ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN DALAM BINGKAI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. peradabannya sebagai dua hal yang saling berkaitan. Pendidikan tanpa orientasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I LANDASAN KURIKULUM AL-ISLAM, KEMUHAMMADIYAHAN DAN BAHASA ARAB DENGAN PARADIGMA INTEGRATIF-HOLISTIK

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan

KIAI WAHID HASYIM SANG PEMBAHARU PESANTREN. Oleh, Novita Siswayanti, MA. *

BAB I PENDAHULUAN. memiliki eksistensi yang lebih bermartabat. Pendidikan formal pada hakikatnya

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Pembangunan manusia

BAB IV ANALISA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDUL MALIK FADJAR. A. Analisis Pendidikan Islam Menurut Abdul Malik Fadjar

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Lia Nurul Azizah, 2013

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Manajemen Pendidikan Life Skills Santri di Pondok Pesantren Darul

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping

HAKIKAT PEMBELAJARAN IPS.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam

2015 KONTRIBUSI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERHADAP KEPEDULIAN SOSIAL DI KALANGAN SISWA SMA.

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan dalam era global menuntut berbagai perubahan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua aspek kehidupan manusia. Di satu sisi perubahan itu bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistematis untuk mewujudkan suatu proses pembelajaran agar siswa aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan jaman.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada sekat secara tidak langsung menciptakan batas batas moralitas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan atau Kurikulum Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkembang demikian

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh individu maupun masyarakat secara luas. teknologi telah melahirkan manusia-manusia yang kurang beradab.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terpisahkan dari proses demokratisasi negara. Pasca reformasi, semangat

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

2015 STUDI TENTANG PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN SANTRI AGAR MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BUPATI LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU NOMOR : TENTANG PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA

2015 PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL KE PUI AN PERSATUAN UMAT ISLAM SEBAGAI UPAYA MENANAMKAN KESADARAN SEJARAH

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU BERBASIS PENDIDIKAN NILAI. Prof.Dr.H.Sofyan Sauri, M.Pd

2015 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN CIPARI DESA SUKARASA KECAMATAN PANGATIKAN KABUPATEN GARUT TAHUN

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

I. PENDAHULUAN. individu. Pendidikan merupakan investasi bagi pembangunan sumber daya. aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Burhan Nurgiyantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, (Yogyakarta : BPFE, 1988), hlm. 1

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nana Sutarna, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam BAB I ini dipaparkan tentang : a. Konteks Penelitian, b. Fokus

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan degradasi moral. Mulai dari tidak menghargai diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrachman Mas ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 139.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

KERANGKA DASAR DAN STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM 2013 MUATAN LOKAL BAHASA JAWA

BAB I PENDAHULUAN. adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu

LAYANAN BIMBINGAN KONSELING TERHADAP KENAKALAN SISWA

BAB I PENDAHULUAN. membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab,

Transkripsi:

1 ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN DALAM BINGKAI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Kajian Fakta Peran Pendidikan Pesantren dalam Membangun Bangsa Bermartabat) Oleh: Lukman Hakim Abstrak Dalam terminologi UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, inti tujuan Pendidikan Nasional adalah tercapainya bangsa Indonesia yang bermartabat. Indikator bangsa yang bermartabat di antaranya adalah: beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan ruhani, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pondok pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional, melalui sistem pembelajarannya diakui memiliki kontribusi positif dalam mendukung tercapainya tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren dapat dijadikan lembaga pendidikan alternatif dalam mengimplementasikan sistem pendidikan nasional. Makalah ini berusaha mengkaji peran pesantren dalam membangun bangsa Indonesia yang bermartabat dalam bingkai sistem pendidikan nasional. Dengan melakukan kajian terhadap fakta dan literatur, kajian ini akan menghasilkan cara pesantren mendidik santrinya menjadi bangsa yang bermartabat. Abstract EDUCATION DEVELOPMENT DIRECTION PESANTREN IN NATIONAL EDUCATION SYSTEM FRAME (Education Character Fact Study Pesantren In Build Prestigious Nation) By: Lukman Hakim In terminology UU SISDIKNAS number 20 year 2003, national education aim kernel reached prestigious Indonesian. Prestigious nation indicator among others: believe in, pious, have a certain character noble, well body and spritual, capable, creative, self-supporting, democratic, and responsible. hovel Pesantren as subsistem national education, pass the study system is admitted has positive contribution in supports capainya national education aim. Therefore, education system pesantren can be made alternative education institution in implementation national education system. This working paper tries study character Pesantren in build prestigious Indonesian in national education system frame. With do study towards fact and literature, this study will produce manner Pesantren educate santri be prestigious nation. Kata Kunci Pendidikan Pondok Pesantren, Sistem Pendidikan Nasional, Tujuan Pendidikan Nasional, Bangsa Indonesia yang Bermartabat.

A. Pendahuluan Setiap bangsa di dunia ini, terkecuali di Indonesia, meletakkan pendidikan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan mutu kebudayaan dan peradabannya sebagai dua hal yang saling berkaitan. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dari nilai-nilai luhur. Sebaliknya, kebudayaan tanpa pendukung-pendukungnya yang sadar dan terdidik, pada akhirnya, akan memudar sebagai sumber nilai dan menjadi tak terhitungkan dalam perjalanan sejarah. Diketahui bahwa pendidikan nasional harus dilaksanakan berdasarkan landasan filosofi bangsa, yakni Pancasila, yang merupakan nilai-nilai luhur yang selalu disosialisasikan secara terus menerus oleh aparatur negara. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), hal itu dikemukakan secara tegas. Disebutkan bahwa inti tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang meliputi berbagai segi, termasuk iman dan taqwa. Dengan demikian, pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila berarti mengarah pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya masyarakat Indonesia seluruhnya, baik menyenangkut kecerdasan, budi pekerti, maupun keterampilan. Secara teoritis, urgensi pendidikan bagi suatu bangsa sebagaimana dikatakan oleh H.M.Arifin 1, disebabkan adanya beberapa potensi dalam setiap diri manusia, yakni potensi paedagogis, potensi psikologis, dan potensi sosiologis dan kultural. Secara paedagogis, manusia adalah makhluk yang dapat dan harus dididik. Bahkan, Langeveld merinci hal ini dalam tiga hakikat kemanusiaan, yakni makhluk yang dapat dididik (educable animal), makhluk yang harus dididik (animal educandum), dan makhluk yang di samping dapat dan harus dididik juga dapat dan harus mendidik (animal education). 2 Kemudian secara psikologis, manusia merupakan kesatuan pribadi yang utuh dan dipandang sebagai psycho-physics-netral, yakni memiliki kemandirian jasmani dan ruhani yang bisa dikembangkan melalui pendidikan. Dan secara sosiologis serta kultural, manusia adalah makhluk Tuhan yang merupakan bagian dari alam semesta. Dalam keadaan demikian, manusia memiliki watak dan potensi dasar untuk hidup bermasyarakat (homo socius). Selanjutnya, manusia juga akan membentuk kebudayaan (makhluk budaya). Secara implisit, hal ini menggambarkan adanya proses pendidikan yang berlangsung di lingkungannya. Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia 3, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan 2 1 H.M. Airifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hal. 24. 2 Dedi Djubaedi, Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah: Telaah Teoretis dalam Perspektif Pendidikan Nasional, dalam Marzuki Wahid, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 182. 3 Ahmad Syafii Ma arif, menyatakan apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana

pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang (primitif). Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa mendatang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir 4 menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan bangsa tersebut. Pernyataan M. Natsir tesebut merupakan indikasi tentang urgensi pendidikan bagi kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri mempunyai peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan, dan untuk menunjang perannya di masa datang. Hal ini terbukti dalam kehidupan sekarang, pendidikan tampil dengan daya pengaruh yang sangat besar dan menjadi variabel pokok masa depan manusia. Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instink, sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. 5 Oleh karena itu berbagai pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan proses budaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dan berlangsung sepanjang hayat. Apabila demikian, maka pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara, dan maupun pemerintah, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Republik ini. 6 Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, sejatinya pendidikan harus didesain 3 dapat dipahami, pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini. Penguasaan alam semesta, memberi contoh pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarga. 4 M. Natsir, Kapita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 77. 5 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Muslih Usa (editor), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 27. 6 Sujanto dan Djihad Hasyim, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III (Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa, 2000), hal. 17.

mengikuti perubahan tersebut, kalau tidak maka pendidikan akan ketinggalan zaman. Pendidikan dan masyarakat merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan. Hubungan keduanya (pendidikan dan masyarakat) adalah bersifat dialectic. Bagaimana agar pendidikan itu tidak hanya hanyut oleh dinamika perubahan, tetapi ia mampu memerankan dirinya sebagai agen perubahan itu sendiri. Adolphe E. Meyer sebagaimana dikutip oleh Imam Barnadib menyatakan bahwa antara pendidikan dan masyarakat itu saling merefleksi. Hubungan antara ke-duanya tidak bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik (simbiosis mutualis). Figerlind menyebut hubungan antara keduanya bersifat dialectic. 7 Bila itu yang terjadi, perubahan masyarakat akan membawa perubahan pendidikan, begitu sebaliknya, perubahan dalam pendidikan akan membawa perubahan masyarakat. Menurut Imam Barnadib, secara teoretik, masyarakat berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Secara simplistik, masyarakat akan bergerak dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri kemudian masyarakat informasi. Tiga tipologi masyarakat tersebut mempunyai kultur dan nilai-nilai yang berbeda. Masyarakat agraris merupakan masyarakat yang tradisional. Kultur yang paling menonjol adalah gotong-royong. Masyarakat industri mempunyai nilai dan kultur seperti kesenangan yang tertunda, perencanaan kerja masa mendatang, tunduk kepada aturan-aturan birokratis, pengawasan lebih banyak dilakukan daripada peng-arahan, rutinitas, sikap instrumental kepada kerja, kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan. Sedangkan dalam masyarakat informasi, masyarakat sudah begitu kompleksnya, antara negara sudah terjadi transparan sehingga dunia sudah mengglobal (global society). 8 Pelaksanaan pendidikan nasional, dalam kenyataannya, tentu saja dipadukan dengan program-program pembangunan di segala bidang, dengan titik berat antara lain: pertama, menekankan bahwa tujuan pendidikan nasional tidak hanya meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air; kedua, mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan rumah tangga serta mmasyarakat. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab masyarakat, baik perorangan maupun kolektif; ketiga, pendidikan harus lebih ditekankan pada cara menangkap ikan daripada semata-mata hanya memberikan ikan ; keempat, menggariskan agar setiap jenjang diintegrasikan pendidikan berfikir dengan pendidikan kemanusiaan, humaniora, yakni cabang-cabang studi yang berusaha menginterpretasikan makna hidup manusia di dunia, seperti falsafah, sejarah, bahasa dan sastra, seni, dan teologi. Dimaksudkan agar peserta didik 4 7 Imam Barnadib, Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan (Yogyakarta: FIP-IKIP. 1994), hal. 76-77. 8 Ibid, hal.78.

terbiasa berfikir tertib; kelima, meningkatkan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dan sekaligus mengarahkan pada kebutuhan pembangunan di segala bidang dengan sistem pembinaan yang mantap serta terpadu, khususnya pendidikan dasar serta pendidikan kejuruan. Dalam merespon kebijakan pemerintah tersebut, pesantren telah membuka diri dalam perkembangan perubahan sistem pendidikan. Namun menurut Azyumardi Azra 9, para eksponen pesantren cenderung lebih hati-hati dalam menjawab perubahan di sekelilingnya. Mereka tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam moderrn sepenuhnya, tetapi menerimanya dalam skala yang sangat terbatas, yakni sebatas melakukan penyesuaian yang mereka anggap akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, seperti sistim penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal. Oleh sebab itulah, mengapa pesantren tetap bertahan sampai sekarang. Derasnya arus modernisasi pendidikan Islam tidak dapat melunturkan sistem kelembagaan pesantren, tidak seperti sistem surau di Sumatera Barat yang tidak mampu bertahan setelah terjadi kontak dengan modernitas pendidikan Islam. Semakin hari jumlah surau semakin berkurang, dan bahkan sekarang ini istilah surau banyak digantikan dengan istilah pesantren. Semenjak pemerintah menitikberatkan pembangunan nasional kepada pembangunan pedesaan, pemerintah merasakan besarnya arti pesantren yang tumbuh di pedesaan. Di tingkat pedesaan, yang masyarakatnya sangat religius dan bertani, pesantren merupakan lembaga sosial keagamaan yang sangat efektif bagi masyarakat sekitarnya. Sebab, pesantren adalah pusat kegiatan spiritual. Sebagai masyarakat pertanian mereka membutuhkan kepemimpinan rohaniyah yang dapat menjaga keharonisan. Kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalat berjama ah di mesjid, slametan atau syukuran, melakukan upacara do a, kuliah agama yang berisikan nasehat-nasehat, berpuasa dan shalat taraweh bersama-sama di bulan Ramadhan dan berpesta Hari Raya Fitri dengan menabuh bedug atau kentongan di mesjid, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang mengisi dan memberi makna hidup pada masyarakat desa. Mereka juga membutuhkan pemimpin kepada siapa mereka patuh, meminta nasehat dan meminta keputusan terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Dalam hal ini, kyai yang memiliki ilmu agama mampu berfungsi sebagai pemimpin agama (informil) yang didambakan oleh masyarakat pesantren. 10 Dengan demikian, pesantren mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat sekitarnya. Jika dikembangkan dan dibina, pesantren bisa dijadikan sebagai pusat perubahan sosial dalam pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan pendapat Dawam Rahaardjo di atas, maka Mukti Ali merasakan perlunya pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran pesantren 9 Azyumari Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, Pengantar dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. xiv. 10 Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, dalam Dawam Rahardjo (Ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), hal. 9-10. 5

dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan nasional. Perubahan tersebut perlu dilaksanakan karena pesantren pada umumnya berada di luar kota atau berada di desa-desa, dan sebagian besar daripada santri adalah anak-anak petani. Oleh karena itu pesantren mempunyai kedudukan yang strategis sekali dalam kerangka pembangunan nasional. 11 Akan tetapi, sedikit sekali pemimpin-pemimpin pesantren (kyai) yang menyadari potensi positif pesantren bagi pembangunan nasional. Sedikit sekali yang mau introspeksi secara obyektif untuk beradaptasi secara positif terhadap tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Namun, secara perlahan-lahan pemerintah membina dan mengarahkan pesantren agar bersikap adaptif terhadap perkembangan masyarakat. Akhirnya, pesantren mulai mengadopsi sistem pendidikan Islam modern, seperti madrasah. Pesantren sulit menerima perubahan secara total agar menjadi lembaga pendidikan semacam madrasah. Dengan mendirikan madrasah di dalam pesantren, maka pesantren tetap dapat dipertahankan sebagai tempat belajar agama Islam bagi para santri yang tinggal di pesantren atau di sekitar pesantren. Selain itu, kyai tetap bisa mengamalkan praktek agama sesuai dengan tradisi pesantren yang berlaku sejak sebelum Indonesia merdeka. Dengan mendirikan madrasah, pesantren dapat memberikan relevansinya bagi tuntutan zaman dan masyarakat. Pendirian madrasah di pesantren-pesantren semakin menemukan momentumnya semenjak K.H.A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama. Ia melakukan pembaruan pendidikan agama Islam melalui peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1950, yang menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberi pelajaran agama di sekolah umum negeri dan swasta. Persaingan dengan madrasah modern dan sekolah-sekolah umum, mendorong pesantren-pesantren mengadopsi madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. 12 Lebih dari itu, pesantren semakin membuka kelembagaan dan fasilitasfasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren tidak hanya mengadopsi madrasah tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum. Pesantren Cipasung, Bahrul Ulum adalah contoh pesantren yang telah mampu mendirikan sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Bahkan kata Nurcholis Madjid 13, pesantren yang pertama kali mendirikan sekolah umum seperti SMA adalah Pesantren Tebuireng Jombang. Dengan demikian, pesantren telah memberikan tanggapan positif terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolah-sekolah umum maupun madrasah-madrasah di lingkungan pesantren membuat pesantren kaya diversifikasi lembaga pendidikan dan peningkatan institusional pesantren dalam kerangka pendidikan nasional. Bahkan, pesantren juga telah memberikan pilihan yang lebih banyak lagi bagi masa depan santri-santri. Kini santri tidak hanya 11 Mukti Ali, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971), hal.18. 12 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189. 13 Nurcholis Madjid, Op. Cit., hal. 130. 6

dikhususkan untuk menjadi ahli agama, tetapi didorong untuk memasuki profesi-profesi lain dengan memberikan pendidikan keterampilan, seperti komputer, fotografi, pertanian, pertukangan, perbengkelan, elektronika, administrasi, dan bahasa Inggris. Dengan luasnya spektrum ilmu di pesantren akan membuka peluang bagi santri memasuki bidang-bidang lainnya sehingga santri tidak hanya menjadi ahli agama, tetapi juga ahli dalam bidang kehidupan lainnya. Ini merupakan perkembangan bagus bagi pesantren dalam menata posisi pesantren di tengah realitas sosial modern dan kompleks. Belakangan ini pesantren telah menuju perkembangan yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan tinggi di pesantren. Sebenarnya antara pesantren dan perguruan tinggi terdapat perbedaan baik secara institusional, filosofis, dan kultural. Sebelumnya dipahami bahwa pesantren merupakan fenomena yang bercorak tradisional dan berada di pedesaan. Sedangkan perguruan tinggi memiliki keunggulan rasionalitas, sementara menekankan pada aspek spiritual dan lemah secara intelektual. Pesantren dan perguruan tinggi adalah dua lembaga pendidikan yang memiliki perbedaan mendasar, tetapi saat ini mulai saling mendekat. Barangkali inilah, yang oleh A. Malik Fadjar 14 dikatakan sebagai fenomena pascamodern, di mana berkembang suatu realitas dunia yang mulai memperlihatkan suatu unitas, tetapi sekaligus di dalamnya ada pluralitas. Demikianlah, setahap demi setahap pesantren telah menyelaraskan diri dengan cita-cita dan sistem pendidikan nasional Indonesia. Sebelumnya pesantren telah mengalami disorientasi dalam kerangka pendidikan nasional. Artinya, pesantren telah kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan dan memposisikan diri dalam realitas sosial yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat. Karenanya, kebijakan pemerintah adalah mendorong pesantren untuk mengadakan reorientasi baik di bidang pendidikan, keagamaan, maupun sosial. Di bidang pendidikan, kebijakan pemerintah memberikan pembinaan dan motivasi agar pesantren menyadari kondisi pesantren yang tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Pesantren kemudian menanggapi kebijakan pemerintah dengan mengadakan perubahan terhadap pola pendidikannya agar selaras dengan pendidikan nasional. Dalam hal ini, pemerintah tidak memaksakan pesantren mengadakan modernisasi secara radikal, tetapi dengan membangkitkan inisiatif pesantren sendiri untuk bersikap responsif terhadap perkembangan masyarakat di sekelilingnya. Secara bertahap, akhirnya pesantren mampu menyesuaikan dan menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, kebijakan mendasar pemerintah terhadap pesantren adalah menempatkan sistem pendidikan pesantren sebagai sub sistem dari pendidikan nasional, sehingga pesantren merupakan bagian dari sistem yang berkembang di Indonesia yang diakui keberadaannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena pesantren 7 14 A. Malik Fadjar, Sintesa antara Perguruan Tinggi dan Pesantren, dalam Nurcholis Madjid, Op. Cit., hal. 116.

memiliki peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Minimal ada tiga peranan penting pesantren dalam pelaksanaan pendidikan nasional, yaitu: peranan instumental, peranan keagamaan, dan peranan memobilisasi masyarakat. Dengan demikian jelas, posisi pendidikan pesantren dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai sub sistem. Artinya, pesantren berada di bawah bayang-bayang sistem pendidikan nasional. Pertanyaannya adalah mampukah pesantren mengadopsi semua sistem pendidikan nasional? Atau sebaliknya, dapatkah pendidikan pesantren menjadi sebuah sistem pendidikan nasional, sehingga seluruh sistem pendidikan yang ada di Indonesia harus mengikuti sistem pendidikan pesantren? Apa persoalan sesungguhnya yang dihadapi pendidikan pesantren ketika berada di bawah bayang-bayang pendidikan nasional. Inilah persoalan sesungguhnya. Untuk menjawab itu semua, pembahasan ini perlu dilihat dari bebagai aspek, terutama dari aspek Ilmu Pendidikan. B. Problematika Pendidikan Pesantren Sebagai Sub-Sistem Pendidikan Nasional Sebagai sub-sistem dalam Pendidikan Nasional, untuk mengidentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh pendidikan pesantren, ada baiknya juga menilik beberapa problema yang dihadapi Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional menurut Vembriarto 15 sedikitnya menjalankan 4 (empat) fungsi, yaitu: 1. Transmisi kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma. 2. Memilih dan mengajarkan pranata sosial 3. Menjamin integritas nasional 4. Mengadakan inovasi-inovasi Mengamati fungsi tersebut, tampak bahwa pendidikan pesantren kendatipun dalam konteks ke-indonesiaan merupakan sub-sistem, misi dan perannya tidak jauh berbeda dengan peran Pendidikan Nasional tersebut. Untuk menjalankan fungsinya secara afektif dan efisien, suatu sistem pendidikan harus sehat dan terus bergerak sesuai dengan gerak perubahan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Salah seorang pengamat menyatakan bahwa kita masih menghadapi krisis sistem pendidikan, utamanya jika dikaitkan dengan konteks masyarakat modern. Dalam hal ini ada 10 kecenderungan besar sistem Pendidikan Nasional dalam masyarakat maju Indonesia mendatang. Ke-10 kecenderungan itu meliputi: pendidikan dasar, kurikulum, proses belajar-mengajar, tenaga kependidikan, pendidikan ketrampilan, pendidikan tinggi, tenaga kependidikan, 8 15 St. Vembriarto, Beberapa Aspek Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional, dalam Ismail SM, dkk. (Peny.), Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 171-172.

desentralisasi pendidikan dan partisipasi masyarakat, serta manajemen pendidikan. 16 Beralih pada pendidikan pesantren di negeri ini, tampaknya problem yang dihadapi jauh lebih kompleks daripada pendidikan umum. Yang paling sederhana saja, perangkat semacam manual yang dapat dipakai untuk menyelenggarakan pendidikan pesantren saja misalnya, kita belum memilikinya. Apalagi untuk penataan sistem pendidikan pesantren dalam lingkup nasional. Konsekuensi logis dari kenyataan ini antara lain adalah ketidakmampuan pendidikan pesantren untuk memenuhi logika persaingan dengan pendidikan lain. Kendatipun oleh umat Islam sendiri kebanyakan lembaga pendidikan pesantren dianggap kurang dapat memenuhi kebutuhan, apalagi memenuhi selera mereka. Kalau dicermati, pendidikan pesantren yang masih kelas dua (sebagai sub-sistem Pendidikan Nasional) dan belum dapat menjadi pendidikan alternatif, antara lain disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Hambatan internal, karena belum tegas filsafat yang mendasarinya, sebagai implikasinya dapat dilihat beberapa gejala antara lain: a. Tiadanya kurikulum yang baku sebagai garis batas terhadap sistem pendidikan lainnya. b. Belum adanya metodologi yang baku. c. Belum adanya alat ukur yang dapat diandalkan dalam menilai hasil pendidikan. 2. Hambatan eksternal: a. Masih terlalu tergantung pada pola pendidikan yang digariskan pemerintah, yakni pendidikan untuk menopang pembangunan. b. Kekurangan dana dan fasilitas, sehingga pendidikan pesantren diorientasikan kepada selera konsumen, dan menyantuni kaum marginal. c. Masih labilnya sistem Pendidikan Nasional. 3. Perkembangan kebudayaan dan perubahan masyarakat yang cepat, sehingga pendidikan pesantren semakin tidak berdaya berkompetisi dengan laju perubahan masyarakat. 4. Apresiasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan pesantren yang belum menggembirakan. 5. Adanya pelapisan sosial yang didasarkan pada ukuran serba materialistik dan menyebabkan masyarakat berlomba-lomba menyerbu lembaga pendidikan favorit, dengan tanpa mengindahkan aspek ideologis yang tersembunyi dibaliknya. 6. Adanya kecenderungan mismanajemen, misalnya persaingan yang tidak sehat antar pimpinan dan kepemimpinan yang tertutup. 17 9 16 Syamsul Arifin, Tantangan Pendidikan: Revitalisasi Agama dalam Perubahan Nilai Budaya, dalam Ismail SM, dkk. (Peny.), Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 172. 17 M. Rusli Akrim, Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 132.

Meskipun tidak mampu bersaing dengan pendidikan lain dan kelas dua, mengapa harus survive dan bahkan kehadirannya disambut hangat. Barangkali beberapa fenomena berikut ini dapat memberikan penjelasan. Pertama, lembaga pendidikan yang ada di bawah Departemen Pendidikan Nasional tidak mampu menampung seluruh anak didik yang membutuhkan pendidikan. Kedua, lembaga pendidikan pesantren kebanyakan di daerah pedesaan dan menawarkan biaya pendidikan yang relatif murah. Ketiga, sebagian masyarakat masih merasa terikat dengan pendidikan pesantren atau karena merasa berkewajiban memberikan pelajaran agama bagi anak mereka. Keempat, di daerah-daerah tertentu tidak ada lembaga pendidikan umum yang dapat dijangkau oleh masyarakat, baik alasan biaya maupun geografis. Dengan demikian, pendidikan pesantren memang menjadi alternatif, sayang ketika tidak ada pilihan yang lain. Jadi, pendidikan pesantren hanya diposisikan sebagai lembaga pendidikan kelas dua setelah pendidikan umum. Bagaimana solusinya? Dengan tanpa mempertimbangkan antisipasi terhadap perubahan soaial dan transformasi budaya di masa depan, melainkan hanya mencermati kondisinya saja, kita menyadari bahwa pendidikan pesantren memerlukan banyak pembenahan, untuk sekedar hidup sekalipun. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh banyak pihak, masa datang yang dihadapi di dalamnya terdapat masalah-masalah besar (global) yang antre untuk dihadapi dan diselesaikan. Misalnya saja, ancaman anihilasi nuklir, bahaya overpolusi, degradasi ekologi global, kesenjangan Utara-Selatan, moralitas dan tentu saja restrukturisasi pendidikan. 18 Masalah-masalah besar ini juga merupakan masalah pendidikan (minimal secara tidak langsung), masalah bangsa Indonesia, dan berarti pula masalah yang dihadapi oleh pendidikan pesantren. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, dan bahkan hanya sekedar untuk tetap survive dalam konotasi yang wajar, ada beberapa hal yang mendesak dilakukan. Pertama, pendidikan pesantren hendaknya lebih adaptif, akomodatif dan meninggalkan status quo. Tentu saja dengan tanpa meninggalkan misi yang diamantkan oleh Al-Qur an sebagai pedoman hidup umat Islam. Kedua, pendidikan pesantren harus menunu integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga, pendidikan pesantren hendaknya memperhatikan muatan bahasa asing yang lebih intens, utamanya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Keempat, pendidikan didesain dan di-manage sedemikian rupa sehingga mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan. Hal ini kecuali mengurangi permasalahan lapangan kerja, karena selama ini pendidikan sering dikaitkan dengan lapangan kerja, juga akan membebaskan pendidikan dari hegemoni konsumen, utamanya dari perspektif ekonomi. Kelima, lembaga pendidikan pesantren makin mempertegas komitmennya untuk memantapkan dirinya sebagai lembaga yang berlabelkan Islam. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan pengembangan ilmu-ilmu ke-islaman yang sebanding kredibilitasnya dengan pusat-pusat studi 10 18 M. Amin Rais, Permaslaahan Abad 21: Sebuah Agenda, dalam Said Tuhuleley (ed.), Permasalahan Abad 21: Sebuah Agenda (Yogyakarta: SI Press, 1993), hal. 54.

Islam di Barat. Ini bukan berarti bidang-bidang studi seperti ilmu murni, teknologi serta humaniora adpat diabaikan. Keenam, para pakar pendidikan Islam perlu segera meretas problema internal keilmuan dalam pendidikan pesantren. Pemancangan filsafat, konsep, postulat, teori, dan bahkan sampai manual yang dapat dijadikan referensi bagi para praktisi pendidikan (ustadzustadz, kyai di pesantren) mutlak diperlukan. Taksonomi pendidikan yang Islami juga tampaknya perlu untuk dirintis. Memang disadari ini merupakan kerja besar yang tidak hanya perlu tenaga ahli, tetapi juga membutuhkan waktu lama. Masalahnya sekarang adalah sudahkah kerja besar ini dimulai, jika belum, lalu kapan, dan jika sudah, sudah sejauh mana prosesnya bergulir. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh disertai komitmen yang tinggi, pendidikan pesantren dapat ditinggalkan sejarah, sekalipun ditengah-tengah konsentrasi umat Islam sendiri, dan secara yuridis formal keamanannya terjamin, terutama setelah keluarnya UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 yang menjadikan pendidikan pesantren sebagai sub-sistem Pendidikan Nasional. Persoalannya kemdian, bagaimana kondisi pendidikan pesantren setelah menjadi sub-sistem Pendidikan Nasional? Apakah bisa menjawab persoalanpersoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam umumnya di masa mendatang? C. Arah Pengembangan Pendidikan Pesantren Masa Depan dalam Bingkai Sistem Pendidikan Nasional hubungannya dengan Pembentukan Bangsa Bermartabat Wacana yang berkembang dalam dinamika pemikiran dan pengalaman praktis para alumni pesantren tampaknya menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur asyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan perilaku ulia (al-akhlâq al-karîmah) guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna. Ini dapat dilihat dari pwran strategis pesantren yang dikembangkan dalam kultur internal pendidikan pesantren. Misalnya saja, lewat diskursus intelektual dengan standardisasi Kitab Kuning atau khazanah intelektual Islam klasik, pesantren melembagakan dinamika pemikirannya. Pesantren juga rajin dan berusaha membentuk perilaku-perilaku masyarakatnya agar lebih menekankan, terutama, dimensi etika-moral dalam kehidupannya. Memang, hal ini telah teruji dan mampu bertahan mengangkat pesantren menjadi sebuah bengkel moral-spiritual, dan pusat pengkajian dan pengembangan intelektualitas Islam klasik yang pernah mencapai puncak keemasannya dalam peradaban dunia. Eksistensi ini sekaligus memberikan signifikansi yang strategis bagi pesantren dalam proses kebangsaan. Bersamaan dengan mainstream perkembangan dunia (globalisasi), pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial-budaya yang tak terelakkan. Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren mau tak mau harus memberikan respopn yang mutualistis. Sebab, pesantren tidak dapat melepaskan diri dari bingkai perubahan-perubahan itu. Kemajuan inforasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika 11

sosial-ekonomi (lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar bebas (free market). Belum lagi sejumlah perkembangan lain yang terbungkus dalam dinamika masyarakat, yang juga berujung pada pertanyaan tentang resistensi, responsibilitas, kapabilitas, dan kecanggihan pesantren dalam tuntutan perubahan besar itu. Apakah pesantren mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahanperubahan itu? Usaha mencari alternatif jawaban itu relatif akan dapat ditemukan bila kita mengetahui dan memahami secara persis antropologi internal pesantren. Upaya ini meniscayakan penelanjangan yang jujur dan rela elepaskan diri segala asumsi negatif dan sika a priori tentang pesantren. Sungguhpun demikian, tapaknya tulisn ini harus menampilkan sebagian kecil dari pekerjaan di atas. Sebab, pekerjaan ini sesungguhnya adalah pekerjaan besar yang cukup berat dalam sistem pendidikan pesantren ditengah hiruk-pikuk perubahan global. Peranan yang dituntut dari pesantren adalah melakukan perubahan terhadap nilai-nilai etis, logis, dan estetis yang menjadi nilai esensial manusia secara individu, kelompok maupun lembaga. Di samping itu, perubahan yang diharapkan dari pesantren adalah kemampuannya dalam melakukan perubahan kinerja, posisi, dan peranan manusia dalam kehidupan masyarakat. Untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut, maka pesantren harus memiliki landasan nilai-nilai dasar yang menjadi sistem nilai pendidikan pesantren. Atas dasar itu, dalam perkembangan ke depan, maka pesantren dapat dijadikan sebagai alternatif sistem pendidikan nasional yang akan mampu menjaga dan membentengi masyarakat dari pengaruh global yang kurang baik terhadap perkembangan akhlak bangsa, sikap bangsa, dan pemikiran bangsa ini. Oleh karena itu, agar pesantren memiliki peran yang mumpuni, maka diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak terhadap sistem pendidikan pesantren. Di samping itu, secara internal, pesantren harus merubahan manajemen sistem pendidikannya agar lebih berdaya-guna dan berhasil-guna dalam menghadapi tantangan global, sehingga pesantren akan tetap eksis ditengah perubahan-perubahan itu. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pendidikan pesantren di masa mendatang? Sebelum membahas kebijakan pemerintah terhadap sistem pendidikan pesantren, terlebih dahulu perlu dipahami sistem nilai yang melandasi gerak langkah sistem pendidikan pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya. Kerjasama antarpara pelaku ini didasari, dijiwai, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh mereka. Unsur-unsur suatu sistem pendidikan selain terdiri atas para pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur anorganik lainnya, berupa: dana, arana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur 12

dalam suatu siste pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, bagaikan gula dengan manisnya. Unsur-unsur penting dari pesantren adalah: (1) Pelaku: kyai, ustadz, santri, dan pengurus; (2) Sarana perangkat keras: mesjid, rumah kyai, rumah ustadz, pondok, gedung madrasah, tanah untuk berbagai keperluan kependidikan, gedung-gedung lain untuk keperluan perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, perbengkelan, poskestren, dan keterampilan lainnya; (3) Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, sumber belajar, cara belajar (metode), dan evaluasi. 19 Sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem pendidikan pesantren itu didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Ajaran dasr ini berkelindan dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam kehidupan ekseharian. Hasil perpaduan dari keduanya inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan pilihan cara yang akan ditempuh. Oleh karena itu, pandangan hidup seseorang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapinya. Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif. Menurut Mastuhu 20, nilai-nilai yang mendasari sistem pendidikan pesantren digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, yang dalam ini bercorrak fikih-sufistik, dan berorientasi kepada kehidupan ukhrawi; dan (2) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari menurut hukum agama. Sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik, artinya: para pengasuh pesantren memandang bahwa kegiatan belajar-mengajar merupakan kesatupaduan atau lebuur dalam totalitas kegiatan hidup seharihari. Bagi warga pesantren, belajar di pesantren tidak mengenal perhitungan waktu, kapan harus mulai dan harus selesai, dan target apa yang harus dicapai. Bagi dunia pesantren, hanya ilmu fardlu ain yang dipandang sakral, sedangkan ilmu fardlu kifayah dipandang tidak sakral. Dalam pandangan mereka, semua kejadian yang terjadi dalam kehidupan berawal dari Tuhan, berproses menurut hukum-nya, dan ebrakhir atau kembali kepada-nya. Setiap peristiwa yang terjadi merupakan bagian dari keseluruhan dan selalu berhubungan satu sama lain dan akhirnya pasti bertemu pada kebenaran Tuhan. Kyai yakin bahwa apa saja yang dipelajari oleh santri adalah baik dan pada suatu saat akan mendatangkan barokah bagi yang bersangkutan, jika sudah tiba waktunya. 13 19 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hal.58. 20 Mastuhu, Ibid, hal.58.

Seiring dengan pendekatan yang holistik tersebut, maka tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umu bagi semua pesantren, juga tidak ditemukan kurikulum, cara-cara penilaian yang jelas dan kalkulatif, serta syarat-syarat penerimaan santri dan tenaga kependidikan secara jelas pula. Atas dasar itu, ternyata pesantren tidak hanya bersfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yangs angat kuat mempengaaruhi pikiran-pikiran ulama. Kitab-kitab yang dipelajarinya meliputi: tauhid, tafsir, hadits, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa Arab, mantik, dan akhlak. Kemudian sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosialekonomi orang tuanya. Biaya hidup di pesantren relatif murah dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya gratis, terutama bagi anak-anak yati piatu dan dari keluarga miskin lainnya. Fungsi lain dari pesantren adalah sebagai lembaga penyiaran agama, yaitu kyai, ustadz dan santrinya bertugas mendakwahkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat umum meandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Ketiga fungsi pesantren tersebut, yaitu sebagai lembaga pendidikan, sebagai lembaga sosial, dan sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masingmasing merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Meskipun demikian tampak bahwa fungsinya sebagai lembaga pendidikan menjadi semacam ujung tombaknya sedangkan fungsinya sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama menjadi sayap-sayap sebelah kiri dan kanannya. Metodik pengajarannya diberikan dalam bentuk: sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan. Sorogan artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Sesuai dengan tujuan pendidikan dan pendekatan holistik yang digunakan, serta fungsinya yang komprehensif sebagai lembaga pendidikan, sosial dan penyiaran agama, maka prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren meliputi: theocentris, sukarela dan mengabdi, kearifan, kesederhanaan, kolektivitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, mandiri, tempat mencari ilmu dan mengabdi, mengamalkan ajaran agama, tanpa ijazah, dan restu kyai. 14

Beberapa tradisi pesantren yang masih eksis hingga zaman sekarang diantaranya adalah: Pertama, dipertahankannya tradisi kitab kuning yang beraliran madzhab Syafi iyah di bidang hukum (fikih), menganut teologi Asy ariyah di bidang keyakinan religius (tauhid), dan mengikuti faham sufisme Al-Ghazali di bidang tasawuf. Kedua, hirarki kepemimpinan paternalistik dan nepotisme yang menempatkan kyai sebagai sumber ide dan kebenaran, serta menganggap anak keturunan kyai sebagai generasi berikutnya yang harus mengganti pola kepemimpinan itu, terlepas apakah anak-anaknya itu berkualitas seccara keilmuan atau tidak. Ketiga, sikap hidup yang terlampau tulus enerima kenyataan nasib apa adanya (qona ah). Sikap ini yang mempertebal sikap tawakkal dalam segala usaha dan aktivitas. Keempat, pola perencanaan (manajemen) tradisi pesantren yang bercorak insidental. Rencana-rencana yang targetnya jauh ke depan sering diabaikan. Tradisi pertama di atas menyebabkan tertutupnya pesantren terhadap pemikiran lain selain pemikiran madzhab Syafi iyah, Asy ariyah, dan Al- Ghazali. Hampir-hampir apa yang dimaksudkan ajaran Islam adalah ajaran tauhid, hukum, dan akhlak dari ketiga tokoh pemikir Islam masa lampau itu. Pesantren tidak merasa penting lagi meninjau pola-pola pemikiran dari tokoh pemikir itu, padahal produk pemikirannya dihasilkan dari kerja keras menafsirkan dan memformulasikan prinsip-prinsip normatif yang terkandung di dalam Al-Qur an dan Hadits Nabi Saw. Implikasi ketertutupan (eksklusivitas) itu berupa tiadanya budaya berpikir kritis, analitis, dan reflektif sehingga sulit sekali melahirkan pemikiran baru di lingkungan pesantren. Oleh karena hampir dikatakan pesantren masih bersikap anti terhadap ilmu filsafat, maka ilmu ini dicemaskan sebagai sosok ancaman terhadap kemapanan madzhab yang telah dianutnya. Alhasil pesantren hanya sebagai receivers (penadah) pemikiran Islam klasik secara apa adanya. Sementara di bagian lain tidak sedikit santrinya sangat hafal nadham-nadham (syair) ilmu nahwu dari urutan atas ke bawah atau dari urutan bawah ke atas. Ilmu alat Bahasa Arab ini bahkan dijadikan kriterium tentang keetinggian optimal kealiman (kedalaman ilmu) para santrinya. Tidak aneh bilamana corak pendidikan pesantren dipandang sangat tradisionalistik yang disebabkan oleh sikap eksklusifnya. Eksklusivitas tradisi yang pertama tersebut cenderung memperkeruh tradisi yang kedua, yaitu hirarki kepemimpinannya. Segala pandangan kyai dipersepsikan final dan tabu untuk dipersoalkan lagi, sehingga ada kesan kyai adalah seorang duplikat Nabi Saw yang menjadi sumber keteladanan, termasuk juga anak-anak dan keturunannya. Tradisi ketiga dari sistem pendidikan pesantren adalah sikap hidup yang terlampau qona ah (menerima apa adanya). Tradisi yang ketiga ini memposisikan pesantren ke kondisi pasif yang membawa penampilan budayanya seakan tetap berjalan di tempat. Kalaupun ada perubahan, paling tidak hanya bercorak reaktif. Misalnya, kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pesantren tidak ditargetkan pada perubahan struktural. Konsekuensi pasif dari tradisi ketiga ini tercermin ppula pada pola perekonomian kyai. Tidak sedikit sistem ekonomi keluarga kyai tak diketahui 15

oleh khalayak umum. Terlihat pola kehidupannya sangat sederhana, bahkan banyak menggantungkan hidupnya pada takdir Tuhan. Dengan serba keterbatasan berpengaruh pada pola manajemen pesantren yang lebih bercorak insidental. Perencanaan strategis yang berorientasi masa depan seringkali diabaikan, disebabkan oleh serba keterbatasan tersebut. Hal ini berdampak pada sistem pendidikannya yang tetap mempertahankan siste pedagogy yang menganggap anak didik seperti botol kosong dan boleh saja diisi dengan apa pun tanpa perlu dipertanyakan terlebih dahulu. Tradisi keempat, manajemen yang insidental ini merupakan kenyataan yang ironis di hadapan perkembangan sistem pendidikan modern di luarnya yang kian profesional. Atas dasar itu, dalam rangka menghadapkan sistem pendidikan pesantren dalam perkembangan zaman, maka sistem pendidikan pesantren perlu mengalami perubahan-perubahan dalam artian perlu adanya rekonstruksi agar sistem pendidikan tersebut tetap eksis di masa mendatang. Sebagai sebuah sistem, Islam mengandung uatan-muatan yang dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah ajaran dasar yang menjadi referensi bagi landasan hidup dan penyelesaiannya dalam mengatasi seluruh problematika akibat rangkaian dinamika struktur sosial-budaya, yang empunyai nilai kebenaran mutlak dan niscaya tidak runtuh dalam segala perubahan. Ajaran dasar ini mempunyai muatan-muatan nilai universal, yang mempunyai daya relevansi dalam segala tataran ruang dan waktu. Bahkan, ajaran ini memiliki legalitas sakral dan telah secara tuntas-final dikodifikasikan oleh para ulama salaf berupa Al-Qur an dan Sunnah Nabi. Kategori kedua adalah ajaran-ajaran bukan dasar yang merupakan hasil interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar. Ajaran ini mengelaborasi muatan ajaran dasar dengan kecenderungan pada aspek-aspek praktis-aplikatif. Dalam pendidikan pesantren, umumnya materi ajaran yang diberikan secara intens dan simultan lebih menekankan ajaran yang bersifat elaborasi. Lebih menyempit lagi, diskursus yang sangat berkembang dan yang dianggap penting hanyalah bidang fikih seata. Sementara itu, kajian tentang ajaran dasar yang dibutuhkan dalam usaha memahami ajaran Islam kurang mendapat perhatian serius. Hal ini dapat dilihat dari wacana yang beredar di pesantren yang diwakili dengan Kitab Kuning. Wacana fikih terasa sangat dominan keetimbang wacana lainnya. Bila kondisi demikian dibiarkan terus dan lepas dari kontrol akademis, maka dikhawatirkan bahwa diskursus Al-Qur an dan Hadits Nabi akan teerlupakan sama sekali dari pendidikan pesantren. Al- Qur an dan Hadits Nabi hanya menjadi lipstik semata karena kandungannya tidak pernah dipahami secara langsung. Padahal, tidak semestinya wacana fikih menduduki posisi Al-Qur an atau Hadits Nabi. Sebab, fikih bukanlah sumber petunjuk mutlak dalam segala praktek kehidupan. Kekhawatiran di atas sesungguhnya dapat diatasi atau sekurangkurangnya diminimalisasi. Salah satu caranya adalah mengubah metode pendidikan yang selama ini dikembangkan. Metode yang diterapkan di pesantren selama ini kelihatannya menggunakan metode induksi. Pesantren mengembangkan kajian-kajian partikular terlebih dahulu seperti fikih dan berbagai tradisi lainnya yang dianggap sebagai ilm al-hâl. Setelah 16

penguasaan memadai, baru dirambahlah wilayah kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Hasilnya akan berbeda bila metodenya ini dibalik dengan menggunakan metode deduksi, yakni mengembangkan kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, dan kemudian mengimplementasikan dalam kajian partikular seperti fikih dan perkembangan dinamika modern. Metode ini agaknya lebih bisa mengembangkan proses penalaran, kreativitas, dan dinamika dalam memahami Islam secara lebih kontekstual ketimbang sekedar metode pertama (induksi) yang lebih menekankan pemahaman doktrinal. Aspek lain yang perlu dilihat dalam membangun sistem pendidikan pesantren di masa depan adalah kurikulumnya. Kurikulum pesantren yang diwakili oleh Kitab Kuning, hanya lebih menekankan pada bidang fikih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Keadaan kurikulum pendidikan pesantren yang demikian memberikan sebuah konsekuensi pada eksklusivisme pesantren dari pemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh madzhab Syafi i, Asy aari, dan Al-Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islam hanya dipahami sebagai ajaran yang menyangkut fikih, teologi, dan tasawuf yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Implikasinya aalah hilangnya budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidak diakui lagi dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren. Usaha yang perlu dilakukan adalah membangun kebenaran-kebenaran yang telah mengakar di dunia pesantren menjadi hal yang lebih terbuka untuk berijtihad dalam menghadapi perkembangan kontemporer. Dengan begitu maka kurikulum pesantren harus lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan kontemporer yang sedang berkembang. Perbaikan berikutnya dalam sistem pendidikan pesantren adalah perubahan terhadap manajemen pendidikan pesantren. Hal ini penting dilakukan mengingat proses keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Oleh karenanya, tidaklah heran kalau dikatakan bahwa al-haqq bi lâ an-nizhâm yaghlibuh al-bâthil bi annizhâm (sebuah sistem kerja usaha konstruktif yang tidak terkendali secara manajerial bisa dikalahkan oleh sistem kerja destruktif yang manajemennya tertata rapih). Pola manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan tujuan-tujuannya yang telah disistematisasikan secara hierarkis. Sistem pendidikan pesantren biasanya dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap dalam tiap tahunnya. Perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren agaknya belum terlihat. Penerimaan santri baru, misalnya, masih dilakukan secara terbuka untuk semua individu yang mempunyai latar belakang dan kemampuan beragam tanpa mengadakan usaha pre-test terlebih dahulu. Usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatif tidak pernah dilakukan. Dengan demikian, manajemen pesantren harusnya terbuka. Sebab, perkembangan yang terjadi di luar dirinya harus diketahui dan diantisipasi, terutama ketika harus berbenturan. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerjasama simbiosis-mutualis antara pesantren dengan institusi-institusi 17

yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerjasama ini dapat juga dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang seakin kompleks. Pola kerjasama ini meniscayakan minimalisasi asumsi-asumsi negatif yang diletakkan pada pesantren, seperti terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderungan mempertahankan status quo. Sehubungan dengan itu, maka arah perkembangan pendidikan epsantren pada masa depan diperkirakan akan menempuh bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Ada pesantren yang bentuknya tetap seperti yang dulu, yaitu sebagai pendidikan non formal, khusus mendalami ilmu-ilmmu agama, yang menekankan pentingnya poengamalan agama dalam hidup sehari-hari, bersumber dari para ahli fikih dan sufistik dengan kitab-kitab klasik. Ada pula pesantren yang berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapoi dilengkapi dengan berbagai keterampilan, dengan catatan bahwa bidang studi agama juga terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam, jadi tidak hanya terbatas pada sumbersumber ajaran lama yang bersifat fikih-sufistik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan filsafat, dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Namun yang paling penting bagi sistem pendidikan pesantren di masa depan adalah adanya penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum dan perguruan tinggi yang hidup dalam satu kampus pesantren. Bentuk ini diperkirakan akan dapat bertahan di masa-masa mendatang, karena dengan demikian akan saling mengisi kekurangan masingmasing antara pesantren sebagai pendidikan non formal yang menggarap bidang nilai tafaqquh fiddîn dan pengamalan agama, dengan pendidikan formal yang menggarap ilmu lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan konsep asrama di masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya sebagai subsistem pendidikan nasional secara antap di masa-masa depan. Tampaknya kebutuhan asrama di masa depan ialah bahwa asrama bukan sekedar tempat hidup bersama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti kondisi pesantren saat ini, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagai forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu mengembangkan ilmu, teknologi, dan agama, sesuai dengan tantangan zamannya dan mengembangkan individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang dengan perkembangan kepribadian kolektif. Dengan demikian, perkembangan dan perubahan yang dilakukan pendidikan pesantren, sebagai bentuk konstelasi dengan kehidupan dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pendidikan pesantren tidak lagi dianggap statis dan mandeg. Dinamika kehidupan pendidikan pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi secara aktif memberikan pelayanan terhadap masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertainya. Di antaranya, ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pendidikan pesantren, madrasah/sekolah 18

181. sampai perguruan tinggi yang ada di lingkungan pondok pesantren. Karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar budaya kuat di masyarakat. 21 Keberadaan pendidikan gaya pondok pesantren dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia ini, pondok pesantren tidak hanya menjadi sub-sistem Pendidikan Nasional, tetapi harus dipandang sebagai mitra pemerintah di samping sekolah umum atau madrasah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 30 ayat (3) dan (4) jelas disebutkan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur formal, non-formal dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Posisi integrasi pendidikan pesantren dalam sistem pendidikan nasional, tercermin dalam berbagai aspek. Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenjang pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional ini pesantren dengan sendirinya sejajar dengan pendidikan jalur sekolah, sehingga kedudukannya menjadi sama, tidak ada lagi sikap sub-ordinasi pada pendidikan pesantren. 22 Patokan yang harus dipegang dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan nasional antara lain: (a) pendidikan nasional menganut prinsip pendidikan seumur hidup; (b) pendidikan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah; dan (c) pendidikan nasional diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Dalam kerangka itulah, maka pendidikan pesantren menjadi penting dalam skema pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sebab, muara akhir dari tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia bermartabat. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bansga yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi mansuia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dari rumusan fungsi pendidikan nasional tersebut di atas, jelas bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa memiliki ciri-ciri: (1) beriman; (2) bertakwa; (3) berakhlak mulia; (4) sehat jasmani ruhani; (5) berilmu pengetahuan; (6) cakap dan kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; dan (9) bertanggung jawab. Pencapaian bangsa yang bermartabat sebagai tujuan akhir dari pendidikan nasional dengan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya sudah dibangun oleh pendidikan pesantren sejak awal 21 Sa id Aqiel Siraj, Pesantren Masa Depan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 22 Mukhtar Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 159. 19

kelahirannya hingga sekarang. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya menempatkan pendidikan pesantren bukan sebagai bagian pendidikan nasional, tetapi harus dijadikan sebagai mitra. Sebab, pencapaian tujuan pendidikan nasional sesungguhnya sudah dijalankan oleh pendidikan pesantren sebagaimana diketahui dari prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu 23, yaitu: (1) theocentric; (2) sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11) tanpa ijazah; dan (12) restu kyai. Pendidikan pesantren dapat membentuk martabat bangsa yang beriman bertakwa, karena prinsip pendidikan pesantren menganut prinsip theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, dan kembali pada kebenaran Tuhan. Semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Semua aktivitas pendidikan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan, sehingga belajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan. Oleh karena itu, kegiatan proses belajar mengajar di pesantren tidak memperhitungkan waktu, sehingga kehidupannya dalam keseharian senantiasa didasarkan atas ibadah kepada Allah semata, dan orientasi hidupnya jelas bahwa ibadahnya serta hidup dan matinya semata-mata karena Allah. Prinsip pendidikan pesantren ini tentu saja akan lebih mudah membentuk martabat anak didik/santri menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, apalagi saat itu juga langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu saja berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umumnya. Oleh karena itu, pantaslah jika pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa sebagaimana tujuan pendidikan nasional tersebut, sejatinya bisa dilakukan oleh sistem pendidikan yang menganut prinsip pendidikan yang mengedepankan filsafat theocentric sebagaimana yang ada di pendidikan pesantren. Prinsip seperti ini pada gilirannya akan membentuk akhlakul karimah atau budi pekerti yang baik di kalangan santri. Demikian pula prinsip kemandirian yang ada di pesantren merupakan pola pendidikan yang dapat dikembangkan dalam membentuk kepribadian bangsa yang mandiri. Sebab, sejak awal para santri di pesantren sudah dilatih mandiri. Ia mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya sendiri, seperti mengatur uang belanja, memasak, mencuci pakaian, merencanakan belajar, dan sebagainya. Prinsip seperti ini tentu saja lebih tepat dalam membentuk kepribadian mandiri anak didik bila dibandingkan dengan pendidikan di sekolah-sekolah formal ummumnya. Atas dasar itu, arah pengembangan pendidikan pesantren di masa mendatang dalam menciptakan bangsa yang bermartabat adalah bagaimana menjadikan prinsip-prinsip pendidikan yang ada di pesantren dijadikan sebagai prinsip-prinsip pendidikan bagi lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Artinya, prinsip pendidikan di pesantren dijadikan alternatif yang bisa 20 23 Mastuhu, Op. Cit., hal. 62-66.