem of digital divide in education and try to provide PJJ solutions in a pandemic. The authors use qualitative methods with secondary data from literature studies. Factually, Indonesia has local wisdom as a source of knowledge in community. This knowledge covers various aspects of life that are different in each region. This can be used as a source of learning by aligning the applicable education curriculum. So that remote learning problems during the pandemic can be overcome with local wisdom-based education. For example, the lelakaq and the sandi kale are deeply rooted in the social institutions of the Sasak tribe in Lombok. In addition, some indigenous peoples also have an indigenous education system that is formed based on local wisdom. Keywords: COVID-19; education; digital divide; local wisdom; policy 1 Alumni FISIPOL, Universitas Gadjah Mada (email korespondensi: inas.mufidatul@gmail.com) 2 Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada (email: elapuji2017@ mail.ugm.ac.id) 3 Alumni FMIPA, Universitas Gadjah Mada (email: syahrul.mubaroq@mail.ugm.ac.id)

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq Pendahuluan Pandemi COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) yang terjadi pada awal tahun 2020 di Tiongkok, telah menyebar secara cepat ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pandemi ini telah memberikan dampak signifikan pada semua sektor kehidupan manusia seperti ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan masih banyak lagi, termasuk di sektor pendidikan. Dalam skala global, tercatat sebanyak 1.186.127.211 pelajar yang terdampak penutupan sekolah akibat COVID-19, di mana dampak tersebut berujung pada terganggunya proses belajar-mengajar, di Indonesia sendiri angka tersebut mencapai sebanyak 68.265.787 pelajar yang terkena dampak penutupan sekolah (UNESCO, 2020). Selama COVID-19, kegiatan belajarmengajar secara tatap muka lumpuh total karena cepatnya penyebaran wabah. Hal tersebut membuat pemerintah tidak memiliki cukup waktu untuk mencari jalan keluar agar transfer ilmu tetap bisa terlaksana, meski tanpa bertatap muka. Sehingga satu-satunya opsi yang memungkinkan adalah dengan melaksanakan pembelajaran jarak jauh yang dilakukan dari rumah masing-masing siswa dengan mengandalkan sambungan internet dan gawai. Akses listrik, koneksi internet, dan kepemilikan gawai merupakan tiga hal penting yang dibutuhkan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh yang sifatnya daring. Masalah muncul manakala banyak yang mengeluhkan akses pada koneksi dan infrastruktur internet yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, begitu pula dengan kepemilikan gawai, tidak semua siswa memiliki keluarga dengan ekonomi mapan untuk membeli perangkat elektronik ini (Dwiastono, 2020). Riset yang dilakukan oleh The SMERU Research Institute (2020) dengan judul Belajar dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid-19 juga menyoroti adanya ketimpangan dalam infrastruktur pendidikan, akses terhadap teknologi informasi, dan latar belakang pendidikan orang tua murid yang terlihat di antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Merespons keluhan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mencari alternatif lain agar para siswa di seluruh Indonesia masih tetap bisa belajar meskipun tanpa menggunakan gawai dan koneksi internet, yakni bekerja sama dengan stasiun televisi nasional milik Indonesia yakni TVRI untuk menyiarkan acara-acara dengan konten pendidikan setiap harinya bagi setiap jenjang pendidikan. Namun kebijakan tersebut ternyata tak lantas menyelesaikan masalah, karena banyak yang mengeluhkan wilayahnya yang tidak teraliri listrik ataupun saluran TVRI tidak sampai ke sana (Wijaya, 2020). Menurut kajian ilmu teknologi informasi dan komunikasi, permasalahan ini disebut sebagai kesenjangan digital. Kesenjangan digital dalam PJJ dapat dilihat dari hasil survei The SMERU Research Institute (2020) bahwa masih terdapat 30% guru di wilayah pedesaan di luar Pulau Jawa yang tidak menggunakan aplikasi digital dalam pembelajaran. Bahkan ada beberapa guru yang terpaksa mengunjungi muridnya karena akses terhadap internet sulit dan kepemilikan gawai rendah. Namun cara tersebut tidak bertahan lama karena adanya kasus positif Covid-19 di lingkungan mereka, sehingga hingga saat ini PJJ dilakukan dengan memberikan tugas pada para siswa. Kemudian, kesenjangan digital ini 52 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital terjadi pada guru senior yang gagap teknologi dan juga minimnya pelatihan penggunaan aplikasi belajar bagi guru khususnya di daerah pedesaan dan di luar Pulau Jawa. Kesenjangan digital ini semakin terasa karena adanya perbedaan bantuan pulsa atau kuota untuk guru di daerah luar Pulau Jawa yang membuat PJJ semakin terhambat. Setelah mengetahui riset terkait ketimpangan PJJ tersebut, kajian ini bertujuan untuk melihat permasalahan kesenjangan digital dalam sektor pendidikan selama masa pandemi dan memberikan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Sehingga pertanyaan penelitian pertama dalam kajian ini adalah, bagaimana pengaruh kesenjangan digital terhadap sektor pendidikan pada masa pandemi dan bagaimana solusi untuk mengatasinya? Bicara mengenai solusi, penulis berpikir bahwa, harus ada opsi lain sebagai jalan keluar bagi buntunya pendidikan jarak jauh di beberapa wilayah pedalaman Indonesia selama masa pandemi. Opsi tersebut diusahakan untuk sebisa mungkin terlaksana tanpa adanya sambungan internet, aliran arus listrik, ataupun kebutuhan untuk terhubung dengan perangkat elektronik. Penulis berpendapat bahwa konsep pendidikan yang minim berhubungan dengan hal-hal tersebut adalah konsep pendidikan yang berbasis sekolah alam, di mana siswa benar-benar diarahkan untuk fokus pada materi dan praktik yang ada, dengan meminimalisasi penggunaan gawai, sambungan internet, ataupun aliran listrik. Pastinya pendidikan berbasis sekolah alam ini akan disesuaikan dengan keadaan pada masa pandemi. Pendidikan berbasis sekolah alam ini akan melibatkan aspek potensi daerah dan kearifan lokal di lingkungan tempat tinggal siswa, sehingga siswa tidak perlu pergi jauh untuk menimba ilmu selama pendidikan. Konsep pendidikan ini dapat diaplikasikan di seluruh daerah di Indonesia, namun diutamakan di daerah-daerah pedalaman dan daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) yang memiliki masalah seperti di atas. Selain menjelaskan permasalahan kesenjangan digital dalam pendidikan selama COVID-19, penulis juga akan melihat apakah solusi yang penulis tawarkan ini sesuai untuk menjadi alternatif pelaksanaan pendidikan pada masa pandemi di daerah pinggiran/pedalaman. Sehingga pertanyaan penelitian kedua adalah, apakah pendidikan berbasis kearifan lokal tersebut sesuai untuk menjadi solusi alternatif pelaksanaan pendidikan pada masa pandemi di daerah pedalaman/pinggiran? Dari pengamatan awal kami, konsep pendidikan ini sesuai untuk diaplikasikan saat terdapat pandemi menular seperti COVID-19, apalagi karena mekanismenya memenuhi empat ketentuan proses belajar dari rumah yang tertera dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, yakni pertama memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa tanpa terbebani penuntasan kurikulum; ketentuan kedua, fokus pada pendidikan kecakapan hidup, yang menekankan pada keterampilan untuk beradaptasi; poin ketiga yakni aktivitas dan tugas disesuaikan dengan minat dan kondisi masing-masing siswa; terakhir, evaluasi siswa/ siswi bersifat kualitatif, bukan kuantitatif, sehingga laporan belajar bukan hanya dalam bentuk angka, melainkan penjelasan seberapa jauh murid memahami materi mereka. Empat Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 53

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq poin ketentuan tersebut tercermin dalam ide pendidikan sekolah alam berbasis kearifan lokal yang akan penulis jelaskan lebih jauh nantinya. Ide konsep pendidikan ini juga berfungsi sebagai solusi dalam mengatasi kurang efektifnya pendidikan di kala pandemi (Dwiastono, 2020). Pendidikan berbasis kearifan lokal ini sendiri bukanlah konsep baru. Terdapat istilah etnopedagogi dalam dunia pendidikan. Etnopedagogi adalah sebuah konsep pendidikan di mana pengetahuan atau kearifan lokal diakui sebagai sebuah fakta, sumber inovasi, dan keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber pengetahuan masyarakat (Alwasilah, 2009). Dalam komunitas adat, praktik pendidikan yang berdasarkan atas pengetahuan atau kearifan lokal juga berkembang. Perkembangan pendidikan berbasis kearifan lokal dalam komunitas masyarakat adat ini utamanya dilaksanakan sebagai alternatif atas sulitnya akses terhadap pendidikan formal di beberapa wilayah pedalaman di Indonesia (Latowa, 2014). Sebelumnya, kajian yang mengangkat mengenai model pendidikan berbasis kearifan lokal ini pun telah ada. Beberapa di antaranya ialah Ruyadi (2010) dalam tulisan ilmiah berjudul Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal (Masyarakat Adat Kampung Benda Kerep Cirebon) membahas mengenai penerapan pendidikan karakter di SD Lebak Ngok yang didasarkan pada kearifan serta nilai-nilai lokal, di mana asas kepatuhan kepada kyai yang merupakan teladan dan sesepuh dalam masyarakat adat, menjadi fokus dari pendidikan karakter tersebut. Kemudian ada penelitian dari Utari dkk (2016) dengan judul Pembelajaran Tematik Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah Dasar dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang membahas mengenai peran dari nilai-nilai kearifan lokal dalam menghadapi MEA melalui pembelajaran tematik di tingkat sekolah dasar. Kemudian ada Shufa (2018) dengan penelitian yang berjudul Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah Dasar: Sebuah Kerangka Konseptual, yang membahas mengenai identifikasi potensi daerah, penentuan tujuan dan fungsi, penentuan kriteria dan bahan kajian, serta penyusunan rencana pembelajaran. Beranjak dari kajian-kajian terdahulu mengenai pendidikan berbasis kearifan lokal tersebut, maka kebaharuan yang dibawa oleh kajian ini adalah pada pelaksanaannya di kala pandemi, mulai dari bagaimana teknis pelaksanaannya, materi apa yang diajarkan, serta bagaimana model evaluasinya. Metode Penelitian Topik ini akan penulis kaji dengan jenis kajian kualitatif, yakni sebuah kajian di mana penulis berusaha menganalisis hubungan antar-fenomena dengan mengandalkan data-data sekunder non-numerik dalam proses membangun argumen, tujuannya adalah untuk menemukan makna atau sebuah pola dari suatu fenomena sosial (Babbie, 2008). Di sini penulis mengambil data dengan teknik pengumpulan data studi literatur dan wawancara mendalam yang dilakukan pada bulan Juni hingga September 2020. Studi literatur yakni memanfaatkan berbagai dokumen seperti jurnal hasil penelitian dari beberapa lembaga seperti the SMERU Research Institute, buku, artikel ilmiah misalnya dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kemudian berita-berita media daring yang bisa dipertanggungjawabkan, 54 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital serta laporan atau dokumen penelitian yang terpercaya seperti data Badan Pusat Statistik dan Kemendikbud. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara mendalam dengan media telepon dengan narasumber yakni Pariyono, S.Pd., selaku kepala sekolah SMK Plus Pasawahan yang menerapkan pendidikan kearifan lokal di sekolahnya. Analisis data yang telah penulis dapatkan dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif dengan tahap bekerja dengan data, mengorganisasikan data yang kemudian dipilah, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, kemudian memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain (Bogdan & Biklen dalam Bungin, 2008). Penulis akan menggunakan teori, pendekatan, ataupun konsep yang menjadi acuan kerangka dasar penelitian dilakukan (Bungin, 2008). Hal ini karena dalam penelitian kualitatif, teori memainkan peran penting dalam melakukan analisis terhadap data dan informasi (Babbie, 2008). Penulis akan menggunakan 3 landasan teori atau landasan konseptual dalam kajian ini, yakni Kesenjangan Digital (Digital Divide), Kearifan Lokal (Local Wisdom), dan Kebijakan Pembangunan Pendidikan. Kerangka Teori Kesenjangan Digital (Digital Divide) Kesenjangan digital (digital divide) adalah teori yang menjelaskan suatu fenomena di mana terjadi disparitas dalam hal akses teknologi informasi di antara penduduk pada suatu wilayah (Ragnedda, 2019). Fenomena ini bisa dikatakan sebagai fenomena baru sehubungan dengan kemunculannya yang terjadi setelah adanya digitalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Mengingat kesenjangan digital adalah sebuah fenomena baru yang terjadi dalam masyarakat, definisi yang muncul pun beragam dan masih terdapat perdebatan. Apalagi studi mengenai kesenjangan digital bersifat multidisiplin dan mencakup konteks yang luas. Istilah digital divide sendiri mulai muncul pada tahun 1990- an, dan mulai digunakan untuk menganalisis suatu fenomena pada tahun 1995 oleh Moore untuk membedakan antara perilaku pesimisme dan euforia dalam penggunaan teknologi. Kemudian pada tahun 1996, istilah ini digunakan kembali oleh Gore untuk menjelaskan suatu fenomena dimana terdapat perbedaan kesempatan di antara para siswa untuk mengakses dan menggunakan personal computer di sekolah (Ragnedda, 2019). Hingga pada akhirnya, istilah digital divide ini digunakan dengan cakupan yang lebih luas lagi oleh Larry Irving, seorang pegawai di National Telecommunications and Information Administration (NTIA), sebuah badan pemerintah Amerika Serikat dibawah United States Department of Commerce yang berfokus pada analisis dan pembentukan kebijakan bidang telekomunikasi, untuk menjelaskan adanya ketimpangan dalam mengakses teknologi informasi dan komunikasi dalam masyarakat. Irving mengadakan studi empiris untuk membuktikan bahwa kesenjangan digital adalah sesuatu yang benar-benar terjadi di Amerika Serikat, di mana kemudian istilah kesenjangan digital tersebut pada akhirnya dikreditkan kepadanya (Asmelash, 2019). Sejak saat itu, isu ini dianggap sebagai bagian dari isu kebijakan di Amerika Serikat. Meskipun studi tersebut dilakukan di Amerika Serikat, namun kesenjangan digital merupakan Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 55

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq fenomena global yang juga terjadi di negara lain seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Encyclopedia of Political Communication, kesenjangan digital terbagi dalam dua level, yakni kesenjangan dalam hal akses (first level digital divide) serta kesenjangan dalam hal penggunaan internet dan komputer (second level digital divide) (Kaid & Holtz-Bacha, 2008). Kesenjangan tersebut dapat terjadi dalam cakupan wilayah berikut: (1) antara negara berkembang dengan negara maju (global divide), (2) antar-kelompok penduduk dengan latar belakang sosialekonomi berbeda di suatu negara (social divide), dan (3) antar-pengguna dengan latar belakang/keterlibatan politik virtual yang berbeda, atau dengan kata lain pengguna internet memanfaatkannya untuk beraktivitas politik atau tidak (democratic divide) (Kaid & Holtz-Bacha, 2008). Selain dua level tersebut, Ragnedda mengungkapkan bahwa kesenjangan digital juga terbagi menjadi tiga level. Level pertama (first level digital divide) didefinisikan sebagai kesenjangan akses fisik terhadap internet; kemudian level kedua (second level digital divide) didasarkan pada perbedaan tujuan penggunaan internet, kemampuan digital, serta dukungan dan tujuan penggunaan internet; dan kesenjangan digital level ketiga (third level digital divide) adalah kesenjangan dalam hal kemampuan untuk memanfaatkan atau mengubah sumber daya digital, salah satunya internet, untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan nyata seperti sosial dan ekonomi (Ragnedda, 2019). Perspektif kesenjangan digital menganggap bahwa, masyarakat tersekat menjadi dua kelompok, yakni kelompok masyarakat yang tersentuh akses teknologi informasi, dan kelompok masyarakat yang tidak tersentuh akses teknologi informasi dan komunikasi. Kesulitan akses ini juga disebabkan oleh tingginya biaya untuk membangun infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Berdasarkan penuturan Ragnedda tersebut, penyebab dari adanya kesenjangan digital ini beragam dan berhubungan dengan aspek sosio-demografi, seperti misalnya letak geografis, pendapatan, pekerjaan, usia, level pendidikan, bahkan hingga aspek etnis, gender, dan latar belakang keluarga (Ragnedda, 2019). Jika dilihat dalam realitas, kesulitan akses atas internet dan teknologi informasi memang disebabkan oleh faktorfaktor di atas. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah mengatakan bahwa akses terhadap internet berperan penting untuk menyelesaikan tantangan ekonomi dan sosial yang akan terjadi dalam masyarakat, dan berperan untuk mendukung pembangunan (Ragnedda, 2019), sehingga kesenjangan digital merupakan suatu masalah yang dapat menghambat pembangunan tersebut. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan kearifan lokal merupakan pengetahuan dasar yang dihasilkan dari kehidupan seimbang 56 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital dengan alam. Kearifan/kebijaksanaan ini bisa bersifat abstrak dan konkret, tetapi karakteristik penting adalah datang dari pengalaman atau kebenaran yang diperoleh dari kehidupan. maupun keluarga. Dalam hal ini, masyarakat dan keluarga juga memiliki peran sebagai agen pendidikan sesuai dengan konsep tri pusat pendidikan di samping sekolah formal yang Kebijaksanaan dari pengalaman nyata digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan mengintegrasikan tubuh, roh dan lingkungan. Ini menekankan rasa hormat terhadap orang tersebut memperhatikan beberapa hal yakni: (1) segala syarat dan usaha yang dilakukannya yang lebih tua dan kehidupan pengalaman harus sesuai dengan kodrat keadaannya; mereka. Selain itu, ia lebih menghargai moral daripada materi (Nakorntap dalam Mungmachon, 2012). Sedangkan Meliono (2011) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah (2) kodrat keadaan tadi tersimpan dalam setiap adat masing-masing rakyat; (3) adat istiadat itu tidak terlepas dari pengaruh alam dan zaman, karena itu selalu berubah hasil dari proses panjang pengembangan bentuk, isi, dan iramanya. Ki Hajar Dewantara pengetahuan dari berbagai etnis dan budaya menekankan pentingnya terus hidup dalam yang diakumulasikan dan dilestarikan. kesenian, peradaban, dan keagamaan, Dengan keberagaman etnis dan budaya atau terdapat dalam cerita legenda, mitos, di Indonesia, setiap daerah dapat memiliki dongeng, babad, dan sebagainya. Semua itu kearifan lokal yang berbeda. Pengetahuan ini dapat berupa abstrak maupun konkret yang kebenarannya telah teruji dari waktu ke waktu dalam keseharian masyarakat. Misalnya dalam masyarakat petani Jawa yang mengenal kearifan lokal tentang pranoto mongso untuk adalah kekayaan nasional yang tersimpan dalam bangsa kita (Kumalasari, 2010). Dengan konsep pendidikan tersebut, pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa yang berbasis pada kearifan lokal. Kearifan lokal di setiap daerah bisa mengenali musim dalam proses bertani. saja berbeda tergantung kondisi alam, Berbeda dengan masyarakat Bali sosial, dan budaya masyarakatnya. Adanya yang memiliki kearifan lokal Subak sebagai pendidikan berbasis kearifan lokal dapat organisasi yang mengatur masalah irigasi membentuk eksistensi pribadi dan citra diri dalam proses bertani. Di Sumatera Utara, atau etnis di Indonesia (Meliono, 2011). Hal masyarakatnya memiliki kearifan lokal yang tersebut menjadi berharga bagi Indonesia berbeda terkait proses bertani, yakni tradisi Bondang. Bondang merupakan konsep bertani yang menggunakan cara-cara tradisional dan tidak menggunakan bahan kimia untuk menjaga keseimbangan alam. Kearifan lokal ini menjadi sebuah sistem makna pada masyarakat komunal alih-alih individual dan menjadi proses sosial (Meliono, 2011). sebagai negara multikultural dan plural, ditambah dengan pengaruh globalisasi di mana dominasi kebudayaan negara lain mulai masuk ke Indonesia dan mengikis nilai-nilai kearifan lokal yang telah hidup di masyarakat. Serta, dengan adanya pendidikan kearifan lokal, peserta didik dalam hal ini dapat memperkenalkan nilai-nilai tersebut ke kancah global alih-alih meninggalkannya. Kearifan lokal sebagai sebuah pengetahuan berharga diajarkan secara nontertulis dan turun-temurun dalam masyarakat Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 57

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq Kebijakan Pembangunan Pendidikan Pembahasan pada sub-bab ini akan penulis gunakan sebagai dasar pemahaman kebijakan pembangunan pendidikan di sebuah negara. Selain itu, bab ini juga akan membahas peran penting untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas sebagai kewajiban aktor kesejahteraan untuk seluruh warga negara. Juga pembahasan terkait masalah pendidikan yang sering terjadi di negara berkembang sebagai gambaran terkait kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. Kebijakan merupakan posisi atau sikap yang dikembangkan untuk merespons suatu masalah atau diarahkan untuk tujuan tertentu (Harman dalam Bell dan Stevenson 2006). Sedangkan pembangunan merupakan proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan (well-being). Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan lewat kebijakan sosial tercermin dalam lima bidang utama (the big five), yakni bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial, dan pekerjaan sosial (Midgley, 2014). Dalam negara kesejahteraan, pembangunan sosial di kelima bidang tersebut menjadi tanggung jawab aktor negara, swasta, dan masyarakat itu sendiri untuk didistribusikan kepada seluruh warga negara. Penganut developmentalism percaya bahwa perencanaan pembangunan sosial yang seimbang dengan pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendistribusikannya secara adil. Pembangunan menjadi pendekatan untuk mengubah kondisi sosial yang timpang dan kemiskinan yang sering diasosiasikan terjadi di negara-negara berkembang. Di antara kelima bidang utama pembangunan sosial, kebijakan pendidikan berperan penting dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai bagian dari pembangunan sosial, pembangunan pendidikan dapat mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di sebuah negara. Misalnya masalah kemiskinan yang menjadi lingkaran setan, dapat diputus dengan kualitas pendidikan yang baik. Kemajuan pendidikan akan menentukan terciptanya modal manusia (human capital) yang berkualitas. Teori tentang human capital menekankan pentingnya pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan lain yang dapat diperoleh dari pengasuhan anak prasekolah, berbagai jenis pendidikan formal, dan kesehatan. Sejak perang dunia kedua, negara-negara di dunia mulai menyadari pentingnya human capital terhadap perekonomian, sehingga negara-negara mulai mengarahkan sumber daya untuk pendidikan formal (Midgley, 2014). Telah kita ketahui bahwa kemiskinan dan ketimpangan tidak mutlak terjadi karena faktor individu, namun pelaksanaan sistem ekonomi, politik, maupun budaya yang timpang di sebuah negara dapat memperbesar ketimpangan dan kemiskinan. Human capital selain digunakan untuk memproduksi kekayaan, juga dapat membuka akses pada berbagai sistem dan gerakan sosial sehingga dapat memperbaiki taraf hidup manusia (Bell & Stevenson, 2006). Dengan pendidikan yang baik, tujuan pembangunan sosial untuk menciptakan perubahan menuju kondisi yang lebih baik, kesetaraan, kemajuan, dan keadilan sosial dapat tercapai. Pendidikan merupakan hak setiap insan, hal tersebut pun telah dijamin bagi warga negara Indonesia melalui Undang- Undang Dasar. Bentuk konkretnya adalah 58 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital kebijakan wajib belajar 12 tahun. Meskipun begitu, perbedaan latar belakang ekonomi, geografis, dan kelas dalam menggunakan akses pemanfaatan pendidikan terus menjadi masalah dalam dunia pendidikan, bahkan di negara maju. Stone dalam Midgley 2014) melaporkan bahwa perbedaan akses pemanfaatan pendidikan di Amerika berkaitan dengan etnis dan imigran. Bahkan akses pendidikan formal juga dipengaruhi kuat oleh tingkat pendidikan dan gender. Perbedaan ini pun semakin menonjol antara daerah pusat dan daerah pinggiran. Midgley (2014) menyatakan bahwa permasalahan pendidikan ini berkaitan erat dengan biaya dan tata kelola. Dengan adanya otonomi daerah di Indonesia, kebijakan pembangunan pendidikan sangat dipengaruhi oleh alokasi anggaran di setiap daerah itu sendiri. Bukan hanya terkait anggaran pembangunan pendidikan, namun juga sarana penunjang seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan akses internet, dan sebagainya. Hasil Keadaan Pendidikan dan Kesenjangan Digital di Indonesia Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, pendidikan memiliki peran penting dalam membangun sumber daya manusia dan menjadi target utama program pembangunan. Kualitas pendidikan yang baik akan menentukan kemajuan suatu negara. Pendidikan pun digunakan sebagai salah satu indikator dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hak memperoleh pendidikan ini dimiliki oleh seluruh warga negara dan dijamin dalam Undang-Undang, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, pemerintah Negara Indonesia menyelenggarakan sistem pendidikan nasional di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kemudian penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tersebut perlu dinilai untuk melihat kondisi dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Dalam publikasi Badan Pusat Statistik yang berjudul Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan 2016, kondisi dan perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek, yakni fasilitas pendidikan dan peserta didik, partisipasi pendidikan, kegiatan di luar jam sekolah, serta hasil dan capaian proses pendidikan (Badan Pusat Statistik, 2016). Berkaitan dengan topik dalam artikel ini, penulis akan memusatkan pembahasan yang berkaitan dengan fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan dapat berupa sarana dan prasarana yang menunjang proses belajarmengajar. Adanya peningkatan jumlah siswa dari tahun ke tahun harus disertai dengan pertambahan fasilitas sekolah. Meskipun pertumbuhan sekolah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun kondisi ruang kelasnya mayoritas rusak ringan/sedang (Badan Pusat Statistik, 2016). Dalam kasus yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan terkait jumlah fasilitas pendidikan di Pulau Jawa dan luar Jawa. Pada peta tematik sebaran sekolah di Indonesia pada jenjang SD, Jawa memiliki kerapatan yang sangat tinggi berbanding lurus dengan kepadatan penduduknya. Berbanding terbalik dengan Pulau Papua dan Pulau Kalimantan bagian utara yang tingkat kerapatannya sangat rendah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah sekolah di Pulau Jawa jauh lebih banyak dari sekolah di luar Jawa. Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 59

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq Sehubungan dengan fasilitas pembelajaran jarak jauh, merujuk pada datadata yang penulis rangkum dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat ketimpangan berkaitan dengan akses internet, telepon genggam, dan komputer antara siswa di satu daerah dengan siswa di daerah lain yang berbeda. Dari data tersebut, terlihat adanya perbedaan pada siswa di perkotaan dan pedesaan dalam hal akses internet. Dari data Susenas tahun 2018 persentase siswa yang mengakses internet di daerah perkotaan lebih tinggi daripada di daerah pedesaan, perbandingannya adalah 63,04% berbanding 39,60% (Badan Pusat Statistik, 2018). Pada tahun 2019, persentase siswa yang menggunakan internet di perkotaan sebesar 62,51% sedangkan di pedesaan sebesar 40,53% (Badan Pusat Statistik, 2019). Tentu saja angka ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian keluarga dalam penyediaan fasilitas internet. Selain itu, fasilitas teknologi dan perkembangan internet di perkotaan juga lebih pesat jika dibandingkan dengan pedesaan (Badan Pusat Statistik, 2018). Dari data tersebut, kita dapat melihat salah satu dampak nyata dari permasalahan kesenjangan digital dalam bidang pendidikan di Indonesia. Dampak dari permasalahan ini semakin terasa manakala pembelajaran jarak jauh harus dilaksanakan demi meminimalisir penularan COVID-19. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang sedang berusaha melakukan pemerataan fasilitas dan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, karena masih belum merata di tiap daerah dan indeks pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (IP-TIK) Indonesia juga masih menunjukkan angka yang rendah. Secara nasional, dari rentang skala 0-10, pada 2018 IP-TIK Indonesia masih berada di angka 5,07, atau berada pada kategori sedang. Angka ini merupakan peningkatan dari tahuntahun sebelumnya di mana pada 2017 IP-TIK Indonesia berada di angka 4,96 (Badan Pusat Statistik, 2019), pada 2016 mencapai 4,34; dan tahun 2015 hanya berada di angka 3,88 (Andreas, 2017). Secara global, pembangunan IP-TIK Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Dari 176 negara di dunia, Indonesia hanya berada pada peringkat 114 pada tahun 2015 dan naik menjadi peringkat 111 pada tahun 2016 dalam hal pembangunan teknologi informasi dan komunikasinya. Peringkat ini masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina; Indonesia hanya unggul dari Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar (Andreas, 2017). Jika dilihat dari angka IP-TIK per daerah/ provinsi, pembangunan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia masih dapat dikatakan belum merata. Menurut data terakhir, pada tahun 2018, dari 34 provinsi di Indonesia, terdapat 16 provinsi dengan IP- TIK kategori sedang, sedangkan 18 sisanya masih masuk dalam kategori rendah, di mana angka tertinggi dipegang oleh DKI Jakarta (7,14), lalu pada posisi kedua ditempati oleh DI Yogyakarta (6,66), dan posisi ketiga ialah Bali (6,23). Kemudian 3 provinsi terbawah, ialah Kalimantan Barat yang menduduki peringkat 32 (4,14), kemudian Nusa Tenggara Timur berada di posisi 33 (3,77), dan peringkat terakhir adalah Papua (3,30) (Badan Pusat Statistik, 2019). 60 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital Kondisi Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia menggunakan lebih dari satu metode Laporan survei dari The SMERU pembelajaran dan mengoptimalkan Research Institute (2020) dengan judul penggunaan internet untuk memperkaya Analisis Awal Terhadap Faktor Ketimpangan materi pembelajaran sedangkan pada guru Dalam Pembelajaran Jarak Jauh di Tingkat dengan kompetensi rendah cenderung hanya Sekolah Dasar mendapati bahwasanya terjadi menggunakan satu metode pembelajaran ketimpangan dalam metode pembelajaran bahkan ada yang tidak mengajar sama sekali jarak jauh yang diterapkan oleh pemerintah guna menekan penyebaran virus SARSselama penerapan pembelajaran jarak jauh. Sedangkan dalam metode penilaiannya, guru COV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome dengan kompetensi tinggi bahkan melibatkan Coronavirus 2), dampak negatif ketimpangan orangtua murid untuk berdiskusi dan ini sebagian besar dirasakan oleh murid dari luar Jawa, masih menurut laporan tersebut hal berdialog terkait pemberian nilai terhadap murid, sedangkan untuk guru berkompetensi ini disebabkan oleh beberapa faktor utama rendah hal tersebut jarang dilakukan. Adanya yakni akses terhadap alat komunikasi oleh perbedaan kualitas guru dalam menyampaikan murid, serta infrastruktur jaringan di daerah materi pembelajaran cenderung menambah tempat tinggal guru dan murid yang tidak ketimpangan kualitas pembelajaran, ditambah memadai (Bima, 2020). lagi kebanyakan guru dengan kualitas tinggi berada di pulau jawa. Kondisi ekonomi keluarga menyebabkan banyak anak tidak dapat mengikuti Selain dari laporan survei, terdapat pula pembelajaran online karena tidak memiliki penelitian yang dilakukan The SMERU Research perangkat elektronik baik smartphone, Institute (2020) dengan judul Belajar Dari maupun televisi. Seringkali orang tua harus Rumah : Potret Ketimpangan Pembelajaran berhutang untuk membeli smartphone agar anaknya dapat mengikuti PJJ. Bahkan terdapat Pada Masa Pandemi COVID-19 yang secara garis besar menguatkan analisis dari hasil kasus pencurian handphone di Garut demi survei sebelumnya dan juga menambah anaknya agar bisa belajar (Supriadi, 2020). beberapa fakta terkait faktor yang menjadi Tak jarang, siswa harus meminjam handphone milik tetangga untuk bisa mengikuti PJJ. Pada masyarakat yang dapat memiliki gawai pun, PJJ tersebut terhambat dengan sinyal yang tidak kendala dalam proses pembelajaran jarak jauh yakni pertama guru senior yang gagap teknologi, kedua ketimpangan bantuan pulsa/ kuota internet antara guru di pulau jawa dan memadai. Pada akhirnya, guru memberikan luar pulau jawa, ketiga minimnya pelatihan toleransi pada siswa yang tidak mengikuti penggunaan aplikasi belajar daring untuk guru kegiatan belajar dan tidak mengerjakan tugas karena tidak memiliki gawai. di daerah luar pulau jawa, keempat orangtua dengan latar belakang pendidikan rendah dan tinggal di daerah pedesaan cenderung kurang Selain itu terdapat faktor lain yang bisa berperan menjadi guru pengganti bagi meningkatkan ketidakefektifan pembelajaran anaknya, kelima kesibukan dan rendahnya jarak jauh yakni penggunaan metode perhatian orang tua murid selama masa pembelajaran oleh guru, di mana pada pembelajaran jarak jauh (Alifia dkk., 2020). guru dengan kompetensi tinggi berusaha Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 61

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq Hasil survei dan penelitian tersebut mengindikasikan bahwa masih belum efektifnya penerapan pembelajaran jarak jauh yang diterapkan oleh pemerintah ditambah masih tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi yang tercermin dari IP-TIK di mana daerah-daerah dengan IP-TIK rendah kebanyakan ada di daerah luar pulau Jawa sehingga meningkatkan ketimpangan kualitas pendidikan yang bahkan sebelum adanya pandemi sudah terjadi di Indonesia seperti yang telah penulis bahas sebelumnya. Maka oleh karena itu diperlukan sebuah metode pembelajaran dan pendidikan yang mampu mengatasi ketimpangan tersebut khususnya untuk peserta didik di luar pulau jawa yang minim infrastruktur dan kualitas guru selama masa pandemi ini, dan menurut penulis konsep pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi solusi yang tepat untuk diterapkan. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia Berkaitan dengan pendidikan berbasis kearifan lokal, di masyarakat Sasak, terdapat kearifan lokal yang mensakralkan waktu magrib atau sandi kale. Hal ini masih berkaitan erat dengan kedekatan masyarakat Lombok kepada budaya masyarakat Bali yang percaya bahwa Bhatara Kala akan memangsa orangorang yang melakukan aktivitas pada saat pertemuan waktu (sandi kala). Mereka percaya bahwa sandi kala merupakan saat yang tepat melakukan Puja Tri Sandhya, japa mantra, dan yoga (Dayuh, 2017). Kemudian, masyarakat Sasak memodifikasi waktu sandi kale ini menjadi jam belajar anak atau Magrib mengaji. Kegiatan tersebut dilakukan secara berkelompok di setiap kampung. Dan di masa pandemi ini, kelompok tersebut dipecah menjadi beberapa kelompok kecil di rumahrumah. Dengan begitu, meskipun kegiatan belajar di sekolah ditiadakan, anak-anak masih tetap dapat belajar secara aman di lingkungannya. Kebudayaan lain di masyarakat Sasak yang syarat dengan nilai pendidikan adalah lelakaq atau pantun berbahasa Sasak. Lelakaq memiliki fungsi sosial yang cukup signifikan terutama sebagai media untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai etika dan budaya. Lelakaq biasanya dibaca secara berbalas antara mudamudi atau sesama orang tua pada waktu panen padi, sebagai penyemangat dalam bekerja dan sebagai media bagi muda-mudi untuk menyampaikan isi hatinya (Hamid, 2019). Anak-anak pun belajar tentang lelakaq dari orang tua di sekitar mereka. Kemudian mereka menggunakannya sambil bermain bersama teman-teman sebaya. Lelakaq telah menjadi pendidikan yang berbasis kearifan lokal di masyarakat Sasak sejak dulu. Namun, seiring berkembangnya zaman, penggunaan lelakaq dalam kehidupan sehari-hari sudah berkurang. Padahal hal ini dapat menjadi alternatif belajar siswa di masa pandemi. Isi dari lelakaq dapat disesuaikan dengan kondisi saat ini, misalnya berkaitan dengan protokol kesehatan, menjaga kebersihan, saling menolong di masa sulit, dan bahkan materi sekolah. Selain masyarakat Sasak, beberapa masyarakat di wilayah lain juga memiliki model pendidikan yang didasarkan pada kearifan lokal. Beberapa masyarakat adat di Indonesia memiliki sistem pendidikan mereka sendiri yang mengacu pada budaya dan warisan leluhur, hal tersebut mereka namai sebagai pola pendidikan adat atau sekolah adat. Dalam masyarakat adat, terdapat pembagian kerja 62 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital yang didasarkan pada keahlian seseorang sebagai anggota kelompok/masyarakat. Ada yang bertugas menentukan musim tanam dalam pertanian, membaca perbintangan, membaca arah angin, mengurus hal terkait hukum dan kepemimpinan, serta masih banyak lagi. Pembagian tugas tersebut sama halnya dengan profesi. Pembagian-pembagian tugas tersebutlah yang akan diperkenalkan kepada anak-anak yang mendapatkan pola pendidikan adat. Setiap anak dapat mempelajari berbagai macam peran atau keahlian, kemudian mereka akan diberikan kebebasan dalam memilih peran mana yang ingin mereka tekuni (Manalu, 2020). Salah satu contoh pendidikan adat bisa kita temui di Rumah Belajar Sianjur Mula-mula, sebuah rumah belajar bagi anakanak suku Batak Toba yang mengajarkan tentang wawasan kebangsaan, kebudayaan, serta alam sekitar (Karokaro, 2018). Selain itu, pendidikan adat juga tercermin dalam pola pendidikan alternatif yang dibentuk oleh beberapa komunitas adat di beberapa daerah, misalnya adalah Skola Lipu di Komunitas Tau Taa Wana yang tinggal di kawasan hutan belantara Sulawesi Tengah (Latowa, 2014). Dalam masyarakat adat, pola pendidikan alternatif merupakan sebuah pola pendidikan di mana masyarakat mengangkat unsur pengetahuan lokal dalam kegiatan belajar-mengajar. Seperti namanya, pola pendidikan alternatif bukanlah termasuk dalam sistem pendidikan formal. Kegiatan belajarmengajar bersifat fleksibel, bisa dilakukan di mana pun, bisa di rumah, lingkungan keluarga, di kebun, dan di alam sekitar. Pola pendidikan alternatif ini juga disesuaikan dengan potensi dan karakteristik lingkungan. Tujuan utama dari pola pendidikan alternatif dalam masyarakat adat ini adalah untuk melestarikan kearifan lokal suatu komunitas adat sekaligus memfasilitasi komunitas adat yang tidak dapat menempuh pendidikan formal dikarenakan lokasi yang terpencil dan akses yang sulit (Latowa, 2014). Selain Komunitas Tau Taa Wana di Sulawesi Tengah, pendidikan alternatif juga dilakukan oleh Suku Bajo. Karena kedekatannya dengan laut atau kawasan perairan, dan di sisi lain akses ke sekolah formal cukup sulit, Suku Bajo memiliki pola pendidikan alternatif mengenai kemaritiman yang mereka ciptakan sendiri, yang dinamai sekolah on-off. Sekolah on-off ini adalah sekolah non-formal yang memungkinkan siswa untuk melaut jika cuacanya sedang bagus, namun jika cuacanya buruk mereka akan kembali bersekolah. Pola pendidikan tersebut membuat anak-anak Suku Bajo memahami bagaimana proses dan kegiatan melaut, namun di sisi lain juga memungkinkan anak-anak Suku Bajo menyerap ilmu yang mereka dapatkan dari sekolah (Sutrisno, 2015). Sekolah Berbasis Kearifan Lokal: SMP dan SMK Plus Pasawahan Untuk mendalami penerapan pendidikan berbasis kearifan lokal, penulis melakukan wawancara dengan kepala sekolah SMP dan SMK Plus Pasawahan yang telah menerapkan pendidikan berbasis kearifan lokal dalam kurikulumnya. Kearifan lokal yang difokuskan di SMP dan SMK Plus Pasawahan adalah potensi alam di sektor pertanian karena masyarakat di sana mayoritas berprofesi sebagai petani. Sejarah pendirian SMP dan SMK Plus Pasawahan ini berangkat dari fakta bahwa banyak anak dari petani di daerah tersebut tidak mengenyam pendidikan. Kemudian lembaga swadaya masyarakat Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 63

Inas Mufidatul Insyiroh, Ela Puji Hariani, Syahrul Mubaroq di sana yakni Serikat Tani Pasundan (STP) bersama masyarakat setempat membangun SMP pada tahun 2004 dan SMK jurusan pertanian pada tahun 2008 yang dinaungi oleh Yayasan Petani Pasundan Indonesia. Oleh karena dibangun dengan dana swadaya masyarakat, sekolah ini tidak memungut biaya dari muridnya. Kemudian kebutuhan guru dan operasional dipenuhi dari usaha pertanian yang dilakukan di sana. Sekolah ini telah menjadi pelopor bagi pendidikan gratis pada masanya sebelum adanya program dana bantuan operasional sekolah (Pariyono, 2020). Pada sistem pembelajaran untuk jenjang SMP dilakukan dengan dua metode yakni 40% merupakan pembelajaran di dalam kelas dan 60% pembelajaran di luar kelas. Basis kearifan lokal dalam pembelajaran terlihat ketika pembelajaran diluar kelas, siswa akan diajak untuk mengobservasi alam sekitarnya dan dihubungkan dengan mata pelajaran dari kurikulum nasional. Selain itu, sekolah ini juga mengajarkan muatan lokal berupa mata pelajaran Sejarah Geografi Agraria Priangan (SGAP) yang dikembangkan oleh yayasan dan organisasi serikat. Di dalamnya terdapat nilainilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat selama ini. Dengan begitu, siswa akan lebih memahami lingkungan sekitarnya. Selain berbagai pengetahuan akademik, siswa juga akan diberikan bekal berupa softskill tentang critical thinking, berorganisasi, dan turut aktif berkegiatan di masyarakat. Kemudian, pada tahun 2008 sekolah menengah kejuruan dengan jurusan pertanian dibangun untuk mengakomodir siswa lulusan SMP Plus Pasawahan yang tidak memiliki biaya dan ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sistem pembelajaran yang diajarkan di sekolah ini memiliki porsi 40% pembelajaran dalam kelas dan 60% pembelajaran di luar kelas. Pembelajaran di luar kelas ini dilakukan dengan praktik langsung bersama masyarakat. Selain pembelajaran mata pelajaran dari kurikulum nasional, sekolah ini juga mengajarkan muatan lokal seperti pada jenjang SMP yakni SGAP serta metode pertanian lokal (Pariyono, 2020). Contoh metode pertanian lokal yang diajarkan adalah pranatamangsa yakni sistem kalender bercocok tanam yang memuat waktu yang tepat untuk menanam tanaman tertentu, dan metode pertanian organik yang diturunkan dari leluhur. Tidak hanya diajarkan untuk bertani, siswa juga dituntut untuk dapat menerapkan critical thinking, misalnya untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah desa, serta menganalisis isu nasional khususnya yang berkaitan dengan petani dan sektor pertanian. Kemudian, siswa juga akan diajak untuk berpolitik aktif dengan cara audiensi rutin dengan pemerintah desa. Audiensi ini berfokus untuk membahas penggunaan dana desa di sana dan mendiskusikan apakah penggunaannya berperan dalam mensejahterakan petani atau tidak. Dan untuk memberikan wawasan yang lebih luas pada siswa, sekolah secara rutin telah mengundang praktisi atau akademisi berbagai bidang untuk membagikan ilmunya (Pariyono, 2020). Sistem yang dijalankan di SMP dan SMK Pasawahan ini menjadi model penerapan pendidikan berbasis kearifan lokal diera modern. Pun di masa pandemi Covid-19, mereka berhasil beradaptasi dengan minimnya akses teknologi digital yang secara detail akan penulis bahas pada bab selanjutnya. 64 Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72

Diskusi Dari penjabaran data dan informasi yang telah kami lakukan pada sub-bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa kesenjangan digital di Indonesia adalah permasalahan yang nyata, imbasnya pun dapat terjadi di setiap sektor. Jika mengacu pada konsep kesenjangan digital maka Indonesia mengalami jenis kesenjangan digital yang berbeda-beda di setiap provinsi. Daerah yang masuk kategori terbelakang dan tertinggal mengalami kesenjangan digital, terutama dalam hal akses. Sedangkan daerah-daerah lain yang cukup dalam hal akses mengalami kesenjangan digital level dua yakni dalam hal penggunaan, serta kesenjangan digital level ketiga yakni pemanfaatannya untuk mendapatkan keuntungan yang bersifat nyata. Kesenjangan digital tersebut semakin terlihat nyata di masa pandemi Covid-19 dan berpengaruh besar dalam bidang pendidikan. Jika melihat data terkait potret pendidikan Indonesia pada bab Hasil, masalah pendidikan sebenarnya telah lama menjadi momok bagi Indonesia, akses pendidikan yang tidak merata serta kualitas yang timpang antara satu daerah dengan daerah lain, utamanya dalam konteks pusatpinggiran, belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Ketimpangan tersebut bahkan semakin terlihat manakala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kebijakan PJJ. Sebagian siswa tidak dapat berpartisipasi dan mendapatkan ilmu dengan layak karena tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber digital seperti internet, listrik, serta alat elektronik. Pun, bagi yang dapat berpartisipasi, masih ditemui kendala seperti kurangnya interaksi antara murid Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi Menghadapi Kesenjangan Digital Indonesian Journal of Social Development, Vol. 1, No. 1 (2020): 51-72 dan guru, tidak jelasnya materi, dan lain sebagainya. Kemudian alternatif pembelajaran baru penulis tawarkan adalah dengan menerapkan konsep pendidikan berbasis kearifan lokal. Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan hasil dimana pendidikan telah diterapkan di sekolah SMP dan SMK Plus Pasawahan, pendidikan berbasis kearifan lokal ini terinspirasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara dan mengadopsi konsep sekolah alam di mana melibatkan mekanisme yang memperkenalkan siswa dengan potensi daerah dan kearifan lokal tempat mereka tinggal. Konsep pendidikan ini memenuhi empat ketentuan proses belajar dari rumah yang tertera dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19, yang intinya adalah pemberian pengalaman belajar yang bermakna, fokus pada pembentukan kecakapan hidup, aktivitas dan tugasnya disesuaikan dengan siswa, dan evaluasi dilaksanakan secara kualitatif. Untuk semakin memberikan pemahaman terkait konsep pendidikan ini, kami akan membahasnya dengan jelas dalam sub-bab berikutnya. Penerapan Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal di Masa Pandemi Pada sub-bab ini, penulis akan memberikan salah satu contoh penerapan pendidikan berbasis kearifan lokal yang dilakukan selama masa pandemi oleh SMP dan SMK Plus Pasawahan. Kemudian penulis juga akan memaparkan bagaimana teknis mereplikasi dan menyempurnakan pelaksanaan pendidikan berbasis kearifan 65